“Kenzo Al Faiq, Mbak,” sambungku pelan.“Orang yang ditanya nama saya kok!” protes Salim.“Suster itu nanya nama ayah bayi dalam perut saya, Salim. Bukan nama kamu?” Menunjuk ke perut.“Oh!” Dia menggaruk kepala sambil tersenyum, salah tingkah.“Yang benar yang mana?” tanya suster sembari menatapku, lalu bergantian menatap Salim.“Kenzo Al Faiq,” jawab Salim.Laki-laki berusia dua puluh tahun itu kemudian membantuku berdiri untuk menimbang berat badan. Masih tetap empat puluh delapan kilogram. Mudah-mudahan setelah hamil berat badanku naik, biar terlihat agak berisi.“Sudah dipanggil apa belum, Dek?” tanya Mas Kenzo, setelah hampir lima belas menit menerima panggilan telepon dari rekan kerjanya.“Belum, Mas. Kamu nelepon saja kok lama sekali. Sebenarnya yang suamiku itu Salim apa kamu sih?” protesku, memonyongkan bibir manja.“Maaf, Dek. Tadi atasan nelepon Mas. Ada hal penting yang mau beliau sampaikan, jadi Mas tinggal kamu dulu berdua sama Salim.”“Ya sudah kalau pekerjaan lebih pe
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. “Ya Allah, Sayang. Kamu kenapa?” tanya Mas Kenzo sambil menatap wajahku sendu.“Aku nggak tahu, Mas. Kepala aku tiba-tiba pusing,” sahutku pelan, hampir tidak terdengar.“Mas sudah khawatir banget loh.”Tidak lama kemudian ibu datang membawa pakaian untukku.“Emang kalian habis ngapain sih? Fita lagi mabok, nggak usah diajakin begituan dulu ngapa sih, Zo!” Rutuk Ibu sambil membantuku memakai gamis. Sepertinya dia salah paham.“Astagfirullah, Bu. Saya nggak habis ngapa-ngapain Fita. Dia minta mandi, terus saya mandiin. Eh, tiba-tiba dia pingsan!” jawab Suamiku dengan wajah memerah. Mungkin dia merasa malu kepada ibu.Karena keadaanku yang begitu lemah, dokter menyarankan supaya menjalani rawat inap selama beberapa hari, sampai keadaanku mulai membaik.Aku menurut saja karena tidak mau terjadi sesuatu dengan calon bayiku. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk dek utun.“Dek, Mas pergi ke kantor dulu ya. Ka
Malam semakin larut, akan tetapi Mas Kenzo belum juga kembali. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatan suamiku karena sekarang dia sering pergi pulang pagi. Kusambar gawai yang tergeletak di atas nakas, menghubungi nomor ponselnya, berharap dia cepat pulang menemaniku di rumah sakit.'Kamu ke mana sih, Mas. Kok nomor kamu tidak aktif!' gumamku dalam hati.[Mas, kamu ke mana? Kapan pulangnya] send, suamiku.Aku menoleh ke arah Salim yang sudah terlelap di atas Sofa. Kenapa justru dia lagi yang harus menemaniku. Aku jadi kasihan sama anak tiriku itu, apalagi setelah mendengar cerita cintanya yang berakhir tragis. 'Sama mantan pacarnya disuruh-suruh terus, sama ayahnya juga disuruh nemenin ibu tirinya terus,' bhatinku.Mencoba turun dari tempat tidur, namun kapala ini masih terasa berat dan keliyengan. Aku juga tidak mungkin membangunkan Salim untuk mengantarku pergi ke kamar mandi."Ya Allah, Mas. Kamu kok teg
"Ayo Bun, kita masuk," ajak Salman sambil menggandeng tanganku."Iya, Sayang. Habis ini ambil Quina di rumah nenek ya, Man. Sama sekalian beliin Bunda bubur kacang hijau di depan." "Iya, Bun. Sekarang Bunda mau ke kamar apa mau duduk di sofa?" "Di sofa saja dulu, Man. Bunda bosen di kamar terus."Salman membimbingku duduk di sofa lalu pria bertubuh kurus itu langsung pamit untuk mengambil Saquina di rumah neneknya.Beberapa menit kemudian, Salman kembali bersama Mbak Kenza membawa bubur untukku. Anak kedua suamiku itu langsung ke dapur untuk mengambil mangkuk, lalu menuang bubur kacang hijau itu ke mangkuk yang ia bawa."Makan dulu. Bun. Mumpung masih hangat. Tapi aku bagi sedikit ya. Aku kepengen. Tadi mau beli sudah habis!" Dia menyeringai sambil menggaruk kepala. Persis seperti abangnya kalau lagi salah tingkah."Ya sudah kita makan berdua saja, Man. Bi Kenza mau?" Aku menoleh ke arah Mbak Kenza yang s
