LOGINAlya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela.
Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia bisa membayangkan betapa cemasnya seorang ibu yang mendengar anaknya sakit. Alya menghela napas panjang, lalu melangkah ke kulkas dan membukanya perlahan. Udara dingin segera menyeruak keluar, menampar lembut wajahnya yang lelah. Di dalam, ia melihat beberapa wadah tertata rapi ada sup ayam, sayur tumis, dan nasi hangat yang dibungkus rapat agar tidak kering. “Terima kasih, Ranti,” ucap Alya lirih, meski tahu pelayan itu tentu tak akan mendengar. Ia merasa sedikit terharu melihat perhatian kecil itu, bahkan di tengah kepanikan sang pelayan. Setelah mengambil sebotol air dingin, Alya menutup kulkas dan meneguk air itu perlahan. Rasa segarnya menenangkan tenggorokan yang kering setelah setengah hari beraktivitas di luar. Pandangannya sempat mengarah pada ruang tamu yang sepi — sofa masih rapi, meja tidak berubah, semuanya tampak terlalu tenang seolah apartemen itu sedang tertidur. “Sunyi sekali,” batin Alya. Mungkin Jonathan masih di kantor, pikirnya. Alya melangkah menuju kamarnya, meletakkan tas di meja kerja kecil dekat jendela. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, lalu tersenyum lemah. Wajahnya tampak sedikit kusam, rambutnya agak berantakan akibat terpapar panas matahari. “Aku harus bersih-bersih dulu,” gumamnya lembut. Dengan langkah ringan, Alya mengambil handuk dan baju ganti, lalu menuju kamar mandi. Ia menyalakan pancuran air hangat, membiarkan suara gemericik air menenangkan pikirannya. Setelah seharian berada di luar, tubuhnya terasa lengket dan lelah. Ia ingin menghapus semua rasa penat dan debu jalanan yang menempel di kulitnya. Air hangat mulai mengalir membasahi tubuhnya, dan Alya menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam keheningan sore itu. Untuk sesaat, ia melupakan semuanya pernikahan kontrak, tatapan dingin Jonathan, dan beban di pikirannya. Yang ada hanya rasa tenang… seolah dunia di luar sana berhenti berputar. ..... Di sisi lain, siang itu Jonathan tengah duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota, tempat yang biasa dipilih para pebisnis ternama untuk makan siang sambil berdiskusi. Suasana di sana tenang, dengan dentingan lembut alat makan dan suara musik klasik yang mengalun pelan di latar. Namun, bagi Jonathan, semua itu hanya sekadar rutinitas membosankan. Di depannya duduk seorang wanita cantik berpenampilan anggun. Rambut hitam panjangnya terurai rapi, wajahnya terpoles sempurna dengan riasan mahal, dan senyumnya tampak menawan — senyum yang mungkin bisa membuat pria lain bertekuk lutut. Tapi tidak bagi Jonathan. Lelaki itu hanya menatap piring di depannya tanpa ekspresi, menyendok makanannya perlahan tanpa sepatah kata pun. Wanita itu Melissa Quinn, seorang aktris papan atas yang sedang naik daun berusaha memecah keheningan. Ia menatap Jonathan dengan tatapan manja, mencoba menarik perhatiannya seperti biasa. “Jonathan…” ujarnya dengan nada lembut dan manja, “nanti sore temani aku ke mal, ya? Aku mau lihat koleksi perhiasan baru dari butik langgananku.” Jonathan meletakkan sendoknya dengan pelan, lalu menatap jam tangan di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tiga siang — artinya, satu setengah jam lagi ia harus menghadiri rapat penting dengan investor asing. “Tidak bisa,” jawabnya datar, suaranya dalam dan tegas. “Jam empat saya ada pertemuan. Pergi saja sendiri.” Melissa mencoba tersenyum, tapi jelas dari raut wajahnya ia kecewa. Ia tahu betul Jonathan bukan tipe pria yang bisa dibujuk dengan kelembutan. “Oh… baiklah