Tiba-tiba suara Harry terdengar. Nerissa membulatkan matanya ketika Harry keluar dan melihat dirinya di balik dinding. Jantungnya begitu berdebar sekali ketika baru saja ketahuan menguping.“Aku mau masuk, tapi tidak jadi karena tampaknya kalian sedang bicara.”Harry menatap curiga pada Nerissa. “Kamu menguping pembicaraan kami?” tanyanya menuduh.“Kurang kerjaan sekali aku mendengarkan pembicaraan kalian. Bukan sesuatu yang penting untukku.” Dengan santai dia menjawab.Tak mau berdebat dengan Harry, Nerissa pun segera berlalu ke pantry. Di sana dia membuat kopi. Di sana Nerissa melihat Arumi di sana.Melihat keberadaan Nerissa membuat Arumi semakin kesal. Baru saja wanita itu dibicarakan, sekarang sudah di depan mata.“Sepertinya sekarang kamu sedang berbahagia.” Arumi menyindir Nerissa.Nerissa yang membuat kopi tidak menjawab apa yang dikatakan Arumi. Namun, beberapa saat kopinya sudah selesai, barulah dia menghampiri Arumi.“Tentu saja aku bahagia. Apalagi setelah membuang sampah
Naven menelan salivanya ketika melihat belahan kemeja Nerissa. Karena dalam posisi berdiri. Jadi pemandangan itu terlihat dari atas. Buru-buru Naven mengalihkan pandangan. Mengisi gelasnya dengan jus. Fokus menuang jus. Namun, entah kenapa justru ekor mata Naven melirik ke tempat tadi lagi. Mana lagi jika bukan belahan dada Nerissa. Padahal melihat wanita pakai pakaian seksi bukan hal yang jarang dilihat Naven. Dia sering melihat para wanita memakai pakai seksi dan memperlihatkan belahan dada. Namun, ini entah magnet apa yang menariknya kali ini.Apa mungkin sesuatu yang ditutupi justru membuat penasaran. Seperti halnya makanan yang ditutupi tudung saji. Pasti membuat penasaran orang yang melihatnya. Nerissa yang sudah selesai segera berdiri. Hal itu membuat Naven segera mengalihkan pandangan. Nerissa beralih membawa beberapa bahan di atas meja. Bersiap untuk mengolahnya. Naven hanya mau makan sayuran tanpa karbohidrat. Jadi akan lebih cepat membuatnya. Sebelum membuat salad b
“Tidak tahu, Pak.” Kiki menggeleng. “Aku rasa dia cocok jadi artis seperti Evelyn.” Naven menarik senyum tipis nyaris tak terlihat. Kiki hanya tersenyum. Tak berani berkomentar sama sekali. Mereka kembali bekerja setelah aksi Nerissa tadi. Saat jam pulang kerja, Naven terpaksa menunggu Nerissa. Mengingat wanita itu selalu pulang sedikit terlambat. “Ada untungnya juga aku menaruh treadmil di kantor.” Sambil menunggu Nerissa, Naven menggunakan waktunya untuk berolahraga. Kiki yang ada di ruangan Naven hanya mengangguk saja. Dia merapikan meja kerjanya. “Apa saya buatkan ruangan khusus, Pak?” Namun, sesaat kemudian Kiki menanggapi ucapan Naven. “Tidak perlu. Aku lebih suka olahraga di apartemen. Ini juga karena aku menunggu Nerissa saja.” Setelah satu jam lari di atas treadmil, Naven menghentikannya. Kemudian beristirahat sebentar. “Aku mandi dulu. Setelah itu kita pulang. Pastikan wanita itu sudah siap. Aku malas menunggu.” “Baik, Pak.” Naven segera menuju ke kamar mandi ya
Nerissa melihat Evelyn dari jauh. Dia begitu penasaran sekali dengan pacar Evelyn. “Apa dia artis juga atau pengusaha?” Pertanyaan itu keluar dari mulutnya.Akhirnya sebuah mobil berhenti di depan Evelyn. Nerissa berusaha untuk melihat orang di dalam mobil itu. Memastikan seperti apa wajah pacar wanita cantik itu.Dahi Nerissa berkerut dalam ketika melihat seseorang di dalam sana.“Kenapa wanita?” Nerissa melihat seorang wanita di balik kemudi. Berambut panjang dan memakai kacamata hitam. Tampak juga masker menempel di wajahnya. “Sepertinya yang dipanggil ‘sayang’ tadi bukan pacarnya.” Nerissa sedikit kecewa dengan yang dilihat.Tak mendapati apa yang dicari, akhirnya Nerissa memutuskan untuk kembali ke kantor. Ada banyak yang harus dikerjakan.Di mobil, Naven hanya melirik malas pada kekasihnya itu. Dia kesal ketika diberikan ide untuk memakai rambut palsu, kacamata hitam, dan masker.Beruntung ada yang bisa dimanfaatkan. Siapa lagi jika bukan Kiki.Untuk Naven sendiri. Dia hanya mem
