Arumi menatap tanda tangannya di atas kertas. Gue beneran udah masuk perangkap ini.
Bastian mengambil kontrak itu, menyimpannya dalam laci. “Mulai sekarang, kau milikku.” Arumi mendongak dengan tatapan tajam. “Milik perusahaan, maksud Anda.” Bastian menyeringai. “Terserah bagaimana kau mengartikannya.” Arumi menghela napas panjang. “Baik. Jadi, apa tugas pertama saya?” Bastian berdiri, meraih jasnya. “Kita ada meeting di luar. Ikut.” Arumi buru-buru mengikuti langkah cepat pria itu. Saat mereka keluar dari ruangan, semua mata pegawai tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar. "Dia yang diterima? Cantik juga, tapi berapa lama dia bisa bertahan?" "Sebelumnya juga ada yang cantik, tapi cuma bertahan sebulan." "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti menyerah." Arumi menggigit bibirnya. Gue nggak peduli omongan orang. Yang penting, gue butuh uang. Saat mereka sampai di basement, seorang sopir sudah menunggu dengan mobil hitam mewah. “Masuk,” perintah Bastian. Arumi duduk di sampingnya dengan canggung. Begitu mobil melaju, suasana hening. Bastian membuka tabletnya, membaca sesuatu. “Kau tahu kenapa aku memilihmu?” Arumi melirik ke arahnya. “Karena saya tidak tergoda uang dan punya prinsip?” Bastian tersenyum tipis. “Sebagian benar. Tapi ada alasan lain.” Arumi menunggu, tapi pria itu tidak melanjutkan. “Dan alasan itu?” tanya Arumi akhirnya. Bastian menatapnya sekilas. “Kau akan tahu nanti.” Arumi mengernyit. Kenapa jawabannya selalu menggantung? Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah restoran mewah. “Kita makan siang sebelum meeting,” ujar Bastian, turun lebih dulu. Arumi mengikutinya, tetapi begitu ia masuk ke dalam restoran, langkahnya terhenti. Di salah satu meja, seorang pria yang sangat familiar duduk bersama seorang wanita cantik. Mata Arumi melebar. Bara? Arumi berdiri mematung di pintu masuk restoran, matanya terpaku pada pria yang duduk di sudut ruangan. Bara Andreas. Pria yang selama ini ia anggap sebagai kekasihnya, yang katanya sedang sibuk dengan kerjaannya di luar kota, kini duduk nyaman bersama seorang wanita cantik dengan gaun merah ketat. Tangan pria itu menggenggam jemari wanita itu di atas meja, ekspresinya lembut—sesuatu yang sudah lama tidak Arumi lihat darinya. Jadi ini alasan dia selalu sibuk? Darah Arumi mendidih. “Kenapa diam?” suara Bastian terdengar di sampingnya. Arumi mengepalkan tangan. “Itu… pacar saya.” Bastian melirik ke arah yang ditatap Arumi, lalu tertawa pelan. “Menarik.” Tanpa pikir panjang, Arumi melangkah cepat menuju meja Bara. Bara yang sedang tertawa dengan wanita itu tiba-tiba terdiam begitu melihat Arumi berdiri di depan mereka. “Arumi?” suaranya terdengar kaget. Arumi menyilangkan tangan. “Lama nggak ketemu, ya, Mas Bara?” Wanita di sampingnya melirik dengan tatapan menyelidik. “Mas? Siapa dia?” Bara tampak gelagapan, sementara Arumi menatapnya tajam. “Saya? Hanya pacar yang selama ini ditipu. Atau mungkin lebih tepatnya—mantan?” suara Arumi terdengar dingin. Wanita itu mendengus. “Oh, jadi kamu pacar lama yang nggak bisa move on?” Arumi mendecakkan lidah. “Lucu. Justru aku yang baru tahu kalau pacarku punya simpanan lain.” Bara berdiri, wajahnya mulai panik. “Rumi, aku bisa jelasin.” Arumi menyeringai. “Jangan repot-repot. Aku cuma mau bilang, semoga kalian bahagia. Aku udah nggak peduli lagi.” Ia berbalik dan berjalan pergi, tapi tiba-tiba tangan Bara menarik lengannya. “Rumi, dengar dulu. Aku—” “Tolong lepaskan sekretarisku,” suara Bastian memotong dengan dingin. Semua mata di restoran kini tertuju pada mereka. Bara menatap Bastian dengan kaget. “Sekretaris?” gumamnya. Bastian menatapnya dengan tajam. “Ya. Dan kau mengganggu jadwal kerja kami.” Bara terdiam, lalu menatap Arumi. “Kamu kerja sama dia?” Arumi tersenyum miring. “Kenapa? Kaget? Bukankah ini lebih baik daripada jadi pacar yang diselingkuhi?” Bara mengatupkan rahangnya, sementara wanita di sampingnya justru tersenyum puas. Arumi menarik tangannya dari genggaman Bara. “Selamat tinggal, Bara.” Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan keluar bersama Bastian. Begitu mereka sampai di luar, Bastian menyelipkan tangan ke sakunya. “Bagus. Kau tidak menangis.” Arumi mendengus. “Buat apa menangisi sampah?” Bastian menoleh padanya, lalu tersenyum tipis. “Sekarang aku tahu kenapa aku memilihmu.” Arumi mengernyit. “Apa maksud Anda?” Bastian tidak menjawab. Tapi dalam hati, Arumi merasa… ini baru awal dari segalanya. Arumi masih kesal setelah pertemuannya dengan Bara. Namun, begitu ia dan Bastian masuk ke dalam mobil, pria itu malah tampak sangat tenang—seolah tidak terjadi apa-apa. “Kenapa Anda nggak kaget atau marah tadi?” Arumi bertanya, masih mencoba mengendalikan emosinya. Bastian tersenyum tipis. “Kenapa aku harus marah?” “Karena dia pacar saya. Maksud saya, mantan. Dan dia jelas tidak suka melihat saya bekerja dengan Anda.” Bastian menatapnya dengan tajam. “Arumi, kau tahu siapa Bara Andreas sebenarnya?” Arumi mengernyit. “Maksud Anda?” Bastian menyandarkan diri ke kursi dan tersenyum sinis. “Bara Andreas adalah pesaing terbesarku dalam bisnis.” Arumi terdiam. “Dia pemilik perusahaan Andreas Group—perusahaan yang sedang berusaha menjatuhkan Mengantara Luxury. Sudah bertahun-tahun kami bersaing. Dan sekarang, ternyata pacarnya malah bekerja untukku.” Arumi menelan ludah. “Jadi… Anda tahu tentang saya dan Bara sejak awal?” Bastian mengangguk pelan. “Aku tahu banyak hal, Arumi. Dan sekarang, dengan kau di pihakku, ini menjadi semakin menarik.” Arumi merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya. “Tunggu… jangan bilang Anda menerima saya bukan karena kemampuan saya, tapi karena—” Bastian tersenyum lebih lebar. “Karena kau adalah kelemahan musuhku.” Jantung Arumi berdegup kencang. “Jadi saya ini cuma alat untuk melawan Bara?” Bastian menatapnya dalam-dalam. “Bukan sekadar alat, Arumi. Kau bisa menjadi kartu truf.” Arumi mengepalkan tangannya. Ia merasa dimanipulasi. Tapi di sisi lain… ia juga ingin membalas pengkhianatan Bara. Mobil berhenti di depan kantor Mengantara Luxury. Bastian menatapnya. “Keputusan ada di tanganmu. Mau tetap bekerja untukku dan membalas dendam, atau mundur dengan penalti lima miliar?” Arumi menarik napas panjang. Pilihan mana pun berbahaya. Tapi jika ia mundur, ia akan kalah dari Bara. Ia menoleh ke arah Bastian, mata penuh tekad. “Saya akan tetap di sini.” Bastian tersenyum puas. “Bagus. Sekarang, kita mulai perang ini.”Arumi melangkah mundur dari meja, menatap Bastian dengan campuran marah dan takut. "Apa semua ini karena tadi malam?" tanyanya pelan, nyaris berbisik. Bastian tidak langsung menjawab. Tatapannya tak berubah, tetap tajam dan menghanyutkan. Ia berdiri, perlahan mendekat. "Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan," katanya akhirnya. "Kau pintar, Arumi. Kau tahu kenapa aku tak ingin kau pergi." Arumi menahan napas saat Bastian kini hanya berjarak satu langkah darinya. "Ini bukan tentang pekerjaan lagi, kan?" suaranya bergetar. Bastian menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangan dan menyelipkan helaian rambut dari wajah Arumi. Sentuhan itu membuat tubuh Arumi menegang, tapi ia tidak bergerak. "Aku tidak suka main-main," ujar Bastian. "Kalau aku menginginkan sesuatu, aku pastikan aku memilikinya." Arumi menatapnya tak percaya. "Saya bukan barang, Pak." Bastian tersenyum kecil, tapi tak ada tawa di matanya. "Aku tahu. Justru karena itu." Ia melangkah menjauh, kem
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Arumi berdiri di depan lobi perusahaan, memeluk tasnya erat. Jalanan sudah mulai sepi, dan udara dingin menusuk kulitnya.Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di belakangnya."Ayo masuk, saya antar kamu pulang," suara Bastian terdengar datar, tanpa emosi.Arumi menoleh, sedikit terkejut. "Terima kasih, Pak, tapi saya bisa naik taksi—""Jangan membantah. Sudah malam," potong Bastian tajam.Arumi akhirnya mengangguk dan mengikuti Bastian menuju mobilnya—sebuah Lamborghini hitam mengilap. Saat Bastian membuka pintu, Arumi secara refleks masuk ke kursi belakang.Namun, baru saja ia duduk, suara dingin Bastian menyela, "Memangnya saya supir kamu?"Arumi terdiam, merasa salah tingkah. "Eh… terus saya duduk di mana, Pak?"Bastian menatapnya datar. "Di depan."Malu, Arumi buru-buru pindah ke kursi depan. Begitu duduk, ia berusaha memasang seat belt, tetapi gespernya tersangkut."Kenapa lama sekali?" Bastian melirik sekilas."Seat belt-nya macet, Pak…" g
