LOGIN"Ia akan datang mengambil Jimat Cakra, dan menggunakan energi yang dilepaskan kutukan untuk menghancurkan kalian berdua. Jika lima tahun berakhir tanpa cinta, maka kau akan menghadapi kembaran Baskara yang diisi dengan kebencian, Rangga. Dan, menurut ramalan terakhir yang kuterima, ia telah berada di sana."
Suara Gus Jaya yang serak terputus. Bukan karena disengaja, melainkan karena panggilan telepon yang terpotong tiba-tiba oleh suara statis, meninggalkan Kirana Ayu Kencana dalam keheningan yang dingin, hanya beberapa jam sebelum hidupnya berubah selamanya.
Ia memegang ponsel kunonya erat-erat, seolah kata-kata terakhir yang menggantung itu menandakan bahwa kembaran Baskara yang haus dendam, Rangga, sudah berada ‘di sana’ dengan merayap kembali melalui serat optik. Ia berada di ruang ganti kecil di luar aula resepsi sipil di Jakarta, jauh dari Keraton yang hangat dan berbau dupa, tempat di mana ancaman spiritual terasa nyata dan akrab. Di sini, di balik dinding-dinding berlapis marmer dan cermin minimalis yang tak berjiwa, ancaman itu terasa konyol, seolah ia hanya mengkhawatirkan cerita hantu yang diceritakan di pedesaan.
“Nona Kirana, lima menit lagi,” suara seorang asisten berbisik dari balik pintu, terdengar seperti robot yang tidak sabar.
Kirana menghela napas, merapikan kebaya putih modern yang ia kenakan. Ia tampak anggun, tetapi gaun itu terasa seperti pengekangan; ia merindukan kain yang bergerak bebas, yang merespons setiap tarikan napas, bukan yang memaksanya menjadi patung yang ramping dan tidak fleksibel. Ia merindukan bau cendana, bukan bau deterjen kimia dan parfum mahal yang menyengat.
Perjanjian itu telah ditandatangani di atas meja kayu solid yang mahal dan kaku, tanpa musik, tanpa tawa, dan yang terpenting, tanpa janji yang didasari hasrat. Itu hanyalah pertemuan antara dua entitas korporat: garis keturunan Adiwangsa yang membutuhkan penangkal spiritual, dan keluarga Kencana yang membutuhkan likuiditas untuk menyelamatkan warisan budaya mereka.
Baskara Adiwangsa berdiri di sisinya saat mereka bertukar cincin, simbol tanpa makna yang terasa berat di jarinya. Baskara, dengan setelan jas abu-abu yang presisi dan tatapan mata yang hanya melihat angka dan logika, tidak pernah sedetik pun menatap matanya. Ia hanya memandang lurus ke depan, ke arah notaris, dan kemudian ke jam tangannya seolah-olah penandatanganan ini adalah kerugian waktu yang perlu ditoleransi sebelum kembali ke rapat dewan.
"Lima tahun," gumam Baskara padanya saat mereka berjalan keluar, tangannya yang dingin berada di punggung Kirana, sentuhan yang hanya bersifat teritorial, bukan intim. "Itu adalah batas waktu, Kirana. Setelah itu, kita bebas, entah berhasil atau tidak."
Kirana merasakan sakit di perutnya. Ia telah tahu ini adalah pernikahan kontrak, tetapi mendengar Baskara menggarisbawahi kebebasan yang mereka nanti-nantikan terasa seperti sebuah penghinaan.
***
Perpindahan dari kemegahan Keraton yang berusia ratusan tahun ke rumah modern Baskara di kawasan elite Jakarta terasa seperti Kirana melangkah ke dunia yang terbalik.
Rumah itu adalah simfoni dari kaca, baja, dan marmer. Tidak ada ukiran kayu yang rumit, tidak ada aroma melati yang lembut, tidak ada sudut untuk berdoa. Yang ada hanyalah garis-garis bersih, minimalis, dan teknologi canggih yang merespons setiap perintah suara. Dingin dan steril, seperti laboratorium.
Saat Kirana melangkah masuk, keheningan rumah itu begitu tebal sehingga terasa memekakkan telinga. Baskara tidak menawarkan tur. Ia memanggil kepala pelayan, yang juga sama dingin dan efisiennya, yang menunjukkan Kirana kamar pribadinya.
“Ini adalah Sayap Barat, Nona,” kata kepala pelayan itu tanpa emosi. “Kamar utama Tuan Baskara ada di ujung koridor timur. Ada pemisah kedap suara di antara kedua sayap. Kami telah menyiapkan satu set pakaian modern di lemari, sesuai dengan ukuran Nona.”
Itu adalah kamar yang sangat besar, lebih besar dari seluruh paviliunnya di Keraton, tetapi kamar itu terasa hampa. Jendela setinggi langit-langit menyajikan pemandangan kolam renang tak bertepi dan cakrawala Jakarta yang kabur oleh polusi. Kirana menyentuh seprai sutra yang mewah, tetapi ia mendambakan tikar pandan dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah.