Nerissa masuk ke rumah utama keluarga Zorion bersama Naven. Jika rumah Raven Zorion sudah besar. Kali ini, rumah utama keluarga Zorion lebih besar lagi.“Berapa orang yang tinggal di sini, Pak?” Nerissa tampak penasaran sekali.“Oma saja.”Nerissa tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kedua bola mata indah yang dihiasi bulu mata cantik itu membulat sempurna.Tak bisa Nerissa tinggal di rumah sebesar ini dan sendiri.“Cucu Oma sudah datang.” Oma Clarisa berjalan ke arah Naven dan Nerissa.“Oma.” Naven memeluk neneknya itu.“Anak nakal. Sudah lama tidak ke sini.” Oma Clarisa yang melepaskan pelukannya, langsung mencubit pipi Naven.“Auch ....” Naven sebenarnya tidak merasa sakit, tapi dia pura-pura saja. “Maaf Oma, aku sibuk.”“Kamu ini, sibuk terus.”“Iya, aku janji akan sering ke sini.”Oma Clarisa yang tadinya kesal pun seketika langsung tersenyum. Dia segera beralih pada Nerissa. Raut wajah Oma Clarisa langsung berubah ketika melihat Nerissa.Tentu saja hal itu membuat Nerissa
“Pak Naven mau ke mana?” Asisten Evelyn melihat jika Naven hendak pergi. Karena itu, dia segera mengejar.“Suruh dia segera pulang! Aku akan menunggunya.” Jawaban itu sudah menjelaskan ke mana Naven akan pergi.“Baik, Pak. Saya akan memintanya segera pulang.”Naven segera keluar dari pesta. Tempat yang ditujunya adalah apartemen Evelyn. Apartemen itu adalah apartemen yang diberikan Naven untuk Evelyn. Jadi dia bisa menggunakan akses keluar masuk dengan mudah.Asisten Evelyn segera menghampiri artisnya. Dia berbisik pada Evelyn, “Pak Naven memintamu untuk segera pulang.”“Masih banyak produser dan sutradara di sini. Bagaimana bisa aku pulang?” Evelyn tidak bisa melepaskan kesempatan ini. Peluang untuk mendapatkan tawaran film setelah penghargaan yang didapatkanya.Di apartemen, Naven menunggu Evelyn sambil menikmati sebatang rokok. Sayangnya, yang ditunggu tidak kunjung datang.Sampai jam dua belas malam, tidak ada tampak tanda-tanda Evelyn pulang. Tentu saja itu membuat Naven kesal.“
Nerissa dan Naven sama-sama berteriak. Mereka sama-sama terkejut ketika saling tatap. Mereka langsung turun dari tempat tidur untuk menghindar satu dengan yang lain. “Kenapa kamu berteriak?” Naven merasa jika harusnya Nerissa tidak berteriak. Pastinya semalam Nerissa dengan sadar di kamarnya. Jadi tidak harus terkejut. “Pak Naven berteriak. Jadi wajar saya ikut teriak.” Naven berusaha untuk tenang lebih dulu. Baru setelah itu dia bicara. Dia memang masih amat terkejut dengan keberadaan Nerissa di kamarnya. “Kenapa kamu di kamarku?” “Semalam saya membantu Pak Naven melepaskan dasi, tapi Pak Naven menarik tubuh saya dan mengunci pergerakan. Jadi saya tidak bisa lepas.” Itulah yang ditakutkan oleh Naven. Dia tidak tahu apa yang dilakukan jika sudah terlalu mabuk. Karena itu, dia selalu berpesan untuk dibawa pulang. Takut dia melakukan hal-hal di luar norma bersama kekasihnya. “Sudah tahu aku mabuk, kenapa justru mendekat? Bukankah ada Kiki?” Naven justru menyalahkan istrinya itu.
Nerissa masih sangat kesal sekali dengan Naven. Dia pikir Naven berbeda dengan orang-orang, tapi ternyata sama saja. Merendahkan dirinya. Andai Naven tahu bagaimana berdebar jantungnya kemarin, berada di pelukan Naven, apakah pria itu akan mengatakan hal itu. Andai Naven tahu jika adalah pria pertama yang memeluknya. Tapi, bagi Nerissa tak perlu harus menjelaskan hal itu pada Naven. Karena tidak ada manfaatkan sama sekali. Hari ini mood Nerissa cukup buruk. Karena itu dia memilih untuk membuat segelas coklat hangat di pantry. “Sepertinya kamu sedang kesal. Apa suamimu sudah bosan denganmu?” Mendengar pertanyaan itu membuat Nerissa melirik ke sumber suara. Seperti dugaanya, pemilik suara itu Harry. “Kamu pikir aku sedang melakukan pernikahan baik-baik sampai bosan.” Nerissa menyindir Harry. “Sebagai seorang pengusaha pasti dia punya banyak wanita.” Harry sengaja membuat hati Nerissa panas. Dia tahu jika Nerissa minum coklat hangat, mood-nya sedang tidak baik-baik saja. “Sayangn