Arumi melangkah keluar dari mobil dengan kepala tegak. Jika sebelumnya ia hanya bekerja demi uang untuk operasi ibunya, sekarang ada satu alasan tambahan: membalas pengkhianatan Bara.
Bastian berjalan di depannya, memasuki lobi Mengantara Luxury dengan aura dingin dan penuh kuasa. Para karyawan langsung memberi salam dan menunduk hormat. Begitu mereka masuk ke dalam lift, Arumi tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Jadi, bagaimana caranya saya bisa menjadi kartu truf Anda?" Bastian meliriknya sekilas. “Aku ingin kau tetap menjadi dirimu sendiri. Tapi di saat yang sama, aku ingin Bara melihat bahwa kau sekarang adalah bagian dari kekuasaanku.” Arumi mendengus. Kekuasaannya? “Dan itu artinya?” Bastian menyeringai tipis. “Mulai sekarang, kau bukan hanya sekretarisku. Kau adalah wanita di sisiku.” Arumi tersentak. “Tunggu—maksud Anda?” Lift berbunyi, pintu terbuka di lantai 40. Bastian melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Arumi yang masih tercengang. Seorang pria dengan jas mahal sudah menunggu di depan ruangan CEO. “Pak Bastian, rapat dengan investor akan dimulai dalam lima menit,” lapornya. Bastian mengangguk, lalu menatap Arumi. “Ikut aku.” Arumi ragu. “Tapi—” Bastian mendekat, suaranya pelan tapi tegas. “Kau ingin membuktikan sesuatu pada Bara? Maka buktikan kalau kau pantas berada di sini.” Arumi mengepalkan tangannya. Benar. Ini bukan cuma tentang balas dendam. Ini tentang menunjukkan bahwa aku bukan wanita lemah yang bisa dikhianati begitu saja. Ia mengangguk dan mengikuti Bastian ke dalam ruang rapat. Begitu masuk, matanya langsung menangkap sosok yang paling tidak ingin ia temui. Bara Andreas. Mata mereka bertemu. Bara tampak kaget melihatnya di sana, tetapi tatapan itu segera berubah dingin. "Apa yang kau lakukan di sini?" suara Bara rendah dan tajam. Bastian duduk di kursinya dengan santai. “Dia sekretarisku. Ada masalah?” Bara mendecakkan lidah, jelas tidak suka dengan situasi ini. “Kau sengaja melakukan ini, bukan?” Bastian tersenyum licik. “Siapa tahu?” Arumi menatap keduanya. Ini baru awal. Dan aku tidak akan kalah. Ruang rapat terasa penuh ketegangan. Para eksekutif dari Mengantara Luxury dan Andreas Group duduk berhadapan, menatap satu sama lain dengan waspada. Di tengah-tengah ruangan, ada presentasi produk kecantikan terbaru yang akan segera diluncurkan. Arumi duduk di samping Bastian, sementara Bara duduk di seberangnya dengan ekspresi tajam. Tatapan pria itu sesekali jatuh pada Arumi, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Seorang wanita dari tim pemasaran Mengantara Luxury berdiri dan mulai berbicara. "Mengantara Luxury akan meluncurkan lini skincare premium terbaru yang menggunakan teknologi nano untuk penyerapan lebih baik. Dengan bahan-bahan alami seperti ekstrak bunga camellia dan kolagen laut, produk ini dijamin memberikan hasil dalam 7 hari pemakaian." Arumi melirik presentasi di layar. Produk ini jelas inovatif. Tapi tak lama kemudian, salah satu eksekutif dari Andreas Group berdiri. Pria itu tersenyum penuh kemenangan. "Kebetulan sekali. Andreas Group juga akan meluncurkan skincare baru, dan menurut riset kami, teknologi nano sudah terlalu umum. Kami menggunakan bio-peptide yang bekerja lebih cepat dalam waktu 5 hari. Ditambah, harga kami 15% lebih murah." Bastian menyandarkan diri ke kursi, ekspresinya masih datar. Tapi Arumi bisa merasakan aura dingin di sekelilingnya. Bara bersuara, suaranya penuh provokasi. "Sepertinya Mengantara Luxury mulai tertinggal, ya? Pasar lebih suka hasil cepat dan harga terjangkau." Arumi mengepalkan tangannya di bawah meja. Brengsek! Dia benar-benar menikmati ini. Tapi Bastian akhirnya berbicara. "Murah belum tentu berkualitas, Bara." Bara menyeringai. “Dan mahal belum tentu efektif.” Bastian tersenyum kecil. “Itu yang akan kita lihat di pasar nanti. Tapi aku yakin, konsumen tahu mana yang lebih unggul.” Pertemuan berakhir tanpa kesimpulan jelas. Kedua perusahaan akan bertarung di pasar dengan produk mereka masing-masing. Saat semua orang mulai berdiri, Bara berjalan mendekati Arumi. "Jadi, kau