Setelah William Chen pergi, suasana ruangan tetap dipenuhi ketegangan yang menggantung. Arumi duduk di kursinya, masih mencerna percakapan tadi. Bastian, di sisi lain, tampak tenang seperti biasa. Ia mengambil gelas airnya, menyesapnya perlahan, lalu menatap timnya.
“Kalian dengar sendiri, kan? Kita punya waktu satu bulan untuk membuktikan bahwa Mengantara Luxury layak mendapatkan investasi.” Para eksekutif saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan. Seorang manajer pemasaran, Andre, angkat bicara. “Kita bisa dorong kampanye digital lebih agresif. Gunakan influencer kelas atas untuk meningkatkan hype.” Arumi mengerutkan kening. “Tapi kalau kita hanya mengandalkan influencer, bukankah terlalu mainstream? Kita butuh strategi yang benar-benar bisa bikin orang merasa kalau produk ini eksklusif.” Bastian menoleh ke arahnya dengan ketertarikan. “Lanjutkan.” Arumi berpikir sejenak sebelum berkata, “Kita buat event private launch untuk sosialita dan beauty enthusiast kelas atas. Tidak semua orang bisa masuk, hanya undangan terbatas. Itu akan membuat orang penasaran dan merasa harus memiliki produk ini agar bisa ‘masuk’ ke dalam circle eksklusif itu.” Andre mengangguk pelan. “Eksklusivitas bisa jadi daya tarik… Orang kaya suka hal-hal yang tidak bisa didapat semua orang.” Bastian menyeringai. “Arumi, kau semakin menarik.” Arumi hanya mendecak, mencoba mengabaikan cara pria itu menatapnya. Bastian berdiri, merapikan jasnya. “Baik. Kita lakukan itu. Event launching diadakan di salah satu hotel bintang lima. Aku ingin semua tamu yang datang merasa seperti bagian dari elite society.” Tiba-tiba, ponsel Arumi bergetar di meja. Saat ia melihat nama di layar, wajahnya langsung berubah. Bara. Ia menatap layar itu sesaat sebelum akhirnya menekan tombol decline. Bastian memperhatikannya dengan tatapan tajam. “Bara masih menghubungimu?” Arumi menghela napas. “Dia mantan, bukan hantu. Masih suka muncul tiba-tiba.” Bastian tertawa kecil. “Hati-hati, Arumi. Dalam dunia bisnis, cinta dan kepentingan sering kali bercampur. Pastikan kau tidak terjebak.” Arumi menatapnya tajam. “Aku tahu batasannya.” Bastian menyeringai. “Bagus. Karena sekarang kau berada di tengah perang, dan aku tidak mau ada kelemahan di sisiku.” Arumi terdiam. Ia tahu satu hal—permainan ini semakin serius. Dan ia harus siap menghadapi semua konsekuensinya. Arumi berjalan di samping Bastian menuju kantor setelah rapat yang menegangkan. Tumit tingginya mengetuk lantai marmer yang mengilap. "Aku masih nggak nyangka kita cuma punya waktu sebulan," gumam Arumi sambil melirik Bastian di sampingnya. Bastian memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Kau takut?" tanyanya, nada suaranya tenang seperti biasa. Arumi mendengus. "Takut? Nggak. Tapi agak deg-degan, iya." Bastian meliriknya sekilas, sudut bibirnya tertarik membentuk seringai kecil. "Bagus. Aku suka orang yang berani ambil tantangan." Arumi baru akan membalas ketika tiba-tiba— "Akkhh!" Lantai licin yang baru dipel membuatnya kehilangan keseimbangan. Tumit tingginya tergelincir, dan dalam sekejap, tubuhnya nyaris jatuh ke belakang. Tapi sebelum itu terjadi, sepasang tangan kuat menangkapnya. Bruk! Arumi menahan napas. Ia mendongak dan menemukan wajah Bastian tepat di depannya. Sangat dekat. Mata mereka bertemu. Seakan dunia berhenti berputar. Jantung Arumi berdebar kencang, begitu juga dengan Bastian yang tiba-tiba kehilangan ekspresi dinginnya. Napas mereka saling bersilangan di udara. "Ehm… saya minta maaf, Mbak, Pak…" suara seorang OB yang ketakutan memecah keheningan. Arumi dan Bastian langsung tersadar. Dengan canggung, Bastian perlahan membantu Arumi berdiri tegak. Arumi merapikan pakaiannya dan berdeham. "Eh… iya nggak apa-apa, hati-hati lain kali ya." OB itu mengangguk cepat, "Iya, Mbak, maaf banget, tadi saya baru ngepel lantainya belum sempat dikasih tanda." Bastian masih diam. Ia menatap Arumi lama sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Lain kali, hati-hati saat berjalan." Arumi mendelik, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Itu bukan salahku, oke?" Bastian hanya tersenyum tipis, lalu kembali berjalan ke kantor. Arumi mengikuti di belakangnya, masih bisa merasakan detak jantungnya yang belum kembali normal. Apa tadi itu? Ia mencoba mengabaikan pikirannya, tapi satu hal yang pasti—ia tak bisa menyangkal bahwa sentuhan Bastian tadi membuat sesuatu dalam dirinya bergetar. Sesampainya di kantor, Arumi masih bisa merasakan panas di pipinya. Ia berusaha mengabaikan fakta bahwa detak jantungnya belum normal sejak insiden tadi. Bastian berjalan ke arah meja kerjanya, melepas jas dan menggantungnya di sandaran kursi. Ia menatap Arumi sekilas. “Kalau kaget sampai sekarang, aku sarankan kamu minum air dingin.” Arumi mendengus. “Saya nggak kaget, Pak. Cuma… ya, nggak nyangka aja.” Bastian menyilangkan tangan di dadanya, menatapnya tajam. “Nggak nyangka kalau hampir jatuh, atau nggak nyangka karena aku menangkapmu?” Arumi terdiam sejenak sebelum menjawab defensif. “Dua-duanya.” Bastian tertawa kecil. “Kamu terlalu banyak berpikir, Arumi.” Belum sempat Arumi membalas, ketukan terdengar di pintu. Seorang asisten masuk, membawa dokumen. “Pak Bastian, ini data analisis pasar untuk produk baru kita.” Bastian mengangguk. “Letakkan di meja.” Asisten itu menurut, lalu melirik Arumi dengan penasaran sebelum keluar ruangan. Arumi menghela napas panjang. “Baiklah, jadi apa langkah selanjutnya?” Bastian membuka dokumen dan membaca sekilas. “Kita akan mengadakan private launching dalam dua minggu. Aku ingin kamu menangani tamu-tamu VIP, memastikan semua berjalan lancar.” Arumi berkedip. “Saya? Bukannya ada tim event untuk itu?” Bastian menutup dokumen dan menatapnya. “Aku mau kamu yang pegang. Karena aku ingin kamu paham bahwa bekerja di sini bukan hanya tentang menjadi sekretaris. Aku butuh seseorang yang bisa berpikir cepat dan mengambil keputusan.” Arumi menelan ludah. “Ini seperti ujian, ya?” Bastian menyeringai. “Bisa dibilang begitu. Jadi, siap?” Arumi mendesah, lalu mengangkat dagunya. “Tentu saja.” Bastian tersenyum miring. “Bagus. Aku suka orang yang tidak mudah mundur.” Arumi merasakan tatapan pria itu lebih dalam dari sebelumnya. Ia mengalihkan pandangannya, mencoba fokus pada tugasnya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu—hubungannya dengan Bastian mulai memasuki zona yang lebih berbahaya.Arumi melangkah mundur dari meja, menatap Bastian dengan campuran marah dan takut. "Apa semua ini karena tadi malam?" tanyanya pelan, nyaris berbisik. Bastian tidak langsung menjawab. Tatapannya tak berubah, tetap tajam dan menghanyutkan. Ia berdiri, perlahan mendekat. "Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan," katanya akhirnya. "Kau pintar, Arumi. Kau tahu kenapa aku tak ingin kau pergi." Arumi menahan napas saat Bastian kini hanya berjarak satu langkah darinya. "Ini bukan tentang pekerjaan lagi, kan?" suaranya bergetar. Bastian menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangan dan menyelipkan helaian rambut dari wajah Arumi. Sentuhan itu membuat tubuh Arumi menegang, tapi ia tidak bergerak. "Aku tidak suka main-main," ujar Bastian. "Kalau aku menginginkan sesuatu, aku pastikan aku memilikinya." Arumi menatapnya tak percaya. "Saya bukan barang, Pak." Bastian tersenyum kecil, tapi tak ada tawa di matanya. "Aku tahu. Justru karena itu." Ia melangkah menjauh, kem
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Arumi berdiri di depan lobi perusahaan, memeluk tasnya erat. Jalanan sudah mulai sepi, dan udara dingin menusuk kulitnya.Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di belakangnya."Ayo masuk, saya antar kamu pulang," suara Bastian terdengar datar, tanpa emosi.Arumi menoleh, sedikit terkejut. "Terima kasih, Pak, tapi saya bisa naik taksi—""Jangan membantah. Sudah malam," potong Bastian tajam.Arumi akhirnya mengangguk dan mengikuti Bastian menuju mobilnya—sebuah Lamborghini hitam mengilap. Saat Bastian membuka pintu, Arumi secara refleks masuk ke kursi belakang.Namun, baru saja ia duduk, suara dingin Bastian menyela, "Memangnya saya supir kamu?"Arumi terdiam, merasa salah tingkah. "Eh… terus saya duduk di mana, Pak?"Bastian menatapnya datar. "Di depan."Malu, Arumi buru-buru pindah ke kursi depan. Begitu duduk, ia berusaha memasang seat belt, tetapi gespernya tersangkut."Kenapa lama sekali?" Bastian melirik sekilas."Seat belt-nya macet, Pak…" g
