Pintu kamar Dewi sudah di betulkan oleh tukang. Pun dengan jendela yang sudah aku paku rapat. Namun, aku belum puas dengan semua itu. Ingin rasanya diri ini memberi pelajaran lebih kepada orang yang telah menghancurkan adikku itu.
Aku masuk ke dalam gudang, mengambil gelas-gelas yang sudah tidak terpakai lalu menyuruh tukang untuk menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan.“Memangnya mau buat apaan, Mbak Efita?” tanya si tukang penasaran.“Buat nangkep kucing garong, Kang!” jawabku, memiringkan senyuman.“Waduh, memangnya suka ada kucing garong di rumah Mbak Efita?”“Ada, Kang. Datengnya kalau malam-malam!”“Ini sudah jadi, mau ditaruh di mana, Mbak?”“Masukan ember saja, Kang. Nanti biar saya yang nyebar. Kalau Akang yang nyebar malah nanti saya yang kena, lagi!”Aku menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribuan kemudian segera mengambil sarung tangan dan menuang serpihan beling itu di bawah jendela.‘Pasti gurih-gurih enyoy, kalau dia nginjek pecahan beling ini. Siapa pune kamu, maaf kalau nanti kakinya harus di jahit!’ aku bergumam sendiri dalam hati.Setelah itu, bergegas diri ini mencuci tangan, Pergi ke dapur kemudian memasak untuk makan siang serta malam nanti.Drrrttt.... Drrrrtttt....Ponselku terus saja berdering. Emak memanggil. Segera kugeser tombol hijau, menyapa wanita paruh baya yang sudah membesarkan diri ini dengan penuh cinta selama dua puluh tiga tahun itu.“Halo, assalamualaikum, Kak?” sapa Emak dari ujung sambungan telepon sana.“Waalaikumussalam, Mak. Emak sehat?” jawabku, mencoba menata perasaan yang sedang berkecamuk di dada. Ingin rasanya segera mengadu kepada Emak, tetapi takut kalau hipertensinya kambuh dan membahayakan nyawanya.“Alhamdulillah Emak sehat, Kak. Kakak sekeluarga sehat. Dewi gimana? Dia baik-baik saja kan? Dia nggak bandel? Emak khawatir, perasaan Emak juga dari kemarin gelisah terus!” berondong Emak.Aku menghela nafas yang terasa sakit serta menyesakkan dada. Ingin aku jawab kalau aku dan Dewi sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Namun, aku menahannya. Aku akan menjelaskan semua yang terjadi nanti jika waktunya sudah tepat. Lagian, semuanya juga belum terbukti.“Kak, kok diem?” tanya Emak membuyarkan lamunanku.“Oh, enggak, Mak. Efita lagi liatin sinetron, jadi nggak konsen ngobrol sama Emak!” Aku pura-pura tertawa.“Ya sudah, Kak. Emak mau ke pengajian dulu. Kamu hati-hati di sana, ya. Titip Dewi, soalnya anak abege jaman sekarang ini tingkahnya aneh-aneh.”“Iya, Mak.”Emak menutup sambungan telepon.Aku bangkit dari tempat dudukku dan kembali menggeledah isi kamar adikku. Aku masih penasaran dengan CD yang aku temukan di kamarnya. Apa iya dia melakukan itu dengan Mas Akmal kakak iparnya sendiri. Kalau iya, awas saja nanti kamu Dewi. Kamu akan menerima balasan dariku. Sudah di sekolahkan di tempat favorit dan mahal, mau nikung kakaknya lagi.Astagfirullah, aku tidak boleh berprasangka buruk. Bukannya fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.Tapi, kalau dia benar-benar melakukan hal keji itu. Aku juga tidak segan-segan ‘membunuh’ cacing Mas Akmal yang ukurannya tidak seberapa itu.Laci, tas yang menggantung, saku jaket Dewi, semuanya sudah aku geledah. Akan tetapi aku tidak menemukan apa-apa di sana. Namun, ketika aku menengok di kolong dipan, aku kembali menemukan bungkus kontrasepsi dengan merek yang berbeda.Ya Allah, remuk redam hatiku menerima kenyataan bahwa adikku yang pendiam, terlihat alim, tidak neko-neko, ternyata bisa melakukan hal semenjijikkan ini. Apa sih yang ada di otaknya dia. Apa dia tidak memikirkan masa depannya?Kalau begini, aku juga yang repot.Aku mendesah kasar. Kepalaku tiba-tiba terasa nyut-nyutan. Aku keluar dari kamar gadis itu dan menguncinya kembali.