LOGINSekitar lima belas menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Pintu terbuka perlahan, dan keluarlah Jonathan dengan hanya selembar handuk putih yang melilit di pinggangnya. Butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, menelusuri kulit dada dan perutnya yang bidang. Namun, alih-alih terlihat menggoda, aura yang terpancar darinya tetap dingin, kaku, dan tak bersahabat.
Tatapannya langsung jatuh pada sosok Alya yang masih duduk di sofa panjang di depan ranjang. Gadis itu tampak begitu kecil dan gugup di antara megahnya kamar pengantin yang bernuansa putih dan abu-abu. Kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, matanya menunduk dalam, seolah takut hanya dengan mengangkat pandangan. “Mandi. Jangan lama,” desis Jonathan datar tanpa ekspresi. “Setelah ini ada makan malam keluarga.” Nada suaranya tajam, penuh tekanan. Alya spontan berdiri dengan tubuh kaku. “Ba… baik, Tuan,” jawabnya pelan, suaranya gemetar. Ia segera meraih gaun sederhana berwarna pastel yang telah disiapkan oleh pelayan dan berjalan cepat ke arah kamar mandi. Langkahnya gugup dan sedikit terburu-buru, seperti ingin segera menghindar dari tatapan tajam lelaki itu. Jonathan hanya mendengus pelan, bibirnya melengkung membentuk garis sinis. “Sial… ini benar-benar musibah terburukku di tahun ini,” gumamnya dingin sambil mengusap rambutnya yang masih basah. Ia berjalan menuju walk-in closet, mengambil pakaian dari rak dan mulai berpakaian dengan rapi. Setiap gerakannya tampak tenang dan teratur, seperti seseorang yang terbiasa mengontrol segala hal di hidupnya — kecuali satu hal: pernikahan yang kini terpaksa dijalaninya. Di balik dinding kamar mandi, Alya memandangi wajahnya di cermin. Air mengalir menuruni pipinya, entah itu air dari pancuran atau air mata yang tak bisa ia tahan lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba meneguhkan diri. “Kau bisa, Alya… kau hanya perlu bertahan,” bisiknya lirih. Ia tahu, kehidupannya kini tak lagi miliknya sepenuhnya. Ia telah mengikat janji dengan lelaki yang bahkan tidak mau menatapnya tanpa rasa jijik. Tapi apa daya? Ia tidak punya pilihan lain. Rumah megah yang kini ditinggalinya adalah kediaman keluarga Abigail, keluarga terpandang dan kaya raya. Di sinilah Jonathan tumbuh besar — dikelilingi kemewahan, cinta dari neneknya, dan perhatian dari paman serta bibinya. Namun di balik semua itu, Jonathan tumbuh menjadi lelaki yang keras, dingin, dan sulit percaya pada orang lain. Alya tahu sebagian dari kisah itu, sebab ia sering mendengar cerita dari Nenek Rosa, sosok lembut yang begitu baik padanya. Nenek Rosa adalah satu-satunya alasan mengapa Alya kini terjebak dalam pernikahan ini. Keduanya — Alya dan Jonathan — sebenarnya memiliki kesamaan: sama-sama yatim piatu. Bedanya, Jonathan masih memiliki keluarga yang mencintainya, sementara Alya tidak memiliki siapa pun. Ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil dalam keadaan mabuk, meninggalkan tumpukan hutang yang tak sanggup ia bayar. Sedangkan saudara-saudaranya, bukannya menolong, malah berebut harta peninggalan mendiang ibunya yang sakit keras. Mereka mengusir Alya dari rumah tanpa belas kasihan. Dalam keputusasaan, Alya hidup seadanya, bekerja serabutan demi melunasi sedikit demi sedikit hutang keluarganya. Hingga suatu hari, ia menolong seorang nenek yang pingsan di pinggir jalan tanpa tahu siapa wanita itu. Nenek itu ternyata adalah Rosa Abigail, nenek dari Jonathan. Karena kebaikan hati Alya, Nenek Rosa membantunya melunasi seluruh hutang yang tersisa — namun dengan satu syarat: Alya harus menikah dengan cucunya, Jonathan. Dan begitulah takdir mempertemukan dua jiwa yang sama-sama terluka, tapi dari dunia yang berbeda. Alya tidak tahu apakah keputusannya ini benar. Ia hanya tahu bahwa jika bukan karena Nenek