LOGINSetelah makan malam selesai, Jonathan dan Alya kembali memasuki kamar mereka.
Sesuai dengan apa yang telah Jonathan katakan sebelumnya, Alya tidak diperkenankan tidur di sebelah lelaki itu. Jonathan memang tegas soal batasan. Meskipun mereka baru saja resmi menjadi suami istri di mata hukum dan agama, hubungan mereka sama sekali belum layak disebut pernikahan yang sesungguhnya. Alya memandangi sofa panjang di sudut kamar — tempat yang akan menjadi ranjang tidurnya malam itu. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Dalam hati kecilnya, ia justru merasa bersyukur. Setidaknya malam ini ia tidur di tempat yang layak, bukan di trotoar dingin seperti beberapa minggu lalu. “Nama aslinya memang Jonathan Abigail, kan?” gumam Alya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dahi gadis itu sedikit berkerut, mengingat sesuatu. Saat pesta pernikahan tadi, ia sempat mendengar seseorang — mungkin rekan bisnis Jonathan — memanggil lelaki itu dengan sebutan Tuan Marvendo. Alya sempat bingung. Siapa sebenarnya Jonathan Abigail Marvendo itu? Mengapa ia memiliki dua nama belakang? Namun gadis itu segera menepis pikirannya sendiri. Ia tahu, memikirkan hal-hal yang tidak penting hanya akan membuat kepalanya pusing. “Sudahlah… daripada bingung, lebih baik aku tidur,” batinnya lirih. Tak butuh waktu lama, tubuh Alya yang lelah langsung terlelap. Napasnya teratur, wajahnya tampak damai dalam tidur. Sejenak, kamar itu terasa begitu tenang, hanya diisi oleh suara jam dinding yang berdetak perlahan. Sementara itu, Jonathan duduk di atas kasur besar miliknya, memandangi sosok Alya yang tertidur di sofa dengan tatapan dingin. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan di matanya — campuran antara jijik, marah, dan entah apa lagi. “Cih… begitulah kalau gelandangan dipungut,” gumamnya dengan nada meremehkan. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis, seolah tidur nyenyak Alya adalah hal yang tak pantas bagi seseorang sepertinya. Namun meski lidahnya tajam, ada kilatan aneh di mata Jonathan — sesuatu yang samar, seperti perasaan bersalah yang enggan diakui. Ia segera mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada laptop di pangkuannya. Layar penuh dengan tumpukan laporan kerja, email bisnis, dan proposal yang tertunda selama dua hari terakhir. Ia menegakkan tubuhnya, mengetik cepat, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, seolah-olah kesibukan bisa menutupi kekacauan batinnya sendiri. Di luar kamar, hujan turun perlahan, menambah suasana dingin malam itu. Alya masih tertidur dengan tenang di sofa, tanpa tahu bahwa lelaki di seberangnya — meski tampak dingin dan sombong — menyimpan rahasia besar di balik nama yang tak pernah ia jelaskan sepenuhnya. .... Malam kini berganti pagi. Sinar matahari perlahan menyusup melalui celah tirai besar di kamar mereka. Udara terasa sedikit dingin, menyisakan aroma lembut dari bunga segar yang diletakkan pelayan di sudut meja. Jonathan bangun lebih dulu. Lelaki itu mengusap wajahnya pelan, mencoba mengusir rasa kantuk yang tersisa. Namun begitu matanya menatap ke arah sofa tempat Alya masih terlelap, ekspresinya langsung berubah masam. “Cih… dasar pemalas,” desis Jonathan dingin, suaranya rendah tapi penuh ejekan. Ia berdiri, berjalan menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi. Setiap langkahnya terdengar tegas di lantai marmer yang dingin. Di dalam kamar mandi, suara air mengalir memecah kesunyian pagi. Jonathan membersihkan tubuhnya dengan cepat, sebab waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Hari ini, ia berencana mengantar Alya ke apartemennya—tempat yang sudah disiapkan khusus agar gadis itu tidak terus berada di bawah satu atap dengannya. Bagi Jonathan, menghabiskan malam dalam ruangan yang sama dengan Alya adalah siksaan tersendiri. “Sekuat-kuatnya kesabaran, mataku tetap sakit melihat gadis jelek itu,” gumamnya kesal di depan cermin. Begitu keluar dari kamar mandi, tubuh