Share

Ch. 2 Perjodohan

“Dijodohkan?”

Agatha mematung di depan meja rias. Ia menatap bayangan dirinya seraya mengingat kembali apa yang ia curi dengar dari kamar sang mama. Kejutan apa lagi yang mau diberikan Handira untuknya? Dia pikir, ia akan dapat hadiah karena sudah lulus dan nantinya berhasil masuk fakultas kedokteran, ternyata malah begini.

“Non ... Non Agatha!”

Agatha tersentak mendengar panggilan dan ketukan di pintu kamar. Ia menghela napas panjang dan segera bangkit. Langkahnya sedikit berat, entah mengapa ia jadi macam orang linglung setelah mendengar obrolan Handira kemarin.

“Kenapa, Mbak?”

Agatha bersandar malas di pintu, tanpa ia tanya, sebenarnya ia sudah paham kenapa sampai asisten rumah tangga mamanya menyusul Agatha ke kamar.

“Kok kenapa sih, Non? Jam berapa ini? Udah ditunggu ibu di meja makan, Non!” jawabnya sambil tersenyum.

Benar, bukan?

Agatha hanya balas tersenyum dengan anggukan kepala cepat. Sudah waktunya sarapan. Ia meraih tas ranselnya, menutup pintu kamar lalu melangkah dengan lunglai menuju tangga. Pikiran Agatha berkecamuk, haruskah dia bertanya perihal apa yang dia dengar semalam?

Atau kah ...

Agatha mematung sejenak ketika ia sudah berdiri tidak jauh dari meja makan. Sosok Handira sudah duduk di kursinya dengan ponsel yang tidak jauh dari piring. Ia menghela napas panjang, melanjutkan langkah guna menghampiri Handira untuk bergabung sarapan pagi.

“Pagi, Ma ....” sapa Agatha dengan sedikit malas.

“Oh ... pagi, Sayang. Ayo sarapan dulu!” balas Handira sambil menyunggingkan seulas senyum.

Agatha hanya balas tersenyum tipis, ia segera duduk di kursinya dan mencoba membangkitkan seleranya bersantap pagi. Ia begitu serius, hingga tidak sadar Handira tengah memperhatikan dirinya dengan saksama.

"Pengumuman kelulusan kamu kapan, Sayang?"

Handira menatap Agatha yang tengah berkutat dengan sepiring pancake kesukaannya. Nampak potongan pancake berlumur saus yang sudah hampir masuk mulut ia kembali letakkan di piring. 

"Pertengahan bulan depan, Ma. Kenapa?"

Handira sedikit tertegun melihat sorot mata itu. Sebuah sorot mata asing, seperti bukan Agatha yang biasanya Handira lihat. Handira ikut meletakkan sendok, mengabaikan salad di piring dan menatap anak satu-satunya itu dengan saksama. 

"Mama pengen ngomong penting sama kamu, Ta!" ada secercah perasaan risau menyelimuti hati Handira, namun hanya sekejap, karena buru-buru ia usir semua perasaan itu dengan segera. 

"Soal?"

Kembali Handira tertegun, ini tidak seperti Agatha-nya! Sorot mata, nada bicara dan iritnya kalimat yang keluar dari bibir itu sangat lain dari sosok Agatha yang Handira kenal betul sejak dalam kandungan! Handira menghela napas panjang, meraih cangkir berisi teh daun kelor yang menjadi minuman favoritnya sejak beberapa waktu. 

"Langsung ke intinya aja ya, Ta ...." Handira menjeda kalimatnya, berusaha menata hati agar tidak lemah berhadapan dengan anak gadisnya. "Mama pengen jodohin kamu sama anak tante Dewi, setelah kelulusan, mama pengen kamu nikah, Ta!"

Hening. 

Agatha menatap lurus ke dalam matanya tanpa ekspresi. Mata itu memerah, membuat Handira menghela napas panjang dan berharap-harap cemas menantikan jawaban. 

"Jadi yang aku dengar di kamar mama kemarin itu bener, Ma? Mama mau jodohin aku sama anak tante Dewi?" suara itu bergetar hebat, ada segurat perasaan pedih yang menyiksa Handira dengan begitu luar biasa. 

"Kamu nguping Mama ngobrol sama tante Dewi, Ta?" Suara Handira masih tetap lembut, tampak bahu Agatha naik-turun dengan wajah mulai memerah dan mata berkaca-kaca. 

"Kenapa, Ma?" Suara itu keluar dengan sangat lirih. 

"Kenapa gimana?" Handira mulai kelabakan, ia takut luluh dengah pemandangan dan suara merenggek yang keluar dari mulut Agatha. 

"Kenapa Mama punya pikiran mau nikahin Agatha secepat ini sih, Ma? Agatha bahkan belum lulus SMA!" Suara itu mulai bercampur isak, bersamaan dengan melelehnya bulir-bulir bening dari pelupuk mata.

"Mama cuma pengen kamu bahagia, Ta. Mama pengen kamu ada yang jagain."

Mata berlinang air mata itu membelalak. Mulutnya terbuka, ia tampak sangat terkejut dengan jawaban yang Handira berikan. Handira menghela napas panjang, rasanya sarapan pagi ini akan diwarnai sedikit adu argumen dan perdebatan sengit. 

