Share

5

“Bagaimana perasaan Anda, Bu Citra? Sudah lebih baik?”

Citra mengangguk walaupun tengah bertatap muka dengan lantai, lebih memilih tidak melihat wajah Nadi yang baru saja menanyainya. Di samping kirinya, duduk Orion yang berusaha keras tidak kelihatan resah. Di sisi kanannya, Erian memarkirkan pantatnya di kursi dan tampak benar-benar tenang.

“Bisa ceritakan kejadian sebelum Anda ditemukan pingsan di kamar?”

Pelan-pelan mengangkat kepalanya, Citra menoleh dulu ke ayah mertuanya yang memberinya senyuman menghibur.

Namun, ia sama sekali tidak berpaling ke Orion, padahal suaminya itu sudah menengok ke arah Citra sambil mencoba menarik kedua sudut bibirnya.

“Sekitar jam 4 sore tadi, saya berniat pergi ke supermarket untuk membeli peralatan mandi kami yang sudah habis. Saya memang terbiasa membeli semua kebutuhan sendiri, hanya bahan makanan saja yang diurus oleh Bik Yuli. Di ruang tamu, saya ketemu dengan ibu. Mungkin Anda sudah dengar, tapi hubungan saya dan ibu mertua memang tidak terlalu harmonis,” beber Citra.

Nadi manggut-manggut sopan. Ia memang telah mendengar soal itu dari wawancara singkatnya dengan Orion sebelum Citra sadar. “Lalu, apa Anda sempat berbicara dengan ibu mertua Anda saat itu?”

“Beliau menanyakan saya mau ke mana dengan suara sengit. Ketika memberitahunya tempat tujuan saya, beliau mendecih dan bilang kalau beliau tahu saya hanya mau ketemu dengan pria lain di luar dan mengkhianati anaknya. Tentu saja saya tidak terima dituduh seperti itu. Tapi, karena sadar kalau beliau adalah ibu mertua yang harus dihormati, maka saya cuma diam dan melewatinya ke pintu depan.”

Citra menyempatkan diri melirik ke Orion dan nyaris sumringah melihat tangan suaminya yang terkepal di atas pahanya yang tersembunyi di bawah meja tiba-tiba bergetar. Pasti ia tidak menyangka Citra akan menyebut-nyebut soal perselingkuhan.

“Tampaknya ibu mertua menganggap sikap saya tidak sopan karena meninggalkannya begitu saja tanpa pamit. Namun, Anda harus mengerti, Pak Polisi, saya melakukan itu hanya karena tidak ingin ada pertengkaran lagi. Bisa dibilang tiap hari kami berdebat tentang apapun, bahkan mengenai hal-hal yang tidak penting sekalipun. Mungkin itulah sebabnya beliau langsung menarik rambut saya dari belakang sehingga saya terempas ke lantai.”

Sekali lagi Nadi mengangguk-angguk. Dalam hati ia bersyukur karena ibunya tidak berperilaku seperti itu terhadap menantunya sendiri. “Apa yang Anda lakukan setelahnya? Melawan?”

Mata Citra mendadak dipenuhi kilauan air mata. “Saya terpaksa melakukannya, Pak Polisi. Karena kalau tidak, beliau akan mulai menampar dan menendangi saya. Anda tidak tahu bagaimana rasanya dijambak dan ditampar oleh orang yang sudah Anda anggap sebagai orang tua sendiri.”

Entah karena pura-pura atau benar-benar bersimpati, Orion meraih pundak Citra dan mengelus-elusnya. Citra membiarkannya saja. Setidaknya di depan polisi ia harus terlihat baik-baik saja dengan suaminya.

“Kami akhirnya bertengkar. Saling berteriak, menjambak rambut, sampai suatu saat saya berhasil mendorong tubuh ibu mertua yang nyaris saja menampar saya untuk kesekian kalinya. Ia terjatuh ke lantai dan Bik Yuli datang menolongnya. Saya shock sebab belum pernah mendorong jatuh beliau kemudian berlari masuk ke kamar dan pingsan di sana sebelum kalian menemukanku,” ujar Citra menutup ceritanya.

Suasana senyap sejenak. Tangan Orion masih bertengger di bahu Citra yang kembali menekuri lantai. Erian tetap tampak kalem, tak ada emosi yang berlari di wajahnya ketika Citra berkisah. Nadi juga diam, ia tengah berusaha memvisualisasikan keterangan Citra di dalam otaknya.

“Jadi, yang terakhir kali bersama ibu mertua Anda adalah Bik Yuli?”