Jonathan tampak segar dengan balutan kemeja putih dan celana panjang abu tua yang rapi. Rambutnya tersisir sempurna, aroma sabun dan parfum maskulin samar tercium di udara. Namun suasana hatinya tetap dingin, sama seperti tatapan matanya yang kini kembali tertuju pada Alya. Gadis itu masih tertidur, wajahnya tampak lelah, seolah semalam ia tidak benar-benar beristirahat. Jonathan mendengus pelan. “Tidur terus… dasar pemalas,” gumamnya lagi, kali ini dengan nada lebih tajam. Ia tidak berniat membangunkan Alya. Dalam pikirannya, bukan tugasnya memperhatikan gadis yang ia nikahi hanya karena rasa terima kasih neneknya. Jonathan kemudian merapikan jas di bahunya, memeriksa jam tangannya, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah mantap. Beberapa menit setelah pintu kamar tertutup, Alya mulai menggeliat. Ia membuka matanya perlahan, merasakan cahaya pagi yang menyilaukan wajahnya. Tubuhnya terasa pegal karena tidur di sofa sempit, tapi ia berusaha duduk dan menarik napas panjang. Pandangan matanya langsung tertuju pada ruangan yang kini kosong. Hanya sisa aroma parfum Jonathan yang masih tertinggal. Alya menunduk pelan, menarik selimut yang semalam menutupi tubuhnya, lalu mengusap wajahnya lemah. “Kalau sudah bangun langsung mandi!” suara Jonathan yang dingin sempat terngiang di telinganya—entah benar-benar diucapkan tadi, atau hanya imajinasinya yang mengulang ucapan kasar itu. Alya menghela napas berat. “Dia bahkan tidak bisa berkata baik sedikit pun,” gumamnya lirih. Namun, bukannya marah, Alya justru mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, begitulah sifat Jonathan. Lelaki itu memang tidak menginginkannya sejak awal. Pernikahan ini hanyalah perjanjian, sebuah cara untuk melunasi hutang budi kepada Nenek Rosa. “Sabar, Alya… ini semua risiko dari pilihanmu,” ucapnya pelan, menatap bayangannya di kaca meja rias. “Tahan saja… hanya satu tahun. Setelah itu kau akan bebas.” Ia berdiri perlahan, menatap sofa yang menjadi tempat tidurnya dengan senyum pahit. Lalu, dengan langkah pelan tapi tegas, Alya menuju kamar mandi untuk bersiap. Meskipun hatinya terasa berat, ia bertekad menjalani hari itu tanpa keluhan. Karena bagi Alya, menyerah bukanlah pilihan—ia hanya perlu waktu untuk membuktikan bahwa dirinya lebih kuat dari semua hinaan yang diarahkan padanya. Pagi itu, aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruang makan besar kediaman keluarga Abigail. Meja panjang dari kayu jati itu sudah tertata rapi dengan piring-piring porselen putih dan peralatan makan perak berkilau. Sinar matahari masuk melalui jendela besar, menerangi ruangan yang tampak mewah dengan sentuhan klasik. Nenek Rosa sudah duduk di ujung meja, mengenakan gaun biru lembut dan selendang rajut di bahunya. Di sisi kanan, Paman Billy sedang membaca koran sambil menyeruput kopi, sedangkan Bibi Grace sibuk memotong buah segar ke dalam mangkuk kaca. Tak lama kemudian, Jonathan muncul dari arah tangga. Langkahnya tegap, wajahnya datar seperti biasa, dan tanpa banyak bicara ia segera mengambil tempat duduk di samping sang nenek. Tak ada senyum, tak ada sapaan pagi. Hanya suara gesekan kursi saat ia duduk. Beberapa detik kemudian, Alya datang menyusul. Gadis itu mengenakan dress sederhana berwarna krem, rambutnya ia ikat rapi ke belakang. Wajahnya terlihat sedikit pucat karena kurang tidur, tapi tetap berusaha menampilkan senyum sopan. “Selamat pagi, Nenek. Selamat pagi, Paman, Bibi…,” sapa Alya lembut sambil menunduk sopan. “Oh, pagi juga sayang,” balas Nenek Rosa hangat. “Alya, sini duduk di sebelahku.” Alya menurut. Ia duduk di sisi kiri nenek Rosa, berhadapan langsung dengan Jonathan. Tatapan lelaki itu sekilas naik menatapnya, lalu kembali ke piring tanpa ekspresi. Alya bisa merasakan hawa dingin yang keluar dari aura suaminya, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Jonathan, ambilkankan roti untuk istrimu,” ucap Nenek Rosa tiba-tiba dengan nada lembut namun tegas. Jonathan menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap sang nenek dengan sedikit kesal. “Dia bisa ambil sendiri, Nek,” jawabnya datar. “Jonathan.” Nada suara Nenek Rosa berubah sedikit menekan, cukup untuk membuat Jonathan mendengus kecil sebelum akhirnya mengambilkan sepotong roti dan meletakkannya di piring Alya tanpa menatap gadis itu. “Terima kasih, Tuan,” ucap Alya pelan, berusaha terdengar sopan meski jantungnya berdebar karena nada dingin Jonathan. “Tidak usah berterima kasih,” balas Jonathan dingin tanpa menoleh. Bibi Grace menatap mereka dengan senyum menggoda, lalu menyenggol lengan Paman Billy. “Aku bilang juga apa, pasangan baru pasti masih canggung.” Paman Billy hanya terkekeh kecil tanpa mengangkat kepala dari korannya. “Canggung atau dingin, yang penting jangan bertengkar di meja makan.” Nenek Rosa tertawa pelan mendengar candaan itu, tapi matanya tetap lembut menatap Alya. “Kau tidur nyenyak semalam, sayang?” Alya mengangguk pelan. “Iya, Nek… cukup nyenyak,” jawabnya berbohong. Ia tentu tidak ingin membuat Nenek Rosa khawatir. Jonathan yang duduk di seberang hanya mengangkat alis tipis mendengar jawaban itu, menahan diri untuk tidak berkomentar sinis. Dalam hati, ia berpikir: tidur di sofa keras begitu dan masih bisa bilang nyenyak? Suasana meja makan kembali hening beberapa saat. Hanya suara alat makan yang terdengar, diiringi percakapan ringan antara Bibi Grace dan Paman Billy tentang bisnis keluarga. Namun Nenek Rosa tampak memperhatikan sesuatu — bagaimana Alya berulang kali menunduk, berusaha tidak membuat kontak mata dengan Jonathan, dan bagaimana Jonathan tampak sengaja mengabaikannya. “Alya, nanti setelah sarapan bantu Nenek di taman, ya. Mawar-mawar itu sudah mulai mekar, tapi perlu dipangkas sedikit.” “Iya, Nek. Dengan senang hati,” jawab Alya cepat, matanya sedikit berbinar karena akhirnya punya sesuatu untuk dilakukan. “Dan kamu, Jonathan…” suara Nenek Rosa melembut tapi mengandung tekanan halus, “…temani istrimu. Setidaknya tunjukkan sopan santun di rumah ini.” Jonathan terdiam sejenak, menatap neneknya, lalu menghela napas berat. “Baik, Nek,” jawabnya singkat. Alya terkejut mendengarnya. Ia menatap Jonathan sekilas, tapi segera menunduk kembali. Dalam hatinya ia tahu, lelaki itu tidak melakukannya karena keinginan, melainkan semata-mata karena menghormati sang nenek. Namun, bagi Alya yang terbiasa disakiti dengan kata-kata dingin, bahkan satu kata “baik” itu terasa seperti bentuk perhatian kecil yang entah mengapa membuat dadanya sedikit hangat. Sementara itu, Jonathan hanya sibuk meneguk kopinya tanpa ekspresi, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul — rasa tidak nyaman karena tatapan lembut Alya yang sesekali mengarah padanya. Bersambung......Alya yang baru saja membuka pintu apartemen itu langsung terdiam kaku. Matanya membulat sedikit ketika melihat Jonathan duduk di ruang televisi, tampak masih mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung dan ekspresi dingin yang sulit ditebak. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan berita malam, namun jelas bahwa fokus lelaki itu bukan pada layar—melainkan pada dirinya.Langkah Alya sempat tertahan di depan pintu. Ia bingung, harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Dalam hatinya, ia bahkan berdebat dengan diri sendiri. Ia malas menegur, takut dianggap mencari perhatian. Tapi jika diam saja, bisa-bisa Jonathan menuduhnya tidak sopan.“Jam sepuluh malam lewat baru pulang?” suara Jonathan memecah keheningan. Nada suaranya datar tapi menusuk, cukup membuat suasana apartemen terasa tegang.Alya menunduk sesaat. Ia mencoba menenangkan diri, menata napas sebelum akhirnya mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap suami kontraknya itu.“Dalam kontrak tidak ada larangan tentang
