Home / Romansa / Kontrak Jodoh Sang Penari / Buku Harian Berdebu

Share

Buku Harian Berdebu

Author: Lyv
last update Huling Na-update: 2025-10-03 21:15:51

"Jika kau mengharapkan saya jatuh cinta padamu, kau sebaiknya tahu sekarang juga, saya tidak punya hati untuk diberikan. Kau hanya pelindung aset. Dan mari kita lihat berapa lama, pelindung yang cantik, kau akan bertahan sebelum kau menyadari bahwa Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil dibandingkan hidup di neraka yang beku ini, menunggu waktu habis, menunggu kematian spiritual, Kirana."

Baskara Adiwangsa tidak menyelesaikan ancamannya, seolah-olah menyadari bahwa kata-kata terakhir itu harus disimpan di dalam benteng logikanya yang kejam. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara keras, meninggalkan Kirana berdiri sendirian di tengah suite penthouse yang terasa sebesar dan sedingin Jakarta sendiri.

Keheningan yang tersisa di ruangan itu terasa menghina.

Kirana menarik napas dalam-dalam, memaksakan udara dingin yang kaya kondensasi AC memasuki paru-parunya. Ia mengenakan gaun sutra yang membelit pinggangnya seperti tali simpul, hadiah dari Baskara, yang terasa seperti seragam alih-alih pakaian pernikahan. Tugasnya kini jelas: ia adalah perisai. Ia adalah penangkal kutukan yang dianggapnya takhayul, dan aset yang harus dilindungi.

Bagi Baskara, pernikahan ini adalah masalah kontrak, neraca, dan citra publik. Bagi Kirana, ini adalah beban spiritual yang lebih berat daripada krisis finansial keluarganya di Keraton. Ia tidak hanya menikah, ia telah menukar jiwanya dengan harapan kelangsungan hidup tradisi.

Sore itu, setelah menyelesaikan makan malam yang disajikan oleh koki yang sunyi dan tanpa interaksi apa pun dengan Baskara yang sibuk menelepon tentang bursa saham di ruang kerjanya, Kirana memutuskan untuk melakukan tugas pertamanya. Ia harus mengetahui apa yang Baskara lindungi.

Malam telah larut, dan lampu kota berkilauan di luar jendela setinggi langit-langit. Kirana menyalakan senter teleponnya dan menuju area penyimpanan warisan keluarga, sebuah ruangan yang tercantum dalam dokumen pra-nikah sebagai 'Gudang Pusaka Adiwangsa'.

Gudang itu terletak di sayap tersembunyi penthouse, dilindungi oleh pintu baja sederhana yang membutuhkan kode digital yang diberikan oleh Baskara. Ketika Kirana membukanya, ia disambut oleh aroma apak yang tebal dan kontras yang tajam.

Di luar, ada modernitas yang tajam dan tak bernyawa. Di dalam, ada sejarah yang berdebu dan berbisik.

Ruangan itu dipenuhi peti kayu jati, kain batik usang yang terlipat rapi, dan beberapa lukisan leluhur dalam bingkai berornamen yang seharusnya tergantung di dinding galeri, tetapi di sini hanya tersimpan seperti barang rongsokan yang dilupakan.

Kirana, yang dibesarkan untuk menghormati setiap jejak leluhur, tidak tahan melihat pusaka-pusaka ini diperlakukan seperti beban. Ia mulai menyentuh setiap benda dengan hati-hati, membersihkan debu tipis yang menutupi permukaan peti.

“Aku harus menginventarisasi,” bisiknya pada dirinya sendiri, seolah membenarkan tindakannya. “Ini tugasku sebagai pelindung aset.”

Di salah satu peti tua yang terbuat dari kayu ulin, Kirana menemukan tumpukan buku yang terikat pita yang rapuh. Sebagian besar adalah buku catatan keuangan yang tidak menarik, tetapi di bagian bawah, tersembunyi di bawah selembar stagen (kain korset Jawa) tua, ia menemukan sebuah buku.

