Share

2

Di bawah tatapan ngeri Bik Yuli dan pandangan resah Orion, para polisi Ryha berhasil membuka pintu kamar Henny dan Erian yang terkunci dalam satu tendangan tanpa menyentuh genangan darah di lantai.

Begitu pintu terkuak dan memperlihatkan keadaan kamar yang gelap, Orion segera menciptakan jalan untuk dirinya agar bisa memasuki kamar orang tuanya dengan cara menyingkirkan bahu-bahu para polisi yang berkerumun di depan pintu. Satu kakinya baru saja akan menginjak darah ketika pundaknya ditahan oleh salah satu polisi.

“Maaf, Pak. Tapi, Anda tidak diizinkan memasuki kamar ini sekarang,” ujar polisi bertampang tenang yang mencegah Orion.

Kepanikan Orion yang timbul begitu melihat kondisi di bawah pintu kamar orang tuanya berubah menjadi kegeraman. Ibunya bisa saja sedang terluka dan membutuhkan pertolongan di dalam kamar yang gelap dan polisi malah menghalanginya untuk masuk?

Orion telah memutuskan untuk mengabaikan peringatan polisi itu dan melepaskan dirinya dari tangan si polisi saat Erian ikut bersuara. “Pak Nadi benar, Rion. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Lebih baik kita biarkan polisi yang menanganinya.”

Walaupun jengkel, Orion mundur dan membiarkan Nadi serta polisi lainnya memasuki kamar. Tapi, ia masih berada di sekitar pintu sambil melongok-longok ingin tahu.

Nadi kemudian memberi isyarat pada salah satu rekannya untuk berjalan duluan. Si polisi melangkahi genangan darah dan berhati-hati agar tidak menginjaknya, tangannya meraba-raba dinding di sekitar pintu untuk mencari saklar lampu.

Ceklek!

“Arrrggghhh!”

Bik Yuli memekik sekali lagi dan lekas-lekas kabur dari situ dengan tangan yang menutupi mulut. Pemandangan yang tersaji di dalam kamar saat lampu telah dinyalakan sungguh memualkan. Bahkan, Orion yang meyakini bahwa dirinya bukan orang yang gampang terpengaruh dengan sesuatu yang dilihatnya mendadak merasakan entakan rasa mual yang menjalar dari dasar perutnya.

Seperti yang telah diperkirakan, di balik pintu lebih banyak lagi darah yang menggenang di lantai. Namun, selain itu, ada juga bekas seretan berdarah yang tampaknya bermula dari tempat itu melewati satu set sofa dan meja berwarna biru di tengah ruangan, meja rias yang berantakan, dan berakhir di tempat tidur.

Di atas kasur yang ditutupi oleh seprai putih yang tampak rapi, teronggok satu koper besar berwarna merah yang kelihatan kontras sekali dengan tempatnya tergeletak.

“Ibu!” Orion meraung begitu matanya menangkap penampakan koper merah yang ganjil itu. Bekas seretan di lantai yang berujung tepat di sisi tempat tidur mau tidak mau membuat Orion hanya bisa memikirkan satu kesimpulan saja. Ia seketika jatuh berlutut, tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk merangkai kata saking shocknya.

Di tepi ranjang, Nadi yang sudah mengenakan sarung tangan pelan-pelan meletakkan jarinya di resleting koper dan menariknya. Semakin terbuka koper itu, semakin takut Orion dengan apa yang bakal disaksikannya.

Ketika akhirnya penutup koper disentakkan oleh Nadi, Orion tidak sanggup lagi dan luruh ke lantai. Berbaring menyamping, Orion merasakan semua oksigen telah direnggut paksa dari sekitarnya sehingga ia kesulitan bernapas. Tangannya mencengkeram erat dadanya dan mulutnya terbuka mencari udara.

Orion tahu hal yang baru saja dilihatnya tidak akan pernah bisa dilupakannya seumur hidupnya. Di dalam koper, tubuh ibunya yang bergelimang darah meringkuk. Lutut dan dagunya beradu, tangannya menekuk di samping wajah, menyembunyikan mata yang masih terbuka, ekspresi tercengang masih tampak jelas di sana.

Mendadak, Orion merasa dirinya ditarik berdiri oleh seseorang. Ia mendongak dan mendapati muka kalem ayahnya tengah menatapnya. Bagaimana bisa ayahnya masih mampu berusaha menenangkannya saat tahu orang yang paling penting dalam hidupnya telah mengalami nasib sedemikian tragis? Sekarang, siapa lagi yang bisa mengingatkan ayahnya agar tidak bekerja terlalu keras setelah ibunya tiada?

Orion tersedu-sedu di pelukan ayahnya, tidak memedulikan para polisi yang mondar-mandir memeriksa kamar, ataupun petugas forensik yang barusan tiba membawa kantong mayat. Barulah ketika jenazah ibunya yang digotong oleh orang-orang yang memakai alat pelindung diri lewat di sampingnya, Orion sadar dan cepat-cepat menghampiri.

Dengan tangan gemetar hebat, Orion menarik resleting kantong mayat yang sudah diletakkan di lantai sehingga memunculkan wajah ibunya yang dibungkus oleh darah. Kelopak matanya yang kini menutup adalah satu-satunya bagian yang bersih.

Air matanya menetes lagi, Orion memajukan tubuhnya dan mengecup kelopak mata ibunya. Ia kemudian melingkarkan lengannya, mendekap kantong mayat yang menyelubungi Henny, bahunya berguncang-guncang memilukan.

“Ibu, siapa yang telah melakukan hal sekejam ini padamu?” Orion meratap sedih. Kepalanya disurukkan pada bahu dingin ibunya, mencoba merasakan sisa-sisa kehangatan yang sangat dikenalnya.

Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh pundak Orion. Walaupun tidak menaikkan kepala untuk melihatnya, ia tahu kalau tangan itu milik ayahnya. Namun, bukannya reda, tangis Orion malah semakin menjadi-jadi. Air matanya kian deras dan bahunya bergetar semakin hebat.

“Sudahlah, Nak. Biarkan ibumu pergi. Beliau tentu tidak ingin melihatmu begini. Kamu harus merelakannya, Rion. Tugas kita di sini adalah mencari pelakunya bersama polisi,” ujar Erian menghibur.

Patuh, Orion melepaskan lengannya dari kantong mayat dan hanya bisa menatap penuh duka ketika dua petugas forensik membawa jenazah ibunya menjauh, melewati kamar Orion dan menuruni tangga.

Citra!

Orion mendadak tersadar. Ia begitu shock dengan kematian ibunya sampai melupakan hal lain yang tak kalah pentingnya. Melihat keadaan Henny yang sangat tragis barusan, tunas-tunas kegusaran seketika mencuat dalam dirinya. Bagaimana jika Citra juga mengalami hal yang sama dengan ibunya? Atau bahkan lebih mengenaskan?

Lekas-lekas menyentakkan tangan ayahnya dan bangkit dari duduknya, Orion tergopoh-gopoh menuju kamarnya. Ia mau tidak mau merasa lega saat mendapati lantai di depannya bersih. Dengan kekuatan yang dilipatgandakan dibanding yang tadi, Orion menggedor pintu dengan niat merobohkan.

“Citra! Citra! Buka pintunya, Citra!”

“Citra belum keluar dari kamar juga, Rion? Lebih baik kamu dobrak pintunya saja, Ayah cemas Citra juga kenapa-napa,” kata Erian yang telah bergabung dengan Orion di depan kamar.

Kehebohan yang diciptakan oleh Orion tentu saja menarik atensi para polisi yang tengah memeriksa kamar Henny dengan saksama. Mengingat kasus yang sedang mereka hadapi, Nadi akhirnya memutuskan untuk mendekati ayah dan anak itu sambil berharap tidak akan menemukan koper merah lagi di kamar kedua.

“Biar kami yang masuk duluan, Pak,” tegas Nadi yang langsung meminta dua orang rekannya mendekat. Salah satunya memberi isyarat agar menjauhi pintu dan mengambil ancang-ancang untuk menendang.

Brrraaakkk!

“Citra!” Orion refleks berteriak dan sudah memajukan kakinya untuk melangkahi ambang pintu saat sekali lagi Nadi menghalanginya.

“Tunggu di sini, Pak,” perintah Nadi. Ia lalu mengangguk pada dua rekannya dan melangkah mendahului memasuki kamar yang gelap. Hanya butuh beberapa detik untuk polisi itu menekan saklar lampu dan membuat ruangan dijilati cahaya.

Tanpa sadar, Orion melempar napas yang sedari tadi ditahannya. Ia tidak yakin apakah bisa mempertahankan kewarasannya kalau pemandangan di kamar ibunya ditemukannya juga di kamarnya sendiri.

Tapi, meskipun tidak ada darah sama sekali di lantai dan tempat tidur berseprai pink aman dari koper merah besar, Orion tetap saja risau sebab alasan Citra tidak membuka pintu walaupun telah digedor berulang kali adalah karena istrinya pingsan di samping sofa hitam yang diletakkan di tengah ruangan, sama persis dengan susunan perabotan di kamar Henny.

Nadi berjongkok di samping tubuh Citra yang telentang di lantai dan memeriksa denyut di leher. Ia kemudian mengangguk pada dua polisi lainnya dan baru akan berdiri untuk mengizinkan Orion mendekati Citra ketika Nadi menyadari ada sesuatu di tangan wanita itu.

Darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status