Rosa, mungkin ia sudah kehilangan segalanya. Namun kini, setelah menatap wajah Jonathan yang begitu dingin dan penuh kebencian, Alya mulai bertanya-tanya dalam hati… apakah pengorbanannya sepadan? Apakah menjadi “istri kontrak” dari lelaki yang membencinya benar-benar jalan satu-satunya untuk menebus masa lalunya? Malam itu, ketika Jonathan sudah berpakaian rapi dan duduk di depan meja rias untuk mengenakan jam tangannya, pikirannya melayang sebentar. Ia sempat melirik pintu kamar mandi yang tertutup, mendengar samar-samar suara air dan sesenggukan kecil. Dahi Jonathan berkerut. Ada sesuatu dalam suaranya yang mengganggu — sesuatu yang terasa asing, yang belum berani ia akui: rasa bersalah. Namun seperti biasa, ia memilih menepisnya. Baginya, ini hanyalah pernikahan tanpa perasaan. Dan bagi Alya, ini adalah takdir yang harus dijalani, meski dengan hati yang hancur. ... Alya duduk dengan tubuh kaku di kursi makan panjang yang berlapis kain beludru lembut. Di hadapannya tersaji berbagai hidangan mewah—steak daging, salad segar, sup krim jamur, hingga anggur merah dalam gelas kristal. Namun, semuanya terasa hambar di lidahnya. Ia tak bisa menelan dengan tenang ketika suasana di meja makan begitu menegangkan, seolah setiap napas harus dijaga agar tidak menyinggung siapa pun. Di sisi kanan, duduk Jonathan, dengan wajah datar dan tatapan dingin seperti biasa. Lelaki itu sama sekali tidak bicara sejak mereka turun dari kamar. Ia hanya memotong daging di piringnya dengan tenang, seolah dunia di sekitarnya tidak ada. Di ujung meja duduk Nenek Rosa, wanita tua yang lembut dan penuh wibawa. Di sebelahnya ada Paman Billy — pria paruh baya berwajah ramah — dan Bibi Grace, istri Billy, yang terkenal cerewet namun berhati hangat. Malam itu seharusnya menjadi makan malam keluarga yang hangat untuk merayakan pernikahan Jonathan dan Alya. Namun atmosfer di meja terasa berat, penuh ketegangan yang hanya ditutupi oleh basa-basi. “Makan yang banyak, Alya.” Bibi Grace tersenyum menggoda sambil menatap Alya dengan tatapan nakal. “Malam ini kamu harus begadang dan mengeluarkan tenaga ekstra.” Nada suaranya jelas-jelas bernada menggoda, dan sontak membuat wajah Alya memerah. Ia menunduk dalam-dalam, mencoba menyembunyikan rona malu yang memanas di pipinya. Dalam hati, ia tahu — hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. Jonathan bahkan tak mau tidur satu ranjang dengannya. “Grace, jangan menggodanya, sayang,” tegur Paman Billy dengan lembut sambil tersenyum kecil, menepuk tangan istrinya. Bibi Grace terkekeh pelan, “Ah, aku hanya bercanda, Billy. Lihatlah wajah Alya, lucu sekali kalau malu begitu.” Alya hanya tersenyum kikuk, tangannya gemetar saat memegang sendok. Ia melirik sekilas ke arah Jonathan yang sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. Lelaki itu hanya terus makan dengan tenang, tanpa sedikit pun memperhatikan percakapan mereka. Di tengah makan malam itu, suara lembut Nenek Rosa memecah suasana. “Billy, mengapa Marvin tidak pulang? Padahal ini pernikahan kakak sepupunya,” tanya beliau dengan nada sedih. Paman Billy menatap ibunya penuh pengertian. “Maaf, Ma. Marvin ada pertemuan kerja yang penting. Itu pun atas instruksi Jonathan.” Mendengar nama cucunya disebut, Nenek Rosa menghela napas berat. “Cih… kalian bertiga benar-benar hanya memikirkan kerja saja,” gerutu Bibi Grace sambil melirik Jonathan. Namun, Jonathan tetap tak bereaksi. Tatapannya tetap tertuju pada piringnya, gerakannya tenang dan dingin. Tak ada senyum, tak ada emosi. Hanya kesunyian yang semakin menegaskan jarak antara dirinya dan semua orang di ruangan itu. Alya diam-diam mencuri pandang ke arah suaminya. Ia memperhatikan wajah Jonathan dari sudut mata—tegas, tampan, tapi tanpa kehangatan. Tidak ada tanda-tanda lembut di sana. Seolah hatinya sudah lama