Buku itu kecil, dijilid dengan kulit kusam, dan tidak memiliki judul. Tidak seperti buku-buku lain, buku ini tidak memiliki label inventaris. Kirana merasakannya. Dingin. Seolah-olah menyimpan energi yang telah lama tertidur.

Ia membawanya keluar dari gudang, kembali ke cahaya yang lebih terang di ruang tengah.

Kirana membuka halaman pertama. Tulisan tangan di dalamnya halus dan kuno, ditulis dengan tinta yang memudar, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kromo yang ia kenali. Itu adalah catatan harian.

|{3 Suro, Tahun 1898. Tanah Jawa bergetar dengan janji dan ketamakan.}|

Kirana mulai membaca, dan ketenangan yang ia jaga sejak tiba di Jakarta perlahan terkikis oleh horor yang dingin.

Ini bukan sekadar buku harian leluhur. Itu adalah kronik kutukan.

Penulisnya, yang hanya dikenal sebagai Gusti Nadia Prameswari, adalah pengantin pertama yang dijodohkan dengan garis keturunan Adiwangsa. Ia menulis detail yang tidak pernah berani dibicarakan oleh penasihat spiritual Kirana dengan jelas.

Perjanjian itu bukan hanya tentang perlindungan finansial, itu adalah ritual pengekangan. Garis keturunan Adiwangsa telah dirasuki oleh energi Cakra yang sangat kuat, warisan spiritual kuno yang, jika tidak disalurkan dengan benar melalui ikatan yang tulus, akan bermanifestasi sebagai kutukan: kegagalan, kehancuran, dan akhirnya kegilaan.

Kirana membalik halaman demi halaman. Ia melihat nama-nama, tanggal-tanggal, dan serangkaian kegagalan bisnis yang luar biasa, diikuti oleh kepergian misterius atau kematian mendadak. Semua insiden ini terjadi dalam siklus lima tahun.

Lalu ia menemukan paragraf yang ditulis dengan goresan tinta yang lebih tergesa-gesa dan penuh ketakutan:

|{Ramalan itu harus diindahkan. Energi ini menuntut kebenaran. Lima tahun. Jika tidak ada benih cinta sejati yang ditanam dalam kurun waktu itu, Energi Cakra akan mencari wadah lain, wadah yang penuh kebencian dan kekecewaan, untuk menjadi penguasa baru. Wadah yang gelap akan naik, dan akan menghancurkan sang pewaris sah dari dalam.}|

Kirana menelan ludah. Lima tahun. Baskara telah memberinya lima tahun, yang ia sebut 'waktu kontrak', sebelum mereka bisa bercerai tanpa merusak reputasi. Bukan waktu untuk cinta sejati, melainkan waktu untuk pertunjukan yang sempurna.

Tetapi catatan Gusti Nadia Prameswari menunjukkan bahwa lima tahun itu bukanlah batas waktu hukum; itu adalah batas waktu spiritual.

Dan kemudian, yang paling menakutkan, Gusti Nadia Prameswari menulis tentang ancaman internal. Ia telah merasakan ketidakseimbangan, sesuatu yang terbelah dalam jiwa pewarisnya.

|{Aku melihat bayangan. Sang Pewaris Agung tidak sendirian. Ada gema, separuh jiwa yang dibuang, separuh jiwa yang diabaikan. Jika Sang Cakra Ganda muncul sebelum ikatan itu murni, yang tersisa hanyalah bayangan kematian. Dia, yang dibuang dan kini dipenuhi dendam, akan mengambil kunci dan menggunakan kekuatan Cakra untuk tujuan destruktif.}|

Kirana menjatuhkan buku itu seolah buku itu terbakar.

Rangga. Baskara telah menyebutnya: “Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil.”

Baskara tahu tentang kembarannya. Dia tahu ada 'wadah gelap' yang mungkin muncul, yang telah dibuang, dan yang memegang kunci kekacauan. Ancaman terkecil? Tidak. Jika catatan ini benar, Rangga adalah ancaman terbesar bagi segalanya.