Citra mengiyakan dengan anggukan. “Waktu itu saya lihat Bik Yuli memapah beliau ke kamar sebelum menutup pintu kamar saya sendiri. Saya risau sekali. Saya memikirkan reaksi Orion dan Ayah kalau tahu saya sudah berlaku kasar pada ibu mertua. Selama ini, walaupun saya selalu dijambak atau ditampar oleh beliau ketika marah, saya hanya membalas sekali lalu pergi. Itu pertama kalinya saya berbuat lebih. Mungkin itu sebabnya saya pingsan.”

Nadi kemudian menoleh pada salah satu rekannya yang berdiri di sampingnya selama wawancara. “Bawa Bik Yuli ke ruangan lain, kita akan menanyainya terpisah. Saya akan selesaikan ini dan menemui kalian.”

Si polisi mengangguk cepat dan meninggalkan ruang makan tempat wawancara dilangsungkan. Nadi berpaling kembali pada tiga orang di depannya, matanya terfokus pada Orion yang mendadak kelihatan gugup.

“Pak Orion, kapan terakhir kali Anda bertemu dengan ibu Anda?”

Orion menghapus peluh yang bertimbulan di jidatnya sebelum menjawab. “Tadi siang. Saya pulang untuk mengambil dokumen yang ketinggalan sekaligus makan siang. Saya lalu kembali ke kantor dan baru tiba di rumah jam 5.30 sore tadi. Ketika pulang, Bik Yuli melapor pada saya kalau Citra tidak keluar-keluar dari kamarnya jadi saya langsung ke kamar sampai Anda datang dengan ayah saya.”

“Apa yang Anda bicarakan dengan ibu Anda saat ketemu siang tadi? Anda makan bersama dengan beliau?”

Sekarang Orion tampak agak salah tingkah, ia berkali-kali melirik Citra dan Erian di sampingnya. “Eng, tidak. Kami tidak makan bersama ataupun saling bicara.”

Spontan dahi Nadi agak mengerut. Ia merasa ada yang aneh di sini. “Tidak pernah ngobrol? Kalau begitu, ibu Anda tidak melihat kedatangan Anda tadi siang? Hanya Anda yang melihatnya?”

Orion melepas tangannya dari pundak Citra dan melambai-lambaikannya. “Bukan begitu. Ibu juga melihat saya datang. Beliau baru keluar dari ruang keluarga mau ke ruang tamu saat saya memasuki pintu depan.”

“Dan kalian tidak saling sapa? Bukannya itu tidak biasa? Bagaimana pun, hubungan kalian adalah ibu dan anak. Atau, bukan hanya Bu Citra saja yang memiliki masalah dengan Bu Henny, tapi Anda juga?”

Semakin gugup, Orion merasakan tatapan Citra dan Erian kini terpancang padanya. Sial! Sekarang ia menyesal karena tidak memilih berbohong saja sejak awal. Harusnya tadi Orion bilang kalau mereka hanya saling sapa biasa. Toh, tidak ada saksi mata.

“Bu- bukan be- begitu, mungkin- mungkin ibu hanya tidak menyadari kalau saya- saya datang makanya tidak- tidak menyapa,” jawab Orion tiba-tiba tersendat-sendat.

“Kalau begitu, kenapa bukan Anda yang mengajak ngobrol ibu Anda duluan? Anda kan bilang melihatnya,” kejar Nadi lagi. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Orion.

“Emm, itu karena- karena saya juga buru-buru jadi saya lewat saja dan langsung ke kamar,” ujar Orion. Keringat semakin deras mengaliri tubuhnya, walaupun ruangan cukup sejuk oleh pendingin udara. Hal itu tidak lepas dari pengamatan Nadi.

“Pak Orion, kami minta kerja sama Anda. Jawab pertanyaan kami dengan jujur dan tidak ada yang ditutupi. Kami tahu Anda saat ini bohong pada kami. Kalau Anda tidak bisa katakan yang sebenarnya di sini, mungkin ruang interogasi bisa mendorong Anda berbicara jujur,” ancam Nadi dengan mata yang berkobar-kobar.

Mata Orion membelalak ketakutan. Dari semua informasi yang pernah diterimanya, tidak ada hal menyenangkan yang bisa terjadi di kantor polisi. Orang yang tidak bersalah pun akan rela mengaku karena katanya tidak tahan menerima perlakuan bengis di sana.

“Jangan, Pak. Jangan bawa saya ke ruang interogasi. Saya benar-benar jujur. Tidak ada masalah apapun antara saya dan ibu,” rengek Orion.

Tapi, Nadi bergeming. Setelah diam sejenak, ia akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan kecurigaannya sejak tadi yang dirasa berkaitan dengan kasus.

“Pak Orion, Anda berselingkuh dari istri Anda, kan? Saya mencium bau parfum wanita yang berbeda dari yang istri Anda gunakan dari pakaian Anda. Mungkinkah ini alasannya hubungan Anda tidak baik dengan ibu Anda?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status