membeku. Ia kembali menunduk, berusaha fokus pada makanannya. Setiap suapan terasa berat, seolah menelan batu, bukan makanan. “Jonathan,” panggil Nenek Rosa pelan. “Kau harus bersikap baik pada Alya, ya, Nak. Ingat, dia bukan hanya istrimu, tapi juga orang yang telah menolong nenek. Kalau bukan karena dia, mungkin malam itu nenek sudah…” Suara Nenek Rosa merendah, membuat semua orang di meja itu menatapnya dengan iba. Alya pun ikut menunduk, mengingat malam itu — malam ketika ia menemukan seorang nenek yang hampir dirampok di depan pasar. “Dia sudah membantu nenek saat hampir dicelakai preman,” lanjut Nenek Rosa tegas, menatap Jonathan dengan tatapan lembut tapi penuh makna. “Jadi, hormatilah dia, ya.” Ruangan hening beberapa detik. Semua mata tertuju pada Jonathan yang masih diam di tempatnya. “Hem…” Hanya itu yang keluar dari bibir lelaki itu — sebuah deheman singkat tanpa makna, dingin dan datar. Ia bahkan tidak mengangkat wajahnya sedikit pun. Alya menunduk lebih dalam, berusaha menyembunyikan rasa malu yang kini berubah menjadi perih. Hatinya terasa ditikam oleh sikap dingin suaminya di depan keluarga. Ia tak berharap Jonathan tiba-tiba berubah baik, tapi sedikit saja penghargaan… mungkin sudah cukup untuk membuatnya merasa tidak seolah menjadi beban. Nenek Rosa menghela napas perlahan, sementara Bibi Grace hanya menggeleng kecil, merasa kasihan pada Alya. “Astaga, Jonathan… bahkan di depan nenekmu pun kamu tetap keras kepala,” gumamnya pelan. Namun Jonathan tetap tak menanggapi. Ia meletakkan sendoknya, meneguk air, lalu berkata singkat, “Jika sudah selesai, aku pamit dulu. Masih ada hal yang harus dikerjakan.” Seketika suasana meja menjadi beku. Alya menatap piringnya, tidak berani mengangkat wajah. Nenek Rosa tampak kecewa, tapi memilih tak berkata apa pun lagi. Jonathan berdiri, berjalan menjauh tanpa menoleh sedikit pun. Dan seperti biasanya, meninggalkan keheningan yang terasa menusuk. Alya hanya bisa menarik napas dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia mencoba tersenyum pada Nenek Rosa ketika wanita tua itu menatapnya penuh kasih. “Kau kuat, Nak Alya,” bisik Nenek Rosa lirih. “Suatu hari, Jonathan pasti akan menyadari siapa dirimu sebenarnya.” Alya tersenyum kecil, meski hatinya terasa hancur. “Terima kasih, Nek,” jawabnya lembut. Namun dalam hati kecilnya, ia hanya berdoa — agar suatu hari, kebekuan di hati suaminya bisa mencair, meski setetes saja. Bersambung......Alya yang baru saja membuka pintu apartemen itu langsung terdiam kaku. Matanya membulat sedikit ketika melihat Jonathan duduk di ruang televisi, tampak masih mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung dan ekspresi dingin yang sulit ditebak. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan berita malam, namun jelas bahwa fokus lelaki itu bukan pada layar—melainkan pada dirinya.Langkah Alya sempat tertahan di depan pintu. Ia bingung, harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Dalam hatinya, ia bahkan berdebat dengan diri sendiri. Ia malas menegur, takut dianggap mencari perhatian. Tapi jika diam saja, bisa-bisa Jonathan menuduhnya tidak sopan.“Jam sepuluh malam lewat baru pulang?” suara Jonathan memecah keheningan. Nada suaranya datar tapi menusuk, cukup membuat suasana apartemen terasa tegang.Alya menunduk sesaat. Ia mencoba menenangkan diri, menata napas sebelum akhirnya mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap suami kontraknya itu.“Dalam kontrak tidak ada larangan tentang
