Agatha menatap nanar kepergian Handira dari meja makan. Jadi dia diundang sarapan hanya untuk berdebat sengit macam tadi dan ditinggalkan begitu saja seperti ini? Tangis Agatha pecah, ia terisak dengan kepala tertuntuk. Segala macam susu dan pancake yang tersaji di meja sama sekali tidak menggiurkan di mata Agatha lagi.
“Mama benar-benar sudah gila!” Agatha mendesis, kepalanya mendadak terasa begitu pusing.Bahkan Handira melakukan tindakan ekstrim dengan tidak membiarkan dia kemana-mana sendiri. Dia sudah seperti tahanan kota yang harus diawasi kemanapun dia pergi.“Loh, kok nggak dimakan, Non?”Suara itu nampak terkejut ketika Agatha bangkit dengan membawa tas ranselnya. Ia buru-buru menyeka air mata dan balas menatap sosok itu dengan senyum dipaksakan.“Simpenin buat nanti, Mbak. Aku mau langsung berangkat, ada urusan.” Kilahnya lalu buru-buru pergi.Ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun atas nasib buruknya, jadi lebih baik ia segera menyingkir saja. Mbak Indah pasti mendengar semua obrolan tadi, mustahil kalau wanita itu tidak mendengarnya, suara Agatha beberapa kali melengking keras."Kok sedih gitu, Non?"Agatha mengangkat wajah, Pak Sugi sebenarnya bertugas merawat taman dan bunga koleksi Handira, namun karena perjodohan gila itu, kini pak Sugi merangkap jabatan menjadi supir pribadi Agatha. "Aku berangkat sendiri aja gimana, Pak? Biasanya juga naik motor sendiri." Agatha menatap lelaki yang bahkan sudah membukakan pintu mobil untuk dirinya. "Waduh Non, Bapak nggak berani kasih izin. Sudah dapat mandat dari ibu kalau kemanapun Non pergi, harus Bapak anter, Bapak laporkan ke ibu."Agatha menghela napas panjang. Kenapa dia jadi macam tahanan begini? Ia lebih suka naik matic kesayangannya pulang-pergi sekolah. Selain bisa menyelip ketika jalanan macet, naik motor menurutnya lebih menyenangkan, kecuali kalau hujan dan terik matahari begitu menyengat. Dan sekarang .... "Mari silakan masuk, Non!"Agatha tersentak, ia tidak banyak membantah. Segera masuk ke dalam mobil sambil memeras otaknya guna menghadapi 'kejutan' yang Handira berikan tadi. Lulus SMA langsung menikah? Kenapa begitu mendadak? Ada apa sebenarnya? Kenapa mamanya bersikeras ingin Agatha menikahi si Kelvin itu? "Masih ada pelajaran, Non?"Suara itu mengejutkan Agatha, ia seolah terlempar dari pikirannya sendiri. Ditatapnya pak Sugi dari kaca mobil."Udah enggak sih, Pak. Cuma ya tetep disuruh masuk." Jawab Agatha sedikit malas. Namun, bagaimanapun, ia tetap harus bersuara untuk menghargai lelaki yang mungkin selama beberapa bulan akan menjadi pengawal pribadi Agatha, mungkin sampai kemudian ia menikah. "Iya daripada di rumah ya, Non. Sepi. Mending ke sekolah main sama temen-temen, kan?"Agatha termangu mendengar kalimat itu. Teman-teman? Apa nanti yang ada di pikiran teman-teman Agatha ketika tahu selepas lulus nanti dia diharuskan menikah? Terlebih lelaki yang akan Agatha nikahi jarak umurnya begitu jauh! Kelvin mungkin sudah tiga puluhan. Agatha pernah bertemu dengan lelaki itu ketika menghadiri resepsi pernikahan anak bungsu dokter Dewi dan profesor Ahmad. Visualnya tidak mengecewakan. Agatha akui Kelvin cukup tampan dengan postur tinggi-tegap dan kulit bersih yang dia punya. Wajahnya standar dokter-dokter yang dikontrak stasiun televisi untuk acara kedokteran mereka, hanya saja menikah dengan orang yang tidak benar-benar Agatha kenal, kenapa rasanya menyeramkan sekali? "Pak, pulang nanti mau antar aku sebentar?" Tiba-tiba Agatha teringat sesuatu, ia tidak sanggup menahan beban ini seorang diri! Dia harus menceritakan masalah ini kepadanya, meskipun Agatha tahu, bercerita padanya mungkin tidak akan membantu Agatha menyelesaikan masalah. "Bisa, Non. Non Agatha mau diantar ke mana? Bapak siap siaga antar Non kemana aja!" Sahut suara itu penuh semangat, membuat senyum Agatha tersungging tipis. "Tapi sebelumnya antar beli bunga dulu ya, Pak?"Pak Sugi tidak langsung menjawab, ia