Share

Kehadiran Retno

Author: Lyv
last update Last Updated: 2025-10-03 21:54:52

"Anggap itu pelajaran sejarah yang menarik," katanya, suaranya kembali datar, dingin, final. "Sekarang, aku punya pekerjaan. Kau bisa kembali ke kegiatanmu. Dan jangan pernah lagi membahas takhayul itu di hadapanku, Kirana. Jangan pernah ...."

Suara Baskara tercekat, bukan karena keinginan hatinya, melainkan oleh deringan ponselnya yang memekakkan telinga. Nadanya, melodi klasik yang dulu pernah didengar Kirana dalam konser-konser simfoni, terdengar anehnya ironis di tengah ketegangan beku yang baru saja menggantung di antara mereka.

Baskara menarik napas tajam, ekspresinya kembali pada topeng dingin yang dikenalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, melirik layar sekilas, lalu berbalik memunggungi Kirana tanpa sepatah kata pun. Diskusi itu, tentang ramalan, kutukan, dan segala hal yang tak bisa ia ukur dengan angka, dianggapnya selesai.

Kirana berdiri terpaku di tengah ruang tamu minimalis yang terasa kian asing baginya. Jantungnya masih berdebar-debar karena amarah yang ia tahan, perih karena penolakan Baskara yang begitu mutlak terhadap keyakinannya.

"Jangan pernah ..."

Kata-kata itu bergaung, mengukir janji pahit di benaknya. Seolah-olah, setelah sekian lama ia berusaha mencari pijakan di dunia Baskara yang serba modern dan pragmatis, kini ia dilarang untuk membawa sepotong pun dari dunianya sendiri. Ia dilarang membawa esensi Kirana Ayu Kencana yang sejati.

Beberapa jam kemudian, perasaan hampa itu masih mencengkeramnya saat ia duduk di depan meja rias.

"Mohon jangan menunduk, Nyonya," tegur seorang penata rias profesional yang sibuk mengubah wajahnya menjadi kanvas sempurna untuk malam itu.

"Oh, maaf," lirih Kirana.

Kirana ingat, Baskara telah memberitahunya dengan nada tanpa emosi bahwa mereka harus menghadiri Gala Amal Tahunan 'Adiwangsa Group', sebuah acara yang disebutnya 'penting untuk menjaga citra'. Kirana tahu itu artinya ia harus menjadi istri CEO yang sempurna, sebuah patung indah tanpa suara, yang kehadirannya hanya berfungsi sebagai penguat status Baskara di mata publik.

Saat gaun malam rancangan desainer terkenal itu membalut tubuhnya, Kirana merasa seperti orang lain. Kain sutra lembut yang meliuk elegan, potongan modern yang menonjolkan garis leher dan punggungnya yang anggun, semuanya terasa asing.

Di Keraton, ia hanya mengenakan kebaya atau kain jarit saat menari, pakaian yang merayakan kesederhanaan dan keanggunan alami. Sekarang, ia adalah Kirana versi yang disesuaikan, sebuah adaptasi yang terasa mencekik. Ia menatap pantulan dirinya, melihat wanita yang cantik, anggun, namun matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan.

Ketika Baskara menunggunya di kaki tangga, ia mengakui bahwa pria itu adalah perwujudan kesempurnaan seorang eksekutif muda. Setelan tuksedo gelap yang membalut tubuh atletisnya, rambut hitamnya yang tersisir rapi, dan sorot mata tajamnya yang selalu mengawasi, semuanya membentuk aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Namun, di balik itu, Kirana merasakan ada tembok yang lebih tinggi dan kokoh yang mengelilingi Baskara, tembok yang takkan pernah bisa ia tembus.

"Kau terlihat ..."

Baskara berhenti sejenak, menatap Kirana dari atas hingga bawah, matanya menyelidik. "... sesuai."

"Sesuai."

Kata-kata itu menusuk. Bukan cantik, bukan memukau, hanya sesuai. Sebuah aset yang memenuhi kriteria. Kirana menunduk, menyembunyikan kekecewaan yang tak perlu itu.

Perjalanan singkat menuju hotel mewah di pusat kota Jakarta terasa begitu panjang. Di dalam mobil, suasana hening yang sama kembali menyelimuti mereka. Kirana mencoba mencari topik, apa pun, tetapi setiap kata terasa terjebak di tenggorokannya.