Semua yang Baskara katakan tentang menjadi pelindung aset dan menjaga citra publik hanyalah fasad tebal. Baskara tidak hanya takut pada kebangkrutan; ia takut pada kiamat spiritual yang akan datang, dipimpin oleh saudara kembarnya sendiri yang mungkin didorong oleh kebencian.

Kirana mengambil kembali buku itu, tangannya gemetar. Ia telah memasuki pernikahan kontrak yang hanya ia anggap sebagai pengorbanan finansial. Kini ia menyadari, ini adalah garis depan perang spiritual yang harus dimenangkan dalam lima tahun, dengan satu-satunya senjata yang ia dan Baskara tidak miliki: cinta sejati.

Tiba-tiba, keheningan penthouse modern itu pecah.

Bukan suara telepon atau suara mobil di jalan. Itu adalah suara di dalam rumah. Suara gesekan yang sangat pelan, seperti sepatu kulit yang bergeser di atas lantai marmer di dekat lorong yang menuju ke Gudang Pusaka.

Kirana membeku, tubuhnya kaku seperti penari di tengah gerakan. Jantungnya berdebar kencang, menggema di telinganya. Apakah Baskara selesai dengan panggilannya?

Tidak. Langkah kaki itu terlalu berhati-hati, terlalu lambat. Itu terdengar seperti langkah mengendap-endap yang terhenti tepat di balik sudut, mengawasi.

Dia memegang Buku Harian Berdebu itu erat-erat di dadanya, mencium bau sejarah dan malapetaka. Dalam sepersekian detik, ia menyadari bahwa ancaman yang baru saja ia baca di kertas kuno itu mungkin tidak berasal dari masa lalu.

Ancaman itu mungkin sudah ada di sini. Sekarang.

Kirana mendengar derit yang nyaris tak terdengar saat pintu baja Gudang Pusaka terbuka sedikit, cukup untuk menciptakan celah bayangan hitam di lorong. Dia tidak bisa melihat siapa itu, tetapi dia bisa merasakan hawa dingin yang tiba-tiba, sedingin es.

Bukan dingin AC. Dingin yang ... tidak wajar.

Kirana segera menyambar lampu meja di dekatnya, siap menggunakannya sebagai senjata tumpul jika perlu. Ia harus menyembunyikan buku ini.

Bayangan di celah pintu itu bergerak.

Dan ia mendengar suara yang sangat rendah, seperti gumaman berbisik yang diseret angin, mengucapkan satu kata yang membuat darahnya membeku di nadinya. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Kehadiran Retno

    "Anggap itu pelajaran sejarah yang menarik," katanya, suaranya kembali datar, dingin, final. "Sekarang, aku punya pekerjaan. Kau bisa kembali ke kegiatanmu. Dan jangan pernah lagi membahas takhayul itu di hadapanku, Kirana. Jangan pernah ...."Suara Baskara tercekat, bukan karena keinginan hatinya, melainkan oleh deringan ponselnya yang memekakkan telinga. Nadanya, melodi klasik yang dulu pernah didengar Kirana dalam konser-konser simfoni, terdengar anehnya ironis di tengah ketegangan beku yang baru saja menggantung di antara mereka.Baskara menarik napas tajam, ekspresinya kembali pada topeng dingin yang dikenalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, melirik layar sekilas, lalu berbalik memunggungi Kirana tanpa sepatah kata pun. Diskusi itu, tentang ramalan, kutukan, dan segala hal yang tak bisa ia ukur dengan angka, dianggapnya selesai.Kirana berdiri terpaku di tengah ruang tamu minimalis yang terasa kian asing baginya. Jantungnya masih berdebar-debar karena amarah yang ia ta

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Kontras Dua Dunia

    "Kunci ... untuk mengangkat kutukan ini terletak pada persatuan dua jiwa yang melampaui darah, diikat oleh restu leluhur dan cinta tanpa syarat."Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat di buku harian kuno itu, ditulis dengan tinta yang memudar namun terasa begitu nyata, adalah tamparan dingin di wajahnya. Perjanjian. Kutukan. Cinta Sejati. Kata-kata yang terdengar seperti dongeng kuno, kini mengikat nasibnya dan Baskara, lelaki yang bahkan tidak mengenalnya, yang ia nikahi karena paksaan.Dia menelusuri baris-baris terakhir paragraf itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran aneh seolah energi purba merembes dari halaman kertas yang rapuh. Lima tahun. Mereka punya waktu lima tahun untuk menemukan 'cinta sejati' itu, atau garis keturunan Adiwangsa akan hancur, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara spiritual. Kirana, yang selalu tumbuh dalam keyakinan akan hal-hal tak kasat mata, tahu ini bukan sekadar metafora. Ini ada