malah menatap Agatha dari kaca mobil, membuat Agatha langsung 'ngeh' bahwa lelaki itu nampak bingung dengan permintaannya. "Agatha pengen main ke tempat papa, Pak. Jadi nanti sepulang sekolah, anterin beli bunga dulu, ya!"Kembali pak Sugi menatap Agatha dari kaca mobil, kepalanya langsung mengangguk cepat dengan satu jempol diangkat ke atas. "Siap, delapan enam, Non!" Jawabnya tegas penuh semangat. Agatha menghela napas panjang, ia bersandar di jok mobil dengan tangan terlipat di dada. Ia pikir, dunianya setelah lulus SMA nanti akan makin menyenangkan. Kuliah kedokteran seperti cita-citanya, fokus pendidikan dan menghabiskan sedikit waktu yang tersisa untuk bersenang-senang sebelum pusing koas dan lain sebagainya ... tetapi nyatanya?Tapi bukankah Agatha berhak menolak? Dia punya hak untuk menetukan kapan dan dengan siapa dia akan menikah! Terlebih alasan mamanya sangat tidak masuk akal! 'Mama nggak bisa main paksa aku buat nikah sama dia! Ini nggak bener! Aku masih pengen bebas dan habisin masa muda aku!' Agatha bergumam dalam hati, ini tentang hidup Agatha, masa depannya! Jadi Agatha harus perjuangkan sungguh-sungguh. 'Kenapa sih Mama tiba-tiba punya pikiran kayak gitu? Mama udah nggak sayang sama aku? Atau jangan-jangan ...'***"Rencana lu apaan begitu beres sekolah ntar?" Agatha mendadak tidak tertarik dengan pembahasan ini. Namun sayang sekali, dia tidak bisa kabur kemana-mana. Bakso yang dia pesan baru datang dan perutnya ini sudah cukup lapar. "Gue bakal dikirim ke Ausie sama bokap. Ikut Tante lanjut kuliah di sana. Kalo elu-elu, gimana?" Yosa menatap satu persatu di antara mereka, membuat Agatha makin menundukkan wajah pura-pura tengah menyantap bakso miliknya. "Gile, jauh dong! Ambil jurusan ape lu?" tanya Jessy nampak penasaran. "Seperti yang dulu gue bilang, gue ambil psikologi." jawabnya serius. "Keren!" sahut yang lain kompak. "Gue palingan cuma di sini. Ambil hukum, ngikutin jejak bokap." Gladys ikut bersuara, tentulah dia akan ambil jurusan hukum, bapaknya pengacara kondang di negeri ini. "Udah cocok lah elu masuk hukum. Bokap udah mentereng gitu, tinggal lanjutin, Shay!" Jessy mencibir, siapa yang tidak kenal dengan bapaknya si Gladys ini? "Kebanyakan gitu, ya? Ngikutin jejak ortu. Si Agatha pasti juga nih bakal ngikuti profesi ortunya. Iya, kan?"Hampir saja Agatha tersedak bakso yang ada di dalam mulut. Gladys dengan cepat dan tanggap menyodorkan segelas es jeruk milik Agatha, membiarkan Agatha meneguk cairan kuning nan segar itu perlahan-lahan. "Kenape sih lu? Gitu aja keselek!" gerutu Jessy yang ikut panik. "Kaget lah, Kampret! Gue lagi makan elu senggol gitu, gimana nggak kaget!" semprot Agatha gemas. "Elu sih, makan bakso aja penuh penghayatan. Beres lulus ntar mo kemana?" tanya Jessy yang tidak terima di salahkan begitu saja. "Kawin!" jawab Agatha singkat sambil kembali mengaduk isi mangkuknya. Kontan Yosa dan Jessy gantian tersedak bersamaan. Mereka buru-buru meraih gelas masing-masing. Meneguk isinya guna membantu makanan itu turun ke kerongkongan. Sementara Gladys, ia menatap Agatha dengan mulut setengah terbuka dan tatapan terkejut. Namun Agatha nampak tidak peduli, ia terus mengaduk mangkuk dan hendak menyuapkan bakso ketika tiga temannya kompak berteriak bersamaan. "WOY, GILE LU! KITA SERIUS TANYANYA, THA!" pekik mereka kompak bersamaan. Agatha meletakkan sendoknya, menatap gemas teman-temannya itu satu persatu. Untung kantin sekolah sepi, kalau tidak, tentu mereka akan menjadi pusat perhatian. Anak-anak kelas 10 dan 11 masih ada pelajaran, sedangkan kelas 12 macam mereka ini? Sudah bebas, pulang pun boleh sebenarnya. "Gue juga serius. Elu pikir gue cuma bercanda doang?" balas Agatha serius. "Elu beneran mo kawin?" tanya Jessy masih tidak percaya. "Sama siapa? Si Ferdy?"Agatha melotot, ia lantas menonyor kening Jessy dengan gemas. "Kalo gue kawin sama dia, gue mau makan apa? Yang jelas-jelas aja lah! Masa iya