Share

Koper Merah di Kamar Mertua
Koper Merah di Kamar Mertua
Author: Biru Gerimis

1

“Citra! Citra! Buka pintunya! Kamu di dalam, kan? Citra!”

Teriakan panik melompat dari mulut seorang pria tampan berusia 30-an bernama Orion beradu dengan bunyi pintu yang digedor. Saat pulang kerja beberapa menit lalu, bukannya disambut oleh istrinya, Orion malah disuguhkan dengan info dari asisten rumah tangga keluarganya yang mengatakan bahwa istri Orion, Citra, tidak keluar dari kamar mereka di lantai dua sejak satu jam yang lalu usai bertengkar hebat dengan ibu Orion, Henny.

Sebenarnya, pertempuran seru antara Citra dan Henny bukan berita baru bagi Orion. Sejak menikah dengan Citra tiga tahun lalu, perselisihan tidak perlu yang sebagian besar berkembang menjadi adu mulut bisa dianggap sebagai rutinitas harian. Henny selalu saja menemukan sesuatu dalam diri Citra yang dianggapnya tidak sesuai dengan standarnya sebagai seorang istri pengusaha hotel ternama di Kota Ryha.

Yang paling sering dicelanya biasanya adalah latar belakang Citra yang mantan aktris populer, profesi yang dinilainya penuh kepura-puraan dan rendahan.

Bahkan, Henny telah terang-terangan mempertontonkan ketidaksukaannya pada Citra sejak Orion membawanya ke rumah dan memperkenalkannya sebagai kekasih.

“Ibu tidak yakin, Rion, kamu ini bodoh atau telanjur dibutakan oleh rasa cintamu pada perempuan itu sampai kamu bilang ingin menikahinya. Bukannya sudah jadi rahasia umum kalau para artis itu, terutama perempuan, pasti disponsori oleh orang-orang berpengaruh? Ibu tidak tahu sudah berapa banyak lelaki yang sudah tidur dengannya demi menaikkan popularitasnya,” semprot Henny pada Orion di depan Citra langsung.

Dengan penolakan segamblang itu, seharusnya pernikahan Orion dan Citra tidak mungkin terlaksana. Tapi, berkat ancaman Orion yang bilang akan meninggalkan rumah dan memutuskan hubungan, tidak peduli dengan kenyataan bahwa ia adalah anak tunggal yang bakal meneruskan bisnis keluarga, Henny akhirnya menyetujui Citra menjadi istri Orion dengan hati teramat berat dan syarat yang terlalu banyak.

“Apa? Meninggalkan profesiku sebagai aktris dan tinggal bersama ibumu setelah menikah? Aku tidak mau. Kamu kan tahu, Rion, ibumu sangat membenciku. Bagaimana jika nantinya beliau akan menyiksaku di rumah saat kamu bekerja?”

Citra blak-blakan tidak setuju dengan ide sinting Rion, walaupun jantungnya jumpalitan mendengar Orion serius mempertimbangkan niat untuk memperistrinya.

Orion melempar napas lalu meraih kedua tangan Citra dan menggenggamnya, sambil menatap mata wanita di depannya sungguh-sungguh, ia membujuk. “Citra, bukannya ibuku tidak menyukaimu, beliau hanya butuh waktu untuk mengenalmu. Aku yakin, begitu ibuku sudah tahu dirimu yang sebenarnya, beliau pun akan menyayangimu, seperti aku. Jadi, aku mohon, beri kesempatan kepada ibuku untuk memilikimu sebagai menantu perempuan. Kamu mau, kan?”

Entah karena permintaan Orion yang kelewat tulus, atau perkataan pria itu yang dirasa ada benarnya, atau perasaan aneh Citra yang tiba-tiba tertantang menaklukkan Henny, atau mungkin hanya Citra yang sangat bodoh, pernikahan itu akhirnya digelar juga. Meskipun Henny menunjukkan eksistensinya di acara itu, wajahnya yang sama sekali tidak ramah cukup untuk membuat tamu undangan mengira-ngira apa yang telah terjadi.

“Lihat tuh, Bu Henny, mukanya cemberut terus. Kayaknya dia tidak suka dengan menantunya,” bisik seorang tamu wanita yang penampilan glamournya seperti bertekad menyaingi pengantin perempuan begitu selesai menyalami pasangan mempelai di pelaminan.

“Iya, kamu betul. Kalau tidak suka sama Citra kenapa tetap mengizinkan anaknya menikah dengan artis itu? Atau, jangan-jangan Citra sudah isi duluan makanya Bu Henny terpaksa menerima,” ujar tamu lainnya tidak kalah bersemangat kemudian memberi Citra lirikan jijk.

Mendengar penghinaan yang jelas-jelas ditujukan padanya, Citra cuma bisa melempar napas. Di sampingnya, Orion tersenyum riang pada undangan yang datang, entah tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar celaan barusan.

