Share

Kontras Dua Dunia

Author: Lyv
last update Last Updated: 2025-10-03 21:33:35

"Kunci ... untuk mengangkat kutukan ini terletak pada persatuan dua jiwa yang melampaui darah, diikat oleh restu leluhur dan cinta tanpa syarat."

Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat di buku harian kuno itu, ditulis dengan tinta yang memudar namun terasa begitu nyata, adalah tamparan dingin di wajahnya. Perjanjian. Kutukan. Cinta Sejati. Kata-kata yang terdengar seperti dongeng kuno, kini mengikat nasibnya dan Baskara, lelaki yang bahkan tidak mengenalnya, yang ia nikahi karena paksaan.

Dia menelusuri baris-baris terakhir paragraf itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran aneh seolah energi purba merembes dari halaman kertas yang rapuh. Lima tahun. Mereka punya waktu lima tahun untuk menemukan 'cinta sejati' itu, atau garis keturunan Adiwangsa akan hancur, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara spiritual. Kirana, yang selalu tumbuh dalam keyakinan akan hal-hal tak kasat mata, tahu ini bukan sekadar metafora. Ini adalah takdir.

Dia menutup buku harian itu, debu kuno membubung tipis di udara senja yang menyelinap masuk melalui jendela gudang. Cahaya keemasan menerangi sampul usang yang dihiasi aksara Jawa kuno. Wajah Kirana pucat pasi. Ia memegang buku itu erat-erat di dadanya, seolah itu adalah jimat pelindung, atau justru bom waktu.

"Aku harus memberitahunya," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Pemberontak yang terpendam di dalam dirinya menuntut untuk disuarakan. Ini bukan lagi tentang kehancuran Keraton atau martabat keluarga Adiwangsa semata. Ini tentang hidup dan mati, jiwa dan raga.

Dengan kaki gemetar, Kirana meninggalkan gudang, memegang buku harian itu seolah itu adalah pusaka paling berharga. Ia menemukan Baskara di ruang kerjanya yang serba modern, penuh dengan layar monitor yang memancarkan grafik dan angka. Ruangan itu dingin, efisien, dan mencerminkan esensi dirinya: logis, pragmatis, tanpa celah untuk hal-hal yang tidak dapat diukur.

Baskara mendongak, matanya yang tajam menatap Kirana. Ekspresinya seperti biasa, datar dan tidak bisa ditebak. "Ada apa?" tanyanya, suaranya tanpa emosi, kembali menatap layarnya.

Kirana ragu sejenak, menelan ludah. "Baskara, aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting," katanya, mendekat ke meja kerja eksekutif itu, tangannya gemetar saat meletakkan buku harian kuno di atas tumpukan dokumen.

Baskara akhirnya mengalihkan pandangannya sepenuhnya dari layar, menatap buku itu, lalu ke Kirana dengan tatapan curiga. "Buku apa itu? Kau menghabiskan harimu membersihkan gudang hanya untuk menemukan ... ini?" Ada nada sarkasme yang samar dalam suaranya.

"Ini bukan sembarang buku." Kirana mencoba mempertahankan ketenangan, meskipun jantungnya berdetak seperti genderang perang. "Ini adalah buku harian leluhurmu. Di dalamnya, tertulis tentang perjanjian kuno keluarga Adiwangsa dan ... kutukan."

Senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibir Baskara. Senyum itu tidak mengandung humor, melainkan rasa geli yang menusuk. "Kutukan? Kirana, kita hidup di abad ke-21. Aku punya rapat dewan besok, bukan ritual perdukunan." Ia kembali melihat layarnya.

"Tapi, ini nyata, Baskara!" Kirana merasa amarah mulai mendidih. Bagaimana bisa ia begitu buta? "Ini menjelaskan mengapa keluarga Adiwangsa berada dalam masalah. Perjanjian yang dibuat kakek buyutmu, demi kekayaan dan kekuasaan, mengharuskan pewarisnya menemukan cinta sejati dalam pernikahan mereka dalam lima tahun, atau segalanya akan hancur."

Baskara memutar kursinya, menatap Kirana sepenuhnya sekarang, dengan tatapan yang bisa membekukan. "Kirana, dengar. Aku tahu kau tumbuh di lingkungan yang penuh dengan takhayul dan dongeng. Tapi ini Jakarta. Dunia nyata. Perusahaan Adiwangsa sedang kesulitan karena strategi investasi yang salah, bukan karena 'kutukan' atau 'cinta sejati' yang kau sebutkan." Ia mengambil buku harian itu dengan dua jari, seolah jijik, dan mendorongnya sedikit menjauh. "Ini hanyalah buku tua yang berdebu."