"Acaranya ... akan ramai sekali, ya?" Kirana mencoba memecah keheningan.

"Seperti biasa," jawab Baskara singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya. Ia sesekali menghela napas, seolah ia sedang menghadapi masalah yang lebih besar daripada sekadar menghadiri acara sosialita yang ia sebut 'penting'.

"Apa ada ... seseorang yang penting yang harus kusapa secara khusus?"  tanyanya lagi, berusaha.

"Asistenku sudah mengirimkan daftarnya padamu. Cukup ikuti arahan saya nanti." 

Baskara menjawab tanpa jeda, seolah ia sedang menghadapi masalah yang lebih besar daripada sekadar menghadiri acara sosialita yang ia sebut 'penting'.

Ketika mereka tiba di ballroom, ratusan pasang mata langsung tertuju pada mereka. Kilatan lampu kamera berkedip tak henti. Kirana mengerti.

"Tersenyum, Kirana," bisik Baskara rendah di sisinya. "Semua mata tertuju pada kita." 

Inilah medan perang Baskara, tempat di mana reputasi dan kekuasaan dibangun melalui senyuman dan jabat tangan palsu. Ia menggenggam lengan Baskara, berusaha menampilkan senyum ramah yang ia pelajari dari pelajaran etiket singkat yang diberikan asisten Baskara.

"Kirana, istriku."Baskara memperkenalkan dirinya kepada para tamu penting, suaranya tenang dan terkontrol, nyaris tanpa emosi. "Dan Kirana, ini Tuan dan Nyonya Widjaja, mitra kita di proyek terbaru."

"Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Baskara," sapa Nyonya Widjaja ramah. "Anda sangat anggun." 

"Terima kasih, Nyonya. Anda juga," balas Kirana, berusaha agar senyumnya mencapai mata.

Kirana berusaha mengingat nama-nama itu, senyumnya terasa kaku di bibirnya. Percakapan mereka melayang di antara saham, investasi, dan tren pasar. Ia merasa seperti boneka yang diseret ke sana kemari, mengamati dari jauh, tanpa benar-benar memahami atau menjadi bagian dari dunia itu.

Aroma parfum mahal, suara tawa yang dibuat-buat, dan gemerlap perhiasan yang bersaing memperebutkan perhatian, semuanya menciptakan disonansi yang menekan jiwanya.

Di tengah keramaian yang menekan itu, tiba-tiba Kirana merasakan sebuah tatapan yang berbeda, lebih tajam, lebih dingin daripada tatapan ingin tahu yang lain. Ia mengangkat pandangannya, dan di seberang ruangan, berdiri seorang wanita berambut hitam panjang, terurai anggun di punggungnya yang terbuka dari gaun merah menyala yang ia kenakan. Wajahnya cantik, dengan tulang pipi tinggi dan bibir merah yang menyungging senyum tipis, nyaris mencemooh. Ia melambaikan tangan dengan anggun ke arah Baskara.

Kirana mengenali wanita itu dari foto-foto lama di kantor Baskara. Retno Puspanegara. Mantan tunangan Baskara.

Detik berikutnya, wanita itu sudah berada di hadapan mereka, meluncur mulus menembus kerumunan. Senyumnya semakin lebar, namun matanya memancarkan kilatan yang tak bersahabat.

"Baskara, sayang! Lama tak jumpa." Suaranya manja, namun ada nada yang mengiris di dalamnya. Ia memeluk Baskara singkat, mengabaikan Kirana sepenuhnya.

Baskara menanggapi dengan sopan namun kaku, "Retno. Kau juga hadir."

Retno menoleh pada Kirana, matanya menyapu penampilan Kirana dari ujung kaki hingga kepala, seolah Kirana adalah barang dagangan murahan di pasar malam. "Oh, jadi ini yang namanya Kirana. Baskara, kau tahu, aku hampir tidak mengenalimu. Sangat ... berbeda dari seleramu biasanya."

Ia memicingkan mata, seolah Kirana adalah teka-teki yang membingungkan. "Kudengar kau berasal dari kota kecil di Jawa, ya? Yogyakarta, bukan? Ah, aku selalu kagum dengan 'keaslian' itu. Cukup eksotis, kurasa, untuk sentuhan budaya di acara-acara perusahaan."