gue kawin sama Ferdy? Ogah!" cicit Agatha kesal. "Terus sama siapa? Kenapa mendadak banget elu mo kawin? Elu nggak bun--""Gila! Nggak mungkinlah gue bunting! Enak aja!" potong Agatha cepat. Ia masih perawan! "Lah terus?" Gladys masih penasaran, kenapa mendadak Agatha mendak menikah? Agatha menghela napas panjang, wajahnya berubah lesu. "Sebenarnya ....""Mah, yang bener aja lah! Mama bercanda, kan?"Kelvin keluar dari ruang rawat inap Karina, adiknya yang baru saja beres melahirkan. Langkah kaki Kelvin terburu mengejar sang mama. Ia harus memperjelas apa yang barusan dia dengar di dalam tadi. "Astaga, Vin! Mana ada waktu buat mama bercanda?" Dewi membalikkan badan, menatap Kelvin dengan tatapan serius. Seketika Kelvin lemas. Semangatnya datang ke kota ini guna menengok keponakan baru dan tentu saja mengerjai sang adik, mendadak runtuh. Sorot mata dan nada bicara Dewi tidak bisa membohongi dirinya. Mamanya ini benar-benar serius dengan apa yang tadi dia katakan pada Kelvin di dalam ruangan. "Astaga, Ma ... Kelvin bisa cari sendiri!" Kelvin menegaskan, ia sedikit tidak terima, apakah dia seburuk itu sampai tidak bisa mencari jodoh sendiri? "Nggak ... Nggak! Pokoknya mama udah ada calon yang tepat dan potensial buat kamu!"Kelvin membelalak, ia hendak kembali buka mulut ketika langkah kaki Dewi kembali terayun menuju pintu keluar ba
"Lu nggak coba cari tahu dulu sama siapa elu di jodohin? Kali aja anak dirut atau malah yang punya rumah sakit, Vin." Cerocos Brian setelah Kelvin cukup lama diam. Terdengar helaan napas kasar, tidak perlu menoleh ke sumber suara, Brian tahu betul dari mana asal suara itu. Ia malah dengan begitu santai meneguk air mineral dalam botol, suasana hati Kelvin sedang kacau, berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang suka tantrum bahkan mengamuk ketika suasana hati kacau, Kelvin malah kebalikannya. "Diem lu, makin pusing pala gue, Yan!" Umpatnya dengan wajah ditekuk. Brian tersenyum simpul, ia menepuk punggung Kelvin dengan sedikit keras. Hampir saja botol air yang tadi Brian sodorkan meluncur jatuh. "Opsi lu cuma dua, Vin. Cari cewe, bawa ke depan nyokap atau diam pasrah dijodohin." Brian menatap mata yang tengah menatap tajam ke arahnya dengan santai, menyunggingkan senyum simpatik yang seketika mampu menurunkan kadar tajam sorot mata Kelvin. "Opsi pertama, nggak mungkin bisa berhas
"Hah? Yang bener?"Kelvin membelalak, menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Karina yang masih terbaring di atas bed lengkap dengan selang infus pun balas menatap dengan tatapan serius. Melihat bagaimana sang adik berani membalas tatapan matanya, dan tak lupa raut wajah Karina yang begitu serius, Kelvin sontak lemas. Sia-sia sudah niatnya ingin dibantu oleh Karina mencari tahu siapa gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya itu. Mama yang biasanya tidak tahan menyimpan rahasia di depan Karina pun, memilih tutup mulut dan tidak mau terbuka perihal siapa gadis itu. "Aku bohong buat apaan sih, Bang? Aku tuh juga kepo kali sama cewek yang mau dijodohin sama kamu itu. Sesuai enggak gitu loh sama selera kamu yang setinggi bintang di langit." Ujar Karina yang kini sudah kembali ke mode somplaknya. "Nah kan, mulai!" Gerutu Kelvin yang segera beranjak dari sisi bed Karina. Ia memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa sambil menutup mata dengan lengan. "Lagian, kamu itu pengennya da
"WOY YANG BENER AJA, YOS!!"Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta. "Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa. "Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing. "Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain. "Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu! "Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha. "Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menata
