Di cafe rumah sakit, Ken dan Naira duduk di antara meja-meja pengunjung yang lain. Ken terlihat sedang memilih beberapa menu yang disediakan cafe kecil tersebut. “Kau mau makan apa, Sayang?” Ken menunjukkan tampilan buku menu ke hadapan Naira. Namun, perut Naira terasa bergejolak. Bahkan ia hanya menatap gambar makanan itu dengan mata yang tak semangat. “Kau kenapa? Apa sebelumnya sesuatu terjadi padamu?” tanya Ken. Dahinya sedikit berkerut, tatapannya menyapu wajah Naira yang pucat. Alis Naira sedikit terangkat. “Ya?! Eh, ti-tidak. Aku baik-baik saja,” jawab Naira sedikit gugup. “Wajahmu terlihat pucat, kau sepertinya …” “Um, aku mau pesan ini kok, Ken.” Tunjuk Naira asal pada menu makanan. Satu alis Ken terangkat dengan pilihan Naira yang jauh sekali dari bayangannya.
"Memangnya kenapa dengan papamu? Apakah ia tak merestui hubungan kalian?" tanya Roselina, sedikit memicingkan matanya. "Hah? Ti-tidak. Um ...bagaimana ya, aku menjelaskannya?!" "Hm, waktu itu kau berhutang cerita pada tante soal kehidupanmu setelah pergi dari rumah Aozora. Sekarang, ayo ceritakan semuanya padaku! Tante tidak mau kau mengulur-ulur terus masalahmu," cecar Roselina mengingatkan. Dahi Naira bertaut, dengan bibir yang sedikit menurun. "Maaf ...bukan maksudku mengulur, Tan. Tapi ...aku takut sekali tante ikut menghakimi seperti papa. Tidak mengerti apa yang sedang kulakukan demi kebaikan, meskipun itu berawal dari keburukan," sanggah Naira sedikit khawatir. Roselina menghela kasar napasnya. Matanya membuang ke arah lain, seperti sejenak berpikir. Lalu kembali menatap lekat Naira. "Dengar Cleo, dua tahun yang lalu adalah kesalahanku yang paling fatal terhadapmu. Dan sekarang, aku menyadari keponakanku ini selalu masih di jalan ya
"Cleo ...sebelum tante ke sini, tante mampir membeli makanan. Dari sejak pagi, tante melihatmu belum makan apapun." Roselina mengeluarkan kotak makanan dari paper bagnya. "Sekarang, makanlah ini. Kesukaanmu," ucap Roselina menyodorkan ke hadapan Naira. Namun, Naira hanya memandangnya kosong tanpa segera berniat menyentuhnya. "Kau kenapa? Apa kau sudah tak suka dengan makanan kesukaanmu?" tanya Roselina keheranan. Naira menggeleng. "Tidak, tan. Aku ...hanya sedang tidak berselera makan. Akhir-akhir ini tubuhku merasa mudah kelelahan," jawab Naira, mengembalikan kembali makanan itu pada Roselina. Mata Roselina menangkap mata Naira yang layu dan wajah sedikit pucat. "Sepertinya kau kurang fit, Cleo. Bagaimana kalau kita periksa saja mumpung sedang di rumah sakit." "Eh, tidak perlu, Tan. Naira baik-baik saja. Naira ...mau ke toilet dulu," tolak Naira, perlahan bangkit berdiri. Sementara Roselina merasa Naira terlihat sedikit berbeda. Dan itu seperti tanda pada wanita-wanita setelah men
Setibanya di gerbang rumah sakit, Naira turun dari mobil Ken. Satu kecupan manis dari bibir Ken mendarat di dahinya, seolah ingin memberikan kekuatan. "Aku pamit ke kantor, ya. Kabari aku kalau ada apa-apa," ucap Ken, menatapnya penuh perhatian. Naira mengangguk, hatinya sedikit lebih tenang. Setelah mobil Ken melaju menjauh, Naira pun segera masuk ke dalam bangunan besar dua tingkat itu, menembus keriuhan koridor yang disibukkan para perawat, dokter, pasien, dan pengunjung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Kakinya melangkah gontai mendekati pintu kaca. Di baliknya, tubuh William terbaring tak berdaya, selang dan alat medis tampak menempel di mana-mana. Wajahnya yang biasanya penuh tawa kini pucat pasi, tak menunjukkan tanda-tanda gerakan sedikit pun. Sudah lebih dari tiga hari sejak kejadian, namun William masih enggan membuka matanya. ‘Mungkinkah papa akan koma dalam waktu yang lama? Bagaimana kalau papa tidak pernah bangun lagi?' batin Naira terusik, mencekiknya dengan ket
"Sayang... selama Papamu belum sadar, kau tinggallah bersamaku. Nanti... aku akan menyewa perawat untuk menjaganya bergantian denganmu," Ken memulai pembicaraan saat Naira tengah menyiapkan beberapa lembar pakaian untuk dibawa ke rumah sakit. "Entahlah, Ken. Aku tak yakin akan setenang itu meninggalkan Papa di sana dan bisa pulang ke apartemenmu setiap hari." "Apa kau akan terus bermalam di sana sendirian?" tanya Ken hati-hati. Naira menoleh, menghentikan aktivitasnya sejenak seolah berpikir. Ia menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya. Ken bangkit dari ranjang Naira, yang sempat ia tiduri sambil menunggu Naira membersihkan apartemennya setelah beberapa hari ditinggalkan. Kakinya melangkah ke arah bingkai foto yang memperlihatkan Naira kecil bersama William, keduanya tampak tersenyum berpelukan. Tangannya meraih satu bingkai foto lain di sampingnya, foto keluarga lengkapnya. Ia menghela napas dalam. "Apa kau tak ingin mencari tahu siapa ayah kandungmu yang sebenarnya, Nai?"
Malam itu, aroma tanah basah menyelimuti RS Sehat Sejahtera. Ken baru saja memarkir mobilnya, lalu melangkah cepat menuju ruang ICU tempat ayah mertuanya dirawat. Di lorong yang temaram, Naira dan Irene tampak duduk menunduk, terkantuk-kantuk. Ken melirik layar monitor kecil; suara bip ICU terdengar normal, namun rasa dingin menyusupi kulit siapa pun yang menunggu. Ken menghampiri Naira, lalu duduk perlahan di sampingnya agar tak membangunkannya. Ia meletakkan dua kantong makanan yang dibawanya dan melepaskan jaketnya, hendak menutupi punggung Naira yang hanya terbalut kemeja tipis. Rupanya Naira tersadar saat Ken sudah di sisinya. Lamat-lamat ia membuka mata, bergumam serak, "Ken?" Irene, yang juga di samping Naira, ikut terbangun dan menatap Ken. Keduanya pun meregangkan pinggang, bersandar di kursi besi. "Sayang, pakai ini. Kau kedinginan," bisik Ken lirih, memakaikan jaketnya ke tubuh Naira. Naira menerimanya. "Kalian pasti belum sempat makan malam. Ren, makanlah. Saya bawakan du