kalau begitu,” ujarnya pelan, berusaha menyembunyikan nada kecewa di balik senyum tipisnya. Jonathan menatapnya sekilas, dingin dan tanpa emosi. Hubungan mereka bukanlah hubungan yang dilandasi cinta hanya sebatas kesepakatan tak tertulis yang saling menguntungkan. Melissa mendapatkan sorotan media dengan menjadi ‘kekasih’ seorang pengusaha muda ternama pewaris keluarga Abigail, sementara Jonathan hanya menganggapnya sekadar pengisi waktu luang saat ia bosan bekerja. Yang tidak disadari Jonathan, beberapa meja di belakang mereka, seorang pria dengan kamera profesional tengah memotret diam-diam. Blitz tak menyala, namun setiap gerakan keduanya terekam jelas — dari cara Melissa tersenyum manja hingga tatapan datar Jonathan. Pria itu bukan sembarang paparazzi. Ia adalah wartawan bayaran yang dikirim langsung oleh Melissa sendiri. Foto-foto itu nantinya akan tersebar di berbagai media gosip, menciptakan narasi bahwa hubungan mereka kian serius. Baginya, itu adalah strategi menaikkan popularitas dan memastikan Jonathan tidak bisa begitu saja meninggalkannya tanpa sorotan publik. Sementara itu, Jonathan tetap tenang. Ia tidak menyadari jebakan halus di balik senyum lembut wanita di depannya. Setelah meneguk air mineral, ia menatap Melissa satu kali lagi. “Jangan terlalu sering muncul di depan publik dengan saya. Fokus saja pada kariermu,” ujar Jonathan dingin. Melissa tersenyum samar, pura-pura tidak tersinggung. “Tentu, Nathan…” jawabnya pelan, memainkan rambutnya dengan jari. Namun di balik senyum itu, hatinya bergejolak — antara kesal dan ambisius. Ia tidak ingin menjadi wanita yang hanya lewat di hidup Jonathan. Di saat Jonathan berdiri dan meninggalkan restoran lebih dulu, Melissa hanya menatap punggungnya yang menjauh, lalu mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Jemarinya mengetik cepat sebuah pesan pada wartawan yang memotretnya tadi: “Pastikan fotonya viral malam ini. Buat caption yang manis.” Wajah Melissa menegang sesaat sebelum kembali tersenyum licik. Jika Jonathan tidak bisa ditaklukkan dengan cinta, maka dunia luar akan membantunya menahan pria itu dengan cara lain. ..... Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Alya duduk sendirian di meja makan, menikmati makan malamnya yang sederhana. Suasana rumah begitu sunyi—hanya terdengar suara lembut sendok yang beradu dengan piring porselen. Di hadapannya masih tersisa semangkuk sup ayam hangat yang kini mulai kehilangan uapnya. Sembari mengunyah perlahan, Alya mengambil ponselnya. Ia membuka media sosial, sekadar ingin mengusir sepi yang belakangan sering menyelimuti hari-harinya. Namun langkah kecil itu justru menjadi awal dari rasa sesak yang tak terduga. Begitu beranda “Stagram” nya terbuka, matanya langsung tertumbuk pada sebuah unggahan yang sedang viral foto suaminya, Jonathan, bersama seorang aktris sekaligus model ternama, Melissa Queen. Mereka terlihat berjalan berdampingan keluar dari sebuah restoran mewah. Senyum di wajah Jonathan tampak begitu hangat dan alami, seolah sedang menikmati malam bersama seseorang yang benar-benar ia sukai. Alya terdiam. Jemarinya berhenti menggulir layar. Tatapannya kosong menatap foto itu, sementara dadanya terasa sesak. Kolom komentar di bawah unggahan itu penuh dengan beragam pendapat netizen. “Mereka cocok banget! Pasangan yang elegan.” “Melissa pantas dapat pria seperti Jonathan, dua-duanya classy banget.” “Kayaknya Jonathan nggak pernah keliatan sebahagia ini sebelumnya.” Namun di antara komentar yang memuja, ada juga yang sinis: “Bukannya Jonathan udah nikah? Kok sekarang jalan sama Melissa?” “Ah