Share

Makan siang bersama

Author: Prettyies
last update Last Updated: 2025-05-02 22:50:13

Arumi melangkah mundur dari meja, menatap Bastian dengan campuran marah dan takut.

"Apa semua ini karena tadi malam?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.

Bastian tidak langsung menjawab. Tatapannya tak berubah, tetap tajam dan menghanyutkan. Ia berdiri, perlahan mendekat.

"Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan," katanya akhirnya. "Kau pintar, Arumi. Kau tahu kenapa aku tak ingin kau pergi."

Arumi menahan napas saat Bastian kini hanya berjarak satu langkah darinya.

"Ini bukan tentang pekerjaan lagi, kan?" suaranya bergetar.

Bastian menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangan dan menyelipkan helaian rambut dari wajah Arumi. Sentuhan itu membuat tubuh Arumi menegang, tapi ia tidak bergerak.

"Aku tidak suka main-main," ujar Bastian. "Kalau aku menginginkan sesuatu, aku pastikan aku memilikinya."

Arumi menatapnya tak percaya. "Saya bukan barang, Pak."

Bastian tersenyum kecil, tapi tak ada tawa di matanya. "Aku tahu. Justru karena itu."

Ia melangkah menjauh, kembali duduk di kursinya, seolah pembicaraan barusan tak pernah terjadi.

"Keluar. Dan pikirkan baik-baik sebelum kamu membuat keputusan yang bodoh."

Arumi masih terpaku beberapa detik sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu dengan jantung yang masih berdebar kencang.

Begitu pintu tertutup, Bastian menatap ke arah pintu yang kini kosong. Jemarinya mengetuk meja pelan.

"Aku sudah kehilangan cukup banyak," gumamnya pada diri sendiri. "Kali ini, aku tidak akan membiarkan apa pun lepas begitu saja."

Bastian menatap Arumi yang hendak keluar dari ruangannya. Suaranya mendadak berubah, tak lagi dingin—justru nyaris lirih.

> "Aku sudah mengagumimu sejak lama, Arumi. Aku nggak mau kamu pergi dariku lagi."

Arumi membeku di depan pintu. Tapi ia tak menjawab. Ia hanya menunduk dan melangkah keluar dengan kepala penuh tanda tanya.

Di luar ruangan, ia menghembuskan napas panjang.

> "Aneh banget CEO satu itu... Baru kali ini aku ketemu bos yang model begitu," gumamnya pelan, masih bingung.

Ia menepuk pipinya ringan.

> "Udah, Arum. Fokus kerja. Jangan mikirin yang aneh-aneh."

Tak lama, seorang pria muda dengan senyum ramah dan aura santai menghampirinya. Ia mengenakan ID card bertuliskan Rama – Divisi Pemasaran.

> "Hai, kamu pasti Arumi, anak baru sekretaris baru Pak CEO ya?"

Arumi tersenyum kikuk. "Iya, aku Arumi. Kamu…?"

"Aku Rama. Mau makan siang bareng? Biar nggak sendirian terus."

Mata Arumi berbinar. Ini pertama kalinya seseorang di kantor ini bersikap hangat padanya.

> "Wah, makasih! Akhirnya ada juga yang ngajak ngobrol. Aku udah kayak anak magang yang tersesat dari tadi," katanya sambil terkekeh.

Rama tertawa ringan. "Udah, jangan panggil aku senior. Di sini kita sama rata. Yuk, kita ke kantin."

Namun belum sempat mereka melangkah jauh, suara dingin yang sangat familiar terdengar dari ujung lorong.

"ARUMI!!"

Arumi menoleh refleks. Bastian berdiri tak jauh, ekspresinya datar seperti biasa. Tapi matanya tajam, menatap Rama sejenak lalu beralih ke Arumi.

"Ayo ke ruang makan, saya mau makan siang. Kamu sekretaris saya, tolong pesenin makanan. Jangan malas."

Nada suaranya begitu datar, tapi mengandung tekanan. Rama tampak sedikit bingung. Arumi melirik keduanya dengan canggung.

"Eh, iya, Pak… baik…"

Setelah Bastian berlalu lebih dulu, Arumi menoleh ke Rama dengan tatapan meminta maaf.

> "Maaf ya, kayaknya aku harus ikut dia dulu."