"Kau tidak mengerti!" Kirana tidak menyerah. "Di sini tertulis, jika gagal, kehancuran akan menimpa, bukan hanya harta, tapi juga jiwa. Ada tanda-tanda yang jelas disebutkan, kesulitan bisnis yang aneh, penyakit yang tidak dapat dijelaskan, dan..." Ia terdiam, teringat pada bagian tentang kegagalan pewaris sebelumnya.

"Dan apa?" Baskara mendesaknya, nada suaranya mengeras. "Penyakit? Bisnis? Itu semua adalah bagian dari kehidupan. Risiko yang harus dihadapi. Apakah kau pikir aku akan percaya bahwa semua masalahku karena aku tidak 'mencintai' istri kontrakku? Kau ini gila."

Kata-kata 'istri kontrak' itu menusuk Kirana lebih dalam dari yang ia kira. "Bukan itu maksudku! Ini lebih dari sekadar emosi romantis yang dangkal. Ini tentang persatuan jiwa, tentang komitmen yang tulus yang melampaui materi. Leluhurmu ... mereka percaya pada keseimbangan alam semesta."

Baskara tertawa. Bukan tawa gembira, melainkan tawa mencemooh yang dingin dan hampa. "Keseimbangan alam semesta? Apa berikutnya? Kau akan bilang aku harus menari Bedhaya di tengah ruang rapat agar sahamku naik?" Ia bangkit dari kursinya, berjalan mendekat. "Lihat, Kirana. Aku menghargai kau menemukan buku ini. Mungkin ini bisa dijual sebagai barang antik. Tapi jangan campurkan dongeng dengan kenyataan. Aku sudah terlalu banyak masalah untuk berurusan dengan omong kosong spiritualmu."

Kirana merasa dunia di sekelilingnya berputar. Ia tidak menyangka penolakannya akan sekeras ini. Ketidakpedulian Baskara terasa seperti dinding es yang tak tertembus. "Omong kosong spiritualku? Ini warisan leluhurmu! Mereka mencoba memperingatkanmu! Ini bukan tentang uang atau logikamu, ini tentang takdir yang lebih besar!"

"Takdir?" Baskara meludah, kata itu keluar dengan nada jijik. "Takdir itu aku yang ciptakan. Aku membangun Adiwangsa Group dengan tangan dan otakku, bukan dengan mantra atau tarian. Pernikahan ini, kau di sini, semuanya adalah kalkulasi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Bukan untuk mencari 'cinta sejati' yang tidak ada dan tidak pernah kuinginkan."

Ia mencondongkan tubuhnya, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Kirana. Matanya berkilat marah, atau mungkin ketakutan yang tersembunyi. "Aku menikahimu untuk nama baik, untuk menenangkan investor, dan untuk memenuhi 'kewajiban' konyol yang dipaksakan orang tuaku. Bukan karena ada ramalan kuno yang mengikatku pada takhayul. Jadi, berhentilah dengan khayalanmu dan fokus pada peranmu: menjadi istri yang tenang dan tidak menimbulkan masalah. Mengerti?"

Kirana menatap Baskara, matanya berkaca-kaca. Hatinya mencelos. Semua harapannya untuk bisa menjelaskan, untuk mencari jalan keluar bersama, hancur berkeping. Ia melihat tembok kokoh di depan matanya, tembok skeptisisme yang dibangun dari beton keras. Bagaimana ia bisa melawan itu? Bagaimana ia bisa membuat pria ini percaya pada sesuatu yang tidak dapat ia sentuh, lihat, atau hitung?

Baskara menjauh, kembali ke mejanya, dan mengambil buku harian kuno itu lagi. Kali ini, tanpa ragu, ia membuka laci meja kerjanya yang terkunci dan melemparkan buku itu ke dalamnya, lalu menguncinya rapat-rapat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Kehadiran Retno

    "Anggap itu pelajaran sejarah yang menarik," katanya, suaranya kembali datar, dingin, final. "Sekarang, aku punya pekerjaan. Kau bisa kembali ke kegiatanmu. Dan jangan pernah lagi membahas takhayul itu di hadapanku, Kirana. Jangan pernah ...."Suara Baskara tercekat, bukan karena keinginan hatinya, melainkan oleh deringan ponselnya yang memekakkan telinga. Nadanya, melodi klasik yang dulu pernah didengar Kirana dalam konser-konser simfoni, terdengar anehnya ironis di tengah ketegangan beku yang baru saja menggantung di antara mereka.Baskara menarik napas tajam, ekspresinya kembali pada topeng dingin yang dikenalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, melirik layar sekilas, lalu berbalik memunggungi Kirana tanpa sepatah kata pun. Diskusi itu, tentang ramalan, kutukan, dan segala hal yang tak bisa ia ukur dengan angka, dianggapnya selesai.Kirana berdiri terpaku di tengah ruang tamu minimalis yang terasa kian asing baginya. Jantungnya masih berdebar-debar karena amarah yang ia ta