"Mama pengen aku bahagia?" Tanya suara itu setengah ketus. "Mama pengen aku bahagia tapi Mama malah nyuruh aku nikah semuda ini dengan lelaki yang bahkan tidak aku kenal betul, Ma?"

Protes itu sudah Handira tebak akan keluar dari mulut Agatha. Dia gadis yang cerdas dan kritis, jadi mustahil kalau Agatha hanya akan diam dan menganggukkan kepala ketika Handira menyampaikan tentang rencana perjodohan ini. 

"Kelvin itu lelaki baik-baik, Ta! Bibit, bobot, dan bebetnya sudah jelas dan pasti! Mama kenal betul dengan keluarga besarnya!" sanggah Handira, menekankan bahwa dia sama sekali tidak ingin dibantah. 

"Mama yang kenal betul sama mereka, bukan aku! Lantas atas dasar apa Mama sampai bisa mengklaim bahwa aku akan bahagia jika nikah sama si Kelvin itu, Ma? Atas dasar apa?" Suara Agatha meninggi, sedikit menyulut emosi Handira seketika. 

Handira memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak guna meredam emosinya yang berhasil terpancing oleh nada suara Agatha yang meninggi. 

"Dia laki-laki baik, dari keluarga baik-baik. Hidup kamu akan terjamin, Ta."

"Mama sudah jatuh miskin? Warisan peninggalan Papa sudah habis sampai-sampai Mama tidak bisa menjamin hidupku dan memaksakan aku menikah sama lelaki itu, Ma?"

Tangan Handira mengepal, berkali-kali ia menghirup udara banyak-banyak dan mengembuskannya perlahan. Dia tahu, jika emosinya terpancing dan sukses meledak, maka akan berakibat fatal. 

"Aku belum pengen nikah, Ma! Aku masih pengen kuliah, jadi dokter kayak Mama sama Papa, menuhin keinginan Papa yang pengen liat aku jadi dokter juga. Bukankah Mama dulu juga dukung? Tapi kenapa sekarang mama ma--"

"Kamu tetap akan lanjut kuliah, Ta. Mama sudah siapkan dana bahkan sampai kamu spesialis. Kamu akan tetap jadi dokter seperti apa yang dulu Papa mau," potong Handira sabar. 

"Astaga, Ma!" Agatha mendesis. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. "Mama tahu betul gimana ngerinya kuliah kedokteran, kan? Belum nanti koas, internship, dan mama pengen aku jalanin semua masa itu dengan posisi udah nikah? Nggak cuma menuhin kewajibanku di luar, Mama mau aku juga ngelakuin peranku sebagai istri orang? Mama nggak bercanda, kan, Ma?"

"Kelvin pasti bisa ngerti, bimbing kamu dan tidak akan banyak menuntutmu selama kamu masih study, Ta. Pegang kata-kata Mama!"

Agatha tertegun, tampak ekspresi wajahnya berubah datar dan sulit diartikan. 

Meskipun begitu, Handira tidak melepaskan pandangannya dari sosok itu. Dia membalas tatapan Agatha tanpa takut-takut. 

"Ma, coba jelasin deh ke aku sekarang. Tujuannya Mama maksa aku nikah sama dia itu apa? Kenapa semua begitu mendadak? Kenapa Mama begitu yakin bahwa hidup aku bakalan baik-baik saja dengan aku nikah sama dia?" Suara gadis itu kembali meninggi, membuat Handira tersenyum getir sambil menghela napas panjang. 

"Kamu akan bahagia, Ta. Mama cuma pengen kamu bahagia. Cuma itu!" 

"Kalau Mama pengen aku bahagia, Mama tidak akan pernah maksa aku nikah sedini ini, nikah sama orang yang nggak aku kenal betul. Harusnya Mama percayakan semua itu ke aku buat milih apa pun, mengenai keputusan dalam hidup aku, Ma!"

Handira kembali tersenyum getir. Semua sanggahan dan penolakan yang akan keluar dari mulut Agatha sudah ia prediksi sebelumnya. Ia kembali meraih cangkir, menyesap isinya perlahan-lahan lalu meletakkan kembali cangkir itu ke tempatnya. 

"Mama sudah pikirkan matang-matang semua ini, Ta. Dan Mama punya pandangan dan penilaian lain sebagai orang tua kamu mengenai keputusan mama ini. Jadi tolong ... terima dan hargai keputusan Mama, Ta."

Agatha kembali terhenyak, air matanya kembali menitik. 

"Mulai sekarang, kamu ke mana-mana diantar Pak Sugi. Nggak boleh keluar sendiri. Mama awasi kamu betul, Ta. Secepatnya kalian akan dijadwalkan bertemu, kita akan bahas tanggal dan bagaimana nanti rentetan acara pernikahan kalian sebelum kamu aktif masuk kuliah!"

Handira segera berdiri, mengabaikan saladnya yang bahkan baru dia makan dua sendok. Perdebatan ini tidak akan usai kalau ia tidak segera menyingkir dari meja makan. 

Dengan menahan tangis, Handira melangkah pergi meninggalkan Agatha yang masih mematung di tempatnya. 

'Untuk sekarang, kamu tidak perlu tahu apa alasan di balik semua ini, Sayang! Suatu saat, waktu akan menjawab segala macam pertanyaan yang ada di kepalamu!'

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Janni Qq
maknya sakit parah kali jd sebelom meninggal biar agatha ada yg jagain...wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status