“Bagaimana perasaan Anda, Bu Citra? Sudah lebih baik?”
Citra mengangguk walaupun tengah bertatap muka dengan lantai, lebih memilih tidak melihat wajah Nadi yang baru saja menanyainya. Di samping kirinya, duduk Orion yang berusaha keras tidak kelihatan resah. Di sisi kanannya, Erian memarkirkan pantatnya di kursi dan tampak benar-benar tenang.“Bisa ceritakan kejadian sebelum Anda ditemukan pingsan di kamar?”Pelan-pelan mengangkat kepalanya, Citra menoleh dulu ke ayah mertuanya yang memberinya senyuman menghibur.Namun, ia sama sekali tidak berpaling ke Orion, padahal suaminya itu sudah menengok ke arah Citra sambil mencoba menarik kedua sudut bibirnya.“Sekitar jam 4 sore tadi, saya berniat pergi ke supermarket untuk membeli peralatan mandi kami yang sudah habis. Saya memang terbiasa membeli semua kebutuhan sendiri, hanya bahan makanan saja yang diurus oleh Bik Yuli. Di ruang tamu, saya ketemu dengan ibu. Mungkin Anda sudah dengar, tapi hubungan saya dan ibu mertua memang tidak terlalu harmonis,” beber Citra.Nadi manggut-manggut sopan. Ia memang telah mendengar soal itu dari wawancara singkatnya dengan Orion sebelum Citra sadar. “Lalu, apa Anda sempat berbicara dengan ibu mertua Anda saat itu?”“Beliau menanyakan saya mau ke mana dengan suara sengit. Ketika memberitahunya tempat tujuan saya, beliau mendecih dan bilang kalau beliau tahu saya hanya mau ketemu dengan pria lain di luar dan mengkhianati anaknya. Tentu saja saya tidak terima dituduh seperti itu. Tapi, karena sadar kalau beliau adalah ibu mertua yang harus dihormati, maka saya cuma diam dan melewatinya ke pintu depan.”Citra menyempatkan diri melirik ke Orion dan nyaris sumringah melihat tangan suaminya yang terkepal di atas pahanya yang tersembunyi di bawah meja tiba-tiba bergetar. Pasti ia tidak menyangka Citra akan menyebut-nyebut soal perselingkuhan.“Tampaknya ibu mertua menganggap sikap saya tidak sopan karena meninggalkannya begitu saja tanpa pamit. Namun, Anda harus mengerti, Pak Polisi, saya melakukan itu hanya karena tidak ingin ada pertengkaran lagi. Bisa dibilang tiap hari kami berdebat tentang apapun, bahkan mengenai hal-hal yang tidak penting sekalipun. Mungkin itulah sebabnya beliau langsung menarik rambut saya dari belakang sehingga saya terempas ke lantai.”Sekali lagi Nadi mengangguk-angguk. Dalam hati ia bersyukur karena ibunya tidak berperilaku seperti itu terhadap menantunya sendiri. “Apa yang Anda lakukan setelahnya? Melawan?”Mata Citra mendadak dipenuhi kilauan air mata. “Saya terpaksa melakukannya, Pak Polisi. Karena kalau tidak, beliau akan mulai menampar dan menendangi saya. Anda tidak tahu bagaimana rasanya dijambak dan ditampar oleh orang yang sudah Anda anggap sebagai orang tua sendiri.”Entah karena pura-pura atau benar-benar bersimpati, Orion meraih pundak Citra dan mengelus-elusnya. Citra membiarkannya saja. Setidaknya di depan polisi ia harus terlihat baik-baik saja dengan suaminya.“Kami akhirnya bertengkar. Saling berteriak, menjambak rambut, sampai suatu saat saya berhasil mendorong tubuh ibu mertua yang nyaris saja menampar saya untuk kesekian kalinya. Ia terjatuh ke lantai dan Bik Yuli datang menolongnya. Saya shock sebab belum pernah mendorong jatuh beliau kemudian berlari masuk ke kamar dan pingsan di sana sebelum kalian menemukanku,” ujar Citra menutup ceritanya.Suasana senyap sejenak. Tangan Orion masih bertengger di bahu Citra yang kembali menekuri lantai. Erian tetap tampak kalem, tak ada emosi yang berlari di wajahnya ketika Citra berkisah. Nadi juga diam, ia tengah berusaha memvisualisasikan keterangan Citra di dalam otaknya.“Jadi, yang terakhir kali bersama ibu mertua Anda adalah Bik Yuli?”Citra mengiyakan dengan anggukan. “Waktu itu saya lihat Bik Yuli memapah beliau ke kamar sebelum menutup pintu kamar saya sendiri. Saya risau sekali. Saya memikirkan reaksi Orion dan Ayah kalau tahu saya sudah berlaku kasar pada ibu mertua. Selama ini, walaupun saya selalu dijambak atau ditampar oleh beliau ketika marah, saya hanya membalas sekali lalu pergi. Itu pertama kalinya saya berbuat lebih. Mungkin itu sebabnya saya pingsan.”Nadi kemudian menoleh pada salah satu rekannya yang berdiri di sampingnya selama wawancara. “Bawa Bik Yuli ke ruangan lain, kita akan menanyainya terpisah. Saya akan selesaikan ini dan menemui kalian.”Si polisi mengangguk cepat dan meninggalkan ruang makan tempat wawancara dilangsungkan. Nadi berpaling kembali pada tiga orang di depannya, matanya terfokus pada Orion yang mendadak kelihatan gugup.