Share

Ch. 3 Kenapa Harus?

Agatha menatap nanar kepergian Handira dari meja makan. Jadi dia diundang sarapan hanya untuk berdebat sengit macam tadi dan ditinggalkan begitu saja seperti ini? Tangis Agatha pecah, ia terisak dengan kepala tertuntuk. Segala macam susu dan pancake yang tersaji di meja sama sekali tidak menggiurkan di mata Agatha lagi.

“Mama benar-benar sudah gila!” Agatha mendesis, kepalanya mendadak terasa begitu pusing.

Bahkan Handira melakukan tindakan ekstrim dengan tidak membiarkan dia kemana-mana sendiri. Dia sudah seperti tahanan kota yang harus diawasi kemanapun dia pergi.

“Loh, kok nggak dimakan, Non?”

Suara itu nampak terkejut ketika Agatha bangkit dengan membawa tas ranselnya. Ia buru-buru menyeka air mata dan balas menatap sosok itu dengan senyum dipaksakan.

“Simpenin buat nanti, Mbak. Aku mau langsung berangkat, ada urusan.” Kilahnya lalu buru-buru pergi.

Ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun atas nasib buruknya, jadi lebih baik ia segera menyingkir saja. Mbak Indah pasti mendengar semua obrolan tadi, mustahil kalau wanita itu tidak mendengarnya, suara Agatha beberapa kali melengking keras.

"Kok sedih gitu, Non?"

Agatha mengangkat wajah, Pak Sugi sebenarnya bertugas merawat taman dan bunga koleksi Handira, namun karena perjodohan gila itu, kini pak Sugi merangkap jabatan menjadi supir pribadi Agatha. 

"Aku berangkat sendiri aja gimana, Pak? Biasanya juga naik motor sendiri." Agatha menatap lelaki yang bahkan sudah membukakan pintu mobil untuk dirinya. 

"Waduh Non, Bapak nggak berani kasih izin. Sudah dapat mandat dari ibu kalau kemanapun Non pergi, harus Bapak anter, Bapak laporkan ke ibu."

Agatha menghela napas panjang. Kenapa dia jadi macam tahanan begini? Ia lebih suka naik matic kesayangannya pulang-pergi sekolah. Selain bisa menyelip ketika jalanan macet, naik motor menurutnya lebih menyenangkan, kecuali kalau hujan dan terik matahari begitu menyengat. Dan sekarang .... 

"Mari silakan masuk, Non!"

Agatha tersentak, ia tidak banyak membantah. Segera masuk ke dalam mobil sambil memeras otaknya guna menghadapi 'kejutan' yang Handira berikan tadi. Lulus SMA langsung menikah? Kenapa begitu mendadak? Ada apa sebenarnya? Kenapa mamanya bersikeras ingin Agatha menikahi si Kelvin itu? 

"Masih ada pelajaran, Non?"

Suara itu mengejutkan Agatha, ia seolah terlempar dari pikirannya sendiri. Ditatapnya pak Sugi dari kaca mobil.

"Udah enggak sih, Pak. Cuma ya tetep disuruh masuk." Jawab Agatha sedikit malas. Namun, bagaimanapun, ia tetap harus bersuara untuk menghargai lelaki yang mungkin selama beberapa bulan akan menjadi pengawal pribadi Agatha, mungkin sampai kemudian ia menikah. 

"Iya daripada di rumah ya, Non. Sepi. Mending ke sekolah main sama temen-temen, kan?"

Agatha termangu mendengar kalimat itu. Teman-teman? Apa nanti yang ada di pikiran teman-teman Agatha ketika tahu selepas lulus nanti dia diharuskan menikah? Terlebih lelaki yang akan Agatha nikahi jarak umurnya begitu jauh! 

Kelvin mungkin sudah tiga puluhan. Agatha pernah bertemu dengan lelaki itu ketika menghadiri resepsi pernikahan anak bungsu dokter Dewi dan profesor Ahmad. 

Visualnya tidak mengecewakan. Agatha akui Kelvin cukup tampan dengan postur tinggi-tegap dan kulit bersih yang dia punya. Wajahnya standar dokter-dokter yang dikontrak stasiun televisi untuk acara kedokteran mereka, hanya saja menikah dengan orang yang tidak benar-benar Agatha kenal, kenapa rasanya menyeramkan sekali? 

"Pak, pulang nanti mau antar aku sebentar?" Tiba-tiba Agatha teringat sesuatu, ia tidak sanggup menahan beban ini seorang diri! Dia harus menceritakan masalah ini kepadanya, meskipun Agatha tahu, bercerita padanya mungkin tidak akan membantu Agatha menyelesaikan masalah. 

"Bisa, Non. Non Agatha mau diantar ke mana? Bapak siap siaga antar Non kemana aja!" Sahut suara itu penuh semangat, membuat senyum Agatha tersungging tipis. 

"Tapi sebelumnya antar beli bunga dulu ya, Pak?"

Pak Sugi tidak langsung menjawab, ia malah menatap Agatha dari kaca mobil, membuat Agatha langsung 'ngeh' bahwa lelaki itu nampak bingung dengan permintaannya. 

"Agatha pengen main ke tempat papa, Pak. Jadi nanti sepulang sekolah, anterin beli bunga dulu, ya!"

