Share

05. Pendapat Kiran

"Kau cantik sekali, Nak. Persis seperti yang dikatakan Arinda. Sangat manis."

Senyum Layla merekah. Bukan karena pujian yang diberikan oleh nenek Arsen, melainkan tatapan hangat yang diberikan oleh wanita tua itu. Layla jadi ingat dengan neneknya sendiri. Ia ingin berkunjung ke makamnya sebelum pernikahannya diselenggarakan.

"Terima kasih, Nek."

Nenek Arsen tersenyum lebih lebar dan beralih menggenggam tangannya. Ia kemudian meraih tangan Arsen yang duduk di samping Layla. "Semoga pernikahan kalian lancar. Hubungan kalian langgeng, bertahan sampai kalian tua seperti nenek, ya," ucapnya sungguh-sungguh.

Layla melirik calon suaminya yang hanya bisa mengangguk kaku. Ia mendadak merasa bersalah dengan kontrak pernikahan yang telah ia setujui. Ia telah membohongi semua orang. Tetapi membatalkan pernikahan pun bukan pilihan yang bisa Layla ambil.

"Terima kasih atas doanya, Nek." Hanya itu yang bisa Layla katakan.

"Sama-sama, Nak. Kau perempuan yang baik, Nenek bisa melihat itu. Arsen sangat beruntung mendapat calon istri sepertimu."

Hati Layla mencelos. Sayang sekali, wanita yang beruntung di hati Arsen adalah Olivia, pikirnya. Tetapi Layla tidak menunjukkan kesedihannya sedikit pun dan tersenyum lebar pada nenek Arsen yang ikut tersenyum bahagia.

Ia hanya tidak ingin mengecewekan siapa pun.

Keluarga Arsen adalah orang-orang yang baik. Bahkan Arsen sendiri bukan pria yang jahat. Kontrak pernikahan mungkin adalah yang terbaik untuk keduanya.

"Ibu, makanannya sudah siap."

Suara Arinda terdengar dari ambang pintu ruang tengah. Ia tersenyum senang menatap ketiganya, terutama pada tangan Layla dan Arsen yang tengah digenggam oleh ibu mertuanya.

"Ayo makan siang dulu," ucap Arinda.

"Baiklah. Kalian berdua juga langsung makan, jangan menunda-nunda," katanya pada Layla dan Arsen yang masih duduk di sofa.

Layla kontan berdiri mengikuti ibu Arsen, sementara Arsen terdengar menghela napas berat. Layla bertanya-tanya apakah itu karena perkataan neneknya tentang pernikahan keduanya?

Layla menahan diri untuk tidak melirik dan bergegas ke ruang makan. Terlihat adik Arsen—Kiran—tengah sibuk mondar-mandir untuk menaruh makanan di atas meja. Layla segera membantu dan Kiran langsung melemparkan senyum manis.

Kiran sebenarnya adalah sepupu Arsen. Tetapi sewaktu kecil, orang tuanya bercerai karena suatu perselingkuhan. Kiran ditelantarkan, jadilah orang tua Arsen yang merawatnya dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Setelah nenek Arsen pindah ke desa, ia memilih untuk ikut karena suka dengan suasana pedesaan yang menenangkan.

"Hai calon kakak ipar," sapa Kiran kelewat ramah seraya menyenggol ringan lengan Layla. Keduanya baru bertemu hari ini, tetapi sikap Kiran yang friendly membuat mereka akrab dengan cepat.

"Hai," balas Layla. Ia duduk di samping Kiran, berhadapan dengan Arsen yang duduk di samping ibunya. Nenek Arsen sendiri di duduk di bagian tengah.

Layla menatap Arsen yang tampak diam, entah apa yang ada dipikirannya. Pandangan pria itu tiba-tiba terangkat dan Layla beralih menatap makanannya, tidak ingin Arsen mendapatinya tengah menatap.

Mereka makan dengan khidmat siang itu, diselingi cerita dari ibu Arsen dan sang nenek secara bergantian.

"... jadi yang menolong Layla itu Arsen. Sungguh kebetulan 'kan Ibu? Lalu sekarang mereka bertemu lagi dalam sebuah perjodohan."

Ya ampun. Layla menggigit bibir bawahnya, merasa malu karena ibu Arsen mengungkit cerita itu lagi.

"Kalau namanya jodoh ya memang begitu, mau jauh atau dekat, ya tetap akan dipertemukan," kata nenek Arsen. Ia tersenyum menatap Layla yang tersenyum kaku.

"Cerita mereka seperti dongeng di mana pangeran datang untuk menyelamatkan tuan putri," sahut Kiran hiperbolis. Kemudian tawanya pecah saat melihat wajah Layla yang memerah malu.

"Tidak, bukan begitu. Arsen hanya menolongku." Layla mencoba menjelaskan, tetapi sepertinya itu tidak berhasil.

Karena ibu Arsen menceritakan kejadian itu dengan beberapa bumbu manis dan suara mendayu-dayu, pertemuan Arsen dan Layla sudah seperti kisah bersejarah yang harus selalu diungkap di setiap pertemuan.

"Itu hanya pertemuan biasa," tambah Layla.

"Tetap saja. Itu manis sekali!" Kata Kiran dengan antusias. Ibu Arsen dan mertuanya kontan mengangguk setuju.

Layla meringis dalam hati. Kenapa semua orang menganggap kejadian itu sebagai pertemuan yang manis? Mereka tidak tahu saja bagaimana Layla menangis kencang karena tubuhnya bau selokan.

"Arsen juga mengantarnya pulang. Iya kan, 'Nak?" Tanya Arinda pada putranya yang mau tak mau mengangguk.