"Salim, Salman, buruan bawa Ayah kalian!" titahku sambil menyusut air mata. 'Ya Allah, Mas. Tolong bangun . Jangan tinggalkan aku dan calon anak kita, Mas.' Salim dan Salman segera menggotong Mas Kenzo masuk ke dalam mobil, meletakkan kepala sang ayah di pangkuanku, lalu lekas membawa Mas Kenzo ke rumah sakit. "Mas, buka mata. Kamu jangan buat aku takut, Mas!" Menepuk-nepuk pelan pipi Mas Kenzo, yang sudah terlihat pucat pasi. "Buruan, Salim. Kamu nyetir kok kaya keong!" teriakku tidak sabar. "Sudah cepet ini, Bun. Bunda yang sabar. Insya Allah ayah baik-baik saja!" jawab Salim sambil terus fokus mengemudi. Sedang Salman, dia sedang sibuk menghubungi dokter yang biasa menangani ayahnya, memberi tahu kalau gula darah Mas Kenzo naik hingga hampir 600 mg/dl, biasanya tidak sampai 300. "Alhamdulillah dokter Darwinnya ada, Bun. Beliau juga lagi otewe ke rumah sakit!" ucap putra kedua suamiku sambil meletakkan ponselnya. Aku terus mendekap tubuh Mas Kenzo, membisikkan doa yang aku bi
“Kamu sendiri ngapain berada di sini, siapa yang sakit?” “Suamiku, Mas!” “Memangnya dia sakit apa?” “Gula!” “Innalilahi!” ujar Mas Akmal. Aku menoleh ke arah mantan suamiku yang ternyata sedang menatap ke arahku, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok. Namun, entahlah. Aku merasa getaran itu sudah tidak ada. Cinta di sanubari mulai sirna. Mungkin karena aku sudah merasa nyaman dengan Mas Kenzo, sehingga perlahan-lahan rasa itu mulai pergi dan tak lagi bertakhta di hati. “Fit, apa kamu tidak kasihan sama Dewi. Dia lagi hamil dan sekarang suaminya berada di dalam bui.” Aku menghela nafas berat mendengar ucapan Mas Akmal yang menyinggung masalah Papa Surya. Pasti dia akan memintaku mencabut laporan dan membebaskan Mantan mertua yang sekarang sudah menjadi adik iparku. “Papa salah dan orang salah harus dihukum!” Jawabku menegaskan. “Tapi, biar bagaimanapun Papa itu tetap orang tua kamu loh, Fit. Papa juga sekarang sudah menjadi adik ipar kamu. Kamu tahu, Dewi frust
Ekor mataku melirik ke arah Dewi yang sedang duduk di atas kursi roda. Benar-benar sifatnya sudah berubah 180. Bukannya simpatik sama sang kakak, dia justru malah menertawakan keadaanku. Padahal, dia sendiri sedang tidak berdaya.“Aku juga nggak yakin kalau anak dalam perut Kak Fita itu anak suaminya. Jangan-jangan dia anak si Salim. Secara diakan diam-diam suka sama ibu tirinya!” Aku mengepalkan tangan menahan emosi. Andai saja Dewi sedang tidak sakit, sudah aku tabok mulut nyinyir bocah itu.“Jaga mulut kamu, Dewi. Kakak itu tidak semurahan kamu, yang bisa ditiduri oleh siapa saja. Bahkan sampai hamil diluar nikah!!” bengisku. Dewi beranjak dari kursi rodanya kemudian mengangkat tangannya ke udara, hendak menamparku. Beruntung Salim langsung menangkis tangan Dewi dan mencengkeram erat tangan adikku.“Jangan sentuh Kak Fita, atau tangan kamu saya patahkan!” hardik Salim dengan wajah memerah padam.“Ada pahlawan kesiangan. Iya
“Ini, dimakan mumpung masih panas. Kalau sudah dingin ndak enak lagi. Kejunya aku pesenin yang super spesial buat kamu!” Dia duduk di kursi teras, membuka kotak berisi singkong keju itu dan menyodorkannya kepadaku.Aku menelan saliva mencium aroma keju yang menguar di udara. Ingin menolak makanan itu, tapi aku benar-benar menginginkannya. Kalau tidak menolak, takut Mas Akmal salah sangka dan dikira aku masih berharap dia kembali.Ragu-ragu aku mengambil sepotong singkong yang bertabur keju. Memasukkannya ke dalam mulut dan maa syaa Allah, rasanya nikmat sekali hingga tanpa sadar aku hampir menghabiskan satu porsi.Binar bahagia terpancar jelas di wajah Mas Akmal. Dia terus saja mengulas senyum menatapku yang sedang menikmati makanan pemberiannya.“Aku sudah lama merindukan momentum seperti ini, Fit. Dimana kamu sedang hamil, ngidam ini itu dan aku pergi mencarikannya!” ucap Mas Akmal sambil terus menatap wajahku.Aku menjilati jemariku dan langsung menghent