LOGIN
Alya menatap lelaki dingin di depannya — tatapan yang menusuk hingga ke relung hatinya. Lelaki itu memandangnya seolah-olah dirinya adalah makhluk paling menjijikkan di dunia ini. Aura angkuh dan dingin yang terpancar darinya membuat dada Alya terasa sesak.
“Baca,” desis lelaki itu datar, suaranya penuh tekanan. Perlahan, tangan Alya yang gemetar meraih map biru yang tergeletak di atas meja. Ketika ia membuka map tersebut, matanya langsung menangkap tulisan besar di bagian atas halaman: Kontrak Pernikahan. Di bawahnya tertera beberapa poin yang tertulis rapi, tetapi setiap kalimat terasa seperti duri yang menusuk harga dirinya. Semuanya terdengar seperti perjanjian yang merendahkan — seolah dirinya tidak lebih dari sekadar alat tukar. Alya menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di hadapan lelaki bernama Jonathan Arsenio itu, kelemahan hanyalah hal yang akan semakin mempermalukannya. “Kau tidak perlu khawatir,” ujar Jonathan dengan nada dingin tanpa menatapnya. “Uang akan selalu mengalir ke rekeningmu.” Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada hinaan. Seolah menegaskan bahwa nilai dirinya hanya sebatas uang. “Wanita jelek dan menjijikkan sepertimu pasti hanya mengincar uang dari keluargaku,” lanjut Jonathan, kini menatap Alya dengan pandangan penuh jijik. Alya menggigit bibirnya, menunduk. Kata-kata itu tajam, tapi sayangnya — tidak sepenuhnya salah. Ia memang menerima pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Karena hutang yang menjerat keluarganya hingga ke titik putus asa. “Sa… saya akan tanda tangan, Tu… Tuan,” ucap Alya pelan, suaranya bergetar namun berusaha tegar. Jonathan hanya mendengus sinis. “Cih… baguslah. Jangan memperlambat waktu. Aku tidak punya kesabaran untuk drama murahan.” Dengan tangan gemetar, Alya menandatangani dokumen itu. Setiap goresan pena terasa seperti mengikat dirinya pada nasib pahit yang tidak bisa ia tolak. Setelah menandatangani, ia meletakkan pena dengan perlahan. Jonathan menyilangkan tangan di dada, menatapnya tanpa ekspresi. “Semua wanita sama saja, gila dengan uang,” gumamnya dingin. Alya hanya diam. Ia tahu, tidak ada gunanya membela diri. Bagi Jonathan, semua perempuan mungkin sama — pembohong, matre, dan tak tahu diri. Tapi di balik tatapan pasrahnya, Alya menyimpan luka yang lebih dalam daripada yang bisa dilihat lelaki itu. Ironisnya, Jonathan sendiri sebenarnya juga terpaksa menikah dengan Alya. Neneknya — satu-satunya orang yang masih ia hormati — begitu menyukai Alya karena kebaikan hati gadis itu. Alya pernah menolong sang nenek ketika jatuh pingsan di pinggir jalan, tanpa tahu siapa perempuan tua itu. Karena rasa terima kasih dan kekaguman, sang nenek bersikeras agar Jonathan menikahi Alya. Namun bagi Jonathan, pernikahan ini adalah kutukan. Baginya, Alya hanyalah simbol dari keterpaksaan — seorang perempuan biasa yang merusak kesempurnaan hidupnya. Sementara bagi Alya, pernikahan ini adalah harga dari pengorbanan. Ia harus menukar kebebasannya demi menyelamatkan keluarga dari kehancuran. Dan di saat pena itu menyentuh kertas terakhir, hidupnya pun berubah — dari seorang wanita bebas menjadi istri dari lelaki yang membencinya. Namun, di balik kontrak dingin itu, takdir sedang menulis kisah lain yang tak mereka duga — kisah di mana benci perlahan akan diuji oleh waktu, luka akan bersentuhan dengan kasih, dan dua hati yang terluka akan dipaksa saling mengenal lebih dalam. ... Alya menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut kamar. Gaun putih yang terbalut di tubuhnya tampak begitu indah dan elegan, namun entah mengapa, ia tidak merasa bahagia sedikit pun. Semua ini terasa seperti mimpi yang salah arah — mimpi yang seharusnya penuh kebahagiaan, justru berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan. Ia mengusap lembut gaun itu, merasakan tekstur halus kainnya. “Aku benar-benar sudah menjadi istri seorang Jonathan Abigail…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Suaranya bergetar, seolah ia sendiri tak percaya dengan kenyataan pahit itu. Suasana kamar begitu sunyi hingga yang terdengar hanyalah detak jam di dinding. Tapi kesunyian itu segera pecah ketika suara pintu terbuka dengan keras. Alya langsung menunduk, tubuhnya