Satu tamparan keras di pipi kanan Ken sedikit mengalirkan sensasi panas yang menjalar ke ruang dadanya. Ken ikut bangkit dan tangannya mulai memegang kedua tangan Naira dengan tatapan tajamnya.
"Jangan sok suci nona! Saya tahu siapa Anda sebenarnya!" ucap Ken menghentikan tubuh Naira yang hendak melangkah keluar. "Anda pikir, ketika sudah berhubungan dengan saya, hidup Anda akan lebih mudah? Saya bahkan tahu tempatmu bekerja, nomor apartemenmu, dan juga akun sosial mediamu." Tegas Ken membuat Naira semakin terpaku. "Tolong lepaskan!!! Saya hanya minta Anda membayar apa yang telah Anda lakukan malam itu!" teriak Naira berusaha ingin kabur. Namun ingatannya terus mengawang ke arah uang yang harus ia dapatkan. Karena waktunya semakin sempit mengingat bos Sam sudah beberapa kali menghubungi untuk memperingatinya. Suasana ruang tamu semakin memanas tatkala mereka beradu mulut dan mata. Naira yang mencoba melepaskan genggaman Ken tak mampu ia tepis karena kekuatan pria di depannya lebih unggul. Ken yang merasa Naira mulai melakukan perlawanan, dengan cepat ia mengangkat tubuh Naira dan membopongnya dengan paksa ke arah kamar utamanya. Ia menghempaskannya ke ranjang dan mencoba menindih Naira yang terus melawan. Kedua tangan Naira diangkatnya ke atas dan ditahan satu tangannya. Naira menyadari perlakuan kasar Ken yang tiba-tiba. Ia hanya berharap ada yang menolongnya. Ken tertawa kecil melihat Naira yang panik. Gadis licik di hadapannya ternyata menampilkan kepribadian yang berbeda, tidak seperti caranya menggoda saat itu. "Tolong lepaskan saya tuan, saya hanya butuh kompensasi atas kejadian malam itu," lirih Naira memohon. " Salah kau sudah mau bermain-main dengan saya, nona! Maka menyerahlah, untuk malam ini kita bisa saling menikmatinya. Hahaha ..." ucap Ken tertawa terbahak-bahak. Ia menyadari ucapannya hanya untuk menguji gadis di hadapannya ini sehebat apa menjadi gadis licik dan nakal. Bukankah setiap wanita yang mendekatinya menginginkan untuk tidur dengannya? Jadi ia berpikir Naira tak seharusnya menolak. "KENDRICK WILSON?! APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN?!" teriak suara perempuan paruh baya saat membuka pintu kamar Ken. Posisi Ken yang sedang menindih Naira terperanjat dan menoleh ke arah suara di belakangnya. Ken yang tersadar suara mamanya, menoleh dan terperanjat mengetahui mamanya sudah berdiri di pintu bersama adiknya yang bernama Cathlene. Keduanya sangat terkejut mendapati Ken sedang bercumbu dengan gadis asing di penthaus pribadinya. Padahal yang mereka tahu, tak sembarang orang bisa masuk bahkan sampai ke kamar utama milik Ken. Cathlene yang geram dengan posisi kakaknya menindih seorang wanita, langsung menarik kasar tangan Naira dan menjatuhkannya ke pinggir ranjang. " Siapa kamu? Kenapa kamu bersama kakakku?!" tanya Cath lantang menunjuk Naira yang tertunduk, rambutnya hampir menutupi wajahnya dan jemarinya sedikit gemetar. Naira merasa terjebak dengan berbagai masalah baru di hadapannya. Ia hanya bisa pasrah dan diam membisu. Ken juga semakin terpojok, hendak menolong Naira yang terjatuh tapi kakinya seakan tertahan karena situasi di luar dugaan. "Ken, apa yang kau lakukan bersama wanita ini? Siapa wanita ini? Kenapa kalian bisa di tempat tidur bersama? Jawab Mama?!" tanya Mama Ken menginterogasi dengan napas yang terengah-engah. "Mam, please ini cuma salah paham. Yang kalian lihat tidak seperti yang dikira. Dia bukan siapa-siapa, Ken juga tidak mengenalnya," jawab Ken mendekati mamanya sambil berjongkok memegang tangannya, Ia memohon agar mamanya bisa tenang. "Apa maksudmu tidak mengenalnya? Kenapa kau bisa membawanya ke sini?" tanya mamanya