“Pak Orion, kapan terakhir kali Anda bertemu dengan ibu Anda?”Orion menghapus peluh yang bertimbulan di jidatnya sebelum menjawab. “Tadi siang. Saya pulang untuk mengambil dokumen yang ketinggalan sekaligus makan siang. Saya lalu kembali ke kantor dan baru tiba di rumah jam 5.30 sore tadi. Ketika pulang, Bik Yuli melapor pada saya kalau Citra tidak keluar-keluar dari kamarnya jadi saya langsung ke kamar sampai Anda datang dengan ayah saya.”“Apa yang Anda bicarakan dengan ibu Anda saat ketemu siang tadi? Anda makan bersama dengan beliau?”Sekarang Orion tampak agak salah tingkah, ia berkali-kali melirik Citra dan Erian di sampingnya. “Eng, tidak. Kami tidak makan bersama ataupun saling bicara.”Spontan dahi Nadi agak mengerut. Ia merasa ada yang aneh di sini. “Tidak pernah ngobrol? Kalau begitu, ibu Anda tidak melihat kedatangan Anda tadi siang? Hanya Anda yang melihatnya?”Orion melepas tangannya dari pundak Citra dan melambai-lambaikannya. “Bukan begitu. Ibu juga melihat saya datang. Beliau baru keluar dari ruang keluarga mau ke ruang tamu saat saya memasuki pintu depan.”“Dan kalian tidak saling sapa? Bukannya itu tidak biasa? Bagaimana pun, hubungan kalian adalah ibu dan anak. Atau, bukan hanya Bu Citra saja yang memiliki masalah dengan Bu Henny, tapi Anda juga?”Semakin gugup, Orion merasakan tatapan Citra dan Erian kini terpancang padanya. Sial! Sekarang ia menyesal karena tidak memilih berbohong saja sejak awal. Harusnya tadi Orion bilang kalau mereka hanya saling sapa biasa. Toh, tidak ada saksi mata.“Bu- bukan be- begitu, mungkin- mungkin ibu hanya tidak menyadari kalau saya- saya datang makanya tidak- tidak menyapa,” jawab Orion tiba-tiba tersendat-sendat.“Kalau begitu, kenapa bukan Anda yang mengajak ngobrol ibu Anda duluan? Anda kan bilang melihatnya,” kejar Nadi lagi. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Orion.“Emm, itu karena- karena saya juga buru-buru jadi saya lewat saja dan langsung ke kamar,” ujar Orion. Keringat semakin deras mengaliri tubuhnya, walaupun ruangan cukup sejuk oleh pendingin udara. Hal itu tidak lepas dari pengamatan Nadi.“Pak Orion, kami minta kerja sama Anda. Jawab pertanyaan kami dengan jujur dan tidak ada yang ditutupi. Kami tahu Anda saat ini bohong pada kami. Kalau Anda tidak bisa katakan yang sebenarnya di sini, mungkin ruang interogasi bisa mendorong Anda berbicara jujur,” ancam Nadi dengan mata yang berkobar-kobar.Mata Orion membelalak ketakutan. Dari semua informasi yang pernah diterimanya, tidak ada hal menyenangkan yang bisa terjadi di kantor polisi. Orang yang tidak bersalah pun akan rela mengaku karena katanya tidak tahan menerima perlakuan bengis di sana.“Jangan, Pak. Jangan bawa saya ke ruang interogasi. Saya benar-benar jujur. Tidak ada masalah apapun antara saya dan ibu,” rengek Orion.Tapi, Nadi bergeming. Setelah diam sejenak, ia akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan kecurigaannya sejak tadi yang dirasa berkaitan dengan kasus.“Pak Orion, Anda berselingkuh dari istri Anda, kan? Saya mencium bau parfum wanita yang berbeda dari yang istri Anda gunakan dari pakaian Anda. Mungkinkah ini alasannya hubungan Anda tidak baik dengan ibu Anda?”Orion mendelik. Mulutnya ternganga. Spontan, ia berdiri dari kursinya sangat tergesa-gesa sampai membuat benda malang itu terjungkal. Pertanyaan sekaligus pernyataan Nadi membuat Orion sempat lupa bagaimana cara bernapas. Ia bahkan tidak menyadari jika Citra dan Erian juga tersentak mendengar ucapan si polisi.Setelah berhasil menormalkan kerja paru-parunya kembali, Orion berupaya menyetel ekspresinya agar kelihatan benar-benar tersinggung. Menaikkan sedikit dagunya guna menegaskan bahwa dirinya adalah konglomerat yang tidak selevel dengan Nadi, karena itu ia tidak akan terpengaruh dengan apapun yang didengarnya, Orion lalu menuding polisi itu dengan telunjuk yang bergetar.“Jaga ucapan Anda, Pak Nadi. Berani sekali Anda memfitnah warga kota yang baik hanya karena bau parfum yang belum tentu juga Anda endus. Saya sungguh-sungguh merasa terhina,” ujar Orion dengan suara yang juga agak gemetar.Tapi, Nadi bergeming. Ia sama sekali tak goyah dengan provokasi yang dilancarkan oleh Orion.