benar-benar kerja sama dia?" suaranya rendah, tapi menusuk. Arumi mendongak, menatapnya tajam. "Ya. Kenapa? Kecewa?" Bara mendekat, suaranya nyaris berbisik. "Hati-hati, Rumi. Bastian tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan. Dan aku tahu dia sedang mempermainkanmu." Arumi tersenyum dingin. "Lucu. Kau juga sudah mempermainkan aku, ingat?" Bara mengatupkan rahangnya, lalu melirik ke arah Bastian yang sedang berbicara dengan eksekutif lain. "Kita lihat siapa yang akan menang, Arumi," katanya sebelum melangkah pergi. Arumi menghela napas, lalu menatap Bastian yang kini berdiri di sampingnya. Pria itu melirik Bara sekilas, lalu bertanya, "Apa yang dia katakan?" Arumi tersenyum kecil. "Dia takut kalah." Bastian tersenyum puas. “Bagus. Ini baru permulaan.” Pertemuan belum benar-benar usai. Meskipun rapat resmi sudah selesai, diskusi antar eksekutif masih berlangsung di sudut-sudut ruangan. Arumi duduk di samping Bastian, memperhatikan Bara yang masih berbicara dengan timnya di seberang meja. Bastian menyesap kopinya dengan santai sebelum akhirnya berbicara, suaranya tenang tapi tajam. “Aku rasa kita punya target pasar yang berbeda, Bara.” Bara mengangkat alis. “Begitu?” Bastian meletakkan cangkirnya dan menatap Bara langsung. “Mengantara Luxury bukan untuk semua orang. Pasar kami adalah mereka yang mengerti bahwa kualitas itu berbanding lurus dengan harga. Kalau mereka mau yang murah, silakan pergi ke produkmu. Tapi kalau mereka mau hasil yang nyata dan eksklusivitas, mereka akan memilih kami.” Arumi hampir tersenyum mendengar nada penuh percaya diri Bastian. Bara tertawa kecil. “Jadi intinya, produkmu hanya untuk kaum elite?” Bastian mengangguk santai. “Tepat. Kaum menengah ke atas. ‘Mehong’, kalau kata anak zaman sekarang. Ada harga, ada kualitas.” Seorang eksekutif dari Andreas Group—pria berjas abu-abu—ikut menyela. “Tapi bukankah itu membatasi pasar? Tidak semua orang bisa membeli produk kalian.” Arumi akhirnya ikut bicara. “Justru itu poinnya, Pak.” Semua mata beralih padanya. Arumi menegakkan punggungnya. “Brand eksklusif tidak butuh semua orang. Kami hanya butuh pelanggan yang loyal, yang bersedia membayar lebih untuk hasil yang lebih baik. Dan jika mereka bisa membeli tas dan parfum branded seharga puluhan juta, apa masalahnya dengan skincare premium?” Bara memicingkan mata, jelas tidak menyangka Arumi akan ikut masuk ke dalam permainan ini. Bastian menyeringai puas. “Persis seperti yang ingin aku katakan.” Bara tertawa kecil, tapi nada suaranya sinis. “Baiklah. Kita lihat saja nanti, siapa yang benar-benar bisa bertahan di pasar.” Bastian berdiri, merapikan jasnya. “Tentu. Dan aku akan menunggu saat produk murahmu gagal memenuhi ekspektasi konsumen.” Tatapan mereka saling menantang. Arumi bisa merasakan satu hal yang jelas—perang bisnis ini baru saja dimulai. Ruangan eksekutif masih dipenuhi suasana tegang. Bara dan timnya telah meninggalkan ruangan, tapi perdebatan belum benar-benar selesai. Di ujung meja, seorang pria paruh baya berjas navy duduk dengan tangan terlipat. Matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik yang terjadi di ruangan. Mr. William Chen. Seorang investor besar dari Singapura yang dikenal hanya berinvestasi di perusahaan dengan potensi keuntungan tinggi. Bastian menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan percaya diri. "Jadi, Mr. Chen, bagaimana menurut Anda?" William Chen mengetuk meja dengan jarinya, ekspresi wajahnya sulit ditebak. “Persaingan di pasar kecantikan sangat ketat. Aku harus memastikan bahwa setiap investasi yang kutanamkan bisa berkembang, bukan jatuh sia-sia.” Arumi menelan ludah. Investor ini bukan orang sembarangan. Jika Mr. Chen jadi berinvestasi di Mengantara Luxury, itu berarti perusahaan bisa semakin memperluas jangkauan dan menambah modal untuk pengembangan produk baru. William melanjutkan, "Aku sudah melihat presentasi dari kedua belah pihak. Secara kualitas, produk kalian memang unggul. Tapi pertanyaannya adalah, apakah strategi ‘mehong’ ini bisa bertahan di pasar yang semakin kompetitif?" Bastian