mengkerutkan kening. "Apa kakak berselingkuh dari kak Laura?!" Cathlene ikut menambahkan dengan wajah kesalnya. Ken menggeleng cepat. "Ya, Tuhan ...Ken, kenapa sejauh ini kamu lakukan, Sayang?" Mama Ken menutup mulutnya tak percaya. Ia langsung merogoh ponsel dalam tasnya seperti hendak menghubungi seseorang. "Tidak Mam, ini tidak seperti yang kalian kira. Kami bahkan tidak melakukan apapun, Ken juga tidak berselingkuh dari Laura. Kami sudah putus," jawab Ken dengan suara rendahnya sambil tangannya berusaha menahan ponsel mamanya untuk menghubungi seseorang. Karena Ken sudah tahu siapa yang akan dihubunginya. "Tolong Mam, dengarkan Ken. Ini salah paham. Ken akan jelaskan, tapi Mama jangan telepon papa, kumohon ...ayo kita duduk dulu di sana." lanjut Ken meyakinkan mamanya dan mengarahkan ke ruang tamu. Sementara Naira masih terduduk. Membaca situasi yang semakin runyam, ia hanya tersenyum di balik rambut yang menutupinya. Ia baru tahu bagaimana tingkah Ken yang semakin terpojok ketika ketahuan bersama dengan wanita asing dalam sebuah kamar pribadinya. Mama dan Cathlene yang belum menemukan jawaban jelas dari Ken saling berpandangan dan melirik kembali Naira yang terduduk menunduk di pinggir ranjang. "Baiklah, Sayang. Mama percaya kamu, Mama akan dengarkan penjelasanmu." Mama Ken mencoba mengerti keadaan anaknya, ia mengajak Ken untuk berdiri dan mengusap punggungnya. "Tunggu!" Suara Naira menghentikan ketiganya yang hendak berbalik badan. Naira segera bangkit berdiri dan merapikan pakaian dan rambutnya, ia melirik mata Ken yang melotot dan ia arahkan pandangannya ke mamanya Ken dengan penuh keyakinan."Tawamu terdengar mencurigakan, Ken? Apa kau sedang menyembunyikan hal lain dariku?" "Apa?! Ti-tidak! Bukan apa-apa, hanya saja tuan Fred adalah sahabat Papa dan juga tuan William yang kumaksud sepuluh tahun yang lalu." Naira membelalak. "Ja-jadi ..." "Ya, beliau juga ada di sana pada hari itu. Dan beliaulah, yang membantu permodalan perusahaan Papa dan juga—" Tiba-tiba suara ponsel Naira berdering, menghentikan kalimat Ken yang sempat terputus. Naira menatap layar, Irene meneleponnya. "Halo, Ren, ada apa?" "Nai, gawat! Papa mengeluarkan busa di mulutnya. Aku melihat ada banyak obat berserakan." "Apa?! Astaga! Kau cepat hubungi ambulans, aku akan menyusul ke sana!" seru Naira yang di setujui Irene di ujung sana. Ia pun buru-buru hendak turun, namun rasa nyeri di perut menghantamnya kembali. "Nai? Ada apa? Apa yang terjadi dengan papamu?" Ken ikut khawatir. "Papa, Ken ...Papa ...! Sepertinya Papa overdosis. Aku harus segera ke sana!" "Ah, ya Tuhan ..." Ken mengusap k
"Halo ...selamat datang tuan Fred ..." sapa Wilson tersenyum merekah menyambut kedatangan pria tua yang membuat Naira membeku sesaat. 'Hah? Tuan Fred?! Tuan Wilson mengenalnya?!' Naira membatin dengan mata yang masih membelalak ketika melirik Ken yang juga menyalami Fred dengan sikap santainya. Seolah keakraban itu sudah terjalin lama. 'Apa ini sebuah kebetulan? Kenapa tuan Fred itu bisa begitu mudah bertemu lagi denganku setelah hari sebelumnya kami berpapasan?'. Dalam benaknya, ia teringat bagaimana awal mula pertemuannya di rumah sakit. Itu terjadi saat tuan Fred menjenguk Papa karena sudah menyelamatkan. Apakah dunia sesempit itu?! "Halo, kita bertemu lagi, Nona ..." Suara Fred tiba-tiba menghentikan lamunan Naira. "Ah! Tu-tuan Fred? Hai ...rupanya Anda sedang di rumah sakit juga, ya?" "Lho?!" Fred bertukar pandang menunjuk ke arah Ken dan Wilson. Namun, mata Wilson seakan memberi isyarat untuk tak terbaca. "Hahah
