“Tapi, dia sering terlambat, Pak.” Yura yang baru tiba di ruangan kebesaran Arya tak sengaja mendengar percakapan kedua atasannya. Meski tak tahu detailnya, Yura yakin bahwa itu pasti berkaitan dengan dirinya. Cemas, resah, gelisah, semuanya kini bercampur menjadi satu! Tidak biasanya ia dipanggil ke ruang sang Presdir. Apakah yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah ia akan dipecat seperti sekretaris sebelumnya? “Sesuai dengan data, Yura empat kali terlambat di jam yang sama, dua diantaranya lebih dari pukul delapan, dan dua kali ijin setengah hari. Menurut saya, ini bisa mempengaruhi kinerja rekan dan divisi yang lain.” Yura menunduk ketika sang manajer personalia terang-terangan mengadu kepada pimpinan utama mereka. Memangnya ia bisa berkata apa? Semua data yang disajikan benar adanya. “Hari ini saya juga mendapatkan laporan, Saudara Yura terlambat lagi. Ini sudah kesekian kalinya saya menegur, Pak. Tetapi tidak diindahkan,” sambung manajer itu lagi. Yura tidak menyan
Yura memijit kepalanya pening. Tadi, dia akhirnya memilih untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai sekretaris Tuan Arya. Hanya saja, ada masalah baru yang dia hadapi. Ini pertama kalinya Yura absen ke rumah sakit sejak Rama dirawat. Pihak rumah sakit juga tidak memberi kabar apapun.[Ada apa?]Yura tersentak. Panggilannya dan ibu mertuanya akhirnya terhubung setelah puluhan kali ditolak. “Bagaimana dengan kabar Mas Rama, Bu? Apa sudah ada perkembangan?” [“Masih stabil,”] ujar Katrina dingin.Meski bukan jawaban seperti ini yang Yura inginkan, tetapi dua kata itu sudah cukup membuat rasa khawatir dalam benaknya berkurang. “Syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Ibu bagaimana? Ibu juga baik, kan?”Saat itu juga dari sebrang sana Katrina menghempas dengus kasar. Wanita paruh baya itu lantas menjawab dengan nada ketus. [“Masih bertanya? Aku berjaga sendirian dan melakukan semuanya tanpa teman, menurutmu aku baik?”] Yura diam beberapa saat, sudah menduga jika Katrina akan
"Sshh!"Yura meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Wanita itu meringkuk di pinggir ranjang dengan kedua tangan gemetaran. Sekujur tubuhnya nyeri bagai terlempar dari ketinggian. Remuk redam akibat tamparan keras yang sampai saat ini masih terasa panas. Entah sudah berapa lama ia menangis. Kain hitam yang membelit kepala telah basah, terguyur derasnya air mata, tetapi wanita itu belum berani melepasnya. Tidak ingin melakukan kesalahan. Yura tidak mendengar bunyi bel dan kemungkinan besar Tuan Gin belum meninggalkan apartemen. Setelah melampiaskan amarah, Gin langsung beranjak meninggalkan kamar, membiarkan Yura menangis sendirian. "Pria tak punya perasaan!" Kalimat itu terucap dalam hati. Ingin marah tetapi tidak bisa. Hendak membalas semua perbuatannya tetapi ia sadar, dia tak bisa melakukannya. Pada akhirnya hanya berujung menyumpahi diri sendiri. "Bodoh!""Apakah semua pria sebrengsek ini? Bertindak sesuka hati, tidak punya empati!"Sebelumnya, tidak pernah membayangkan
Tak terasa, fajar sudah merangkak naik. Sayangnya, Yura masih bergelung nyaman di bawah selimut. Terlalu lelah setelah semalam menghabiskan tenaga untuk melayani Tuan Gin. Entah apa merasukinya, pria itu selalu tak cukup bermain satu kali. TRING!Mata wanita itu mengerjap pelan karena bunyi ponsel yang berdering nyaring. Perlahan mulai menyadari ketika suaranya terdengar asing. Bukan seperti alarm yang biasanya ia nyalakan. Dahinya spontan berkerut ketika mendapati bahwa ponsel itu benar bukan miliknya. “Ini bukan punyaku.” Yura bangkit dan duduk di atas ranjang. Sejenak menguap dan mengamati sekitar. Tidak ada orang, hanya ia sendirian, terbaring tanpa busana. Sorot netranya kemudian merambat ke arah nakas. Yura panik tatkala benda pipih hitam yang biasanya diletakkan di sana menghilang entah kemana. Sesaat kemudian menghempas napas panjang ketika teringat dengan ucapan Tuan Gin semalam. “Jadi pria itu sungguh mengganti ponselku? Astaga! Lalu bagaimana aku bekerja, Gin?
