Share

03. Kontrak Pernikahan Sang CEO

Layla berdiri diam di samping orang tuanya yang melambaikan tangan dengan bahagia. Ia hanya menatap Mercedes Benz milik Arsen yang melaju keluar dari gerbang rumahnya, tanpa berniat untuk mengatakan apa pun.

Perasaan bahagia yang memenuhi hatinya sebelumnya, telah berubah menjadi ombak yang mengacaukan segalanya.

Layla tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Ia hanya merasa kecewa.

Tetapi, pantaskah ia merasa kecewa? Keluarganyalah yang membutuhkan bantuan. Lagi pula, seharusnya Layla tidak terkejut mengingat keduanya dijodohkan. Jika Arsen punya pilihan lain, ia tidak akan mungkin menerima perjodohan keduanya.

Layla mendesah lelah dan bergegas menuju kamarnya. Ia mematikan lampu dan melempar tubuhnya ke atas kasur. Wajahnya dibenamkan ke seprai yang lembut, lalu ia menghirup napas dalam-dalam di sana. Aroma bunga mawar yang menguar sedikit menenangkan perasaannya.

Arsen bilang, dia tidak bisa meninggalkan kekasihnya, sekalipun keduanya telah menikah.

Seperti yang tersebar di internet, Arsen memang menjalin hubungan spesial dengan sekretarisnya sendiri.

Olivia Reagan.

Apakah Layla harus tertawa dengan kenyataan itu? Atau menangis?

Padahal setelah menikah, ia berniat untuk mempercayai Arsen sepenuhnya. Ia ingin berusaha mencintai pria itu selayaknya seorang istri mencintai suaminya, tetapi niatnya itu sepertinya harus dikubur dalam-dalam.

Bagaimana bisa ia mencintai Arsen jika pria itu justru mencintai wanita lain?

Layla tidak pernah menyukai siapa pun, hanya Arsen satu-satunya pria yang berhasil menarik perhatiannya. Tetapi kenyataan tidak selalu semanis madu. Layla hanya mendapat sengatan menyakitkan pada hatinya yang terlanjur berharap.

Arsen bercerita kalau hubungannya dengan Olivia sudah terjalin selama empat tahun. Dari sahabat menjadi cinta. Kisah yang sangat indah.

Kemudian, Layla datang di tengah-tengah keduanya. Walaupun ia akan menikah dengan Arsen dan menjadi istri sah, kenapa ia malah merasa menjadi perusak hubungan? Orang ketiga yang tidak diinginkan.

Rasanya menyedihkan.

Layla menarik selimut dan mengubah posisinya menjadi telentang. Ia sudah terlalu malas untuk mengganti dress-nya.

Dipandanginya bulan sabit yang bersinar terang dibalik jendela, kemudian berpikir kalau ia mungkin bisa menjalani kehidupan pernikahannya dengan Arsen, meskipun pria itu mencintai wanita lain.

Apakah semudah itu?

Seharusnya Layla bisa menebak dari awal kalau pria seperti Arsen tidak mungkin single. Tetapi pikirannya terlalu positif, sehingga ia tidak memikirkan kemungkinan buruk apa pun.

Keduanya akan bertemu lagi besok sore.

Di sebuah restoran, hanya berdua. Sebuah alibi untuk membicarakan lebih lanjut mengenai pernikahan keduanya. Entah apa yang Arsen rencanakan, Layla harap itu tidak menyakiti orang tua mereka.

***

"Ah, hujan."

Layla menatap muram hujan deras yang mengguyur sore ini. Memasuki awal musim hujan, Layla seharusnya selalu membawa payung untuk berjaga-jaga. Ia kira, ia bisa tiba di restoran sebelum langit menumpahkan air matanya, tetapi perkiraannya salah.

Layla segera membayar biaya taksinya dan menimbang-nimbang untuk menerobos hujan atau tidak. Tetapi menunggu rasanya percuma saja, hujan tidak akan reda dalam waktu dekat.

Jadi, dengan menggunakan tas kulitnya sebagai payung, Layla berlari melintasi halaman restoran yang luas. Agak menjengkelkan melihat bagaimana restoran bintang lima menyediakan halaman super luas, tetapi taksi bahkan tidak bisa lewat.

Layla berdiri di luar pintu restoran sejenak untuk menormalkan napasnya yang tidak teratur. Ia mengibaskan tasnya yang basah dan menepuk-nepuk pakaiannya. Matanya melirik ke dalam restoran, bertanya-tanya apa Arsen sudah tiba?

Layla mendorong pintu restoran yang ramai. Pandangannya menyapu sekitar ruangan saat seorang pelayan menghampirinya.

"Nona Layla?" Tanyanya. Layla mengangguk dengan terkejut. Pelayan itu tersenyum sopan dan mengarahkan tangannya ke arah timur restoran. "Tuan Arsen sudah menunggu Anda. Silakan."