Kembali pak Sugi menatap Agatha dari kaca mobil, kepalanya langsung mengangguk cepat dengan satu jempol diangkat ke atas. 

"Siap, delapan enam, Non!" Jawabnya tegas penuh semangat. 

Agatha menghela napas panjang, ia bersandar di jok mobil dengan tangan terlipat di dada. Ia pikir, dunianya setelah lulus SMA nanti akan makin menyenangkan. 

Kuliah kedokteran seperti cita-citanya, fokus pendidikan dan menghabiskan sedikit waktu yang tersisa untuk bersenang-senang sebelum pusing koas dan lain sebagainya ... tetapi nyatanya?

Tapi bukankah Agatha berhak menolak? Dia punya hak untuk menetukan kapan dan dengan siapa dia akan menikah! Terlebih alasan mamanya sangat tidak masuk akal! 

'Mama nggak bisa main paksa aku buat nikah sama dia! Ini nggak bener! Aku masih pengen bebas dan habisin masa muda aku!' Agatha bergumam dalam hati, ini tentang hidup Agatha, masa depannya! Jadi Agatha harus perjuangkan sungguh-sungguh. 

'Kenapa sih Mama tiba-tiba punya pikiran kayak gitu? Mama udah nggak sayang sama aku? Atau jangan-jangan ...'

***

"Rencana lu apaan begitu beres sekolah ntar?" 

Agatha mendadak tidak tertarik dengan pembahasan ini. Namun sayang sekali, dia tidak bisa kabur kemana-mana. Bakso yang dia pesan baru datang dan perutnya ini sudah cukup lapar. 

"Gue bakal dikirim ke Ausie sama bokap. Ikut Tante lanjut kuliah di sana. Kalo elu-elu, gimana?" Yosa menatap satu persatu di antara mereka, membuat Agatha makin menundukkan wajah pura-pura tengah menyantap bakso miliknya. 

"Gile, jauh dong! Ambil jurusan ape lu?" tanya Jessy nampak penasaran. 

"Seperti yang dulu gue bilang, gue ambil psikologi." jawabnya serius. 

"Keren!" sahut yang lain kompak. 

"Gue palingan cuma di sini. Ambil hukum, ngikutin jejak bokap." Gladys ikut bersuara, tentulah dia akan ambil jurusan hukum, bapaknya pengacara kondang di negeri ini. 

"Udah cocok lah elu masuk hukum. Bokap udah mentereng gitu, tinggal lanjutin, Shay!" Jessy mencibir, siapa yang tidak kenal dengan bapaknya si Gladys ini? 

"Kebanyakan gitu, ya? Ngikutin jejak ortu. Si Agatha pasti juga nih bakal ngikuti profesi ortunya. Iya, kan?"

Hampir saja Agatha tersedak bakso yang ada di dalam mulut. Gladys dengan cepat dan tanggap menyodorkan segelas es jeruk milik Agatha, membiarkan Agatha meneguk cairan kuning nan segar itu perlahan-lahan. 

"Kenape sih lu? Gitu aja keselek!" gerutu Jessy yang ikut panik. 

"Kaget lah, Kampret! Gue lagi makan elu senggol gitu, gimana nggak kaget!" semprot Agatha gemas. 

"Elu sih, makan bakso aja penuh penghayatan. Beres lulus ntar mo kemana?" tanya Jessy yang tidak terima di salahkan begitu saja. 

"Kawin!" jawab Agatha singkat sambil kembali mengaduk isi mangkuknya. 

Kontan Yosa dan Jessy gantian tersedak bersamaan. Mereka buru-buru meraih gelas masing-masing. Meneguk isinya guna membantu makanan itu turun ke kerongkongan. Sementara Gladys, ia menatap Agatha dengan mulut setengah terbuka dan tatapan terkejut. 

Namun Agatha nampak tidak peduli, ia terus mengaduk mangkuk dan hendak menyuapkan bakso ketika tiga temannya kompak berteriak bersamaan. 

"WOY, GILE LU! KITA SERIUS TANYANYA, THA!" pekik mereka kompak bersamaan. 

Agatha meletakkan sendoknya, menatap gemas teman-temannya itu satu persatu. Untung kantin sekolah sepi, kalau tidak, tentu mereka akan menjadi pusat perhatian. Anak-anak kelas 10 dan 11 masih ada pelajaran, sedangkan kelas 12 macam mereka ini? Sudah bebas, pulang pun boleh sebenarnya. 

"Gue juga serius. Elu pikir gue cuma bercanda doang?" balas Agatha serius. 

"Elu beneran mo kawin?" tanya Jessy masih tidak percaya. "Sama siapa? Si Ferdy?"

Agatha melotot, ia lantas menonyor kening Jessy dengan gemas. 

"Kalo gue kawin sama dia, gue mau makan apa? Yang jelas-jelas aja lah! Masa iya gue kawin sama Ferdy? Ogah!" cicit Agatha kesal. 

"Terus sama siapa? Kenapa mendadak banget elu mo kawin? Elu nggak bun--"

"Gila! Nggak mungkinlah gue bunting! Enak aja!" potong Agatha cepat. Ia masih perawan! 

"Lah terus?" Gladys masih penasaran, kenapa mendadak Agatha mendak menikah? 

Agatha menghela napas panjang, wajahnya berubah lesu. 

"Sebenarnya ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status