“Ayah rasa lebih baik kamu ikut juga, Citra. Anda pun boleh ikut kalau mau, Pak Nadi,” ujar Erian di pintu ruang makan. Kepalanya ditolehkan pada dua orang yang diajaknya bicara. Di sampingnya, Orion melirik tidak berdaya.Nadi mengiyakan dengan cepat. Ia memang merasa lebih bagus jika terlibat langsung. “Tapi, saya harus ketemu rekan polisi yang tadi saya minta membawa Bik Yuli, Pak Erian. Tunggu sebentar,” kata Nadi sambil buru-buru melewati Erian dan Orion menuju ruang keluarga tempat rekannya menunggu.“Bagaimana, Citra? Kamu ikut, kan? Ayo, kita tunggu Pak Nadi di mobil saja,” ajak Erian dan langsung berbalik tanpa menanti respons menantunya. Citra yang mengerti kalau ucapan barusan adalah perintah, bukan permintaan, menyusul kedua pria itu.Langkah kaki dari belakangnya membuat Citra berpaling. Ia menemukan Nadi telah mengekori mereka. Di depannya, Erian dan Orion telah berdiri di undakan teras, menunggu sopir keluarga memarkirkan mobil.Segera saja mobil mewah berwarna hitam me
Tercengang. Erian butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Dokter Hardi. Ekspresinya kosong, matanya melebar, dan mulutnya terbuka. Tapi, Dokter Hardi justru terbahak-bahak menonton raut wajah temannya.“Apa kubilang? Info ini akan sangat mengejutkan, bukan? Aku paham apa yang kau rasakan, Erian. Reaksiku juga kurang lebih sama saat tahun lalu aku diberitahu oleh putri dan menantuku bahwa aku bakal punya cucu, sempat bingung dan tidak bisa berkata-kata. Ha ha ha, lucu sekali,” ujar Dokter Hardi geli sendiri.“Cucu? Cucu? Cucu?” Erian mengulang linglung. “Aku akan memiliki cucu? Penerus keluarga Indrayana? Benarkah itu, Hardi?”“Benar sekali, temanku. Wah, kita berdua sudah menjadi kakek-kakek. Kita telah memasuki satu lagi fase penting dalam hidup. Sekali lagi kuucapkan selamat, Erian. Dan tentu saja untuk kamu juga, Orion,” kata Dokter Hardi kelewat riang, seolah dirinyalah yang akan menimang cucu.Tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi, Erian melompat maju menubruk tubuh temannya dan
“Apa?” Citra tersentak bangun hingga nyaris membuat infus di lengannya terlepas. “Apa maksudmu dengan anak dalam rahimku? Jangan bilang kalau aku- aku hamil? Hah, jangan bercanda, Rion!”Walaupun suaminya memilih untuk melakukan aksi diam, tapi dari wajahnya Citra tahu jika Orion sungguh-sungguh dengan omongannya. Namun, bagaimana bisa ia hamil? Itu tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh!Setelah membiarkan Citra mencerna informasi yang dibawanya selama beberapa saat, Orion akhirnya membuka mulutnya. “Dokter Hardi yang bilang kalau kamu hamil. Tapi, cukup dengan itu. Sekarang, bilang padaku siapa ayah anak dalam perutmu? Kamu kan tahu sudah berbulan-bulan kita tidak melakukan hubungan suami istri!”Citra semakin terperanjat. Ia menutup muka dengan kedua tangannya kemudian menjambak rambutnya sendiri sambil memekik nyaring. “Aaahhh! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!”Orion terkejut melihat reaksi Citra yang di luar dugaan. Ia tadinya berpikir kalau Citra akan menyamb