Layla mengikuti pelayan wanita itu menuju bagian restoran yang lebih dalam. Sejujurnya, ia jarang datang ke restoran berkelas seperti ini. Ia lebih suka memasak makanannya sendiri.

Keduanya berbelok menuju sisi lain restoran dan Layla langsung melihat presensi Arsen di meja dekat jendela. Tidak ada siapa pun di ruangan itu, hanya meja Arsen yang terisi.

Layla memperhatikan kalau sebagian besar pengunjung memakai dress dan setelan jas rapi. Tidak terkecuali Arsen yang kini menggulung lengan kemejanya hingga siku. Dasinya sudah dilepas dan dua kancing teratas bajunya sengaja dibuka.

Mungkin hanya Layla yang tidak memakai pakaian formal, hanya kardigan biru langit, celana jins putih, dan sepatu kets.

Ya, sudahlah, pikirnya. Lagi pula, ini bukan pertemuan istimewa. Mereka hanya akan berdiskusi mengenai rencana Arsen.

Layla berjalan mendekat dan Arsen mendongak dari mejanya. Ekspresinya tertutup, tetapi matanya tampak kalut.

Layla memalingkan pandangan, kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Arsen. Pria itu menatapnya dalam diam, memperhatikan bajunya yang agak basah.

Mereka hanya saling diam hingga akhirnya Layla tidak tahan lagi. "Jadi apa yang akan kita bicarakan?" Tanyanya, menatap Arsen yang berdehem pelan.

"Sebaiknya, kita pesan makanan dulu," katanya. Ia mengangkat tangannya dan memanggil pelayan.

Layla membuka buku menu dan melihat beberapa makanan yang populer. "Apa yang paling enak di sini?"

"Udang bakarnya, Nona."

"Dia alergi udang," sahut Arsen. "Kami pesan cumi panggang saja, dua porsi. Dan strawberry curd satu untuknya."

Layla menatap terkejut. Dari mana Arsen tahu alerginya pada udang dan kesukaannya pada rasa stroberi?

"Aku mendengarnya dari ibumu," jelas Arsen ketika pelayan pergi. Senyum kecil terbit di bibirnya.

Layla mengangguk pelan. Walaupun ia masih merasa kecewa, tetap saja ia tidak bisa menyalahkan Arsen atas apa yang terjadi. Namun, ia lebih suka jika Arsen bersikap datar padanya, alih-alih begitu perhatian seperti sekarang.

Layla mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap hujan deras yang mengguyur. Dari sudut matanya, ia bisa melihat tatapan Arsen yang tertuju padanya.

Apa yang sebenarnya pria itu pikirkan ketika menatapnya?

Pelayan datang tidak lama kemudian sambil membawa pesanan keduanya. Mereka makan dalam diam. Layla sebenarnya tidak terlalu berselera, tetapi ibunya mengajarnya untuk selalu menghabiskan makanan. Ketika ia hendak mencoba kuenya, ia menatap Arsen yang tidak memesan pencuci mulut apa pun.

"Kita bisa makan berdua," ucap Layla, mendorong piringnya ke tengah.

Di luar dugaan, Arsen malah tertawa. Ia mendorong kembali piring kue itu dengan lembut. "Aku memesannya untukmu. Aku tidak terlalu suka yang manis."

"Ah, aku akan bayar sendiri kalau begitu."

Arsen menggeleng. "Tidak apa-apa. Memangnya salah aku membayar milikmu?"

'Tidak salah, tetapi tolong jangan terlalu perhatian seperti ini', batin Layla.

Ia menatap Arsen yang sepertinya tidak ingin dibantah dan memilih mengalah. "Baiklah," gumamnya.

Senyum Arsen melebar. Ia membiarkan Layla makan, sementara irisnya teralih untuk memandang hujan yang semakin deras. Angin bertiup kencang dan udara dingin berembus melalui celah jendela.

Layla bergidik dan diam-diam menggosok tangannya di bawah meja. Ketika Arsen melirik, Layla berhenti dan memasang ekspresi normal meski tubuhnya menggigil. Ia melanjutkan makannya dan menatap ke arah lain ketika aroma parfum Arsen mengusik penciuman.

"Pakailah," ucap Arsen.

Layla menoleh, keningnya berkerut melihat jas Arsen di sisi meja. "Ya?"

"Pakailah," ulang pria itu seraya menunjuk jasnya. "Kau kedinginan."

Dia tahu?

Layla mengerjapkan mata dan mengambil jasnya, pipinya merona samar. Ia tidak menyangka Arsen akan sepeka itu, padahal ia sudah berusaha agar tidak ketahuan. "Te-terima kasih," ucapnya. Ia memakai jasnya dan aroma parfum Arsen yang menenangkan seketika memenuhi penciumannya.

Arsen mengangguk. "Sama-sama."

Layla menghabiskan kuenya dengan lebih tenang. Tidak ada percakapan yang berlangsung.