Sorot cahaya putih tiba-tiba menyilaukan mata. Naira mengerjap-ngerjap memperjelas pandangan. Suhu ruangan itu terasa dingin. Bau aroma antiseptik sangat kental menusuk penciumannya. "Di mana aku?" "Kau sudah siuman, Nai?" Suara Ken terdengar serak. Nadanya penuh kecemasan. Ia menyentuh wajah Naira yang baru saja terbangun. "Jam berapa ini?" Sejenak Ken terdiam. Lalu, ia menatap lekat Naira. "Jam sembilan malam," jawabnya pelan. "Kau tadi pingsan di depan lift. Aku sangat panik ketika melihatmu tak sadarkan diri. Maaf, karena aku terlambat mengetahui kalau sebelumnya kau mengejar Mama dan Cath." Naira mengedarkan pandangannya. Tampak peralatan rumah sakit berjejer sesuai tempatnya. 'Ha? Aku di rumah sakit?' batinnya. "Aku cemas sekali saat di apartemen. Makanya aku telepon sopirku, lalu buru-buru membawamu ke sini." "Ha ... Ah ...ya, aku baru teringat," gumam Naira lirih, bangkit untuk duduk. Namun, saat tu
"Kakak ...." panggil Cath menghampiri Ken, sambil terisak memegang pipinya yang terkena tamparan Naira. 'Syukurlah, Ken melihatnya langsung bagaimana perbuatan Naira,' batin Jasmine, meremas jemarinya di dada. Sementara Naira menelan kasar salivanya. Ken datang, disaat ia reflek menampar Cath yang bicara keterlaluan padanya. "Kakak ...lihat! Wanita penipu itu menamparku ...pipiku sakit sekali...dia sudah keterlaluan, Kak!" rengek Cath merasa tersakiti. Naira hanya menggelengkan kepalanya. Ingin rasanya menjelaskan, namun suaranya seakan tercekat ketika tatapan Ken memicing tajam padanya. Ken mengabaikan rengekan adiknya. Ia langsung berjalan mendekat ke arah Naira yang mulai terlihat gugup dan cemas. "Ken ...bukan maksudku ..." Suara Naira terdengar pelan. Namun, tiba-tiba, tangan Ken memegang lembut bahunya. Naira menatap dalam kebisuan saat mata Ken lekat menatapnya. "Maafkan adikku, Nai ..." Sontak, Cath dan Jasmine tercengang mendengar kalimat yang baru saja keluar dari m
"Mama ...?! Cath ...?!" "Kenapa? Kau terkejut dengan kedatangan kami?!" Naira spontan menggeleng. "Ah, tidak! Hanya saja ...apakah Ken tahu kalian ada di sini?" Suaranya terdengar rendah. Cath tersenyum menyeringai. "Memangnya perlu ya, seorang adik dan Mamanya datang harus meminta izin pada kakaknya?! Bukankah, dulu saat kau menjebak kak Ken, kami tak perlu meminta izin padanya saat kau sedang menjalankan aksi?!" Dahi Naira sedikit berkerut. Ia menatap keduanya berjalan mendekat ke arahnya. Jasmine, menepuk lembut bahu Naira, namun dengan sentuhan yang tersirat. Ia mendekatkan kepalanya sambil berbisik menekankan, "Mama tebak, kau datang ke sini karena sesuatu, kan? Tampaknya, wajahmu terlihat berseri. Seperti sebuah kabar baik datang padamu. Apakah benar dugaanku?" Deg! Jantung Naira mencelos. 'apa maksud ucapan Mama? Apa itu artinya mereka juga mengeta
Di sebuah taman tak jauh dari apartemen Naira, Irene menemui sahabatnya sedang duduk dalam lamunan. Sambil menyodorkan satu kaleng minuman dingin, dia duduk di sampingnya. "Minumlah. Ini tak ada sodanya. Aman untuk ibu hamil." Naira melirik ke arah minuman itu, lalu pelan menerimanya. "Terimakasih," ucapnya terdengar lesu. Irene meneguk minuman miliknya, lalu terdengar desahan napas panjangnya. "Jika aku berada di posisimu, aku juga pasti akan sulit menentukan pilihan, Nai. Papamu sudah merawat dan menjadi peran ayahmu selama 20 tahun. Jadi, perasaan merelakan itu takkan mudah ia lakukan. Itulah kenapa, beliau masih menyembunyikannya selama ini." Naira ikut membuka tutup kaleng minumannya, lalu meneguknya juga hingga tersisa setengah. Sambil menarik napas panjangnya, ia mengatakan dengan lesu,"Ya. Aku tahu itu, Ren. Hanya saja, menurutku Papa dari dulu belum berubah. Keegoisannya selalu menukar apa yang harusnya jadi pilihanku, dengan apa yang harus kuturuti. Aku hanya sedikit k