Share

02. Pengakuan Arsen

'Bukankah kau yang pernah jatuh di selokan itu 'kan?'

Jadi, Layla tidak salah ingat.

Mereka adalah satu orang yang sama. Laki-laki yang pernah menolongnya empat tahun yang lalu. Layla tidak menyangka mereka akan bertemu lagi dalam situasi yang sangat berbeda.

Takdir memang selalu memiliki rencana tersendiri.

Bahkan Arsen masih mengingatnya.

Layla meletakkan piring kuenya yang telah kosong dan mengambil segelas jus. Pandangannya lagi-lagi bertemu dengan mata rusa Arsen yang memandangnya di seberang meja. Entah perasaan Layla saja atau apa, tetapi tatapan Arsen seolah terus terpaku padanya.

Keduanya telah diperkenalkan secara formal sebelum makan malam dimulai. Layla tidak banyak bicara, begitu pula dengan Arsen. Hanya orang tua keduanya yang sibuk berbicara mengenai banyak hal.

Setelah makan malam, keduanya dibiarkan bicara berdua di taman halaman belakang rumah. Katanya supaya lebih akrab. Arsen mengangguk setuju tanpa basa-basi, sementara Layla gugup bukan main.

Sepertinya, hanya Layla yang merasa jantungnya terasa akan copot, sebab Arsen terlihat biasa-biasa saja. Atau pria itu mungkin pandai mengontrol ekspresinya.

Layla duduk dengan canggung, pandangannya jatuh ke kakinya yang dibalut sandal kelinci berbulu. Kakinya sakit mengenakan sepatu hak tinggi, jadi ia diam-diam menggantinya saat ibunya berlalu pergi.

Ia melirik Arsen yang bungkam, entah apa yang ada di pikiran pria itu. Apa yang akan mereka lakukan? Atau bicarakan? Tidak ada yang memulai.

Otak Layla terasa buntu, ia tidak bisa memikirkan topik apa pun untuk diangkat. Sebagai perempuan yang tidak pernah menjalin hubungan, ia bingung harus bagaimana.

"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama." Akhirnya Arsen bicara setelah lima menit berlalu dalam keheningan.

Layla mengangguk. "Aku juga, mm ... Kak Arsen."

"Panggil Arsen saja," kata Arsen tertawa kecil. Tangannya terulur, dengan lembut mengangkat dagu Layla agar mau menatap wajahnya. "Supaya lebih akrab. Bagaimana?"

"Ah, baiklah." Layla berkedip, agak tertegun dengan tindakan Arsen. Pria itu tersenyum kecil sebelum menarik tangannya kembali.

Layla sempat mengira kalau Arsen adalah pria yang kaku, terlebih ia lebih banyak diam saat makan malam tadi. Rupanya, Layla salah. Wajahnya sekarang terlihat ramah dan teduh, berbanding terbalik dengan foto-foto yang muncul di internet.

Angin dingin berhembus di antara keduanya. Untungnya Layla sudah memakai sweater atas saran ibunya. Cuaca malam ini cerah, bintang-bintang bertaburan di langit, menemani segaris bulan sabit yang menggantung indah.

"Layla?" Panggil Arsen tiba-tiba.

Layla menoleh dengan cepat. "Ya?"

"Apa kau menginginkan perjodohan ini?"

Layla terdiam. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Bagaimana ia menjawabnya?

"Kau sendiri bagaimana?" Layla balik bertanya.

"Mari sama-sama jujur. Ini karena permintaan orang tua kita, bukan?" Arsen bicara dengan hati-hati, mungkin berpikir kalau Layla akan tersinggung.

Nyatanya, latar belakangnya memang seperti itu. Layla mengangguk kaku. "Kau benar."

Arsen tersenyum simpul. "Yah, tapi aku tidak menyangka orang itu adalah kau. Maksudku, aku mengenal ayahmu, tapi aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."

