Share

04. Olivia

"Wahhh semuanya sangat cantik. Bagaimana kalau kau pakai yang ini saja? Ah, tidak! Yang ini juga bagus—eh ya ampun, yang ini lebih manis lagi!"

Layla menghela napas menatap ibunya yang kelewat antusias. Pagi ini, Ibu Arsen mengirim paket berisi sepuluh lembar gaun sebagai hadiah untuk Layla. Salah satunya harus Layla pakai saat berangkat menemui nenek Arsen yang tinggal di desa.

Jadi, rencananya Layla diajak untuk berkunjung ke rumah nenek Arsen minggu depan. Tetapi semalam, ibu Arsen tiba-tiba menelepon dan meminta agar kunjungannya dipercepat saja, begitu pula dengan pernikahan Layla dan Arsen.

Alasannya, karena Layla dan Arsen sepertinya sudah sangat cocok melihat bagaimana keduanya pergi 'berkencan' di restoran.

Sungguh sebuah ironi sebab mereka menganggap pertemuan kemarin sebagai kencan romantis antar calon suami-istri. Apalagi Arsen ternyata telah menceritakan pertemuan awal mereka empat tahun yang lalu—secara tidak sengaja. Ibunya pasti mengira keduanya sudah akrab dan pernikahan patut dipercepat.

Jadwal pernikahan yang harusnya dilangsungkan tiga minggu lagi, berubah menjadi dua minggu. Besok, kemungkinan besar ia harus ke butik untuk fitting baju pernikahan.

Semuanya begitu mendadak, tetapi melihat betapa bahagianya orang tuanya dan ibu Arsen, ia tidak ingin mengeluarkan protesan apa pun.

Ia bertanya-tanya bagaimana tanggapan Arsen?

"Jadi ingin pakai yang mana, Nak? Semuanya bagus dan cantik." Melissa menunjuk beberapa gaun dengan warna yang cerah.

Layla memandang gaun yang tersebar di atas tempat tidurnya. Desainnya berbeda-beda, tetapi semuanya ditujukan untuk acara formal. Sopan dan tertutup. Sangat sesuai dengan selera Layla yang tidak terlalu suka dengan pakaian seksi.

Keluarga Arsen pun sangat menjunjung tinggi kehormatan. Dari apa yang Layla perhatikan, ibu Arsen selalu memakai pakaian yang sopan. Orang-orang bilang, keluarga mereka akan terlihat sempurna seandainya ayah Arsen masih hidup.

Ayah Arsen meninggal karena kecelakaan dan istrinya mulai sakit sejak saat itu. Nenek Arsen bahkan kembali ke desa tempatnya tinggal untuk menenangkan diri setelah kematian putranya. Lambat laun, beliau memutuskan untuk menetap di desa. Hidup damai dan tenang, jauh dari kebisingan kota metropolitan yang menyesakkan.

"Yang ini saja." Layla mengambil gaun berwarna ungu pastel dengan renda di bagian dada dan ujung gaunnya. "Aku suka dengan warna dan desainnya."

Melissa mengangguk setuju dan segera menyuruh Layla untuk berganti baju. Sama seperti pertemuan sebelumnya, ibunya kembali mendadaninya. Memberikan riasan tipis dan menguncir rendah rambutnya yang dibuat bergelombang.

Dari dulu, ibunya suka melakukan hal-hal seperti ini ketika Layla harus mendatangi sebuah acara atau pertemuan penting. Ia tidak pernah pergi ke salon, sebab ibunya senang mendandaninya. Layla sendiri jarang memakai riasan, hanya bedak tipis dan pelembab bibir.

"Pokoknya jangan gugup. Nikmati waktumu dengan keluarga Arsen, ya? Mereka keluarga yang baik, dan Ibu yakin nenek Arsen akan menyukaimu."