Barulah ketika Layla menggeser piringnya, Arsen mengeluarkan sebuah kertas dari map yang berada di sampingnya.

Atmosfer menenangkan yang sebelumnya Layla rasakan seketika berubah. Ia meremas jemarinya di atas pangkuan dan menarik napas.

"Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang dan kupikir yang terbaik untuk kita berdua adalah sebuah kontrak."

Kontrak?

Arsen mendorong kertasnya ke hadapan Layla. "Kontrak satu tahun pernikahan. Setelah itu, kita bisa berpisah secara baik-baik agar keluarga kita tidak berselisih. Kita menikah tanpa cinta, dan aku tidak bisa meninggalkan kekasihku. Kau juga tidak akan bahagia dengan pria sepertiku, jadi inilah jalan yang kuputuskan. Aku sudah membicarakan ini dengan Olivia," jelas Arsen, nada suaranya begitu berhati-hati. "Aku akan memikirkan alasan kenapa kita harus berpisah. Kau bisa membuat aku sebagai pihak yang bersalah."

Layla tercenung, dadanya bergemuruh. Ia menatap Arsen dan berkasnya secara bergantian, kemudian memikirkan kembali perkataan pria itu.

Ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya.

"Kau bebas melakukan apa pun yang kau inginkan, Layla. Aku tidak akan mengekangmu asal itu bukan hal yang buruk. Aku akan menghargai keinginanmu. Aku akan menjalankan tanggung jawabku sebagai suami dengan memberimu nafkah, bahkan setelah kita berpisah."

"Aku mengerti, tapi kau tidak perlu menafkahiku setelah kita resmi berpisah. Olivia pasti akan merasa sakit hati. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun," ucap Layla.

Arsen terdiam. Layla tersenyum pahit dan menarik berkasnya untuk membubuhkan tanda tangannya.

Ia tahu kalau Arsen bukan pria yang jahat, ia hanya tidak memiliki pilihan lain. Arsen tidak bisa menolak perjodohan keduanya atas keinginan ibunya yang sakit, lalu di sisi lain, dia tidak bisa meninggalkan kekasihnya.

Layla mendorong kembali kertasnya dan memalingkan pandangan. Menarik napas dalam-dalam, entah kenapa hatinya terasa sakit. Dadanya bergemuruh seperti petir yang datang menyambar.

"Aku minta maaf, Layla."

"Tidak, tidak perlu. Aku bisa mengerti. Lagi pula, keluargaku membutuhkan bantuan dan inilah caranya. Bukan salahmu," balas Layla cepat. Ia menatap hujan yang mulai mereda, lalu melirik jam di ponselnya. Pukul 07.15. Tidak terasa sudah satu setengah jam berlalu. "Kurasa aku harus pulang sekarang."

Ia berdiri dari kursinya dan Arsen ikut berdiri.

"Mari kuantar," tawarnya.

Layla buru-buru menolak. "Tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkan."

Lagi pula, situasinya mungkin akan terasa canggung.

Tetapi Arsen menggeleng dan tetap bersikeras. "Sama sekali tidak. Biarkan aku mengantarmu pulang. Kau menolak untuk dijemput, jadi biarkan aku mengantarmu. Aku hanya ingin memastikan kau kembali dengan selamat."

Layla berpikir untuk menolak, tetapi sepertinya tidak ada gunanya. "Baiklah."

Arsen tersenyum lega. "Mari."

Layla mengikuti pria itu menuju tempat parkir yang berada di belakang restoran. Arsen membukakan pintu mobilnya dengan sopan, lalu berputar menuju sisi pengemudi.

Sepanjang perjalanan, Layla hanya terus menatap keluar jendela. Keheningan melanda keduanya. Tidak ada yang bicara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Layla memikirkan kembali kontrak pernikahannya dengan Arsen.

Hanya setahun. Dan kemudian, keduanya akan resmi berpisah.

Ketika mobil berhenti, Layla segera membuka sabuk pengamannya. "Terima kasih untuk tumpangannya," ucapnya sebelum membuka pintu.

Arsen mengangguk. "Tidak masalah."

Layla keluar dari mobil dan menatap Arsen untuk terakhir kali. "Selamat malam dan hati-hati."

"Selamat malam," balas Arsen seraya membunyikan klakson. Layla mengangguk dan Arsen berlalu pergi.

Layla melangkah ke dalam rumahnya dengan perasaan tumpah tindih. Sekali lagi, Arsen bukan pria yang jahat.

Tetapi, apakah ia bisa menjalani pernikahan mereka selama setahun dengan baik? Tanpa melibatkan perasaannya? Ia menatap jas Arsen yang membalut tubuhnya dan perasaan aneh itu kembali datang menghampiri.

"Jangan jatuh cinta," bisiknya pada diri sendiri. "Jangan pernah jatuh cinta padanya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status