menegang. Ia tahu betul siapa yang baru saja masuk. Langkah kaki berat itu mendekat, dan suara dingin yang sudah dikenalnya menyusul tak lama kemudian. “Cih… bisa-bisanya nenek menikahkan aku dengan wanita jelek seperti kamu.” Suara Jonathan terdengar datar, tapi dingin dan tajam seperti pisau. Alya hanya bisa menunduk dalam-dalam. Kata-kata itu, meski sudah sering ia dengar sejak awal pertemuan mereka, tetap terasa menyakitkan. Dalam hati kecilnya, Alya sadar — ia memang bukan perempuan cantik seperti tipe wanita yang biasa ada di sekitar Jonathan. Penampilannya sederhana, selalu mengenakan kacamata dan poni tebal yang menutupi sebagian wajahnya. Hanya hari ini saja ia berusaha tampil berbeda, berusaha sedikit lebih pantas di samping lelaki yang kini menjadi suaminya. Namun usaha itu tetap terasa sia-sia di hadapan tatapan penuh kebencian Jonathan. Tanpa peringatan, tangan Jonathan terulur dan menjepit dagu Alya, memaksa gadis itu menatap ke arah dirinya. Alya terperanjat, tubuhnya kaku. Mata mereka bertemu — mata Jonathan yang tajam dan dingin seperti es, dan mata Alya yang bergetar, dipenuhi rasa takut dan luka. “Ck… untung MUA-nya pandai mendandanimu. Kalau tidak, bisa malu aku tadi di depan tamu,” ucap Jonathan sinis, melepas dagu Alya dengan kasar. Alya menunduk kembali, menahan napas agar tidak menangis. Harga dirinya terkoyak, tapi ia terlalu lemah untuk melawan. “Kau tidur di sofa,” lanjut Jonathan tanpa sedikit pun menatap ke arahnya. “Aku tidak sudi tidur seranjang dengan wanita sepertimu. Dan ingat, semua poin di dalam kontrak kita berlaku. Jangan berani melanggar satu pun.” Nada suaranya begitu tegas dan dingin, membuat dada Alya terasa semakin sesak. Setelah mengucapkan kalimat itu, Jonathan berbalik menuju kamar mandi dan menutup pintu dengan keras hingga suara benturannya menggema di seluruh ruangan. Alya terdiam. Hening kembali menyelimuti kamar yang kini terasa begitu luas namun dingin. Matanya mulai berkaca-kaca. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menetes, membasahi pipinya yang mulai memerah. Ia duduk di tepi tempat tidur, memeluk dirinya sendiri. Hatinya bergetar di antara rasa malu, sakit, dan putus asa. Ia tahu, hidupnya tidak akan mudah setelah ini. “Aku bukan siapa-siapa… hanya pengantin kontrak, bukan istri yang diinginkan,” bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tertahan. Sementara itu, dari balik pintu kamar mandi, Jonathan menatap dirinya di cermin dengan wajah keras. Ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan — kemarahan, penolakan, tapi juga seberkas rasa bersalah yang berusaha ia abaikan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. “Nenek, apa yang kau pikirkan sampai membuatku menikahinya?” gumamnya dalam hati. Namun di balik kemarahan itu, ada kilasan samar dari kenangan — tentang gadis yang menolong neneknya tanpa pamrih, gadis yang kini berdiri di balik dinding, menangis sendirian karena pernikahan yang dipaksakan. Dan malam itu, dua hati yang disatukan oleh paksaan sama-sama terjebak dalam dinding kebisuan — satu menahan luka, satu menahan dendam. Namun waktu belum berhenti menulis kisah mereka. Sebab, di balik dinginnya kebencian, takdir perlahan sedang menyiapkan celah kecil untuk sesuatu yang belum mereka pahami: perasaan. Bersambung.......Alya yang baru saja membuka pintu apartemen itu langsung terdiam kaku. Matanya membulat sedikit ketika melihat Jonathan duduk di ruang televisi, tampak masih mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung dan ekspresi dingin yang sulit ditebak. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan berita malam, namun jelas bahwa fokus lelaki itu bukan pada layar—melainkan pada dirinya.Langkah Alya sempat tertahan di depan pintu. Ia bingung, harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Dalam hatinya, ia bahkan berdebat dengan diri sendiri. Ia malas menegur, takut dianggap mencari perhatian. Tapi jika diam saja, bisa-bisa Jonathan menuduhnya tidak sopan.“Jam sepuluh malam lewat baru pulang?” suara Jonathan memecah keheningan. Nada suaranya datar tapi menusuk, cukup membuat suasana apartemen terasa tegang.Alya menunduk sesaat. Ia mencoba menenangkan diri, menata napas sebelum akhirnya mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap suami kontraknya itu.“Dalam kontrak tidak ada larangan tentang
