Share

06. Perasaan yang Berseberangan

Layla tidak bisa tidur.

Iris cokelatnya terpaku menatap bulan yang bersembunyi di balik awan. Ia terdiam di tepi tempat tidurnya, menimbang-nimbang untuk keluar atau tidak. Matanya melirik jam, sudah hampir tengah malam.

Semua orang mungkin sudah tidur sejak tadi, pikirnya.

Suasana rumah ini begitu hening sejak beberapa jam yang lalu. Layla beranjak dari tempatnya dan mengintip keluar. Kamar yang ditempatinya langsung terhubung ke halaman belakang.

Tempat itu sepi dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup. Tetapi pemandangan kolam ikan dan bunganya tampak menenangkan. Mungkin jika Layla menghabiskan waktunya di sana sebentar, ia bisa mengantuk.

Layla membuka pintu dengan sangat perlahan, tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia berbelok menuju halaman belakang dan udara dingin seketika menerpa wajahnya. Ia bergidik dan mengeratkan jaketnya sebelum duduk di salah satu kursi.

Suasana pedesaan memang sangat berbeda dengan suasana di kota. Biasanya, di jam seperti ini, jalanan masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan. Tetapi sekarang, sejauh mata memandang, hanya ada kegelapan tidak berujung.

Layla beralih memandang kolam kecil yang berada tidak jauh dari hadapannya. Pikirannya terlempar pada kejadian tadi sore. Kata-kata Kiran masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Tetapi, membandingkan dirinya dengan Olivia rasanya tidak mungkin.

Arsen terlihat sangat menyukai Olivia sampai membuat kontrak pernikahan selama setahun dengannya. Sejauh ini, pria itu memperlakukannya dengan sangat baik, jadi Layla tidak akan mengeluhkan apa pun.

Lagi pula, kenapa ia harus mengeluh?

Mereka hanya dua orang asing. Dan setelah menikah pun, tidak akan ada hubungan istimewa di antara keduanya.

Layla hanya perlu menjalaninya.

Napas berat berembus dari mulutnya. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang ketika mendadak saja, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan hampir berteriak jika saja Arsen tidak angkat bicara.

"Layla?"

Apa yang pria itu lakukan di sini?

"Mmm, ya," jawab Layla. Ia memperhatikan Arsen yang mendekat, keningnya berkerut dalam.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Arsen, terdengar khawatir. Ia berhenti sejenak di sisi Layla, kemudian memutuskan untuk duduk di kursi samping gadis itu.

"Aku tidak bisa tidur. Dan kau?"

"Ya, aku juga."

Layla mengangguk-angguk. Angin dingin kembali berhembus dan Layla spontan melirik Arsen. Pria itu hanya memakai kaos panjang, tetapi tidak tampak kedinginan sama sekali. Layla jadi teringat dengan jas Arsen yang belum ia kembalikan.

"Oh ya jasmu, maaf. Akan kukembalikan besok," sahutnya. Padahal, ia sudah mencucinya, tetapi ia lupa memberikannya pagi tadi.

"Disimpan juga tidak apa-apa."

Layla menoleh. "Huh?"

"Maksudku, tidak masalah jika kau tidak mengembalikannya," kata Arsen bercanda. Senyum tipis terbit di bibirnya.

Layla kontan memalingkan pandangan. "Tetap saja, aku harus mengembalikannya."

"Terserah kau saja kalau begitu."

Layla mengangguk pelan. Jika ia menyimpannya, ia hanya akan teringat dengan kejadian di restoran dan terbawa perasaan sendiri.

Rasanya susah untuk bersikap biasa saja ketika Arsen terus memberikan perhatian yang tidak seharusnya. Atau, apakah Layla yang terlalu berharap? Mungkin saja Arsen memperlakukan semua wanita seperti itu.

Layla meremat tangannya di atas paha. Keduanya tidak lagi bicara untuk waktu yang lama.

Hening.

Lagi-lagi seperti itu.

Hanya saja, atmosfer di antara keduanya tidak lagi secanggung dulu.

Layla menatap langit malam yang gelap tanpa kerlap-kerlip bintang. Entah kenapa, ia malah teringat dengan foto-foto Arsen yang tersebar di internet. Begitu kaku dan dingin, berbanding terbalik dengan sikap aslinya.

"Ngomong-ngomong, kau terlihat sangat kaku di foto-foto yang diambil wartawan," ucap Layla dengan suara pelan. Ia melirik Arsen yang menoleh, tampak terkejut dengan ucapannya. Layla melanjutkan, "Awalnya kupikir kau tipe pria dingin yang tidak banyak bicara, tapi nyatanya sikapmu sangat berbanding terbalik. Maksudku, dalam artian baik."

Arsen terdiam sejenak sebelum membalas, "Aku hanya tidak suka menjadi pusat perhatian, itu sebabnya ekspresiku seperti itu."