Beberapa menit kemudian, Baskara masuk tanpa mengetuk. Ia mengenakan kaus polo dan celana pendek, pakaian santai yang tidak mengurangi aura otoritasnya.
"Kita perlu menetapkan beberapa aturan," katanya langsung, melempar selembar kertas tebal di atas meja nakas. "Itu adalah NDA (Non-Disclosure Agreement) yang telah ditandatangani pengacara kita. Bagian yang penting adalah: Kau tidak akan membahas tentang masa lalu keluarga Adiwangsa di depan umum, atau hal-hal yang tidak masuk akal seperti 'kutukan' atau 'Jimat Cakra'."
Kirana menelan ludah. "Saya mengerti. Saya akan menjaga citra kita."
"Bukan citra kita," koreksi Baskara tajam. "Citra saya. Di depan umum, kau adalah istri saya yang manis dan tradisional, aset budaya yang dibutuhkan perusahaan untuk menenangkan investor lama yang konservatif. Di rumah, kau adalah ... rekan kerja, yang kebetulan tinggal di kamar sebelah."
"Dan tugas saya?" tanya Kirana, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya berdenyut.
"Tugasmu adalah ada," jawab Baskara, menyandarkan diri di bingkai pintu, tangannya terlipat di dada. Ia memindai Kirana dari kepala hingga kaki, penilaian seorang CEO terhadap aset yang baru diakuisisi. "Jaga kesehatanmu. Jaga pikiranmu tetap tenang. Keluarga saya percaya bahwa kehadiranmu, dengan garis keturunan Keraton yang murni, berfungsi sebagai penangkal energi negatif. Selama perusahaan tetap stabil, kau melakukan pekerjaanmu."
"Dan jika perusahaan goyah?"
Baskara menyeringai sinis. "Maka itu membuktikan bahwa tradisi dan takhayul kuno tidak ada gunanya sama sekali, dan aku akan membatalkan pernikahan ini dan menerima kerugian finansial."
Kejam, tetapi jujur. Kirana mengangguk. "Saya tidak akan menjadi beban, Baskara."
"Bagus," ia menghela napas, seolah Kirana baru saja lulus wawancara kerja yang membosankan. "Jadwal harianmu ada di iPad yang kutinggalkan di sana. Ada pelajaran bahasa Inggris untuk mengasah aksenmu, kelas etiket sosialita, dan pelatih kebugaran. Saya harap kau tidak berniat menghabiskan lima tahun di sini hanya untuk ... menari di kamar ini, bukan?"
Kata-kata 'menari' diucapkan dengan sedikit ejekan. Tarian, bagi Kirana, adalah napasnya, spiritualitasnya, doanya. Mendengar Baskara meremehkannya terasa seperti menampar wajah leluhurnya.
"Saya akan beradaptasi," balas Kirana dingin, suaranya tetap terkontrol.
Baskara mendorong dirinya menjauh dari pintu dan melangkah ke tengah ruangan. Tiba-tiba, ia berdiri sangat dekat, terlalu dekat. Kirana bisa mencium aroma kayu cendana mahal dari cologne-nya, ironisnya, wewangian yang mirip dengan yang ia kenal di Keraton, tetapi disajikan dalam kemasan modern yang dingin.
“Kau tahu, Kirana,” bisik Baskara, suaranya kini lebih pelan, lebih berbahaya. “Aku bisa saja menikahi Retno, mantan tunanganku. Ia setidaknya mengerti dunia bisnis dan tidak membawa koper berisi cerita hantu kuno. Tetapi ternyata, untuk tugas yang satu ini, hanya darah Keraton sepertimu yang memenuhi kualifikasi.”
Ia melangkah mundur, matanya beralih ke jam tangan mahalnya, mengabaikan Kirana sepenuhnya lagi.
"Jangan salah paham, Nona Kirana," katanya, suaranya sedingin marmer di kaki mereka. "Tujuan pernikahan ini adalah untuk melumpuhkan kutukan yang tidak masuk akal itu. Tapi lima tahun bukanlah waktu yang lama. Kita punya waktu kurang dari 1.825 hari untuk secara meyakinkan menghasilkan apa yang leluhurku sebut 'cinta sejati', sebuah emosi yang bagi saya, tidak ada bedanya dengan mitos."
Baskara menoleh, pandangannya tajam dan menghina.