Rama hanya mengangkat bahu santai. "Santai aja. Nanti kapan-kapan kita makan bareng lagi."

Arumi tersenyum kecil dan melangkah mengikuti Bastian yang sudah menunggu di ujung lorong, dengan pikiran yang kembali berkecamuk.

> "CEO satu itu… benar-benar bikin hari-hariku penuh drama."

Arumi duduk di meja ruang makan kecil yang khusus digunakan untuk jajaran direksi. Ia sibuk memesan makanan lewat GoFood sambil sesekali melirik ke arah Bastian yang duduk di ujung meja, menatap layar laptop dengan ekspresi serius.

Beberapa menit kemudian, makanan datang. Arumi buru-buru membukanya dan menyajikan makanan Jepang cepat saji di hadapan Bastian.

Namun begitu Bastian melihat kotak makanannya, ekspresinya langsung berubah dingin.

> "Besok-besok, kamu bikin bekal makan siang untuk saya saja," ucapnya datar, tanpa menatap Arumi. "Makanan luar seperti ini tidak higienis."

Arumi terkejut, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia mengangkat alis.

> "Maaf, Pak. Tapi… itu tidak ada di kontrak kerja saya."

Bastian menutup laptopnya perlahan, lalu menatapnya lurus. Matanya tajam, suaranya tetap tenang tapi menekan.

> "Kontrak revisi terakhir jelas menuliskan bahwa kamu harus mematuhi semua permintaan saya—sampai masa kontrak selesai."

Arumi mengerjap, berusaha tetap tenang.

> "Permintaan profesional, maksudnya, kan?" katanya pelan tapi tegas.

Bastian menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan.

> "Aku CEO-mu, Arumi. Dan kau sekretarisku. Kalau aku minta makan siang buatan tanganmu, itu bagian dari kebutuhan saya selama jam kerja."

Arumi mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha menahan gejolak dalam dirinya.

> "Baik, Pak. Tapi kalau besok saya masak, saya juga punya selera sendiri. Jangan berharap fine dining, ya."

Bastian menyeringai tipis, seolah puas dengan jawabannya.

> "Asal tidak racun, saya tidak masalah."

Arumi mendesah dalam hati, lalu menunduk sedikit sambil menggumam pelan:

> "Bisa nggak sih, satu hari aja tanpa drama…"

Bastian menatapnya sekilas, senyumnya makin tipis.

> "Kalau hidupmu tenang, kamu pasti cepat bosan."

Pesanan makanan akhirnya datang. Arumi dengan sigap menatanya di atas meja ruang makan pribadi. Ia menyusun kotak-kotak makanan dengan rapi, menyiapkan sendok dan sumpit, lalu berdiri menunggu instruksi.

Bastian melangkah masuk dengan tangan di saku celana, matanya langsung tertuju ke arah meja.

> "Kamu mau ke mana? Temani saya makan siang."

Arumi sedikit kaget, tapi cepat menunduk sopan.

> "Baik, Pak Bastian."

Mereka duduk berhadapan. Saat Arumi hendak membuka makanannya sendiri, suara Bastian kembali terdengar—kali ini dengan nada menggoda tapi tetap tajam.

> "Senyum dong… yang ikhlas. Bisa nggak sih? Atau kamu buru-buru karena mau makan siang bareng Rama ya? Makanya pengen cepat-cepat pergi dari sini?"

Arumi menahan napas sejenak, lalu menatapnya tanpa ekspresi.

> "Saya ikhlas kok, Pak. Dan jangan su'uzan ya. Saya nggak buru-buru ke mana-mana."

Bastian mengangkat alis, lalu mengangkat tangannya dengan malas.

> "Suapin saya. Tangan saya capek, habis ngetik laporan panjang."

Arumi memelototinya, tapi hanya dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menatap sendok di tangannya.

> "Bapak pikir saya ini habis manicure & pedicure, jadi job saya sekarang nyuapin?"

Namun ia tetap mengambil sejumput nasi dan lauk, lalu menyodorkannya pelan ke arah mulut Bastian. Pria itu menatapnya dengan senyum kecil yang menyebalkan.

> "Nah, gitu dong. Baru terasa makan siangnya enak."

Arumi tetap diam, memasang wajah datar. Tapi dalam hatinya, badai kecil sedang berkecamuk.