tersenyum tipis. “Tentu saja. Anda sendiri pasti tahu, produk premium bukan hanya tentang bahan yang digunakan, tetapi juga tentang pengalaman dan prestige. Orang-orang membeli bukan hanya karena manfaatnya, tetapi karena ingin menjadi bagian dari gaya hidup yang lebih tinggi.” William menyipitkan mata. “Dan bagaimana kau yakin mereka akan tetap memilihmu, bukan beralih ke kompetitor yang menawarkan harga lebih murah?” Arumi menatap Bastian, menunggu jawabannya. Bastian melirik Arumi sekilas, lalu berkata dengan nada tenang. “Karena kami tidak menjual produk. Kami menjual keyakinan. Keyakinan bahwa kecantikan bukan hanya sekadar harga, tetapi sebuah investasi dalam diri sendiri.” Ruangan mendadak sunyi. William Chen tersenyum kecil. "Jawaban yang menarik." Ia menoleh ke Arumi. "Dan kau, nona muda? Kau tampaknya cukup berani bicara tadi. Apa pendapatmu?" Arumi terkejut sesaat, tapi segera mengendalikan ekspresinya. Ia menatap Mr. Chen langsung. “Saya percaya bahwa kepercayaan diri seseorang bisa datang dari banyak hal, salah satunya adalah perawatan diri. Mengantara Luxury bukan hanya menjual produk kecantikan, tapi memberikan pengalaman yang membuat setiap pelanggan merasa lebih berharga.” William Chen menatapnya lama, lalu tersenyum. "Aku suka caramu berpikir. Mungkin aku memang harus mempertimbangkan investasi ini lebih serius." Arumi bisa merasakan tarikan napas lega di ruangan itu. Tapi kemudian, William menambahkan, “Tapi aku ingin melihat bagaimana performa produk ini di bulan pertama peluncuran. Jika berhasil menembus target pasar, maka kita bisa bicara lebih jauh.” Bastian mengangguk, matanya penuh keyakinan. "Deal. Dalam satu bulan, Anda akan melihat bahwa Mengantara Luxury bukan sekadar merek biasa." William berdiri, menyalami Bastian sebelum beranjak pergi. Begitu pintu menutup, Arumi menghela napas panjang. "Itu… intens." Bastian meliriknya dengan senyum licik. "Selamat. Kau baru saja memenangkan satu poin untuk kita." Arumi terdiam, lalu tersenyum kecil. Perang ini baru saja dimulai, dan ia akan memastikan dirinya bukan hanya sekadar pion di dalamnya.Arumi melangkah mundur dari meja, menatap Bastian dengan campuran marah dan takut. "Apa semua ini karena tadi malam?" tanyanya pelan, nyaris berbisik. Bastian tidak langsung menjawab. Tatapannya tak berubah, tetap tajam dan menghanyutkan. Ia berdiri, perlahan mendekat. "Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan," katanya akhirnya. "Kau pintar, Arumi. Kau tahu kenapa aku tak ingin kau pergi." Arumi menahan napas saat Bastian kini hanya berjarak satu langkah darinya. "Ini bukan tentang pekerjaan lagi, kan?" suaranya bergetar. Bastian menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangan dan menyelipkan helaian rambut dari wajah Arumi. Sentuhan itu membuat tubuh Arumi menegang, tapi ia tidak bergerak. "Aku tidak suka main-main," ujar Bastian. "Kalau aku menginginkan sesuatu, aku pastikan aku memilikinya." Arumi menatapnya tak percaya. "Saya bukan barang, Pak." Bastian tersenyum kecil, tapi tak ada tawa di matanya. "Aku tahu. Justru karena itu." Ia melangkah menjauh, kem
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Arumi berdiri di depan lobi perusahaan, memeluk tasnya erat. Jalanan sudah mulai sepi, dan udara dingin menusuk kulitnya.Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di belakangnya."Ayo masuk, saya antar kamu pulang," suara Bastian terdengar datar, tanpa emosi.Arumi menoleh, sedikit terkejut. "Terima kasih, Pak, tapi saya bisa naik taksi—""Jangan membantah. Sudah malam," potong Bastian tajam.Arumi akhirnya mengangguk dan mengikuti Bastian menuju mobilnya—sebuah Lamborghini hitam mengilap. Saat Bastian membuka pintu, Arumi secara refleks masuk ke kursi belakang.Namun, baru saja ia duduk, suara dingin Bastian menyela, "Memangnya saya supir kamu?"Arumi terdiam, merasa salah tingkah. "Eh… terus saya duduk di mana, Pak?"Bastian menatapnya datar. "Di depan."Malu, Arumi buru-buru pindah ke kursi depan. Begitu duduk, ia berusaha memasang seat belt, tetapi gespernya tersangkut."Kenapa lama sekali?" Bastian melirik sekilas."Seat belt-nya macet, Pak…" g