"Anggap itu pelajaran sejarah yang menarik," katanya, suaranya kembali datar, dingin, final. "Sekarang, aku punya pekerjaan. Kau bisa kembali ke kegiatanmu. Dan jangan pernah lagi membahas takhayul itu di hadapanku, Kirana. Jangan pernah ...."Suara Baskara tercekat, bukan karena keinginan hatinya, melainkan oleh deringan ponselnya yang memekakkan telinga. Nadanya, melodi klasik yang dulu pernah didengar Kirana dalam konser-konser simfoni, terdengar anehnya ironis di tengah ketegangan beku yang baru saja menggantung di antara mereka.Baskara menarik napas tajam, ekspresinya kembali pada topeng dingin yang dikenalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, melirik layar sekilas, lalu berbalik memunggungi Kirana tanpa sepatah kata pun. Diskusi itu, tentang ramalan, kutukan, dan segala hal yang tak bisa ia ukur dengan angka, dianggapnya selesai.Kirana berdiri terpaku di tengah ruang tamu minimalis yang terasa kian asing baginya. Jantungnya masih berdebar-debar karena amarah yang ia ta
"Kunci ... untuk mengangkat kutukan ini terletak pada persatuan dua jiwa yang melampaui darah, diikat oleh restu leluhur dan cinta tanpa syarat."Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat di buku harian kuno itu, ditulis dengan tinta yang memudar namun terasa begitu nyata, adalah tamparan dingin di wajahnya. Perjanjian. Kutukan. Cinta Sejati. Kata-kata yang terdengar seperti dongeng kuno, kini mengikat nasibnya dan Baskara, lelaki yang bahkan tidak mengenalnya, yang ia nikahi karena paksaan.Dia menelusuri baris-baris terakhir paragraf itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran aneh seolah energi purba merembes dari halaman kertas yang rapuh. Lima tahun. Mereka punya waktu lima tahun untuk menemukan 'cinta sejati' itu, atau garis keturunan Adiwangsa akan hancur, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara spiritual. Kirana, yang selalu tumbuh dalam keyakinan akan hal-hal tak kasat mata, tahu ini bukan sekadar metafora. Ini ada
"Jika kau mengharapkan saya jatuh cinta padamu, kau sebaiknya tahu sekarang juga, saya tidak punya hati untuk diberikan. Kau hanya pelindung aset. Dan mari kita lihat berapa lama, pelindung yang cantik, kau akan bertahan sebelum kau menyadari bahwa Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil dibandingkan hidup di neraka yang beku ini, menunggu waktu habis, menunggu kematian spiritual, Kirana."Baskara Adiwangsa tidak menyelesaikan ancamannya, seolah-olah menyadari bahwa kata-kata terakhir itu harus disimpan di dalam benteng logikanya yang kejam. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara keras, meninggalkan Kirana berdiri sendirian di tengah suite penthouse yang terasa sebesar dan sedingin Jakarta sendiri.Keheningan yang tersisa di ruangan itu terasa menghina.Kirana menarik napas dalam-dalam, memaksakan udara dingin yang kaya kondensasi AC memasuki paru-parunya. Ia mengenakan gaun sutra yang membelit pinggangnya seperti tali simpul, hadiah dari Baskara, yang terasa seperti
"Ia akan datang mengambil Jimat Cakra, dan menggunakan energi yang dilepaskan kutukan untuk menghancurkan kalian berdua. Jika lima tahun berakhir tanpa cinta, maka kau akan menghadapi kembaran Baskara yang diisi dengan kebencian, Rangga. Dan, menurut ramalan terakhir yang kuterima, ia telah berada di sana."Suara Gus Jaya yang serak terputus. Bukan karena disengaja, melainkan karena panggilan telepon yang terpotong tiba-tiba oleh suara statis, meninggalkan Kirana Ayu Kencana dalam keheningan yang dingin, hanya beberapa jam sebelum hidupnya berubah selamanya.Ia memegang ponsel kunonya erat-erat, seolah kata-kata terakhir yang menggantung itu menandakan bahwa kembaran Baskara yang haus dendam, Rangga, sudah berada ‘di sana’ dengan merayap kembali melalui serat optik. Ia berada di ruang ganti kecil di luar aula resepsi sipil di Jakarta, jauh dari Keraton yang hangat dan berbau dupa, tempat di mana ancaman spiritual terasa nyata dan akrab. Di sini, di balik dinding-dinding berlapis marme
Alunan gamelan terdengar sayup, tapi bagi Kirana, yang bergema hanyalah detak jantungnya sendiri. Bukan lagi tentang kesempurnaan gerak, bukan pula tentang penonton yang menatap. Ini adalah tentang sebuah janji yang harus dituntaskan, sebuah persembahan untuk semua yang akan ia tinggalkan di sini.Kirana menekan punggung telapak tangan ke dahi. Keringat yang bercampur bedak dingin keraton membaur, perih di sudut matanya, tetapi ia tidak boleh berkedip, tidak boleh berhenti. Ini adalah tarian terakhir di lantai kayu penuh kenangan ini.Ia sedang membawakan Bedhaya Sembilan Bidadari, tarian sakral yang menuntut kesempurnaan batin dan keselarasan spiritual. Gerakannya, halus seperti air dan kuat seperti akar pohon beringin, menceritakan kisah perjuangan antara kehendak dewa dan takdir manusia. Namun, untuk Kirana Ayu Kencana, 24 tahun, tarian itu bukan lagi narasi mitologi; itu adalah pengorbanan dirinya.Lima bulan yang lalu, ramalan kuno yang selalu dianggap dongeng oleh generasi muda







