Irene tiba di depan ruang ICU. Akan tetapi ia tak menemukan Naira di tempat duduk favoritnya. Matanya mencari ke sekeliling. Namun, langkahnya terhenti saat sayup-sayup suara musik berputar. Sebuah lagu lawas kurang familiar berputar di telinganya. Kakinya pelan dan ragu mendekat ke arah kaca pintu ruang ICU tempat William di rawat. Matanya mengintip ke arah sana, dan terlihat Naira tengah tertidur di kursi samping papanya sambil memutarkan lagu yang diduga kesukaan papanya. Irene tak bisa masuk begitu saja, ia harus melapor dulu pada dokter yang berjaga. Karena Naira bisa di dalam sana menggunakan pakaian steril rumah sakit. Ia pun mengetikkan pesan untuk Naira agar dia keluar sebentar, mengatakan bahwa dirinya sudah tiba di depan ruang ICU. Setelah pesan itu terkirim, tak lama Naira muncul menyisakan wajah pucat bercambur kantuknya yang masih terjaga dari semalam.
"Nai," sapa Irene sedikit cemas. Ia hendak menyentuh bahunya, namun Naira menahannya. "Tunggu. B"Kau sudah bangun, Nai?" "Kau darimana saja, Ken?" Satu pertanyaan masing-masing serentak keluar bersamaan membuat keduanya saling bertatap muka dalam kebisuan. Satu alis Naira sedikit terangkat, memiringkan kepalanya, sementara Ken salah tingkah dengan ekspresi wajahnya kurang nyaman. Naira pun berbalik arah menuju sofa ruang tamu tanpa mengindahkan pertanyaan Ken. Ken, yang berpikir Naira akan salah paham, buru-buru menyusulnya dan ikut duduk di sofa menatapnya. "Maafkan aku, Nai. Pergi tanpa memberitahumu dulu. Karena aku tak ingin mengganggumu istirahat," ungkap Ken hati-hati. "Aku hanya pergi ke rumah orang tuaku saja. Seperti biasa, Papa ingin bertemu mengobrol santai seperti biasanya," lanjut Ken, sambil tersenyum untuk mencairkan situasi yang kurang nyaman. Naira menghembuskan desah napasnya. "Baiklah, tak apa, Ken," balasnya, terselip perasaan mengganjal, namun berusaha untuk mengerti dan percaya. "Hanya saja, kau sama sekali tak memberitahuku lewat pesan apapun. Jad
"Kau yakin akan berhasil?" Ken menggeleng ragu. "Coba saja. Karena ...aku lebih lama mengenal Laura." Wilson mengangguk-angguk kecil. Wajahnya menekuk serius tengah berpikir. "Lalu, apakah istrimu tahu tentang hal ini?" Ken mengangkat sedikit alisnya. "Tidak, dia sedang tidur saat papa menghubungiku soal ini," "Syukurlah. Setidaknya dia jangan selalu terlibat mengenai keluarga kita." Dahi ken mengernyit dengan kalimat papanya yang terakhir. "Kenapa Pap?" tanya Ken, sedikit tersentil ingin tahu. Wilson menarik napasnya. "Ya. Papa hanya menjaga pesan dari ayahnya, dan ia tak ingin putrinya terlalu banyak menanggung semua masalah yang tidak ia lakukan." "Mau sampai kapan ayahnya bersembunyi?" tanya Ken menekan. "Kalau memang dia memiliki power yang besar, harusnya dari sejak awal dia mengambilnya. Kenapa dia biarkan putrinya hidup bersama siapapun?!" Protes Ken, mengungkapkan semua yang terjadi pada istrinya.