Hari ini sedikit berbeda dari biasanya.Jonathan yang selama ini selalu pulang larut malam—kadang lewat dari pukul sepuluh, bahkan mendekati tengah malam—kali ini memutuskan untuk pulang lebih cepat. Entah apa alasannya, mungkin karena pekerjaannya sudah selesai lebih awal, atau mungkin karena pikirannya terlalu lelah untuk terus bergulat di kantor.Langit di luar jendela mulai berubah warna; jingga senja perlahan menelan biru langit sore, menyisakan bayangan-bayangan panjang di jalanan kota. Saat mobil hitam mewahnya berhenti di depan gedung apartemen, jarum jam di dashboard menunjukkan pukul enam tepat.Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, langkah Jonathan terdengar mantap namun berat. Sepatu kulitnya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang mengilap. Ia menempelkan kartu akses ke panel pintu, dan dalam sekejap, pintu apartemen terbuka otomatis.Begitu masuk, suasana hening langsung menyambutnya. Tidak ada suara, tidak ada aroma masakan, tidak ada siapa pun yang meny
Setelah pertemuannya di restoran beberapa hari lalu, Alya merasa jauh lebih tenang. Beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat setelah Bibi Grace mengetahui seluruh kebenaran tentang pernikahannya dengan Jonathan. Awalnya, wanita paruh baya itu sempat terkejut dan merasa kecewa membaca isi kontrak pernikahan mereka. Namun setelah tahu bahwa Jonathan sendirilah yang memulai semuanya, rasa kecewanya berubah menjadi iba. Ia bisa memahami posisi Alya—gadis polos yang hanya berusaha menjalani kewajiban tanpa pernah berniat menyakiti siapa pun. Selama seminggu ini, Bibi Grace memang tidak datang ke apartemen seperti biasanya. Tapi setiap kali menelpon, suaranya terdengar jauh lebih lembut, tak lagi menyudutkan Alya. Ia bahkan sempat meminta maaf dan menyatakan dukungannya terhadap keputusan gadis itu. “Terkadang terlalu ikut campur justru membuat keadaan semakin rumit,” ucap Bibi Grace waktu itu, dan Alya hanya bisa tersenyum setuju. Hari ini, seperti biasa, Aly
Saat Jonathan tiba di apartemennya, suasana begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain dengung lembut dari pendingin udara yang masih menyala di ruang tengah. Penerangan pun minim—lampu utama padam, hanya cahaya remang dari arah balkon yang menembus lewat gorden tipis, memantulkan siluet lembut di dinding apartemen yang bernuansa abu-abu modern itu.Jonathan berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang. Ia kemudian melonggarkan dasinya perlahan, gerakannya tampak lelah namun tetap berwibawa. Seolah semua energi dan kesabaran yang ia keluarkan di kantor siang tadi telah benar-benar terkuras.Begitu melangkah masuk, sensor otomatis di apartemen mendeteksi gerakannya. Seketika lampu menyala, menyinari ruangan luas yang kini tampak sepi dan dingin. Tidak ada siapa pun di sana, tidak ada suara langkah kaki Alya, atau aroma masakan yang menandakan seseorang sedang beraktivitas.Hanya kesunyian.Jonathan berjalan pelan menuju sofa di ruang tengah, menurunkan tubuhnya perlahan h
Alya melangkah pelan menuju kamar tidurnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi tanpa suara. Cahaya lampu temaram di koridor menyoroti bayangan tubuhnya yang tampak lelah. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban pikiran yang menumpuk membuat udara di sekitarnya semakin padat. Begitu sampai di kamarnya, Alya menutup pintu perlahan. Ia menatap ruangan yang tertata rapi, tapi terasa dingin dan kosong—tak jauh berbeda dengan perasaannya malam itu. Ia meletakkan ponsel di atas meja nakas, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa sesak setelah melihat berita tentang Jonathan dan Melissa Queen. Alya tidak berniat menunggu suaminya pulang. Ia sudah hafal kebiasaan Jonathan—lelaki itu jarang pulang malam-malam begini, dan kalaupun pulang, sikapnya selalu dingin, seolah kehadiran Alya tidak pernah berarti apa-apa. Lagi pula, dalam kontrak pernikahan mereka jelas tertulis bahwa Alya tidak diwajibkan menjalankan peran istri sepenuhnya. Ia
Alya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela. Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia b