"Aku sangat jarang datang ke perusahaan ayah, bisa dihitung jari." Layla mengaku. "Dulu aku terlalu sibuk belajar agar bisa lolos ke jurusan yang kuminati."

"Apa itu?"

"Kedokteran," jawab Layla pelan. "Atau paling tidak, bagian Psikologi."

"Apa kau masih ingin kuliah?"

Layla menghela napas berat dan menggeleng. "Kurasa tidak."

"Kenapa? Kalau kau mau, aku tidak akan melarang meskipun kita sudah menikah."

Layla menatap Arsen lekat-lekat, wajah pria itu dipenuhi keseriusan. Ia tidak bercanda dengan kalimatnya. Itu agak mengejutkan, mengingat Layla seharusnya tinggal di rumah.

"Aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga seperti ibuku," ujar Layla. Jauh di dalam hatinya, ia tidak ingin melepas cita-citanya. Tetapi, statusnya setelah menikah sudah berubah. Ia tidak ingin terlalu sibuk di luar dan melalaikan kewajibannya. "Ibuku selalu bilang bahwa untuk menjaga keharmonisan keluarga, seorang istri tidak boleh melalaikan kewajibannya. Aku harus memperhatikan suamiku dan anakku—maksudku, jika nantinya aku memiliki anak. Masuk kuliah kedokteran akan menyita banyak waktuku dan aku jadi tidak bisa mengurus keluargaku dengan baik."

Arsen tertegun, jelas terkejut dengan penjelasan gadis muda di hadapannya. Usianya mungkin baru 19 tahun, tetapi pemikirannya sangat dewasa.

"Kau perempuan yang baik, Layla." Arsen tersenyum tipis. "Walaupun sejujurnya kalau dipikir kembali, agak mengherankan kau ingin mengambil bagian kedokteran."

Layla menatap tidak mengerti. "Kenapa?"

"Mengambil jurusan di bagian itu berarti kau harus kuat mental dan fisik. Dulu kukira kau adalah gadis yang sangat cengeng. Aku masih ingat bagaimana kau terisak kencang waktu itu," ujar Arsen bercanda. Ia terkekeh, matanya mengerling jenaka. "Bahkan saat aku mengantarmu pulang ke rumah nenekmu, kau masih menangis."

Layla meringis, pipinya merona samar. Rasanya ia ingin membuang kenangan memalukan itu jauh-jauh. Ia akui, ia memang sangat cengeng waktu itu. Tetapi, semuanya sudah berubah sekarang.

"Aku sudah dewasa sekarang. Sembilan belas tahun dan sebentar lagi berubah menjadi dua puluh," kata Layla tanpa sadar. Pipinya sedikit menggembung.

Arsen tertawa. "Aku tahu. Penjelasanmu mengenai kewajiban seorang istri membuatku berpikir kalau pemikiranmu mungkin lebih dewasa dariku."

Layla tidak bisa menahan senyumnya untuk melebar. "Tapi kau adalah seorang direktur, jadi kau pasti jauh lebih dewasa?"

"Mungkinkah?"

"Mungkin saja."

Keduanya saling menatap kemudian tertawa. Layla senang mendapati dirinya tidak gugup lagi. Percakapan mereka terasa mengalir seperti air sungai. Walaupun obrolan terakhir agak memalukan.

Layla tidak akan pernah melupakan kejadian itu.

Saat itu hujan deras disertai angin kencang. Layla baru kembali dari toko bunga dan memutuskan untuk hujan-hujanan saja karena bajunya sudah terlanjur basah.

Ia melangkah riang seraya bersenandung, tetapi seorang pemuda dari arah berlawanan membawa motornya dengan gila. Layla berusaha menghindar, tetapi kakinya malah tergelincir dan berakhir jatuh ke selokan.

Bajunya bau, semuanya bau. Selokannya cukup dalam dan licin, jadi Layla tidak bisa memanjat keluar. Ia hanya bisa menangis sambil berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang datang.