Setelah William Chen pergi, suasana ruangan tetap dipenuhi ketegangan yang menggantung. Arumi duduk di kursinya, masih mencerna percakapan tadi. Bastian, di sisi lain, tampak tenang seperti biasa. Ia mengambil gelas airnya, menyesapnya perlahan, lalu menatap timnya. “Kalian dengar sendiri, kan? Kita punya waktu satu bulan untuk membuktikan bahwa Mengantara Luxury layak mendapatkan investasi.” Para eksekutif saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan. Seorang manajer pemasaran, Andre, angkat bicara. “Kita bisa dorong kampanye digital lebih agresif. Gunakan influencer kelas atas untuk meningkatkan hype.” Arumi mengerutkan kening. “Tapi kalau kita hanya mengandalkan influencer, bukankah terlalu mainstream? Kita butuh strategi yang benar-benar bisa bikin orang merasa kalau produk ini eksklusif.” Bastian menoleh ke arahnya dengan ketertarikan. “Lanjutkan.” Arumi berpikir sejenak sebelum berkata, “Kita buat event private launch untuk sosialita dan bea
Arumi melangkah keluar dari mobil dengan kepala tegak. Jika sebelumnya ia hanya bekerja demi uang untuk operasi ibunya, sekarang ada satu alasan tambahan: membalas pengkhianatan Bara. Bastian berjalan di depannya, memasuki lobi Mengantara Luxury dengan aura dingin dan penuh kuasa. Para karyawan langsung memberi salam dan menunduk hormat. Begitu mereka masuk ke dalam lift, Arumi tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Jadi, bagaimana caranya saya bisa menjadi kartu truf Anda?" Bastian meliriknya sekilas. “Aku ingin kau tetap menjadi dirimu sendiri. Tapi di saat yang sama, aku ingin Bara melihat bahwa kau sekarang adalah bagian dari kekuasaanku.” Arumi mendengus. Kekuasaannya? “Dan itu artinya?” Bastian menyeringai tipis. “Mulai sekarang, kau bukan hanya sekretarisku. Kau adalah wanita di sisiku.” Arumi tersentak. “Tunggu—maksud Anda?” Lift berbunyi, pintu terbuka di lantai 40. Bastian melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Arumi yang masih tercengang. Seorang pria dengan ja
Arumi menatap tanda tangannya di atas kertas. Gue beneran udah masuk perangkap ini. Bastian mengambil kontrak itu, menyimpannya dalam laci. “Mulai sekarang, kau milikku.” Arumi mendongak dengan tatapan tajam. “Milik perusahaan, maksud Anda.” Bastian menyeringai. “Terserah bagaimana kau mengartikannya.” Arumi menghela napas panjang. “Baik. Jadi, apa tugas pertama saya?” Bastian berdiri, meraih jasnya. “Kita ada meeting di luar. Ikut.” Arumi buru-buru mengikuti langkah cepat pria itu. Saat mereka keluar dari ruangan, semua mata pegawai tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar. "Dia yang diterima? Cantik juga, tapi berapa lama dia bisa bertahan?" "Sebelumnya juga ada yang cantik, tapi cuma bertahan sebulan." "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti menyerah." Arumi menggigit bibirnya. Gue nggak peduli omongan orang. Yang penting, gue butuh uang. Saat mereka sampai di basement, seorang sopir sudah menunggu dengan mobil hitam mewah. “Masuk,” perintah Bastian. Arumi duduk di sa
Arumi tertegun. “Apa?”Bastian menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya tajam menembus mata Arumi. “Aku bilang, kau diterima sebagai sekretarisku.”Arumi masih berdiri kaku di tempatnya. “Tapi… tadi Anda bilang saya harus—”“—melepas pakaianmu?” potong Bastian dengan nada datar. “Itu hanya ujian.”Kedua tangan Arumi mengepal. “Ujian?! Anda main-main dengan harga diri saya?”Bastian mengangkat bahu. “Aku tidak main-main. Aku hanya ingin tahu seberapa jauh seseorang rela merendahkan dirinya demi uang.”Arumi menggigit bibir. Jadi semua wanita sebelum dirinya…?“Mereka semua gagal?” tanyanya pelan.Bastian mengangguk. “Hanya sedikit yang menolak. Dan kau satu-satunya yang menolaknya dengan tetap percaya diri.”Arumi masih berusaha mencerna kata-kata pria itu. “Jadi, selama ini Anda tidak benar-benar…?”“Tidak.” Bastian bersandar di kursinya, menatapnya lekat. “Aku tidak butuh sekretaris yang hanya mengejar uang. Aku butuh seseorang yang punya harga diri, punya prinsip, dan bisa meno