paling juga nikah settingan. Dari dulu gosipnya begitu.” Alya menarik napas panjang. Ia mengusap layar ponsel pelan, menatap foto-foto lain yang beredar di berbagai akun gosip. Beberapa media bahkan menulis judul bombastis tentang “kedekatan baru Jonathan Abigail Marvendo dan Melissa Queen.” Yang membuat Alya terpaku bukan hanya isi beritanya, tapi satu hal yang lebih menyakitkan ketika mereka menikah dulu, hampir tak ada satu pun media yang memberitakannya. Padahal wartawan ada di sana, bahkan beberapa sempat mengambil gambar. Tapi semua menghilang, seolah tak pernah ada pernikahan itu. Saat itulah Alya benar-benar sadar… Jonathan membungkam media. Ia sengaja memastikan agar publik tidak tahu bahwa ia telah menikah. Alya menatap kosong ke arah meja makan. Lampu gantung di atasnya memantulkan bayangan wajahnya yang murung di permukaan sendok. Sebuah senyum pahit terbit di bibirnya. Ia tahu sejak awal hubungannya dengan Jonathan hanyalah sebuah pernikahan kontrak. Tak ada cinta, tak ada ikatan emosional, hanya kesepakatan dingin yang dibungkus rapi oleh formalitas. Tapi seiring waktu berjalan, Alya menyadari bahwa hatinya perlahan melembut. Ia mulai terbiasa dengan keberadaan Jonathan, mulai menanti kehadirannya di rumah, bahkan mulai memperhatikan hal-hal kecil darinya. Dan kini, melihat kenyataan yang ada di layar ponselnya, Alya mencoba mengingatkan dirinya sendiri. “Kau bukan siapa-siapa, Alya,” batinnya lirih. “Kau hanya istri kontrak. Jangan bodoh dengan perasaanmu sendiri.” Ia meneguk air putih yang tersisa di gelasnya. Dingin air itu tak cukup menenangkan hatinya yang terasa perih. Di luar jendela, langit malam tampak muram, sama seperti suasana di dalam rumah besar yang kini terasa begitu hampa. Namun di balik ketenangan wajahnya, ada sesuatu yang mulai berubah dalam diri Alya—bukan sekadar kesedihan, melainkan kesadaran yang menumbuhkan kekuatan baru. Ia tidak akan lagi menunggu, tidak akan lagi berharap pada sesuatu yang ia tahu tidak pernah nyata. Bersambung......Alya yang baru saja membuka pintu apartemen itu langsung terdiam kaku. Matanya membulat sedikit ketika melihat Jonathan duduk di ruang televisi, tampak masih mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung dan ekspresi dingin yang sulit ditebak. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan berita malam, namun jelas bahwa fokus lelaki itu bukan pada layar—melainkan pada dirinya.Langkah Alya sempat tertahan di depan pintu. Ia bingung, harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Dalam hatinya, ia bahkan berdebat dengan diri sendiri. Ia malas menegur, takut dianggap mencari perhatian. Tapi jika diam saja, bisa-bisa Jonathan menuduhnya tidak sopan.“Jam sepuluh malam lewat baru pulang?” suara Jonathan memecah keheningan. Nada suaranya datar tapi menusuk, cukup membuat suasana apartemen terasa tegang.Alya menunduk sesaat. Ia mencoba menenangkan diri, menata napas sebelum akhirnya mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap suami kontraknya itu.“Dalam kontrak tidak ada larangan tentang
Hari ini sedikit berbeda dari biasanya.Jonathan yang selama ini selalu pulang larut malam—kadang lewat dari pukul sepuluh, bahkan mendekati tengah malam—kali ini memutuskan untuk pulang lebih cepat. Entah apa alasannya, mungkin karena pekerjaannya sudah selesai lebih awal, atau mungkin karena pikirannya terlalu lelah untuk terus bergulat di kantor.Langit di luar jendela mulai berubah warna; jingga senja perlahan menelan biru langit sore, menyisakan bayangan-bayangan panjang di jalanan kota. Saat mobil hitam mewahnya berhenti di depan gedung apartemen, jarum jam di dashboard menunjukkan pukul enam tepat.Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, langkah Jonathan terdengar mantap namun berat. Sepatu kulitnya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang mengilap. Ia menempelkan kartu akses ke panel pintu, dan dalam sekejap, pintu apartemen terbuka otomatis.Begitu masuk, suasana hening langsung menyambutnya. Tidak ada suara, tidak ada aroma masakan, tidak ada siapa pun yang meny