Layla tanpa sadar memberinya lirikan tajam, karena Arsen lah penyebab kejadian itu tersebar. Tetapi bukannya merasa bersalah, Arsen malah tersenyum kecil.

Satu keluarga memang tidak jauh berbeda.

***

Menjelang sore, Kiran mengajak Layla dan Arsen untuk berjalan-jalan di sekitar taman yang tidak jauh dari rumah sang nenek.

Taman itu sangat luas, dipenuhi pohon-pohon rindang dan bunga-bunga berwarna cerah. Ada banyak anak-anak yang bermain, sementara para orang tua tampak duduk mengobrol di kursi taman. Pedagang keliling terlihat menunggu di luar taman.

Layla dan Arsen hanya berkeliling di dekat taman, sekadar menikmati suasana pedesaan sebelum kembali ke kota besok pagi. Keduanya tidak banyak bicara, terlebih dengan kehadiran Kiran. Layla bingung ingin membicarakan apa, ia merasa canggung setiap kali mengingat kontrak pernikahan keduanya.

"Kak Layla ingin es krim?" Kiran mendadak bertanya.

Sebelum Layla sempat menjawab, gadis itu sudah menarik tangannya menuju penjual es krim yang dikerumuni anak-anak. Arsen tidak ikut, memilih untuk menunggu di pagar masuk taman.

Keduanya mengantri menunggu kumpulan anak-anak sebelum memesan. Rasanya Layla kembali ke masa kecilnya yang menyenangkan, di mana ia sering berlibur di desa neneknya.

"Cokelat satu, stroberi satu," kata Kiran pada si penjual ketika giliran keduanya tiba. "Kakak suka rasa stroberi 'kan? Kak Arsen memberitahuku," lanjutnya ketika melihat wajah bingung di wajah Layla.

Layla jadi heran sendiri. Sebenarnya Arsen bercerita pada siapa saja?

"Kakak ipar, coba mendekat." Kiran mengayunkan tangannya. Layla mendekat dan Kiran berbisik, "Calon suamimu menatapmu terus, tuh."

Apa?

Layla otomatis menoleh dan benar saja, Arsen sedang menatapnya. Pria itu berkedip kemudian memalingkan pandangan dengan cepat.

"Hmmm manis sekali," ledek Kiran, memainkan alisnya dan tersenyum-senyum sendiri.

Layla menyenggol lengan Kiran dan menggeleng. Mungkin saja Arsen menatap keduanya karena menunggu terlalu lama. "Dia pasti lelah menunggu. Jangan berlebihan."

"Benarkah?" Kiran menatap tidak setuju. "Kenapa aku merasa dia sedang menatap wajah kakak dengan saksama?"

"Sebaiknya kita ke sana," ucap Layla, tidak ingin membahas hal itu lebih jauh. Ia mengambil es krimnya dan menarik tangan Kiran menuju taman.

"Aku tahu kalian dijodohkan, tapi kak Arsen sepertinya sudah tertarik pada kakak," gumam Kiran. Ia mensejajarkan langkahnya dengan Layla dan melanjutkan, "Menurutku, jika kalian tambah akrab, tinggal beberapa langkah pendekatan dan dia akan jatuh cinta padamu."

Layla rasanya ingin tertawa. Apakah semudah itu? Kalau saja Kiran tahu perihal hubungan Arsen dengan sekretarisnya.

"Arsen tidak mungkin tertarik padaku," ucap Layla, suaranya tidak disangka terdengar sendu. Layla berdehem dan buru-buru meralat ucapannya, "Maksudku, kami baru bertemu. Tidak mungkin perasaan tumbuh secepat itu, butuh waktu dan proses."

"Apa karena Olivia?"

Layla membelalak, langkahnya otomatis terhenti. Ia melirik Arsen yang untungnya sedang menatap ke arah lain. Ia lalu menatap Kiran yang memasang wajah serius. Apakah Kiran sebenarnya tahu?

"Aku tahu hubungan mereka. Aku tidak sengaja melihat kebersamaan mereka di kantor," jelas Kiran.

Layla tercenung di tempat. "Apakah ada orang lain yang tahu?"

"Tidak, hanya aku."

"Ah, baiklah."

Kiran menyentuh ringan lengan Layla, wajahnya tampak muram. "Menurutku, Olivia itu hanya sahabat. Mereka bersama cukup lama, jadi mungkin perasaan kak Arsen hanya sekadar rasa sayang antar teman. Aku tidak yakin itu cinta. Tapi cara kak Arsen menatap kakak itu berbeda. Semacam perasaan kagum dan aku tidak tahu apa sebutannya, tapi kak Arsen memperlakukan kakak dengan sangat hati-hati dan lembut. Kupikir perasaan seperti itu jauh lebih berharga dibanding hubungannya dengan Olivia."

Layla terdiam. Otaknya mencerna segala ucapan Kiran, tetapi ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak ingin berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Apa yang dikatakan Kiran hanya pendapat semata.

"Aku yakin kak Arsen akan menyukai kakak."

"Entahlah." Layla menatap es krimnya yang mulai mencair. Perasaannya bergolak tidak nyaman. "Hanya waktu yang bisa menjawab segalanya."

Tetapi meskipun Layla mengatakan itu, nyatanya kalimat Kiran terus terngiang-ngiang di benaknya.

Ketika mereka kembali ke rumah nenek Arsen, Layla berjalan di belakang calon suaminya. Ia menatap rambut Arsen yang memanjang sampai tengkuk saat seutas kalimat Kiran melintas.

'Aku yakin kak Arsen akan menyukai kakak.'

Layla menggeleng-geleng.

Mungkin Kiran hanya ingin menghiburnya.

Ya, mana mungkin Arsen bisa berpaling dari Olivia yang telah dikenalnya dengan sangat baik, hanya untuk perempuan sepertinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status