Share

Menghabiskan Malam Bersama Pria Asing

Sanna pasti sudah gila. 

Ia tahu ia pasti sudah gila karena membiarkan pria asing membawanya ke kamar hotel. 

Kini, perlahan mata Sanna terbuka. Kepalanya terasa begitu pening dan seluruh tubuhnya pegal. Seluruh rasa sakit itu berpusat di area kewanitaannya. 

Hingga Sanna membelalakkan mata saat merasakan selimut yang begitu lembut menerpa kulitnya. Tak hanya kulit tangan, tetapi seluruh kulit di tubuhnya. 

Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa dirinya telanjang tanpa busana. 

Sontak, ia menoleh ke samping dan jantungnya seakan jatuh ke lambung mendapati punggung terbuka seorang pria. 

Bodoh, umpat Sanna dalam hati. 

Sayup-sayup cahaya matahari menyelinap dari jendela kamar hotel dan satu hal langsung terbesit dalam benak Sanna. 

Ia harus menyiapkan sarapan dan membantu Evan untuk membersihkan diri.

Tanpa buang waktu, gadis itu bergegas turun dari ranjang. Ia berusaha bergerak sesenyap mungkin dan berpakaian dalam waktu singkat. 

Saat ia mengecek ponsel, sudah ada belasan panggilan tak terjawab dari Evan dan Hannah. 

Habislah dia, pikir Sanna. 

Gadis itu langsung meluncur kembali ke rumah tanpa mengindahkan pria yang masih terlelap di atas ranjang. 

Penampilan gadis itu tampak berantakan saat ia tiba di kediaman Evan. Sanna berjalan masuk dengan tergesa-gesa, tetapi langkahnya langsung terhenti saat menemukan Evan dan Bethany berada di meja makan. 

Keduanya terlihat begitu damai dan mesra. Penampilan Evan pun tampak rapi, tanda bahwa Bethany telah membantunya membersihkan diri. Bahkan, Evan membuka mulut dengan sukarela saat Bethany mengangsurkan satu suapan ke arah pria itu. 

Jika itu dirinya, Evan akan langsung menghempas sendok dengan kasar. 

“Bagaimana rasanya?” tanya Bethany dengan suara lembut yang terdengar amat berbeda. 

“Enak,” gumam Evan, kemudian tersenyum semringah. “Seharusnya, aku menikahimu dahulu, bukan kakakmu yang tidak berguna itu.” 

Kata-kata itu meluncur seperti panah yang menembus jantung Sanna. 

Ia kira, Bethany akan membelanya, tetapi gadis itu justru terkekeh geli. 

“Aku juga sudah tertarik pada Kak Evan sejak awal,” ucap Bethany. “Tapi, aku sadar tidak bisa memiliki Kak Evan karena penyakitku.”

Evan menggeleng mendengarnya. 

“Jika kamu menjadi istriku, aku tidak akan membiarkanmu lelah. Biar saja pembantu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah,” jawab pria itu. 

Lagi, jantung Sanna seakan diremas kuat-kuat. 

Evan tak pernah menyewa seorang pembantu pun semenjak menikah dengan Sanna. Bahkan, pria itu terang-terangan berkata ia tidak terima jika Sanna hanya santai-santai apabila ada seorang pembantu. 

Sanna berniat melangkah mundur, tetapi tanpa sengaja ia menabrak meja dan menimbulkan suara yang membuat Bethany langsung menoleh. 

Pandangan mereka bertemu. 

“Ada apa?” Evan bertanya, terlihat bingung. 

Sanna masih terdiam dan menatap lurus ke arah Bethany. Dalam hati, ia memohon agar Bethany berpura-pura tidak melihatnya. 

“Kak Sanna.” Gadis itu justru menyapa. “Dari mana saja Kakak semalaman? Mengapa Kakak terlihat berantakan?” 

Pertanyaan itu seketika membuat wajah Evan kembali terlihat kaku dan dingin. 

“Tinggalkan kami,” titahnya kepada Bethany. 

Gadis itu menaruh mangkuk di tangannya, kemudian beranjak pergi, meninggalkan keduanya di ruang makan. 

“Evan, aku—”

BUG

Sanna berjengit kaget saat suaminya tiba-tiba menghantam meja dengan tinjunya. 

“Kemarin, kamu sengaja ingin membunuhku, sekarang kamu terang-terangan menipuku hanya karena aku buta?” sergah pria itu dengan nada penuh kebencian. “Katakan, sudah berapa kali kamu melakukannya? Sudah berapa kali kamu mengendap-endap keluar saat malam dan menghabiskan waktu di luar tanpa sepengetahuanku!?” 

Sanna menggelengkan kepala dan langsung menghampiri sang suami. 

“Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Sebagaimana yang kamu tahu, aku selalu tidur di dekatmu dan berjaga-jaga seandainya kamu membutuhkanku. Tadi malam, aku tidak sengaja karena—”

“Berhenti membohongiku, Sanna,” sela Evan dengan dingin. “Bethany sudah memberitahuku semuanya. Dia bilang, kamu selalu meminta bantuan dia setiap malam. Kamu meminta dia berjaga di rumah ini, sementara kamu pergi dan mencari kesenangan sendiri.” 