> "Aku harus sabar. Demi kontrak. Demi uang. Demi Ibu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   Makan siang bersama

    Arumi melangkah mundur dari meja, menatap Bastian dengan campuran marah dan takut. "Apa semua ini karena tadi malam?" tanyanya pelan, nyaris berbisik. Bastian tidak langsung menjawab. Tatapannya tak berubah, tetap tajam dan menghanyutkan. Ia berdiri, perlahan mendekat. "Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan," katanya akhirnya. "Kau pintar, Arumi. Kau tahu kenapa aku tak ingin kau pergi." Arumi menahan napas saat Bastian kini hanya berjarak satu langkah darinya. "Ini bukan tentang pekerjaan lagi, kan?" suaranya bergetar. Bastian menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangan dan menyelipkan helaian rambut dari wajah Arumi. Sentuhan itu membuat tubuh Arumi menegang, tapi ia tidak bergerak. "Aku tidak suka main-main," ujar Bastian. "Kalau aku menginginkan sesuatu, aku pastikan aku memilikinya." Arumi menatapnya tak percaya. "Saya bukan barang, Pak." Bastian tersenyum kecil, tapi tak ada tawa di matanya. "Aku tahu. Justru karena itu." Ia melangkah menjauh, kem

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   first kiss

    Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Arumi berdiri di depan lobi perusahaan, memeluk tasnya erat. Jalanan sudah mulai sepi, dan udara dingin menusuk kulitnya.Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di belakangnya."Ayo masuk, saya antar kamu pulang," suara Bastian terdengar datar, tanpa emosi.Arumi menoleh, sedikit terkejut. "Terima kasih, Pak, tapi saya bisa naik taksi—""Jangan membantah. Sudah malam," potong Bastian tajam.Arumi akhirnya mengangguk dan mengikuti Bastian menuju mobilnya—sebuah Lamborghini hitam mengilap. Saat Bastian membuka pintu, Arumi secara refleks masuk ke kursi belakang.Namun, baru saja ia duduk, suara dingin Bastian menyela, "Memangnya saya supir kamu?"Arumi terdiam, merasa salah tingkah. "Eh… terus saya duduk di mana, Pak?"Bastian menatapnya datar. "Di depan."Malu, Arumi buru-buru pindah ke kursi depan. Begitu duduk, ia berusaha memasang seat belt, tetapi gespernya tersangkut."Kenapa lama sekali?" Bastian melirik sekilas."Seat belt-nya macet, Pak…" g

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   Jantung berdetak kencang

    Setelah William Chen pergi, suasana ruangan tetap dipenuhi ketegangan yang menggantung. Arumi duduk di kursinya, masih mencerna percakapan tadi. Bastian, di sisi lain, tampak tenang seperti biasa. Ia mengambil gelas airnya, menyesapnya perlahan, lalu menatap timnya. “Kalian dengar sendiri, kan? Kita punya waktu satu bulan untuk membuktikan bahwa Mengantara Luxury layak mendapatkan investasi.” Para eksekutif saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan. Seorang manajer pemasaran, Andre, angkat bicara. “Kita bisa dorong kampanye digital lebih agresif. Gunakan influencer kelas atas untuk meningkatkan hype.” Arumi mengerutkan kening. “Tapi kalau kita hanya mengandalkan influencer, bukankah terlalu mainstream? Kita butuh strategi yang benar-benar bisa bikin orang merasa kalau produk ini eksklusif.” Bastian menoleh ke arahnya dengan ketertarikan. “Lanjutkan.” Arumi berpikir sejenak sebelum berkata, “Kita buat event private launch untuk sosialita dan bea

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   Balas dendam

    Arumi melangkah keluar dari mobil dengan kepala tegak. Jika sebelumnya ia hanya bekerja demi uang untuk operasi ibunya, sekarang ada satu alasan tambahan: membalas pengkhianatan Bara. Bastian berjalan di depannya, memasuki lobi Mengantara Luxury dengan aura dingin dan penuh kuasa. Para karyawan langsung memberi salam dan menunduk hormat. Begitu mereka masuk ke dalam lift, Arumi tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Jadi, bagaimana caranya saya bisa menjadi kartu truf Anda?" Bastian meliriknya sekilas. “Aku ingin kau tetap menjadi dirimu sendiri. Tapi di saat yang sama, aku ingin Bara melihat bahwa kau sekarang adalah bagian dari kekuasaanku.” Arumi mendengus. Kekuasaannya? “Dan itu artinya?” Bastian menyeringai tipis. “Mulai sekarang, kau bukan hanya sekretarisku. Kau adalah wanita di sisiku.” Arumi tersentak. “Tunggu—maksud Anda?” Lift berbunyi, pintu terbuka di lantai 40. Bastian melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Arumi yang masih tercengang. Seorang pria dengan ja

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   kerja sama

    Arumi menatap tanda tangannya di atas kertas. Gue beneran udah masuk perangkap ini. Bastian mengambil kontrak itu, menyimpannya dalam laci. “Mulai sekarang, kau milikku.” Arumi mendongak dengan tatapan tajam. “Milik perusahaan, maksud Anda.” Bastian menyeringai. “Terserah bagaimana kau mengartikannya.” Arumi menghela napas panjang. “Baik. Jadi, apa tugas pertama saya?” Bastian berdiri, meraih jasnya. “Kita ada meeting di luar. Ikut.” Arumi buru-buru mengikuti langkah cepat pria itu. Saat mereka keluar dari ruangan, semua mata pegawai tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar. "Dia yang diterima? Cantik juga, tapi berapa lama dia bisa bertahan?" "Sebelumnya juga ada yang cantik, tapi cuma bertahan sebulan." "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti menyerah." Arumi menggigit bibirnya. Gue nggak peduli omongan orang. Yang penting, gue butuh uang. Saat mereka sampai di basement, seorang sopir sudah menunggu dengan mobil hitam mewah. “Masuk,” perintah Bastian. Arumi duduk di sa

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   kontrak

    Arumi tertegun. “Apa?”Bastian menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya tajam menembus mata Arumi. “Aku bilang, kau diterima sebagai sekretarisku.”Arumi masih berdiri kaku di tempatnya. “Tapi… tadi Anda bilang saya harus—”“—melepas pakaianmu?” potong Bastian dengan nada datar. “Itu hanya ujian.”Kedua tangan Arumi mengepal. “Ujian?! Anda main-main dengan harga diri saya?”Bastian mengangkat bahu. “Aku tidak main-main. Aku hanya ingin tahu seberapa jauh seseorang rela merendahkan dirinya demi uang.”Arumi menggigit bibir. Jadi semua wanita sebelum dirinya…?“Mereka semua gagal?” tanyanya pelan.Bastian mengangguk. “Hanya sedikit yang menolak. Dan kau satu-satunya yang menolaknya dengan tetap percaya diri.”Arumi masih berusaha mencerna kata-kata pria itu. “Jadi, selama ini Anda tidak benar-benar…?”“Tidak.” Bastian bersandar di kursinya, menatapnya lekat. “Aku tidak butuh sekretaris yang hanya mengejar uang. Aku butuh seseorang yang punya harga diri, punya prinsip, dan bisa meno

  • Kontrak Penuh Gairah Bersama Tuan CEO   lepaskan pakaian mu!

    Arumi menggigit bibirnya, menatap antrean panjang di depan gedung pencakar langit bertuliskan Mengantara Luxury. Perusahaan besar di bidang fashion dan kosmetik itu menawarkan gaji 50 juta per bulan untuk posisi sekretaris pribadi CEO. Tawaran yang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. "Astaga, banyak banget saingannya," gumamnya sambil merapikan kemeja putihnya. "Ya iyalah! 50 juta per bulan, siapa yang nggak mau?" celetuk seorang gadis di sebelahnya. "Tapi syaratnya aneh, deh." Arumi melirik penasaran. "Maksud lo?" "Tuh, baca deh." Gadis itu menunjukkan pengumuman di tangannya. > Syarat: Wanita maksimal 25 tahun Prawan Harus anggun dan cekatan Wajib menggunakan rok span setiap hari. " Mata Arumi membelalak. "Prawan?! Seriusan?" "Makanya, rada nggak masuk akal. Tapi ya, duitnya nggak main-main." Arumi menelan ludah. Pikirannya kembali pada ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Dia butuh uang buat operasi jantung Mama. "Aduh, gue beneran dilema," gumam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status