"Ah, begitu."

"Yah... sebenarnya, aku tidak pernah berniat terjun dalam dunia bisnis. Aku hanya ingin membantu ibu, tapi menjadi direktur utama rasanya aku belum siap," ujar Arsen, entah kenapa mengakui semuanya. Ia hanya merasa Layla bisa dipercaya, jadi pengakuan itu meluncur keluar begitu saja dari bibirnya.

"Apa karena tanggung jawabnya? Bagaimana dengan ibumu?" Tanya Layla hati-hati.

"Ibu tidak tahu dan aku tidak akan pernah memberitahunya. Kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik. Setelah kita menikah, ibu akan pergi ke Singapura untuk pengobatan lebih lanjut. Dia akan melakukan pemulihan untuk waktu yang lama, jadi kupikir aku hanya perlu menjalani posisiku sebagai direktur."

"Kau sudah berada di titik ini dan itu luar biasa. Jika kau tidak terlalu menyukai pekerjaanmu, tapi kau melakukannya untuk orang yang kau sayangi, aku yakin lambat laun kau akan terbiasa," ucap Layla. Kalimat itu sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri yang memilih perjodohan dari orang tuanya, dibanding melanjutkan kuliahnya.

"Pemikiranmu memang selalu dewasa, ya."

Layla melirik dari sudut matanya. "Tidak juga." Ia meremas ujung jaketnya dan ragu-ragu bertanya, "Mmm, apa ibumu pernah tahu mengenai hubunganmu dengan Olivia?"

Arsen menggeleng, kepalanya ditundukkan. "Ibu hanya tahu kalau Olivia adalah sahabat dan sekretarisku."

'Agak mengejutkan', pikir Layla. Setelah empat tahun bersama, ia heran kenapa ibu Arsen tidak tahu hubungan istimewa yang terjalin antara Arsen dan Olivia.

"Kenapa dari awal kau tidak pernah memberitahu ibumu tentang hubungan kalian? Maksudku, kalian sudah lama bersama. Jika ibumu tahu tentang hubungan kalian, dan tahu bagaimana kau mencintai Olivia, tidak mungkin perjodohan ini dilakukan. Dan tidak akan ada kontrak pernikahan di antara kita." Suara Layla semakin lama semakin kecil. Ia menarik napas panjang saat hatinya terasa disentil.

Sebenarnya ada apa dengannya hari ini? Ia selalu mudah terbawa perasaan dan terlalu melankolis. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja, tetapi perasaan kecewa di hatinya tidak akan pernah hilang.

Di sampingnya, Arsen lagi-lagi terdiam. Entah merenungkan ucapannya atau hubungannya dengan Olivia.

Arsen sejujurnya merasa bingung sendiri. Ia sebenarnya ingin memperkenalkan Olivia sebagai kekasihnya, tetapi ia selalu merasa ragu. Apalagi ibunya tidak terlalu menyukai Olivia.

Ia berencana untuk memberitahu ibunya jika keduanya sudah berniat untuk menikah, tetapi semesta rupanya berkehendak lain. Ibunya menginginkan perjodohan antara Arsen dan anak dari teman lamanya, tidak lain adalah Layla Kahyana.

"Aku hanya ... merasa ragu, entahlah." Arsen bicara setelah beberapa menit berlalu. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya. "Olivia belum mau menikah, dan jika aku memperkenalkannya pada ibu sebagai kekasihku, ibu pasti menginginkan pernikahan."

"Tapi sekarang inilah yang terjadi. Perjodohan yang tidak kau inginkan," sahut Layla.

Arsen menatap Layla yang langsung memalingkan pandangan. Mulutnya terbuka, tetapi ia seakan kehilangan kata-kata untuk menjawab. Bagaimana pun juga, apa yang gadis itu katakan benar.

Keheningan kembali melingkupi keduanya. Lagi, tidak ada yang bicara untuk waktu yang lama.

Angin kencang mendadak berembus dan Layla bergidik. Arsen yang melihatnya segera berdiri dan menarik tangan Layla yang tertegun atas perlakuan tidak terduga pria itu.

"Sebaiknya kita masuk," ucap Arsen, kembali menarik tangan Layla menuju pintu. "Anginnya sangat kencang dan dingin, tidak baik untuk kesehatanmu."

Apa itu bentuk perhatian? Atau apa?

Layla ingin sekali memberitahu Arsen untuk bersikap biasa saja, jangan terlalu perhatian. Akan lebih baik jika pria itu bersikap datar atau dingin padanya.

Tetapi sekali lagi, bagaimana jika Arsen memang bersikap seperti itu pada semua perempuan? Layla hanya takut terbawa perasaan sendiri dan pada akhirnya sakit hati.

Sebab perasaan mereka nyatanya berseberangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status