Mata Sanna membesar dengan tidak percaya mendengarnya. Tak pernah sekali pun ia melakukan itu. Hari-hari, sepanjang malam, Sanna rela kekurangan jam tidur hanya untuk berjaga di sisi Evan. 

Bagaimana bisa Bethany mengatakan itu?

Kenapa suaminya begitu percaya pada sang adik?

“Demi Tuhan, aku tidak pernah melakukannya, Evan,” ucap Sanna. “Aku selalu berada di sisimu. Aku yang membantumu ke kamar mandi, aku yang mengambilkan minum untukmu. Aku yang menyelimutimu saat kamu kedinginan,” tutur gadis itu. Matanya mulai memerah dan berkaca-kaca. “Kamu selalu percaya pada kata-kata Bethany, mengapa kamu tidak pernah mempercayaiku?”

Ia tidak dapat membendung air matanya lebih lama dan mulai terisak. 

Namun, isakan dan tangisan gadis itu tak membuat Evan melunak. Rahang pria itu justru semakin mengeras sempurna. 

“Karena kamu sudah membohongiku sejak awal! Aku tahu kamu menghasut Kakek agar aku menikahimu. Berbeda dengan kamu, Bethany selalu tulus membantuku. Dia tidak mengharapkan warisan apa pun dariku, jauh berbeda dengan wanita mata duitan seperti kamu!” kecam Evan dengan nada dingin menusuk. 

Mendengar itu, isakan Sanna berhenti seketika. Hatinya seakan tersayat, dan kata-kata Evan terdengar begitu kejam hingga Sanna tak mampu menangis lebih lama. Ia mengeraskan hatinya dan memandang kecewa pada sang suami.

Sanna menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan suaranya sebelum menjawab. 

“Jika kamu sangat mempercayai Bethany, mengapa kamu tidak menikahinya saja?” 

“Aku akan melakukannya setelah operasi,” jawab Evan tanpa ragu. Manik hitamnya bergulir ke arah Sanna mengikuti sumber suara. “Ibu bilang sudah ada pendonor untuk mata dan ginjalku. Saat aku mendapatkan penglihatanku kembali, kuharap aku tidak melihat wajahmu yang memuakkan, Sanna. Aku tidak ingin melihatmu berkeliaran di rumah ini. Bahkan, jika bisa, jangan pernah muncul di hadapanku!” 

Sanna bisa melihat kebencian yang mendalam pada raut wajah Evan. 

Kali ini pun, gadis itu tidak bisa membantah. Jelas Hannah tidak memberi tahu Evan siapa orang yang rela mendonorkan mata dan ginjalnya.

Ia hanya tersenyum getir dan mengepalkan tangan, menahan rasa sakitnya sendirian.

Tidak apa-apa. Sebentar lagi Sanna akan meninggalkan itu semua. 

“Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan, aku akan melakukannya,” jawab Sanna dengan suara bergetar. “Aku akan menghilang dari hidupmu, Evan. Maaf karena sudah membuatmu menderita selama ini.”

Kemudian, wanita itu melenggang pergi. 

***

Logan terbangun oleh dering ponsel yang tidak kunjung berhenti. 

Tanpa membuka matanya, ia meraba-raba pada nakas dan menjawab telepon tersebut. 

“Halo—”

“Ke mana saja Anda, Tuan? Saya sudah menyewa seorang wanita untuk Anda, tapi dia bilang dia tidak bisa menemukan Anda. Anda juga tidak bisa dihubungi sepanjang malam dan tidak kembali ke rumah,” tutur Benny, asistennya, dengan nada cemas. “Di mana Anda sepanjang malam?” 

Pria itu sempat mengira Logan terlibat masalah dengan seseorang atau bahkan lebih buruk diculik oleh saingan bisnisnya. 

Namun, bukannya menjawab, Logan justru membuka mata dan menatap pada keadaan di sekitarnya. 

Ranjang di sisinya sudah kosong. Wanita itu sudah pergi dan mata Logan langsung membelalak melihat noda merah di atas ranjang. 

“Sial,” gumam pria itu. 

Ia baru teringat ia telah menghabiskan waktu bersama wanita asing itu. Wanita yang menangis saat di bar. Wanita yang ternyata perawan meski telah menikah dan memiliki suami. 

“Apakah dia akan dioperasi hari ini?” Logan kembali bergumam dengan raut serius. 

“Maaf, apa maksud Anda, Tuan?” Benny menyahut dari seberang, tidak mengerti dengan ucapan Logan. 

Pria itu mengusap wajah kasar dan menghela napas pendek. 

“Periksa rekaman di bar tadi malam dan cari informasi mengenai gadis yang keluar bersamaku tadi malam,” titah Logan. “Cari sedetail mungkin sekarang!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status