Setelah William Chen pergi, suasana ruangan tetap dipenuhi ketegangan yang menggantung. Arumi duduk di kursinya, masih mencerna percakapan tadi. Bastian, di sisi lain, tampak tenang seperti biasa. Ia mengambil gelas airnya, menyesapnya perlahan, lalu menatap timnya. “Kalian dengar sendiri, kan? Kita punya waktu satu bulan untuk membuktikan bahwa Mengantara Luxury layak mendapatkan investasi.” Para eksekutif saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan. Seorang manajer pemasaran, Andre, angkat bicara. “Kita bisa dorong kampanye digital lebih agresif. Gunakan influencer kelas atas untuk meningkatkan hype.” Arumi mengerutkan kening. “Tapi kalau kita hanya mengandalkan influencer, bukankah terlalu mainstream? Kita butuh strategi yang benar-benar bisa bikin orang merasa kalau produk ini eksklusif.” Bastian menoleh ke arahnya dengan ketertarikan. “Lanjutkan.” Arumi berpikir sejenak sebelum berkata, “Kita buat event private launch untuk sosialita dan bea
Arumi melangkah keluar dari mobil dengan kepala tegak. Jika sebelumnya ia hanya bekerja demi uang untuk operasi ibunya, sekarang ada satu alasan tambahan: membalas pengkhianatan Bara. Bastian berjalan di depannya, memasuki lobi Mengantara Luxury dengan aura dingin dan penuh kuasa. Para karyawan langsung memberi salam dan menunduk hormat. Begitu mereka masuk ke dalam lift, Arumi tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Jadi, bagaimana caranya saya bisa menjadi kartu truf Anda?" Bastian meliriknya sekilas. “Aku ingin kau tetap menjadi dirimu sendiri. Tapi di saat yang sama, aku ingin Bara melihat bahwa kau sekarang adalah bagian dari kekuasaanku.” Arumi mendengus. Kekuasaannya? “Dan itu artinya?” Bastian menyeringai tipis. “Mulai sekarang, kau bukan hanya sekretarisku. Kau adalah wanita di sisiku.” Arumi tersentak. “Tunggu—maksud Anda?” Lift berbunyi, pintu terbuka di lantai 40. Bastian melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Arumi yang masih tercengang. Seorang pria dengan ja
Arumi menatap tanda tangannya di atas kertas. Gue beneran udah masuk perangkap ini. Bastian mengambil kontrak itu, menyimpannya dalam laci. “Mulai sekarang, kau milikku.” Arumi mendongak dengan tatapan tajam. “Milik perusahaan, maksud Anda.” Bastian menyeringai. “Terserah bagaimana kau mengartikannya.” Arumi menghela napas panjang. “Baik. Jadi, apa tugas pertama saya?” Bastian berdiri, meraih jasnya. “Kita ada meeting di luar. Ikut.” Arumi buru-buru mengikuti langkah cepat pria itu. Saat mereka keluar dari ruangan, semua mata pegawai tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar. "Dia yang diterima? Cantik juga, tapi berapa lama dia bisa bertahan?" "Sebelumnya juga ada yang cantik, tapi cuma bertahan sebulan." "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti menyerah." Arumi menggigit bibirnya. Gue nggak peduli omongan orang. Yang penting, gue butuh uang. Saat mereka sampai di basement, seorang sopir sudah menunggu dengan mobil hitam mewah. “Masuk,” perintah Bastian. Arumi duduk di sa
Arumi tertegun. “Apa?”Bastian menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya tajam menembus mata Arumi. “Aku bilang, kau diterima sebagai sekretarisku.”Arumi masih berdiri kaku di tempatnya. “Tapi… tadi Anda bilang saya harus—”“—melepas pakaianmu?” potong Bastian dengan nada datar. “Itu hanya ujian.”Kedua tangan Arumi mengepal. “Ujian?! Anda main-main dengan harga diri saya?”Bastian mengangkat bahu. “Aku tidak main-main. Aku hanya ingin tahu seberapa jauh seseorang rela merendahkan dirinya demi uang.”Arumi menggigit bibir. Jadi semua wanita sebelum dirinya…?“Mereka semua gagal?” tanyanya pelan.Bastian mengangguk. “Hanya sedikit yang menolak. Dan kau satu-satunya yang menolaknya dengan tetap percaya diri.”Arumi masih berusaha mencerna kata-kata pria itu. “Jadi, selama ini Anda tidak benar-benar…?”“Tidak.” Bastian bersandar di kursinya, menatapnya lekat. “Aku tidak butuh sekretaris yang hanya mengejar uang. Aku butuh seseorang yang punya harga diri, punya prinsip, dan bisa meno