Setelah William Chen pergi, suasana ruangan tetap dipenuhi ketegangan yang menggantung. Arumi duduk di kursinya, masih mencerna percakapan tadi. Bastian, di sisi lain, tampak tenang seperti biasa. Ia mengambil gelas airnya, menyesapnya perlahan, lalu menatap timnya. “Kalian dengar sendiri, kan? Kita punya waktu satu bulan untuk membuktikan bahwa Mengantara Luxury layak mendapatkan investasi.” Para eksekutif saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan. Seorang manajer pemasaran, Andre, angkat bicara. “Kita bisa dorong kampanye digital lebih agresif. Gunakan influencer kelas atas untuk meningkatkan hype.” Arumi mengerutkan kening. “Tapi kalau kita hanya mengandalkan influencer, bukankah terlalu mainstream? Kita butuh strategi yang benar-benar bisa bikin orang merasa kalau produk ini eksklusif.” Bastian menoleh ke arahnya dengan ketertarikan. “Lanjutkan.” Arumi berpikir sejenak sebelum berkata, “Kita buat event private launch untuk sosialita dan bea
Arumi melangkah keluar dari mobil dengan kepala tegak. Jika sebelumnya ia hanya bekerja demi uang untuk operasi ibunya, sekarang ada satu alasan tambahan: membalas pengkhianatan Bara. Bastian berjalan di depannya, memasuki lobi Mengantara Luxury dengan aura dingin dan penuh kuasa. Para karyawan langsung memberi salam dan menunduk hormat. Begitu mereka masuk ke dalam lift, Arumi tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Jadi, bagaimana caranya saya bisa menjadi kartu truf Anda?" Bastian meliriknya sekilas. “Aku ingin kau tetap menjadi dirimu sendiri. Tapi di saat yang sama, aku ingin Bara melihat bahwa kau sekarang adalah bagian dari kekuasaanku.” Arumi mendengus. Kekuasaannya? “Dan itu artinya?” Bastian menyeringai tipis. “Mulai sekarang, kau bukan hanya sekretarisku. Kau adalah wanita di sisiku.” Arumi tersentak. “Tunggu—maksud Anda?” Lift berbunyi, pintu terbuka di lantai 40. Bastian melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Arumi yang masih tercengang. Seorang pria dengan ja
Arumi menatap tanda tangannya di atas kertas. Gue beneran udah masuk perangkap ini. Bastian mengambil kontrak itu, menyimpannya dalam laci. “Mulai sekarang, kau milikku.” Arumi mendongak dengan tatapan tajam. “Milik perusahaan, maksud Anda.” Bastian menyeringai. “Terserah bagaimana kau mengartikannya.” Arumi menghela napas panjang. “Baik. Jadi, apa tugas pertama saya?” Bastian berdiri, meraih jasnya. “Kita ada meeting di luar. Ikut.” Arumi buru-buru mengikuti langkah cepat pria itu. Saat mereka keluar dari ruangan, semua mata pegawai tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar. "Dia yang diterima? Cantik juga, tapi berapa lama dia bisa bertahan?" "Sebelumnya juga ada yang cantik, tapi cuma bertahan sebulan." "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti menyerah." Arumi menggigit bibirnya. Gue nggak peduli omongan orang. Yang penting, gue butuh uang. Saat mereka sampai di basement, seorang sopir sudah menunggu dengan mobil hitam mewah. “Masuk,” perintah Bastian. Arumi duduk di sa
Arumi tertegun. “Apa?”Bastian menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya tajam menembus mata Arumi. “Aku bilang, kau diterima sebagai sekretarisku.”Arumi masih berdiri kaku di tempatnya. “Tapi… tadi Anda bilang saya harus—”“—melepas pakaianmu?” potong Bastian dengan nada datar. “Itu hanya ujian.”Kedua tangan Arumi mengepal. “Ujian?! Anda main-main dengan harga diri saya?”Bastian mengangkat bahu. “Aku tidak main-main. Aku hanya ingin tahu seberapa jauh seseorang rela merendahkan dirinya demi uang.”Arumi menggigit bibir. Jadi semua wanita sebelum dirinya…?“Mereka semua gagal?” tanyanya pelan.Bastian mengangguk. “Hanya sedikit yang menolak. Dan kau satu-satunya yang menolaknya dengan tetap percaya diri.”Arumi masih berusaha mencerna kata-kata pria itu. “Jadi, selama ini Anda tidak benar-benar…?”“Tidak.” Bastian bersandar di kursinya, menatapnya lekat. “Aku tidak butuh sekretaris yang hanya mengejar uang. Aku butuh seseorang yang punya harga diri, punya prinsip, dan bisa meno