Langit sudah gelap. Udara malam menyelinap masuk lewat jendela menapaki dinding-dinding semu. Suara pintu apartemen berbunyi membuka sandi, tak lama sosok Ken baru saja tiba setelah seharian bekerja. Ken melangkah santai menyalakan lampu apartemen yang masih gelap. Terlihat sepasang sandal pink tergeletak tak teratur dekat keset. Ia merapikannya seperti biasa di rak sandal. Lalu, langkahnya berlanjut masuk ke kamar utama. Saat membuka pintu kamarnya, tampak selimut menggulung tubuh Naira. Ken menghela napas lega, akhirnya istrinya benar-benar istirahat. Ia meletakkan tasnya di meja, mengendurkan dasinya, lalu mendudukkan tubuhnya di samping Naira yang tertidur nyenyak. Garis sudut bibirnya naik saat menatap wajah Naira yang polos jika sedang tertidur. Ia teringat bagaimana dulu saat mengenalnya pertama kali, gadis di hadapannya sangat kaku ketika memerankan gadis nakal yang ingin berusaha memerasnya. Meskipun sedikit kesal, namun saat itu Naira sangat menghibur kala dirinya merasa ko
Naira mengangguk pelan, saat Irene menebak jika dirinya tengah hamil. Satu tangan Irene menutup mulutnya yang setengah menganga. Cukup penasaran, namun terselip rasa khawatir pada Naira. Bagaimana dengan Ken? Apa dia sudah mengetahuinya? batin Irene resah. Mengingat hubungan asmara mereka masih terjalin belum lama, mungkinkah Ken dan keluarganya siap dengan kenyataan itu? Naira menghela napas beratnya saat mereka duduk bersama di kursi pojok luar toilet. Bibirnya terkatup rapat ketika rentetan pertanyaan Irene menghampirinya. "Apakah Ken tahu? Bagaimana dengan keluarganya jika kau benar-benar hamil? Bukankah sejak awal kau hanya menikah kontrak? Apakah saat kau mabuk dan meminum obat perangsang malam itu adalah awal kau berhubungan dengannya ...? Bagaimana dengan pap ..." "Stop, Ren. Kepalaku sedikit pusing," potong Naira saat Irene masih saja belum berhenti menginterogasinya. Suasana depan toilet yang len
Irene tiba di depan ruang ICU. Akan tetapi ia tak menemukan Naira di tempat duduk favoritnya. Matanya mencari ke sekeliling. Namun, langkahnya terhenti saat sayup-sayup suara musik berputar. Sebuah lagu lawas kurang familiar berputar di telinganya. Kakinya pelan dan ragu mendekat ke arah kaca pintu ruang ICU tempat William di rawat. Matanya mengintip ke arah sana, dan terlihat Naira tengah tertidur di kursi samping papanya sambil memutarkan lagu yang diduga kesukaan papanya. Irene tak bisa masuk begitu saja, ia harus melapor dulu pada dokter yang berjaga. Karena Naira bisa di dalam sana menggunakan pakaian steril rumah sakit. Ia pun mengetikkan pesan untuk Naira agar dia keluar sebentar, mengatakan bahwa dirinya sudah tiba di depan ruang ICU. Setelah pesan itu terkirim, tak lama Naira muncul menyisakan wajah pucat bercambur kantuknya yang masih terjaga dari semalam. "Nai," sapa Irene sedikit cemas. Ia hendak menyentuh bahunya, namun Naira menahannya. "Tunggu. B
"Kau bawa apa itu?" Irene melirik ke arah rantang ditangannya, lalu tersenyum. "Ah, ini titipan ibuku untuk Naira di rumah sakit," jawabnya sambil membuka pintu samping mobil milik pria itu. "Ibumu sangat perhatian sekali, ya?!" "Ya, betul sekali. Ibuku malah lebih perhatian pada Naira daripada putri kandungnya. Tapi aku tak pernah iri, karena uang Naira mengalir lancar untukku juga," selorohnya, sambil sibuk memakaikan sabuk pengaman, namun sedikit macet saat hendak menancapkannya pada gesper. Pria itu membantu menariknya pelan, mencari tali sabuk yang terlipat. Tanpa sadar tubuh keduanya sangat dekat, hampir menempel. Sejenak Irene reflek menatap wajahnya, keduanya saling beradu pandang selama beberapa detik. Tiba-tiba jantungnya terasa berdebar kencang. Aliran panas dari saraf otaknya begitu cepat berpindah menguasai rongga dadanya. Ia menelan salivanya dan buru-buru tersadar saat pipinya mulai memerah. Ia memalingkan wajahnya saat pria itu selesai menguncinya."Terimakasih," l