"Bercanda?"Kening Karina berkerut, sebagai anak Dewi, tentu ia tahu betul bahwa semua yang Dewi katakan perihal perjodohan sang abang adalah hal yang serius, bukan hanya bercanda. Ingin Karina utarakan itu, tapi melihat d dalam sorot mata Kelvin terdapat secercah harapan, Karina tidak berani memadamkan harapan yang terselip di sana, meskipun harapan itu hanyalah harapan palsu belaka. "Iya, aku berharap banget kalo mama cuma bercanda. Atau ternyata semua ini cuma mimpi." Kelvin tersenyum getir, membuat Karina jatuh iba seketika. Karina memalingkan mata, tidak tega kalau harus terus menatap sorot mata itu. Belum sempat Karina menanggapi, Kelvin sudah lebih dulu kembali bicara. "Tapi kalau pun semua itu beneran harus aku jalani sih ya nggak papa."Karina mengangkat wajah, kembali menatap Kelvin yang masih berdiri di sebelah bednya. Nampak wajah kusut itu memaksakan untuk tersenyum, membuat Karina makin iba dengan sang kakak. "Coba ngomong lagi baik-baik, Bang, sama mama." Hanya itu
"Ma, nggak bisa gitu dong!" Belum sempat Agatha utarakan niatnya, ternyata Handira sudah lebih dulu bisa membaca apa niat dan tujuan dia datang kemari. "Kenapa nggak bisa sih, Tha? Mama nggak sembarangan loh nyariin jodoh buat kamu."Selalu saja! Selalu itu pembelaan dari Handira ketika Agatha mengutarakan penolakan. Padahal, untuk menjadi pendamping hidup Agatha, bukan hanya poin-poin itu saja yang perlu diperhatikan."Ya karena Agatha belum pengen nikah aja, Ma. Belum ada dua puluh tahun loh." Ini adalah alasan terkuat yang Agatha miliki, berharap dengan alasan ini, mamanya bisa terketuk hatinya.Handira mendesah, ia meletakkan sendok dan garpu yang tadinya sudah dalam genggaman. Mereka beradu pandang sejenak, sampai kemudian Handira lebih dulu memalingkan pandangan. "Memang kenapa kalau kamu nikah di umur dua puluh, Tha? Calon mu sudah mapan, apa lagi yang mau kamu cari?" Suara Handira memang terdengar lembut, namun tegas. Agatha bisa merasakannya. "Bukan cuma soal itu, Ma. Aga
"Nggak ada alesan ya, Vin! Apa perlu mama berangkat ke sana sekarang buat jemput kamu?"Kelvin langsung lemas, setelah sekian lama berkelit, kali ini Kelvin tidak berkutik sama sekali. Dia benar-benar harus terbang ke Jakarta guna bertemu dengan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, gadis yang akan Kelvin nikahi. "Ma, seriusan nih. Kemaren dua hari nggak balik. Badan rasanya ngga--.""Kalo kamu nggak berangkat hari ini juga sesuai jadwal penerbangan yang udah mama booking, jangan harap bisa lanjut spesialis ya, Vin!"Alamak!! Kelvin mendesah panjang. Dia tidak benar-benar sakit dan ancaman barusan ... Kelvin mengusap wajahnya dengan gusar. Dia sama sekali tidak mampu berkelit kalau mamanya sudah mengeluarkan ancaman itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kelvin harus berangkat dan itu demi masa depan kariernya. "Oke-oke. Kelvin berangkat. Sampai bandara nanti Kelvin kabarin, Ma. Kelvin mau siap-siap dulu!"Tut! Tanpa menunggu omelan demi omelan yang akan mamanya lancarkan, Kelvin
"Pacar?" Handira membelalak, sedetik kemudian ia tertawa sedikit keras. "Pacar dari mana? Nggak, dia nggak ada pacar."Handira sebenarnya tidak yakin dengan apa yang dia katakan, namun Agatha tidak menceritakan apapun tentang teman lelaki spesialnya, bahkan saat berupaya menolak perjodohan ini pun, Agatha tidak mengatakan bahwa dia sudah memiliki kekasih. Dari inilah Handira menyimpulkan bahwa Agatha tidak memiliki pacar. "Serius? Biasanya kan anak-anak ABG seumuran dia udah pada punya pacar, Ra." Lanjut suara itu terdengar ragu. "Ya serius lah, Wi. Kelvin sendiri gimana? Dia udah cukup mateng umurnya, dia belum ada pacar juga, kan?" Handira menatap ke layar laptop yang meredup, segera ia menyentuh touchpad untuk membuat layarnya tetap standby. "Belum juga, Ra. Dia agak susah anaknya."Handira tertawa, ia lega mendengar jawaban Dewi, namun juga penasaran dengan kata 'susah' yang Dewi katakan. "Susah gimana? Apanya yang susah?" Kelvin cukup tampan, posturnya tinggi tegap dengan ku