Kirana merasakan pipinya memanas. Kata-kata Retno, meskipun diucapkan dengan senyum manis, adalah tamparan telak. Eksotis, sentuhan budaya seolah-olah dirinya adalah hiasan, bukan manusia. Ia mencoba menguatkan dirinya, mengingat ajaran Gus Jaya tentang kebesaran jiwa. "Selamat malam, Nona Retno. Saya Kirana."

Retno mengedikkan bahu, tawa kecilnya terdengar meremehkan. "Nona? Oh, Astaga, Kirana. Setelah semua ini, aku kira kau akan dipanggil Nyonya. Atau ... apakah ini hanya sekadar proyek kolaborasi lain dari Adiwangsa Group? Sesuatu yang 'sementara', mungkin, untuk menenangkan investor lama yang terlalu percaya takhayul?"

Kata 'takhayul' itu terucap begitu santai, begitu ringan, namun menghantam Kirana seperti batu. Baskara, yang biasanya dingin dan tidak terbaca, kini mengencangkan rahangnya. Tatapannya pada Retno berubah menjadi lebih tajam.

"Retno, cukup." Suara Baskara rendah, tetapi ada ancaman terselubung di dalamnya.

Namun, Retno mengabaikannya. "Apa? Bukankah itu yang kau inginkan, Baskara? 'Perjanjian' itu. Aku tahu keluarga Adiwangsa selalu punya cara unik untuk menjaga 'keseimbangan' mereka. Terutama ketika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan uang." Retno tersenyum sinis, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kirana, berbisik cukup keras agar Baskara juga bisa mendengar.

"Hati-hati, sayang. Beberapa 'aset' keluarga ini ternyata datang dengan ... harga yang sangat tinggi. Beberapa bahkan datang dengan 'kutukan' yang tak bisa dibayar lunas dengan saham di pasar saham," lanjut Retno  

Baskara meraih lengan Kirana, matanya menatap Retno dengan amarah yang Kirana belum pernah lihat sebelumnya. Aura ruangan seketika berubah, semua pasang mata mulai memerhatikan.

Retno tersenyum puas, seolah ia telah berhasil menarik kawat tajam yang ia inginkan. Ia tahu telah melewati batas, tetapi rasa ingin tahu dan dendamnya mengalahkan akal sehat.

Dengan dramatis, ia membuka tas tangan mungilnya. "Oh, dan sebelum aku lupa, ada yang ingin kukembalikan pada Baskara. Mungkin kau akan membutuhkannya untuk proyek barumu ini."

Retno menarik sesuatu dari dalam tasnya. Benda kecil, terbuat dari perak tua, berbentuk seperti pusaran ombak yang rumit, disepuh dengan ukiran kuno yang tampak familiar dari buku harian. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Kehadiran Retno

    "Anggap itu pelajaran sejarah yang menarik," katanya, suaranya kembali datar, dingin, final. "Sekarang, aku punya pekerjaan. Kau bisa kembali ke kegiatanmu. Dan jangan pernah lagi membahas takhayul itu di hadapanku, Kirana. Jangan pernah ...."Suara Baskara tercekat, bukan karena keinginan hatinya, melainkan oleh deringan ponselnya yang memekakkan telinga. Nadanya, melodi klasik yang dulu pernah didengar Kirana dalam konser-konser simfoni, terdengar anehnya ironis di tengah ketegangan beku yang baru saja menggantung di antara mereka.Baskara menarik napas tajam, ekspresinya kembali pada topeng dingin yang dikenalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, melirik layar sekilas, lalu berbalik memunggungi Kirana tanpa sepatah kata pun. Diskusi itu, tentang ramalan, kutukan, dan segala hal yang tak bisa ia ukur dengan angka, dianggapnya selesai.Kirana berdiri terpaku di tengah ruang tamu minimalis yang terasa kian asing baginya. Jantungnya masih berdebar-debar karena amarah yang ia ta