Nadi memindai berkeliling. Ruang rawat itu terlalu mewah untuk difungsikan sebagai tempat orang sakit menjalani pemulihan. Lebih tepat jika disebut sebagai vila mini. Lihat saja sofa mewah, brankar kualitas terbaik, televisi layar lebar yang menutupi satu sisi sinding, lemari pendingin empat pintu, pendingin ruangan kelas atas, karpet tebal lembut, belum lagi lantai bergranit menyilaukan dan langit-langit dengan kandelir memukau. Fasilitas untuk orang kaya memang mencengangkan.“Silakan duduk, Pak Nadi. Jangan sungkan-sungkan. Maaf sekali kami tidak bisa menerima Anda di tempat yang lebih layak,” ujar Erian ramah, menunjuk satu set sofa mahal yang tidak akan didapati oleh Nadi di rumah dan kantornya.Polisi itu nyaris menganga mendengar sambutan Erian yang dirasanya tidak masuk akal. Tempat semewah ini dianggap kurang layak? Wah, selera orang kaya memang levelnya sulit dijangkau.Nadi pun duduk di salah satu sofa dan sebisa mungkin menyamankan dirinya. “Saya minta maaf sebelumnya kare
“Nih, pesananmu. Dasar pemalas! Bisa-bisanya kamu menyuruh seorang wanita membelikanmu makanan? Tidak tahu malu! Seandainya bukan karena rahasia yang kita bagi sama-sama, aku pasti sudah akan kabur sejak lama,” gerutu seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang dicepol pada sesosok tubuh yang teronggok di sofa.Pria yang tengah sibuk dengan game onlinenya itu mendongak dan menyeringai sinis. Wajahnya lumayan tampan, dengan hidung mancung dan mata teduh. Tapi, kepribadiannya berbanding terbalik dengan wujudnya. Pria itu licik, oportunis, dan tidak malu menghalalkan segala cara demi tujuannya yang pasti tidak jauh-jauh dari uang.“Jangan mengeluh, Ar. Seharusnya kamu berterimakasih pada Tuhan karena dipertemukan denganku. Kalau tidak, kamu pasti sudah terlunta-lunta di luar sana, tidur di trotoar dan makan dari hasil mencari di tempat sampah,” ujar Gema, nama pria itu.Ariani mencibir. “Jangan bilang kamu lupa kalau aku yang mengajakmu kerja di rumah orang kaya itu? Kalau tidak, man
Ulfa mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya yang dicat warna pink ke meja kayu hitam di hadapannya. Matanya tidak lepas dari pintu lift yang terletak beberapa meter ke kanan di seberangnya, berharap benda itu akan menguak dan memperlihatkan wujud seseorang yang sudah lama ditunggunya.Ting!Suara dentingan lift menyadarkan Ulfa. Ia segera menegakkan badan dan berupaya mempertontonkan sikap profesional dengan senyum yang telah terlatih di bibirnya. Pintu pun terbuka dan seorang pria setengah baya sekaligus setengah botak memakai setelan bagus berwarna abu-abu menampakkan dirinya. Mau tidak mau Ulfa merasa kecewa luar biasa, tapi tetap mempertahankan wajahnya agar enak dilihat.“Selamat siang Pak Wira, ada yang bisa saya bantu?” Ulfa menyapa ramah begitu si pria sudah sampai di depan mejanya dan menoleh-noleh ke arah pintu hitam yang terletak persis dibelakangnya.“Saya ingin bertemu dengan Pak Orion. Ada yang mau saya bicarakan soal pengembangan hotel di kota sebelah. Beliau ada?” Wira ber
“Apa? Kamu bilang pada polisi kalau Gema adalah selingkuhanku? Apa maksudnya kamu mengatakan kebohongan itu? Kamu mau namaku jelek di mata para polisi itu?” Citra bertanya sengit pada Erian yang duduk di sampingnya dalam mobil yang melaju. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit sore itu.“Kebohongan? Aku tidak tahu kalau itu adalah kebohongan, setahuku kan kamu memang berselingkuh. Henny yang bilang padaku soal kamu selingkuh dengan Gema, benar atau tidaknya kan polisi tidak bisa memastikan karena Henny sudah meninggal dan Gema tidak tahu di mana sekarang,” jawab Erian santai.Darah Citra menggelegak. Berani sekali Erian membeberkan hal seburuk itu yang tidak ada hubungannya dengan penyidikan. Bagaimana kalau ia juga sekalian membongkar perselingkuhan Orion dan Ulfa? Supaya borok keluarga Indrayana terungkap sekaligus. Itu tentu akan sangat menyenangkan. Setidaknya namanya tidak akan cemar sendirian.“Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang bodoh, Citra,”