Hari ini sedikit berbeda dari biasanya.Jonathan yang selama ini selalu pulang larut malam—kadang lewat dari pukul sepuluh, bahkan mendekati tengah malam—kali ini memutuskan untuk pulang lebih cepat. Entah apa alasannya, mungkin karena pekerjaannya sudah selesai lebih awal, atau mungkin karena pikirannya terlalu lelah untuk terus bergulat di kantor.Langit di luar jendela mulai berubah warna; jingga senja perlahan menelan biru langit sore, menyisakan bayangan-bayangan panjang di jalanan kota. Saat mobil hitam mewahnya berhenti di depan gedung apartemen, jarum jam di dashboard menunjukkan pukul enam tepat.Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, langkah Jonathan terdengar mantap namun berat. Sepatu kulitnya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang mengilap. Ia menempelkan kartu akses ke panel pintu, dan dalam sekejap, pintu apartemen terbuka otomatis.Begitu masuk, suasana hening langsung menyambutnya. Tidak ada suara, tidak ada aroma masakan, tidak ada siapa pun yang meny
Setelah pertemuannya di restoran beberapa hari lalu, Alya merasa jauh lebih tenang. Beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat setelah Bibi Grace mengetahui seluruh kebenaran tentang pernikahannya dengan Jonathan. Awalnya, wanita paruh baya itu sempat terkejut dan merasa kecewa membaca isi kontrak pernikahan mereka. Namun setelah tahu bahwa Jonathan sendirilah yang memulai semuanya, rasa kecewanya berubah menjadi iba. Ia bisa memahami posisi Alya—gadis polos yang hanya berusaha menjalani kewajiban tanpa pernah berniat menyakiti siapa pun. Selama seminggu ini, Bibi Grace memang tidak datang ke apartemen seperti biasanya. Tapi setiap kali menelpon, suaranya terdengar jauh lebih lembut, tak lagi menyudutkan Alya. Ia bahkan sempat meminta maaf dan menyatakan dukungannya terhadap keputusan gadis itu. “Terkadang terlalu ikut campur justru membuat keadaan semakin rumit,” ucap Bibi Grace waktu itu, dan Alya hanya bisa tersenyum setuju. Hari ini, seperti biasa, Aly
Saat Jonathan tiba di apartemennya, suasana begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain dengung lembut dari pendingin udara yang masih menyala di ruang tengah. Penerangan pun minim—lampu utama padam, hanya cahaya remang dari arah balkon yang menembus lewat gorden tipis, memantulkan siluet lembut di dinding apartemen yang bernuansa abu-abu modern itu.Jonathan berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang. Ia kemudian melonggarkan dasinya perlahan, gerakannya tampak lelah namun tetap berwibawa. Seolah semua energi dan kesabaran yang ia keluarkan di kantor siang tadi telah benar-benar terkuras.Begitu melangkah masuk, sensor otomatis di apartemen mendeteksi gerakannya. Seketika lampu menyala, menyinari ruangan luas yang kini tampak sepi dan dingin. Tidak ada siapa pun di sana, tidak ada suara langkah kaki Alya, atau aroma masakan yang menandakan seseorang sedang beraktivitas.Hanya kesunyian.Jonathan berjalan pelan menuju sofa di ruang tengah, menurunkan tubuhnya perlahan h
Alya melangkah pelan menuju kamar tidurnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi tanpa suara. Cahaya lampu temaram di koridor menyoroti bayangan tubuhnya yang tampak lelah. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban pikiran yang menumpuk membuat udara di sekitarnya semakin padat. Begitu sampai di kamarnya, Alya menutup pintu perlahan. Ia menatap ruangan yang tertata rapi, tapi terasa dingin dan kosong—tak jauh berbeda dengan perasaannya malam itu. Ia meletakkan ponsel di atas meja nakas, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa sesak setelah melihat berita tentang Jonathan dan Melissa Queen. Alya tidak berniat menunggu suaminya pulang. Ia sudah hafal kebiasaan Jonathan—lelaki itu jarang pulang malam-malam begini, dan kalaupun pulang, sikapnya selalu dingin, seolah kehadiran Alya tidak pernah berarti apa-apa. Lagi pula, dalam kontrak pernikahan mereka jelas tertulis bahwa Alya tidak diwajibkan menjalankan peran istri sepenuhnya. Ia
Alya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela. Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia b