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Buku Harian Berdebu

    "Jika kau mengharapkan saya jatuh cinta padamu, kau sebaiknya tahu sekarang juga, saya tidak punya hati untuk diberikan. Kau hanya pelindung aset. Dan mari kita lihat berapa lama, pelindung yang cantik, kau akan bertahan sebelum kau menyadari bahwa Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil dibandingkan hidup di neraka yang beku ini, menunggu waktu habis, menunggu kematian spiritual, Kirana."Baskara Adiwangsa tidak menyelesaikan ancamannya, seolah-olah menyadari bahwa kata-kata terakhir itu harus disimpan di dalam benteng logikanya yang kejam. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara keras, meninggalkan Kirana berdiri sendirian di tengah suite penthouse yang terasa sebesar dan sedingin Jakarta sendiri.Keheningan yang tersisa di ruangan itu terasa menghina.Kirana menarik napas dalam-dalam, memaksakan udara dingin yang kaya kondensasi AC memasuki paru-parunya. Ia mengenakan gaun sutra yang membelit pinggangnya seperti tali simpul, hadiah dari Baskara, yang terasa seperti

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Surat Kontrak

    "Ia akan datang mengambil Jimat Cakra, dan menggunakan energi yang dilepaskan kutukan untuk menghancurkan kalian berdua. Jika lima tahun berakhir tanpa cinta, maka kau akan menghadapi kembaran Baskara yang diisi dengan kebencian, Rangga. Dan, menurut ramalan terakhir yang kuterima, ia telah berada di sana."Suara Gus Jaya yang serak terputus. Bukan karena disengaja, melainkan karena panggilan telepon yang terpotong tiba-tiba oleh suara statis, meninggalkan Kirana Ayu Kencana dalam keheningan yang dingin, hanya beberapa jam sebelum hidupnya berubah selamanya.Ia memegang ponsel kunonya erat-erat, seolah kata-kata terakhir yang menggantung itu menandakan bahwa kembaran Baskara yang haus dendam, Rangga, sudah berada ‘di sana’ dengan merayap kembali melalui serat optik. Ia berada di ruang ganti kecil di luar aula resepsi sipil di Jakarta, jauh dari Keraton yang hangat dan berbau dupa, tempat di mana ancaman spiritual terasa nyata dan akrab. Di sini, di balik dinding-dinding berlapis marme

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Tarian Terakhir

    Alunan gamelan terdengar sayup, tapi bagi Kirana, yang bergema hanyalah detak jantungnya sendiri. Bukan lagi tentang kesempurnaan gerak, bukan pula tentang penonton yang menatap. Ini adalah tentang sebuah janji yang harus dituntaskan, sebuah persembahan untuk semua yang akan ia tinggalkan di sini.Kirana menekan punggung telapak tangan ke dahi. Keringat yang bercampur bedak dingin keraton membaur, perih di sudut matanya, tetapi ia tidak boleh berkedip, tidak boleh berhenti. Ini adalah tarian terakhir di lantai kayu penuh kenangan ini.Ia sedang membawakan Bedhaya Sembilan Bidadari, tarian sakral yang menuntut kesempurnaan batin dan keselarasan spiritual. Gerakannya, halus seperti air dan kuat seperti akar pohon beringin, menceritakan kisah perjuangan antara kehendak dewa dan takdir manusia. Namun, untuk Kirana Ayu Kencana, 24 tahun, tarian itu bukan lagi narasi mitologi; itu adalah pengorbanan dirinya.Lima bulan yang lalu, ramalan kuno yang selalu dianggap dongeng oleh generasi muda

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status