'Entahlah', batin Layla tidak yakin. Tetapi ia tetap menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Arsen memperlakukanmu dengan baik 'kan? Pertemuan kalian di restoran sepertinya sangat menyenangkan."

"Hmm," jawab Layla sekenanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

Ibunya tertawa kecil dan mengusap puncak kepala putrinya dengan sayang. "Masih malu. Kenapa tidak menceritakan apa pun pada Ibu? Kau bahkan memakai jasnya."

Ya Tuhan.

Bagaimana Layla menjawabnya? Jika ia mengatakan bahwa Arsen memberikannya semata-mata karena Layla kedinginan, ibunya pasti akan menggodanya. Sudah tentu pembahasan ini tidak akan habis.

"Mm, aku ingin sarapan dulu," ucap Layla cepat dan bergegas keluar dari kamarnya. Ia meringis malu saat mendengar tawa ibunya.

***

Pukul delapan dan mobil milik keluarga Arsen benar-benar datang tepat waktu.

Layla menghabiskan kopinya sebelum mengikuti ibunya ke pintu depan. Ia sebenarnya jarang minum kopi, tetapi ia merasa sangat mengantuk sekarang.

Tidurnya tidak nyenyak semalam. Ia terus memikirkan segala hal yang terjadi, terutama kontrak pernikahan dan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya ketika memikirkan Arsen.

Ia berpikir kalau ketertarikannya pada Arsen sejak awal hanyalah bentuk dari rasa terima kasihnya. Sebab Arsen pernah menolongnya dan kejadian itu begitu membekas di kepalanya. Perasaannya mungkin akan memudar seiring waktu yang berlalu.

Yah, ia harap begitu. Ia tidak ingin terjebak dalam cinta sepihak.

"Kami berangkat ya, Melissa."

"Kalian hati-hati."

Arinda—Ibu Arsen—mengangguk dan memeluk ringan Melissa sebelum memasuki mobil pribadi keluarganya. Layla melambaikan tangannya pada ibunya yang menatap bahagia kepergian mereka.

"Duduk di belakang bersama Arsen, Nak," ucap Arinda.

Layla menatap calon suaminya yang tampak sangat rapi dengan setelan kemeja hitam dan celana linen senada, rambutnya seperti biasa disisir rapi ke belakang.

Pria itu balas menatapnya, entah kenapa suasananya terasa sangat canggung. Tetapi mau tidak mau, Layla menuruti permintaan ibu Arsen.

"Iya, Bibi."

"Mulai sekarang panggil 'Ibu' saja bagaimana?"

Layla yang hendak membuka pintu mobil terdiam di tempat. Ibu Arsen menatapnya dengan penuh kasih sayang, persis seperti tatapan yang sering dilayangkan ibunya sendiri.

"Baik, mmm ... Ibu," gumamnya ragu-ragu.

Senyum Arinda seketika merekah lebar. Ia menarik gemas pipi Layla sebelum masuk ke mobil. Pemandangan itu disaksikan oleh Arsen yang menatap keduanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Layla tidak ingin repot memikirkan hal tersebut dan segera masuk di jok belakang.

Ia duduk begitu dekat dengan jendela, dalam hati berharap agar Ibu Arsen saja yang duduk di sampingnya. Tetapi wanita itu lebih memilih duduk di depan bersama supir.

Sekarang, ia bingung harus bagaimana? Apakah ia dan Arsen hanya akan saling diam selama tiga jam perjalanan?

"Layla?" Panggil Arsen tiba-tiba. Tangannya menyentuh ringan lengan Layla yang melamun. Alhasil gadis itu berjengit dan hampir melompat dari tempatnya.

"Apa?" Tanyanya kaget.

"Kau belum memasang sabuk pengamanmu." Arsen tidak bisa menahan kekehannya melihat wajah Layla yang terkejut.

"Oh."

Ya ampun.