Setengah jam kemudian, Arsen muncul dengan helm kekecilan yang tidak muat di kepalanya. Layla hampir tertawa, tetapi diurungkan mengingat ia mungkin tidak akan ditolong. Lalu dengan ekspresi datar dan tanpa banyak bicara, Arsen menariknya keluar dari selokan.

Pemuda itu dengan baik hati mengantarnya pulang, sebab Layla kembali terisak kencang saat mencium tubuhnya yang bau.

Momen itu sangat memalukan, sungguh. Tidak mengherankan kenapa Arsen masih mengingatnya.

"Apa kau pernah pacaran sebelumnya? Atau menyukai seseorang?"

Pertanyaan mendadak itu membuat Layla lengah. Ia menatap Arsen yang balas menatap penasaran.

"Tidak," jawab Layla jujur. "Aku tidak pernah."

Tidak ada keterkejutan yang muncul di wajah Arsen, tetapi pria itu tampak menghela napas. "Walaupun kau tidak pernah pacaran, aku yakin banyak laki-laki yang tertarik padamu. Kau cantik dan pintar," gumam Arsen. Kemudian ia buru-buru menambahkan, "Aku tidak sedang menggoda, itu benar-benar tulus pujian."

Layla mengangguk pelan, kedua pipinya terasa memanas. Padahal ia sering mendengar jenis pujian seperti itu dari banyak laki-laki, tetapi ia merasa biasa saja.

Lain hal dengan Arsen, entah kenapa pujiannya membawa perasaan berdebar yang aneh pada hatinya. Mungkin dari semua pria yang ia kenal, hanya Arsen yang paling melekat dalam pikirannya, mengingat pria itu pernah menolongnya.

Layla tanpa sadar tersenyum menatap Arsen dan pria itu balas tersenyum kecil. Sinar bulan tumpah ke wajahnya. Layla tidak menyangkal bahwa Arsen adalah pria yang menawan.

Mata rusanya, hidung bangirnya, dan bibir tipisnya, ditambah dengan rambut hitam legamnya yang disisir rapi ke belakang. Jas senada membalut tubuhnya yang tampak kekar.

Lalu, dengan pembawaannya yang luar biasa, Layla yakin Arsen setidaknya pernah pacaran. Layla jadi teringat dengan artikel yang ia lihat di internet beberapa jam lalu.

Hubungan Arsen dan sekretarisnya.

Apa itu benar? Apakah Layla bisa menanyakannya?

Layla menggigit bibir bawahnya, merasa ragu. Ia menatap Arsen yang hanya diam, seolah menikmati keheningan yang terjadi di antara keduanya.

Layla lantas memberanikan diri untuk bertanya, tetapi Arsen lebih dulu buka suara.

"Boleh aku menggenggam tanganmu?" Tanyanya lembut.

Layla berkedip, lagi-lagi Arsen melontarkan pertanyaan yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Ragu-ragu, ia menganggukkan kepalanya.

Arsen meraih kedua tangannya dengan lembut dan menggenggamnya. Tangannya terasa hangat, berbanding terbalik dengan tangan Layla yang dingin. Jemarinya yang besar melingkupi jemarinya yang kecil.

Arsen tampak memperhatikan sekitar, seakan memastikan tidak ada orang lain yang berada di dekat mereka. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya. Napasnya berembus mengenai wajah Layla yang membeku di tempat.

"Kau perempuan yang baik, Layla. Sangat baik. Tapi sebelum kita menikah, aku tidak ingin menjebakmu dalam suatu kebohongan. Aku tahu perjodohan ini tidak bisa dibatalkan, tapi kau harus tahu satu hal," bisik Arsen. Ekspresinya dengan cepat berubah menjadi penuh rasa bersalah ketika ia menatap ke dalam mata Layla. "Aku sudah memiliki kekasih, dan ... aku tidak bisa meninggalkan wanita itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status