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Kontras Dua Dunia

    "Kunci ... untuk mengangkat kutukan ini terletak pada persatuan dua jiwa yang melampaui darah, diikat oleh restu leluhur dan cinta tanpa syarat."Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat di buku harian kuno itu, ditulis dengan tinta yang memudar namun terasa begitu nyata, adalah tamparan dingin di wajahnya. Perjanjian. Kutukan. Cinta Sejati. Kata-kata yang terdengar seperti dongeng kuno, kini mengikat nasibnya dan Baskara, lelaki yang bahkan tidak mengenalnya, yang ia nikahi karena paksaan.Dia menelusuri baris-baris terakhir paragraf itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran aneh seolah energi purba merembes dari halaman kertas yang rapuh. Lima tahun. Mereka punya waktu lima tahun untuk menemukan 'cinta sejati' itu, atau garis keturunan Adiwangsa akan hancur, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara spiritual. Kirana, yang selalu tumbuh dalam keyakinan akan hal-hal tak kasat mata, tahu ini bukan sekadar metafora. Ini ada

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Buku Harian Berdebu

    "Jika kau mengharapkan saya jatuh cinta padamu, kau sebaiknya tahu sekarang juga, saya tidak punya hati untuk diberikan. Kau hanya pelindung aset. Dan mari kita lihat berapa lama, pelindung yang cantik, kau akan bertahan sebelum kau menyadari bahwa Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil dibandingkan hidup di neraka yang beku ini, menunggu waktu habis, menunggu kematian spiritual, Kirana."Baskara Adiwangsa tidak menyelesaikan ancamannya, seolah-olah menyadari bahwa kata-kata terakhir itu harus disimpan di dalam benteng logikanya yang kejam. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara keras, meninggalkan Kirana berdiri sendirian di tengah suite penthouse yang terasa sebesar dan sedingin Jakarta sendiri.Keheningan yang tersisa di ruangan itu terasa menghina.Kirana menarik napas dalam-dalam, memaksakan udara dingin yang kaya kondensasi AC memasuki paru-parunya. Ia mengenakan gaun sutra yang membelit pinggangnya seperti tali simpul, hadiah dari Baskara, yang terasa seperti

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Surat Kontrak

    "Ia akan datang mengambil Jimat Cakra, dan menggunakan energi yang dilepaskan kutukan untuk menghancurkan kalian berdua. Jika lima tahun berakhir tanpa cinta, maka kau akan menghadapi kembaran Baskara yang diisi dengan kebencian, Rangga. Dan, menurut ramalan terakhir yang kuterima, ia telah berada di sana."Suara Gus Jaya yang serak terputus. Bukan karena disengaja, melainkan karena panggilan telepon yang terpotong tiba-tiba oleh suara statis, meninggalkan Kirana Ayu Kencana dalam keheningan yang dingin, hanya beberapa jam sebelum hidupnya berubah selamanya.Ia memegang ponsel kunonya erat-erat, seolah kata-kata terakhir yang menggantung itu menandakan bahwa kembaran Baskara yang haus dendam, Rangga, sudah berada ‘di sana’ dengan merayap kembali melalui serat optik. Ia berada di ruang ganti kecil di luar aula resepsi sipil di Jakarta, jauh dari Keraton yang hangat dan berbau dupa, tempat di mana ancaman spiritual terasa nyata dan akrab. Di sini, di balik dinding-dinding berlapis marme

  • Kontrak Jodoh Sang Penari   Tarian Terakhir

    Alunan gamelan terdengar sayup, tapi bagi Kirana, yang bergema hanyalah detak jantungnya sendiri. Bukan lagi tentang kesempurnaan gerak, bukan pula tentang penonton yang menatap. Ini adalah tentang sebuah janji yang harus dituntaskan, sebuah persembahan untuk semua yang akan ia tinggalkan di sini.Kirana menekan punggung telapak tangan ke dahi. Keringat yang bercampur bedak dingin keraton membaur, perih di sudut matanya, tetapi ia tidak boleh berkedip, tidak boleh berhenti. Ini adalah tarian terakhir di lantai kayu penuh kenangan ini.Ia sedang membawakan Bedhaya Sembilan Bidadari, tarian sakral yang menuntut kesempurnaan batin dan keselarasan spiritual. Gerakannya, halus seperti air dan kuat seperti akar pohon beringin, menceritakan kisah perjuangan antara kehendak dewa dan takdir manusia. Namun, untuk Kirana Ayu Kencana, 24 tahun, tarian itu bukan lagi narasi mitologi; itu adalah pengorbanan dirinya.Lima bulan yang lalu, ramalan kuno yang selalu dianggap dongeng oleh generasi muda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status