Hari ini sedikit berbeda dari biasanya.Jonathan yang selama ini selalu pulang larut malam—kadang lewat dari pukul sepuluh, bahkan mendekati tengah malam—kali ini memutuskan untuk pulang lebih cepat. Entah apa alasannya, mungkin karena pekerjaannya sudah selesai lebih awal, atau mungkin karena pikirannya terlalu lelah untuk terus bergulat di kantor.Langit di luar jendela mulai berubah warna; jingga senja perlahan menelan biru langit sore, menyisakan bayangan-bayangan panjang di jalanan kota. Saat mobil hitam mewahnya berhenti di depan gedung apartemen, jarum jam di dashboard menunjukkan pukul enam tepat.Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, langkah Jonathan terdengar mantap namun berat. Sepatu kulitnya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang mengilap. Ia menempelkan kartu akses ke panel pintu, dan dalam sekejap, pintu apartemen terbuka otomatis.Begitu masuk, suasana hening langsung menyambutnya. Tidak ada suara, tidak ada aroma masakan, tidak ada siapa pun yang meny
Setelah pertemuannya di restoran beberapa hari lalu, Alya merasa jauh lebih tenang. Beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat setelah Bibi Grace mengetahui seluruh kebenaran tentang pernikahannya dengan Jonathan. Awalnya, wanita paruh baya itu sempat terkejut dan merasa kecewa membaca isi kontrak pernikahan mereka. Namun setelah tahu bahwa Jonathan sendirilah yang memulai semuanya, rasa kecewanya berubah menjadi iba. Ia bisa memahami posisi Alya—gadis polos yang hanya berusaha menjalani kewajiban tanpa pernah berniat menyakiti siapa pun. Selama seminggu ini, Bibi Grace memang tidak datang ke apartemen seperti biasanya. Tapi setiap kali menelpon, suaranya terdengar jauh lebih lembut, tak lagi menyudutkan Alya. Ia bahkan sempat meminta maaf dan menyatakan dukungannya terhadap keputusan gadis itu. “Terkadang terlalu ikut campur justru membuat keadaan semakin rumit,” ucap Bibi Grace waktu itu, dan Alya hanya bisa tersenyum setuju. Hari ini, seperti biasa, Aly
Saat Jonathan tiba di apartemennya, suasana begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain dengung lembut dari pendingin udara yang masih menyala di ruang tengah. Penerangan pun minim—lampu utama padam, hanya cahaya remang dari arah balkon yang menembus lewat gorden tipis, memantulkan siluet lembut di dinding apartemen yang bernuansa abu-abu modern itu.Jonathan berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang. Ia kemudian melonggarkan dasinya perlahan, gerakannya tampak lelah namun tetap berwibawa. Seolah semua energi dan kesabaran yang ia keluarkan di kantor siang tadi telah benar-benar terkuras.Begitu melangkah masuk, sensor otomatis di apartemen mendeteksi gerakannya. Seketika lampu menyala, menyinari ruangan luas yang kini tampak sepi dan dingin. Tidak ada siapa pun di sana, tidak ada suara langkah kaki Alya, atau aroma masakan yang menandakan seseorang sedang beraktivitas.Hanya kesunyian.Jonathan berjalan pelan menuju sofa di ruang tengah, menurunkan tubuhnya perlahan h
Alya melangkah pelan menuju kamar tidurnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi tanpa suara. Cahaya lampu temaram di koridor menyoroti bayangan tubuhnya yang tampak lelah. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban pikiran yang menumpuk membuat udara di sekitarnya semakin padat. Begitu sampai di kamarnya, Alya menutup pintu perlahan. Ia menatap ruangan yang tertata rapi, tapi terasa dingin dan kosong—tak jauh berbeda dengan perasaannya malam itu. Ia meletakkan ponsel di atas meja nakas, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa sesak setelah melihat berita tentang Jonathan dan Melissa Queen. Alya tidak berniat menunggu suaminya pulang. Ia sudah hafal kebiasaan Jonathan—lelaki itu jarang pulang malam-malam begini, dan kalaupun pulang, sikapnya selalu dingin, seolah kehadiran Alya tidak pernah berarti apa-apa. Lagi pula, dalam kontrak pernikahan mereka jelas tertulis bahwa Alya tidak diwajibkan menjalankan peran istri sepenuhnya. Ia
Alya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela. Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia b