Seperti yang telah diduga Citra, kehidupan di awal-awal rumah tangganya sama sekali tidak menyenangkan. Setiap ia menampakkan diri di depan ibu mertuanya, ekspresi Henny langsung berubah garang. Jika Citra beberapa menit saja berada di tempat yang sama dengan Henny, wanita itu akan mulai meributkan apa saja yang berkaitan dengan Citra.

Mulanya, Citra berusaha tetap mempertahankan sopan santunnya sebagai menantu. Ia memercayai ucapan Orion soal Henny yang belum mengenalnya. Namun, setelah Henny semakin keji dan mulai melibatkan aktivitas fisik seperti menampar dan menjambak rambut, Citra akhirnya tidak tahan dan memutuskan melawan.

Tiap kali selesai berperang dengan Henny, Citra akan memohon pada Orion agar pindah rumah saja. Ia bahkan tidak keberatan untuk hidup di rumah kontrakan sederhana asal bisa bernapas jauh dari ibu mertuanya.

Sekarang, setelah Citra melakukan aksi mengunci diri di kamar usai perselisihan yang entah sudah keberapa ratus kalinya, Orion agak menyesal karena tidak sungguh-sungguh mempertimbangkan keinginan istrinya untuk minggat dari rumah keluarganya.

“Bu Citra! Tolong buka pintunya, Bu. Bu Citra!” Asisten rumah tangga mereka, Yuli, seorang wanita paruh baya berbadan tambun, ikut memanggil dengan suara lemah di belakang Orion.

“Citra! Buka pintunya! Apa yang kamu lakukan di dalam? Jangan berpikir untuk melakukan hal bodoh. Citra!” Orion memekik lagi kemudian menambah usahanya untuk menciptakan gedoran yang lebih keras.

Respons yang tidak kunjung diperlihatkan oleh Citra mau tidak mau menerbitkan berbagai prasangka buruk dalam otak Orion. Itulah sebabnya, ia memutuskan untuk menempuh upaya lain.

“Bik Yuli, tolong menjauh. Aku akan mendobrak pintu ini!” Orion memperingatkan Bik Yuli. Wanita itu pun cepat-cepat melipir dan memberikan ruang bagi Orion untuk mundur beberapa langkah ke belakang demi mengambil ancang-ancang.

“Tuan Erian!”

Tiba-tiba saja Bik Yuli menjerit kaget. Orion yang mendengarnya refleks menolehkan kepala ke arah tangga di samping kirinya dan menemukan pria berusia 60-an yang masih gagah berdiri di sana. Namun, Orion mendadak tercengang begitu beberapa orang berseragam navy menyusul penampakan ayahnya.

“Ayah, kenapa membawa polisi kemari? Citra hanya ngambek di kamar dan menolak buka pintu. Saya rasa polisi tidak perlu dilibatkan dalam urusan sepele ini,” ujar Orion begitu tiba di depan ayahnya. Matanya sibuk melirik kumpulan pria berseragam itu beberapa detik sekali.

Erian mengernyitkan jidatnya yang masih licin, nyata-nyata tidak mengerti dengan hal yang dibicarakan Orion. “Apa maksudmu, Rion? Ayah tidak tahu kalau Citra tidak mau keluar kamar.”

Giliran Orion yang memperlihatkan raut bingung. Ia menoleh ke arah Bik Yuli yang masih berdiri gusar di samping pintu kamarnya kemudian berpaling menatap ayahnya lagi.

“Bik Yuli tidak bilang sama Ayah soal itu?”

Masih belum paham, Erian menggeleng. “Ayah tidak mendapat laporan apapun dari Bik Yuli.”

“Terus, Ayah memanggil polisi untuk apa?” Orion bertanya dengan tangan yang terang-terangan menunjuk pria berseragam yang paling dekat dengannya.

Erian tidak langsung menjawab, ia justru memberi isyarat agar Orion dan para polisi mengikutinya ke kamar yang berada persis di depan kamar Orion dan Citra. Pria tua itu lalu mengarahkan telunjuknya ke celah bagian bawah pintu bercat abu-abu.

Mata Orion mendadak membulat ketika mengamati lantai. Ada genangan cairan merah cukup lebar yang jelas-jelas berasal dari dalam kamar, menyeruak di antara dua pot tanaman peace lily yang diletakkan di kanan kiri pintu kamar bagaikan penjaga. Apakah itu hal yang dipikirkannya? Apa yang telah terjadi pada ibunya? Kenapa ia tidak memerhatikan hal sepenting itu tadi?

Sementara itu, Bik Yuli yang memilih menjauh dari pintu kamar Citra untuk bergabung dengan rombongan ikut memerhatikan arah jari Erian dan tiba-tiba memekik histeris.

“Aaarrrggghhh…!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status