Layla tersipu malu dan buru-buru memasang sabuk pengamannya. Ibu Arsen terdengar tertawa kecil, membuat pipi Layla semakin memerah layaknya tomat siap panen.

Untungnya ketika mobil mulai bergerak, topik teralih saat Arinda bercerita mengenai banyak hal, terutama tentang latar belakang keluarga Sergio.

Layla dan Arsen menanggapi sesekali.

Sampai kemudian, ibu Arsen bercerita mengenai pertemuan pertama keduanya, yang katanya menggemaskan.

Menggemaskan dari sisi mana?

Layla ingin sekali menyembunyikan wajahnya di bawah jok mobil karena malu, sementara Arsen hanya tertawa kecil menanggapi hal tersebut.

Hampir setengah jam kemudian, ibu Arsen akhirnya berhenti membahas kejadian itu. Ia beralih mengobrol dengan supir mengenai perjalanan mereka menuju desa tempat tinggal mertuanya.

Layla melirik Arsen yang duduk bersandar, terlihat sedang merenung. Tatapannya tampak menerawang jauh, seolah tengah memikirkan sesuatu yang sangat penting.

Apa mungkin ia memikirkan hubungannya dengan Olivia setelah pernikahan keduanya?

Layla menggeleng pelan mengusir pikiran tersebut. Ia tidak tahu apa-apa dan tidak ingin sok tahu. Kepalanya disandarkan ke belakang dan ia kembali menguap untuk kesekian kalinya.

Netranya memandang awan mendung yang menaungi mereka, lalu berselang beberapa detik kemudian, gerimis turun menyapa. Layla menurunkan kaca jendela sedikit, merasakan betapa sejuknya angin sepoi yang menyapu wajahnya.

Matanya perlahan tertutup saat hujan berubah menjadi deras. Suara air yang mengetuk atap mobil terasa membuainya untuk tidur.

Rasanya Layla baru terlelap sebentar ketika tangan yang hangat terasa menyentuh puncak hidungnya.

"Layla? Layla?"

Arsen?

"Layla bangun. Sudah sampai." Tangan yang hangat itu terasa menepuk-nepuk pelan bahunya.

"Huh?" Layla membuka kelopak matanya yang terasa berat. Ia hampir berteriak ketika mendapati seraut wajah yang begitu dekat dengan wajahnya.

Layla menegakkan tubuh dengan panik dan dahi keduanya langsung bertubrukan dengan keras. Ringisan kontan lolos dari bibir keduanya.

"Maaf! Maafkan aku!" ucap Layla cepat seraya mengusap-usap dahinya yang berdenyut sakit.

"Tidak apa-apa." Arsen malah terkekeh, tetapi tangannya ikut mengusap dahinya yang terlihat memerah.

Layla menatap pantulannya di kaca jendela, lalu melihat memar merah yang sama di dahinya, hanya saja lebih kentara di kulit pucatnya.

Ya, ampun. Malu sekali.

Arsen keluar dari mobil terlebih dahulu, kemudian Layla menyusul. Sebuah rumah berlantai dua menjadi pemandangan pertama yang Layla lihat. Ternyata mereka sudah sampai dan Layla ketiduran selama dua jam.

Kenapa hari ini banyak sekali hal memalukan yang terjadi?

Layla menarik napas dalam-dalam, udara terasa begitu segar mengisi paru-parunya. Sangat berbanding terbalik dengan udara di perkotaan. Warna hijau menjadi pemandangan utama, pohon-pohon besar berjejer di sekitar mereka.

Ibu Arsen terlihat berdiri di pagar hitam yang menjulang seraya melambaikan tangan pada keduanya.

"Ayo," panggil Arsen.

Belum sempat keduanya melangkah, ponsel Arsen mendadak berdering. Ia merogoh ponselnya di saku dan melihat sebuah panggilan telepon yang masuk.

Layla membuang muka tatkala melihat nama yang terpampang di layar ponsel pria itu.

Olivia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status