Setelah pertemuannya di restoran beberapa hari lalu, Alya merasa jauh lebih tenang. Beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat setelah Bibi Grace mengetahui seluruh kebenaran tentang pernikahannya dengan Jonathan. Awalnya, wanita paruh baya itu sempat terkejut dan merasa kecewa membaca isi kontrak pernikahan mereka. Namun setelah tahu bahwa Jonathan sendirilah yang memulai semuanya, rasa kecewanya berubah menjadi iba. Ia bisa memahami posisi Alya—gadis polos yang hanya berusaha menjalani kewajiban tanpa pernah berniat menyakiti siapa pun. Selama seminggu ini, Bibi Grace memang tidak datang ke apartemen seperti biasanya. Tapi setiap kali menelpon, suaranya terdengar jauh lebih lembut, tak lagi menyudutkan Alya. Ia bahkan sempat meminta maaf dan menyatakan dukungannya terhadap keputusan gadis itu. “Terkadang terlalu ikut campur justru membuat keadaan semakin rumit,” ucap Bibi Grace waktu itu, dan Alya hanya bisa tersenyum setuju. Hari ini, seperti biasa, Aly
Saat Jonathan tiba di apartemennya, suasana begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain dengung lembut dari pendingin udara yang masih menyala di ruang tengah. Penerangan pun minim—lampu utama padam, hanya cahaya remang dari arah balkon yang menembus lewat gorden tipis, memantulkan siluet lembut di dinding apartemen yang bernuansa abu-abu modern itu.Jonathan berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang. Ia kemudian melonggarkan dasinya perlahan, gerakannya tampak lelah namun tetap berwibawa. Seolah semua energi dan kesabaran yang ia keluarkan di kantor siang tadi telah benar-benar terkuras.Begitu melangkah masuk, sensor otomatis di apartemen mendeteksi gerakannya. Seketika lampu menyala, menyinari ruangan luas yang kini tampak sepi dan dingin. Tidak ada siapa pun di sana, tidak ada suara langkah kaki Alya, atau aroma masakan yang menandakan seseorang sedang beraktivitas.Hanya kesunyian.Jonathan berjalan pelan menuju sofa di ruang tengah, menurunkan tubuhnya perlahan h
Alya melangkah pelan menuju kamar tidurnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi tanpa suara. Cahaya lampu temaram di koridor menyoroti bayangan tubuhnya yang tampak lelah. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban pikiran yang menumpuk membuat udara di sekitarnya semakin padat. Begitu sampai di kamarnya, Alya menutup pintu perlahan. Ia menatap ruangan yang tertata rapi, tapi terasa dingin dan kosong—tak jauh berbeda dengan perasaannya malam itu. Ia meletakkan ponsel di atas meja nakas, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa sesak setelah melihat berita tentang Jonathan dan Melissa Queen. Alya tidak berniat menunggu suaminya pulang. Ia sudah hafal kebiasaan Jonathan—lelaki itu jarang pulang malam-malam begini, dan kalaupun pulang, sikapnya selalu dingin, seolah kehadiran Alya tidak pernah berarti apa-apa. Lagi pula, dalam kontrak pernikahan mereka jelas tertulis bahwa Alya tidak diwajibkan menjalankan peran istri sepenuhnya. Ia
Alya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela. Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia b