"Yura! Astaga, kenapa malah melamun! Cepat bersiap, Pak Arya sebentar lagi datang!”Seketika itu juga lamunan Yura terhenti. "Baik, Bu.""Ingat! Jangan ada kesalahan," ucap Bu Rika lalu beranjak pergi.Setelahnya, Yura menghela napas. Dicobanya mengingat segala informasi yang baru diterima.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dan derap pentofel mahal yang terdengar membuat Yura seketika membungkukkan badan seperti training singkat Bu Rika. “Selamat pagi, Pak!"Seramah mungkin wanita itu menguntai senyum. Telah bersiap bila mendapatkan balasan serupa tetapi nyatanya hanya harap semata. Arya bahkan tak menarik sudut bibirnya barang satu mili pun. Pria berpostur tinggi itu hanya menghentikan langkah di depan meja Yura tanpa membalas sapa sebelum meletakkan amplop cokelat berukuran besar di meja wanita itu. “Tolong berikan ini ke Bu Rika dan katakan setelah jam sembilan segera ke ruangan saya,” pintanya.Meski bingung, Yura memberikan anggukan sebagai tanda mengerti. “Baik, Pak. Akan segera
“Bapak ingin makan siang di kantor atau di luar?” Sebenarnya rasa malu dan canggung setelah peristiwa peluk-memeluk yang tidak diprediksi pagi tadi belum hilang. Namun, harapan itu musnah ketika Bu Rika mengingatkan untuk bertanya makan siang.Berkas dan pulpen yang dipegang diturunkan. Sesaat kemudian pria berkulit sawo matang itu mengambil ponsel dan memeriksanya. “Nanti saja, saya tanya rumah dulu mau kirim makanan atau tidak,” jawabnya tanpa mendongak sedikitpun ke arah Yura.“Baik, Pak. Mohon beritahu saya jika ada kiriman makanan dari rumah, terima kasih,” pamitnya. Wanita itu berbalik badan, hendak kembali ke meja kerja, tetapi baru tiga kali kakinya menapak lantai, Arya membalas kalimatnya.“Saya belum mengijinkan kamu pergi!” Seketika langkahnya terhenti. Dua tangan yang masing-masing memegang pulpen dan catatan kecil kini mengepal lebih erat dari sebelumnya. Apa lagi? Jika belum mengijinkan pergi kenapa tidak memintanya untuk menunggu? Dengan berat hati Yura memutar tubuh
Entah mengapa sejak bertemu Tuan Gin dan jadi sekretaris Pak Arya, hari-hari Yura tidak tenang.Baik di kantor ataupun tempat tidur.Maka, Yura memutuskan tidur meski masih memakai penutup mata.Hanya saja, tidur nyenyak Yura terusik saat menyadari sesuatu yang berat tengah menindih perutnya. Dan juga ... desir napas teratur di belakang tengkuknya. Yura lantas mencoba beringsut. Sayangnya, pelukan yang terkesan posesif itu sulit untuk diurai. Tak ingin menyerah, ia berusaha mengangkat lengan Gin agar berpindah. Sayang, terlalu berat untuk diangkat dengan satu tangan.“Gin?” Yura memanggil dengan suara sepelan mungkin, takut bila mengejutkannya. Satu kali panggilan, tak menimbulkan reaksi apapun. Baru dipanggilan ketiga pelukan Gin perlahan merenggang seiring dengan tarikan napas panjang yang terdengar begitu dekat telinganya. “Hm?” “Maaf ..., aku ketiduran. Aku pikir kau tidak jadi datang,” ujarnya seraya membalikkan badan menghadap dada Gin yang bidang. Indra penciumannya mulai
"Jangan-jangan dia ada skandal dengan Pak Arya?"“Oh, my God! Benar juga. Itu bisa jadi! Tidak mungkin dia bisa sampai di tahap ini jika tidak memiliki hubungan dengan Pak Arya.” Langkah kaki Yura terhenti persis di depan kamar mandi kantor. Keinginan untuk masuk ke dalam bilik diurungkan setelah mendengar kalimat yang bergema hingga luar ruangan. Telinganya lantas menajam, penasaran dengan topik yang sedang dibicarakan. Siapa yang memiliki skandal dengan bosnya? Jika saat ini memutuskan untuk bertemu dengan Erna dan bertanya padanya, mungkin wanita itu sudah tahu lebih dulu. Tetapi sudah satu minggu Yura bekerja terpisah dengannya, sehingga jarang sekali bisa bertemu dengan sahabatnya itu. Erna bekerja di lantai bawah, sementara dirinya di lantai tiga. Itu semakin menciptakan jarak antar keduanya. "Iya, kan? Awalnya aku tidak percaya. Apa sih kehebatan dia sampai bos besar mau dengannya? Secara, fisiknya saja tak menarik! Tubuhnya kurus macam orang penyakitan, mukanya kucal sepe