Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Pernikahan itu akan menjadi perubahan besar dalam hidupnya.Layla menghela napas panjang. Kepalanya disandarkan ke kaca jendela yang dingin. Iris cokelatnya terpaku pada segaris bulan baru yang berpendar.Perasaannya tidak karuan memikirkan pertemuannya dengan calon suaminya.Di umurnya yang baru 19 tahun, ia terpaksa harus menerima perjodohan dari orang tuanya. Layla tidak punya pilihan lain mengingat orang tuanya terlilit banyak hutang.Perusahaan ayahnya mengalami kebangkrutan dan salah satu rekannya mau menolong asal Layla bersedia dijodohkan dengan putranya.Arsen Sergio, adalah nama dari pria itu.Layla tidak tahu seperti apa rupanya, tetapi ibunya bilang, umurnya lima tahun lebih tua darinya. Dia adalah direktur muda yang baru saja dilantik.Sebentar lagi, mereka akan bertemu.Layla menatap keluar jendela untuk waktu yang lama, memikirkan kembali segala rencananya di masa lalu.Layla sengaja menunda setahun sebelum mendaftar kuliah kedokteran melihat perusahaan ayahnya yang ber
'Bukankah kau yang pernah jatuh di selokan itu 'kan?'Jadi, Layla tidak salah ingat.Mereka adalah satu orang yang sama. Laki-laki yang pernah menolongnya empat tahun yang lalu. Layla tidak menyangka mereka akan bertemu lagi dalam situasi yang sangat berbeda.Takdir memang selalu memiliki rencana tersendiri.Bahkan Arsen masih mengingatnya.Layla meletakkan piring kuenya yang telah kosong dan mengambil segelas jus. Pandangannya lagi-lagi bertemu dengan mata rusa Arsen yang memandangnya di seberang meja. Entah perasaan Layla saja atau apa, tetapi tatapan Arsen seolah terus terpaku padanya.Keduanya telah diperkenalkan secara formal sebelum makan malam dimulai. Layla tidak banyak bicara, begitu pula dengan Arsen. Hanya orang tua keduanya yang sibuk berbicara mengenai banyak hal.Setelah makan malam, keduanya dibiarkan bicara berdua di taman halaman belakang rumah. Katanya supaya lebih akrab. Arsen mengangguk setuju tanpa basa-basi, sementara Layla gugup bukan main. Sepertinya, hanya La
Layla berdiri diam di samping orang tuanya yang melambaikan tangan dengan bahagia. Ia hanya menatap Mercedes Benz milik Arsen yang melaju keluar dari gerbang rumahnya, tanpa berniat untuk mengatakan apa pun.Perasaan bahagia yang memenuhi hatinya sebelumnya, telah berubah menjadi ombak yang mengacaukan segalanya.Layla tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Ia hanya merasa kecewa.Tetapi, pantaskah ia merasa kecewa? Keluarganyalah yang membutuhkan bantuan. Lagi pula, seharusnya Layla tidak terkejut mengingat keduanya dijodohkan. Jika Arsen punya pilihan lain, ia tidak akan mungkin menerima perjodohan keduanya.Layla mendesah lelah dan bergegas menuju kamarnya. Ia mematikan lampu dan melempar tubuhnya ke atas kasur. Wajahnya dibenamkan ke seprai yang lembut, lalu ia menghirup napas dalam-dalam di sana. Aroma bunga mawar yang menguar sedikit menenangkan perasaannya.Arsen bilang, dia tidak bisa meninggalkan kekasihnya, sekalipun keduanya telah menikah.Seperti yang t
"Wahhh semuanya sangat cantik. Bagaimana kalau kau pakai yang ini saja? Ah, tidak! Yang ini juga bagus—eh ya ampun, yang ini lebih manis lagi!"Layla menghela napas menatap ibunya yang kelewat antusias. Pagi ini, Ibu Arsen mengirim paket berisi sepuluh lembar gaun sebagai hadiah untuk Layla. Salah satunya harus Layla pakai saat berangkat menemui nenek Arsen yang tinggal di desa.Jadi, rencananya Layla diajak untuk berkunjung ke rumah nenek Arsen minggu depan. Tetapi semalam, ibu Arsen tiba-tiba menelepon dan meminta agar kunjungannya dipercepat saja, begitu pula dengan pernikahan Layla dan Arsen.Alasannya, karena Layla dan Arsen sepertinya sudah sangat cocok melihat bagaimana keduanya pergi 'berkencan' di restoran.Sungguh sebuah ironi sebab mereka menganggap pertemuan kemarin sebagai kencan romantis antar calon suami-istri. Apalagi Arsen ternyata telah menceritakan pertemuan awal mereka empat tahun yang lalu—secara tidak sengaja. Ibunya pasti mengira keduanya sudah akrab dan pernika
"Kau cantik sekali, Nak. Persis seperti yang dikatakan Arinda. Sangat manis."Senyum Layla merekah. Bukan karena pujian yang diberikan oleh nenek Arsen, melainkan tatapan hangat yang diberikan oleh wanita tua itu. Layla jadi ingat dengan neneknya sendiri. Ia ingin berkunjung ke makamnya sebelum pernikahannya diselenggarakan."Terima kasih, Nek."Nenek Arsen tersenyum lebih lebar dan beralih menggenggam tangannya. Ia kemudian meraih tangan Arsen yang duduk di samping Layla. "Semoga pernikahan kalian lancar. Hubungan kalian langgeng, bertahan sampai kalian tua seperti nenek, ya," ucapnya sungguh-sungguh.Layla melirik calon suaminya yang hanya bisa mengangguk kaku. Ia mendadak merasa bersalah dengan kontrak pernikahan yang telah ia setujui. Ia telah membohongi semua orang. Tetapi membatalkan pernikahan pun bukan pilihan yang bisa Layla ambil."Terima kasih atas doanya, Nek." Hanya itu yang bisa Layla katakan."Sama-sama, Nak. Kau perempuan yang baik, Nenek bisa melihat itu. Arsen sangat
Layla tidak bisa tidur.Iris cokelatnya terpaku menatap bulan yang bersembunyi di balik awan. Ia terdiam di tepi tempat tidurnya, menimbang-nimbang untuk keluar atau tidak. Matanya melirik jam, sudah hampir tengah malam.Semua orang mungkin sudah tidur sejak tadi, pikirnya.Suasana rumah ini begitu hening sejak beberapa jam yang lalu. Layla beranjak dari tempatnya dan mengintip keluar. Kamar yang ditempatinya langsung terhubung ke halaman belakang.Tempat itu sepi dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup. Tetapi pemandangan kolam ikan dan bunganya tampak menenangkan. Mungkin jika Layla menghabiskan waktunya di sana sebentar, ia bisa mengantuk.Layla membuka pintu dengan sangat perlahan, tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia berbelok menuju halaman belakang dan udara dingin seketika menerpa wajahnya. Ia bergidik dan mengeratkan jaketnya sebelum duduk di salah satu kursi.Suasana pedesaan memang sangat berbeda dengan suasana di kota. Biasanya, di jam seperti ini, jalanan