“Assalamualaikum!” Terdengar suara Dewi mengucap salam.Aku enggan membukakan pintu untuknya. Malas, capek hati, juga kecewa kepadanya.“Assalamualaikum, Kak!” teriaknya lagi.“Ish, kan bisa lewat pintu belakang!” dengusku kesal.Aku tetap berbaring sambil memainkan gawaiku. Takku hiraukan panggilan adik semata wayangku itu. Biarlah. Capek rasanya berbuat baik kepada dirinya.“Assalamualaikum!” tok! Tok! Tok!“Ya Allah, bener-bener tu bocah. Emang apa susahnya sih jalan sedikit ke belakang!”Aku mendengkus kesal sambil berjalan ke arah pintu.“Lama banget, Kak!” protesnya.“Kan bisa lewat belakang. Lagian emang saya pembantu kamu!” rutukku kesal.“Kakak kenapa, sih. Akhir-akhir ini sentimen banget sama aku. Mana suka nuduh aku yang enggak-enggak lagi!” Dia memonyongkan bibir sambil membanting bokongnya di sofa.“Makanya kamu jujur sama kakak, siapa yang sudah tidur sama kamu!” Aku melipat tangan di depan dada.“Ya Allah, kak. Itu lagi yang dibahas!” Dewi terlihat tidak suka.“Ini apa?!” Kulemparkan bungkus kontrasepsi yang aku temukan di kamarnya ke wajah adikku.Dewi terlihat gelagapan. Matanya kini dipenuhi kaca-kaca.“Siapa yang melakukannya, Dewi. Pacar kamu, Mas Akmal, atau ...?” Belum selesai aku bicara, bocah itu malah ngeloyor pergi.Dasar tidak sopan!Aku mengenyakkan badan di atas sofa depan televisi. Pusing kepalaku seperti mau pecah memikirkannya. Andai saja ada teman untuk berbagi, sudah pasti akan menceritakan semua ini.Tetapi, banyak teman yang sok mendengarkan curhatan orang, ternyata dia justru sedang menggali informasi. Biarlah, aku akan menyimpannya sendiri walaupun terasa sesak di sanubari.“Fit, Efita!” terdengar seseorang memanggil namaku.Aku mengerjapkan mata kemudian duduk mengumpulkan nyawa. Ayah mertuaku yang tinggal di seberang jalan tiba-tiba sudah ada di hadapanku.“Ada apa, Pap?” tanyaku sambil mengikat rambut.“Papa mau minjem linggis. Kata Akmal di gudang ada. Mana kuncinya!” kata laki-laki berusia empat puluh sembilan tahun itu sembari menyodorkan tangan.“Fita ambil dulu di kamar, Pap!” Aku bangkit dari tempat dudukku lalu mengambil kunci gudang.Aku masih bingung kenapa ayah mertuaku bisa masuk ke dalam rumah. Padahal seingatku, tadi pintu depan sudah kembali aku kunci.“Ini, Pap.” Aku memberikan kunci tersebut kepada Papa.Lelaki bertubuh tegap walaupun sudah berumur itu menoleh ke kamar Dewi ketika melewatinya. Gelagatnya begitu mencurigakan. Duh, jangan-jangan ....Astagfirullah, lagi-lagi aku hanya bisa mengelus dada karena hatiku selalu didera curiga kepada orang-orang yang ada di dekatku. Nggak mungkin papa yang melakukannya. Andai saja Dewi mau jujur dengan siapa ia melakukan hubungan terlarang itu, mungkin aku tidak perlu pusing-pusing serta menerka-nerka.Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu kamar Dewi, mencoba membujuk wanita belia itu supaya mau bercerita kepadaku. Siapa tahu dia dipaksa dan mendapat tekanan dari laki-laki tersebut, sehingga dia selalu bungkam dan merahasiakan kejadian itu.Nihil, Dewi tetap bergeming, tidak mau membukakan pintu.Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo