Di bawah tatapan ngeri Bik Yuli dan pandangan resah Orion, para polisi Ryha berhasil membuka pintu kamar Henny dan Erian yang terkunci dalam satu tendangan tanpa menyentuh genangan darah di lantai.
Begitu pintu terkuak dan memperlihatkan keadaan kamar yang gelap, Orion segera menciptakan jalan untuk dirinya agar bisa memasuki kamar orang tuanya dengan cara menyingkirkan bahu-bahu para polisi yang berkerumun di depan pintu. Satu kakinya baru saja akan menginjak darah ketika pundaknya ditahan oleh salah satu polisi.“Maaf, Pak. Tapi, Anda tidak diizinkan memasuki kamar ini sekarang,” ujar polisi bertampang tenang yang mencegah Orion.Kepanikan Orion yang timbul begitu melihat kondisi di bawah pintu kamar orang tuanya berubah menjadi kegeraman. Ibunya bisa saja sedang terluka dan membutuhkan pertolongan di dalam kamar yang gelap dan polisi malah menghalanginya untuk masuk?Orion telah memutuskan untuk mengabaikan peringatan polisi itu dan melepaskan dirinya dari tangan si polisi saat Erian ikut bersuara. “Pak Nadi benar, Rion. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Lebih baik kita biarkan polisi yang menanganinya.”Walaupun jengkel, Orion mundur dan membiarkan Nadi serta polisi lainnya memasuki kamar. Tapi, ia masih berada di sekitar pintu sambil melongok-longok ingin tahu.Nadi kemudian memberi isyarat pada salah satu rekannya untuk berjalan duluan. Si polisi melangkahi genangan darah dan berhati-hati agar tidak menginjaknya, tangannya meraba-raba dinding di sekitar pintu untuk mencari saklar lampu.Ceklek!“Arrrggghhh!”Bik Yuli memekik sekali lagi dan lekas-lekas kabur dari situ dengan tangan yang menutupi mulut. Pemandangan yang tersaji di dalam kamar saat lampu telah dinyalakan sungguh memualkan. Bahkan, Orion yang meyakini bahwa dirinya bukan orang yang gampang terpengaruh dengan sesuatu yang dilihatnya mendadak merasakan entakan rasa mual yang menjalar dari dasar perutnya.Seperti yang telah diperkirakan, di balik pintu lebih banyak lagi darah yang menggenang di lantai. Namun, selain itu, ada juga bekas seretan berdarah yang tampaknya bermula dari tempat itu melewati satu set sofa dan meja berwarna biru di tengah ruangan, meja rias yang berantakan, dan berakhir di tempat tidur.Di atas kasur yang ditutupi oleh seprai putih yang tampak rapi, teronggok satu koper besar berwarna merah yang kelihatan kontras sekali dengan tempatnya tergeletak.“Ibu!” Orion meraung begitu matanya menangkap penampakan koper merah yang ganjil itu. Bekas seretan di lantai yang berujung tepat di sisi tempat tidur mau tidak mau membuat Orion hanya bisa memikirkan satu kesimpulan saja. Ia seketika jatuh berlutut, tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk merangkai kata saking shocknya.Di tepi ranjang, Nadi yang sudah mengenakan sarung tangan pelan-pelan meletakkan jarinya di resleting koper dan menariknya. Semakin terbuka koper itu, semakin takut Orion dengan apa yang bakal disaksikannya.Ketika akhirnya penutup koper disentakkan oleh Nadi, Orion tidak sanggup lagi dan luruh ke lantai. Berbaring menyamping, Orion merasakan semua oksigen telah direnggut paksa dari sekitarnya sehingga ia kesulitan bernapas. Tangannya mencengkeram erat dadanya dan mulutnya terbuka mencari udara.Orion tahu hal yang baru saja dilihatnya tidak akan pernah bisa dilupakannya seumur hidupnya. Di dalam koper, tubuh ibunya yang bergelimang darah meringkuk. Lutut dan dagunya beradu, tangannya menekuk di samping wajah, menyembunyikan mata yang masih terbuka, ekspresi tercengang masih tampak jelas di sana.Mendadak, Orion merasa dirinya ditarik berdiri oleh seseorang. Ia mendongak dan mendapati muka kalem ayahnya tengah menatapnya. Bagaimana bisa ayahnya masih mampu berusaha menenangkannya saat tahu orang yang paling penting dalam hidupnya telah mengalami nasib sedemikian tragis? Sekarang, siapa lagi yang bisa mengingatkan ayahnya agar tidak bekerja terlalu keras setelah ibunya tiada?Orion tersedu-sedu di pelukan ayahnya, tidak memedulikan para polisi yang mondar-mandir memeriksa kamar, ataupun petugas forensik yang barusan tiba membawa kantong mayat. Barulah ketika jenazah ibunya yang digotong oleh orang-orang yang memakai alat pelindung diri lewat di sampingnya, Orion sadar dan cepat-cepat menghampiri.Dengan tangan gemetar hebat, Orion menarik resleting kantong mayat yang sudah diletakkan di lantai sehingga memunculkan wajah ibunya yang dibungkus oleh darah. Kelopak matanya yang kini menutup adalah satu-satunya bagian yang bersih.Air matanya menetes lagi, Orion memajukan tubuhnya dan mengecup kelopak mata ibunya. Ia kemudian melingkarkan lengannya, mendekap kantong mayat yang menyelubungi Henny, bahunya berguncang-guncang memilukan.“Ibu, siapa yang telah melakukan hal sekejam ini padamu?” Orion meratap sedih. Kepalanya disurukkan pada bahu dingin ibunya, mencoba merasakan sisa-sisa kehangatan yang sangat dikenalnya.Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh pundak Orion. Walaupun tidak menaikkan kepala untuk melihatnya, ia tahu kalau tangan itu milik ayahnya. Namun, bukannya reda, tangis Orion malah semakin menjadi-jadi. Air matanya kian deras dan bahunya bergetar semakin hebat.“Sudahlah, Nak. Biarkan ibumu pergi. Beliau tentu tidak ingin melihatmu begini. Kamu harus merelakannya, Rion. Tugas kita di sini adalah mencari pelakunya bersama polisi,” ujar Erian menghibur.Patuh, Orion melepaskan lengannya dari kantong mayat dan hanya bisa menatap penuh duka ketika dua petugas forensik membawa jenazah ibunya menjauh, melewati kamar Orion dan menuruni tangga.Citra!Orion mendadak tersadar. Ia begitu shock dengan kematian ibunya sampai melupakan hal lain yang tak kalah pentingnya. Melihat keadaan Henny yang sangat tragis barusan, tunas-tunas kegusaran seketika mencuat dalam dirinya. Bagaimana jika Citra juga mengalami hal yang sama dengan ibunya? Atau bahkan lebih mengenaskan?Lekas-lekas menyentakkan tangan ayahnya dan bangkit dari duduknya, Orion tergopoh-gopoh menuju kamarnya. Ia mau tidak mau merasa lega saat mendapati lantai di depannya bersih. Dengan kekuatan yang dilipatgandakan dibanding yang tadi, Orion menggedor pintu dengan niat merobohkan.“Citra! Citra! Buka pintunya, Citra!”“Citra belum keluar dari kamar juga, Rion? Lebih baik kamu dobrak pintunya saja, Ayah cemas Citra juga kenapa-napa,” kata Erian yang telah bergabung dengan Orion di depan kamar.Kehebohan yang diciptakan oleh Orion tentu saja menarik atensi para polisi yang tengah memeriksa kamar Henny dengan saksama. Mengingat kasus yang sedang mereka hadapi, Nadi akhirnya memutuskan untuk mendekati ayah dan anak itu sambil berharap tidak akan menemukan koper merah lagi di kamar kedua.“Biar kami yang masuk duluan, Pak,” tegas Nadi yang langsung meminta dua orang rekannya mendekat. Salah satunya memberi isyarat agar menjauhi pintu dan mengambil ancang-ancang untuk menendang.Brrraaakkk!“Citra!” Orion refleks berteriak dan sudah memajukan kakinya untuk melangkahi ambang pintu saat sekali lagi Nadi menghalanginya.“Tunggu di sini, Pak,” perintah Nadi. Ia lalu mengangguk pada dua rekannya dan melangkah mendahului memasuki kamar yang gelap. Hanya butuh beberapa detik untuk polisi itu menekan saklar lampu dan membuat ruangan dijilati cahaya.Tanpa sadar, Orion melempar napas yang sedari tadi ditahannya. Ia tidak yakin apakah bisa mempertahankan kewarasannya kalau pemandangan di kamar ibunya ditemukannya juga di kamarnya sendiri.Tapi, meskipun tidak ada darah sama sekali di lantai dan tempat tidur berseprai pink aman dari koper merah besar, Orion tetap saja risau sebab alasan Citra tidak membuka pintu walaupun telah digedor berulang kali adalah karena istrinya pingsan di samping sofa hitam yang diletakkan di tengah ruangan, sama persis dengan susunan perabotan di kamar Henny.Nadi berjongkok di samping tubuh Citra yang telentang di lantai dan memeriksa denyut di leher. Ia kemudian mengangguk pada dua polisi lainnya dan baru akan berdiri untuk mengizinkan Orion mendekati Citra ketika Nadi menyadari ada sesuatu di tangan wanita itu.Darah.“Kenapa Citra tidak dibawa ke rumah sakit saja, Yah? Bagaimana kalau dia mengalami luka dalam?”Pertanyaan itu menembus pendengaran Citra yang sudah siuman beberapa menit yang lalu. Tapi, ia masih ngotot menerapkan kemampuannya sebagai mantan aktris dan berpura-pura pingsan untuk mengamati reaksi orang-orang di sekitarnya dengan lebih leluasa, terutama setelah ibu mertua yang sangat dibencinya meninggal dengan cara begitu tragis.Citra tentu saja sangat riang mengetahui bahwa akhirnya rumah tangganya tidak akan diusik oleh Henny lagi. Sekarang ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa harus mempertimbangkan pendapat ibu mertuanya yang cerewet itu.“Kamu kan dengar sendiri apa kata Dokter Julian tadi, Rion. Citra tidak apa-apa. Dia hanya pingsan karena stres. Seharusnya, kamu sebagai suaminya lebih memperhatikannya. Memangnya dia tidak pernah cerita apa yang membuatnya stres?”Aku sudah bilang ratusan kali sama Rion tapi ia cuma menyuruh bersabar, batin Citra sebal. Tentu saja, Cit
Bunyi kode ruangan yang tengah dimasukkan terdengar. Sejurus kemudian, pintu kayu berpelitur halus berwarna hitam terbuka dan memperlihatkan wujud seorang pria tampan yang memasuki apartemen itu dengan bungkusan berisi makanan mahal di tangannya. Ia lalu mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang tersedia. Gerakannya sama sekali tidak canggung, seolah ia sudah biasa mengunjungi tempat itu.Mungkin pria itu tidak sadar, tapi kelakuannya sejak melangkahi ambang pintu diamati oleh seorang wanita berambut lurus hitam panjang, dengan poni tipis yang menutupi jidatnya.Mengenakan gaun tidur panjang berwarna hitam berbahan satin yang memang dimaksudkan untuk menggoda, wanita itu berdiri sambil menyilangkan kaki dan menyandarkan bahu di dinding samping sofa. Menunggu.Pria itu selesai mengenakan sandal rumah dan mengangkat tatapannya dari lantai. Saat itulah ia melihat si wanita dan otomatis senyum mesum tertera di wajahnya yang rupawan. Sambil mempertontonkan bungkusan makanan mahal yang d
“Bagaimana perasaan Anda, Bu Citra? Sudah lebih baik?”Citra mengangguk walaupun tengah bertatap muka dengan lantai, lebih memilih tidak melihat wajah Nadi yang baru saja menanyainya. Di samping kirinya, duduk Orion yang berusaha keras tidak kelihatan resah. Di sisi kanannya, Erian memarkirkan pantatnya di kursi dan tampak benar-benar tenang.“Bisa ceritakan kejadian sebelum Anda ditemukan pingsan di kamar?”Pelan-pelan mengangkat kepalanya, Citra menoleh dulu ke ayah mertuanya yang memberinya senyuman menghibur.Namun, ia sama sekali tidak berpaling ke Orion, padahal suaminya itu sudah menengok ke arah Citra sambil mencoba menarik kedua sudut bibirnya.“Sekitar jam 4 sore tadi, saya berniat pergi ke supermarket untuk membeli peralatan mandi kami yang sudah habis. Saya memang terbiasa membeli semua kebutuhan sendiri, hanya bahan makanan saja yang diurus oleh Bik Yuli. Di ruang tamu, saya ketemu dengan ibu. Mungkin Anda sudah dengar, tapi hubungan saya dan ibu mertua memang tidak terla
Orion mendelik. Mulutnya ternganga. Spontan, ia berdiri dari kursinya sangat tergesa-gesa sampai membuat benda malang itu terjungkal. Pertanyaan sekaligus pernyataan Nadi membuat Orion sempat lupa bagaimana cara bernapas. Ia bahkan tidak menyadari jika Citra dan Erian juga tersentak mendengar ucapan si polisi.Setelah berhasil menormalkan kerja paru-parunya kembali, Orion berupaya menyetel ekspresinya agar kelihatan benar-benar tersinggung. Menaikkan sedikit dagunya guna menegaskan bahwa dirinya adalah konglomerat yang tidak selevel dengan Nadi, karena itu ia tidak akan terpengaruh dengan apapun yang didengarnya, Orion lalu menuding polisi itu dengan telunjuk yang bergetar.“Jaga ucapan Anda, Pak Nadi. Berani sekali Anda memfitnah warga kota yang baik hanya karena bau parfum yang belum tentu juga Anda endus. Saya sungguh-sungguh merasa terhina,” ujar Orion dengan suara yang juga agak gemetar.Tapi, Nadi bergeming. Ia sama sekali tak goyah dengan provokasi yang dilancarkan oleh Orion.
“Ayah rasa lebih baik kamu ikut juga, Citra. Anda pun boleh ikut kalau mau, Pak Nadi,” ujar Erian di pintu ruang makan. Kepalanya ditolehkan pada dua orang yang diajaknya bicara. Di sampingnya, Orion melirik tidak berdaya.Nadi mengiyakan dengan cepat. Ia memang merasa lebih bagus jika terlibat langsung. “Tapi, saya harus ketemu rekan polisi yang tadi saya minta membawa Bik Yuli, Pak Erian. Tunggu sebentar,” kata Nadi sambil buru-buru melewati Erian dan Orion menuju ruang keluarga tempat rekannya menunggu.“Bagaimana, Citra? Kamu ikut, kan? Ayo, kita tunggu Pak Nadi di mobil saja,” ajak Erian dan langsung berbalik tanpa menanti respons menantunya. Citra yang mengerti kalau ucapan barusan adalah perintah, bukan permintaan, menyusul kedua pria itu.Langkah kaki dari belakangnya membuat Citra berpaling. Ia menemukan Nadi telah mengekori mereka. Di depannya, Erian dan Orion telah berdiri di undakan teras, menunggu sopir keluarga memarkirkan mobil.Segera saja mobil mewah berwarna hitam me
Tercengang. Erian butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Dokter Hardi. Ekspresinya kosong, matanya melebar, dan mulutnya terbuka. Tapi, Dokter Hardi justru terbahak-bahak menonton raut wajah temannya.“Apa kubilang? Info ini akan sangat mengejutkan, bukan? Aku paham apa yang kau rasakan, Erian. Reaksiku juga kurang lebih sama saat tahun lalu aku diberitahu oleh putri dan menantuku bahwa aku bakal punya cucu, sempat bingung dan tidak bisa berkata-kata. Ha ha ha, lucu sekali,” ujar Dokter Hardi geli sendiri.“Cucu? Cucu? Cucu?” Erian mengulang linglung. “Aku akan memiliki cucu? Penerus keluarga Indrayana? Benarkah itu, Hardi?”“Benar sekali, temanku. Wah, kita berdua sudah menjadi kakek-kakek. Kita telah memasuki satu lagi fase penting dalam hidup. Sekali lagi kuucapkan selamat, Erian. Dan tentu saja untuk kamu juga, Orion,” kata Dokter Hardi kelewat riang, seolah dirinyalah yang akan menimang cucu.Tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi, Erian melompat maju menubruk tubuh temannya dan
“Apa?” Citra tersentak bangun hingga nyaris membuat infus di lengannya terlepas. “Apa maksudmu dengan anak dalam rahimku? Jangan bilang kalau aku- aku hamil? Hah, jangan bercanda, Rion!”Walaupun suaminya memilih untuk melakukan aksi diam, tapi dari wajahnya Citra tahu jika Orion sungguh-sungguh dengan omongannya. Namun, bagaimana bisa ia hamil? Itu tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh!Setelah membiarkan Citra mencerna informasi yang dibawanya selama beberapa saat, Orion akhirnya membuka mulutnya. “Dokter Hardi yang bilang kalau kamu hamil. Tapi, cukup dengan itu. Sekarang, bilang padaku siapa ayah anak dalam perutmu? Kamu kan tahu sudah berbulan-bulan kita tidak melakukan hubungan suami istri!”Citra semakin terperanjat. Ia menutup muka dengan kedua tangannya kemudian menjambak rambutnya sendiri sambil memekik nyaring. “Aaahhh! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!”Orion terkejut melihat reaksi Citra yang di luar dugaan. Ia tadinya berpikir kalau Citra akan menyamb
Nadi memindai berkeliling. Ruang rawat itu terlalu mewah untuk difungsikan sebagai tempat orang sakit menjalani pemulihan. Lebih tepat jika disebut sebagai vila mini. Lihat saja sofa mewah, brankar kualitas terbaik, televisi layar lebar yang menutupi satu sisi sinding, lemari pendingin empat pintu, pendingin ruangan kelas atas, karpet tebal lembut, belum lagi lantai bergranit menyilaukan dan langit-langit dengan kandelir memukau. Fasilitas untuk orang kaya memang mencengangkan.“Silakan duduk, Pak Nadi. Jangan sungkan-sungkan. Maaf sekali kami tidak bisa menerima Anda di tempat yang lebih layak,” ujar Erian ramah, menunjuk satu set sofa mahal yang tidak akan didapati oleh Nadi di rumah dan kantornya.Polisi itu nyaris menganga mendengar sambutan Erian yang dirasanya tidak masuk akal. Tempat semewah ini dianggap kurang layak? Wah, selera orang kaya memang levelnya sulit dijangkau.Nadi pun duduk di salah satu sofa dan sebisa mungkin menyamankan dirinya. “Saya minta maaf sebelumnya kare