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Kontras Dua Dunia

    "Kunci ... untuk mengangkat kutukan ini terletak pada persatuan dua jiwa yang melampaui darah, diikat oleh restu leluhur dan cinta tanpa syarat."Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat di buku harian kuno itu, ditulis dengan tinta yang memudar namun terasa begitu nyata, adalah tamparan dingin di wajahnya. Perjanjian. Kutukan. Cinta Sejati. Kata-kata yang terdengar seperti dongeng kuno, kini mengikat nasibnya dan Baskara, lelaki yang bahkan tidak mengenalnya, yang ia nikahi karena paksaan.Dia menelusuri baris-baris terakhir paragraf itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran aneh seolah energi purba merembes dari halaman kertas yang rapuh. Lima tahun. Mereka punya waktu lima tahun untuk menemukan 'cinta sejati' itu, atau garis keturunan Adiwangsa akan hancur, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara spiritual. Kirana, yang selalu tumbuh dalam keyakinan akan hal-hal tak kasat mata, tahu ini bukan sekadar metafora. Ini ada

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Buku Harian Berdebu

    "Jika kau mengharapkan saya jatuh cinta padamu, kau sebaiknya tahu sekarang juga, saya tidak punya hati untuk diberikan. Kau hanya pelindung aset. Dan mari kita lihat berapa lama, pelindung yang cantik, kau akan bertahan sebelum kau menyadari bahwa Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil dibandingkan hidup di neraka yang beku ini, menunggu waktu habis, menunggu kematian spiritual, Kirana."Baskara Adiwangsa tidak menyelesaikan ancamannya, seolah-olah menyadari bahwa kata-kata terakhir itu harus disimpan di dalam benteng logikanya yang kejam. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara keras, meninggalkan Kirana berdiri sendirian di tengah suite penthouse yang terasa sebesar dan sedingin Jakarta sendiri.Keheningan yang tersisa di ruangan itu terasa menghina.Kirana menarik napas dalam-dalam, memaksakan udara dingin yang kaya kondensasi AC memasuki paru-parunya. Ia mengenakan gaun sutra yang membelit pinggangnya seperti tali simpul, hadiah dari Baskara, yang terasa seperti

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Surat Kontrak

    "Ia akan datang mengambil Jimat Cakra, dan menggunakan energi yang dilepaskan kutukan untuk menghancurkan kalian berdua. Jika lima tahun berakhir tanpa cinta, maka kau akan menghadapi kembaran Baskara yang diisi dengan kebencian, Rangga. Dan, menurut ramalan terakhir yang kuterima, ia telah berada di sana."Suara Gus Jaya yang serak terputus. Bukan karena disengaja, melainkan karena panggilan telepon yang terpotong tiba-tiba oleh suara statis, meninggalkan Kirana Ayu Kencana dalam keheningan yang dingin, hanya beberapa jam sebelum hidupnya berubah selamanya.Ia memegang ponsel kunonya erat-erat, seolah kata-kata terakhir yang menggantung itu menandakan bahwa kembaran Baskara yang haus dendam, Rangga, sudah berada ‘di sana’ dengan merayap kembali melalui serat optik. Ia berada di ruang ganti kecil di luar aula resepsi sipil di Jakarta, jauh dari Keraton yang hangat dan berbau dupa, tempat di mana ancaman spiritual terasa nyata dan akrab. Di sini, di balik dinding-dinding berlapis marme

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Tarian Terakhir

    Alunan gamelan terdengar sayup, tapi bagi Kirana, yang bergema hanyalah detak jantungnya sendiri. Bukan lagi tentang kesempurnaan gerak, bukan pula tentang penonton yang menatap. Ini adalah tentang sebuah janji yang harus dituntaskan, sebuah persembahan untuk semua yang akan ia tinggalkan di sini.Kirana menekan punggung telapak tangan ke dahi. Keringat yang bercampur bedak dingin keraton membaur, perih di sudut matanya, tetapi ia tidak boleh berkedip, tidak boleh berhenti. Ini adalah tarian terakhir di lantai kayu penuh kenangan ini.Ia sedang membawakan Bedhaya Sembilan Bidadari, tarian sakral yang menuntut kesempurnaan batin dan keselarasan spiritual. Gerakannya, halus seperti air dan kuat seperti akar pohon beringin, menceritakan kisah perjuangan antara kehendak dewa dan takdir manusia. Namun, untuk Kirana Ayu Kencana, 24 tahun, tarian itu bukan lagi narasi mitologi; itu adalah pengorbanan dirinya.Lima bulan yang lalu, ramalan kuno yang selalu dianggap dongeng oleh generasi muda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status