Share

6

Orion mendelik. Mulutnya ternganga. Spontan, ia berdiri dari kursinya sangat tergesa-gesa sampai membuat benda malang itu terjungkal. Pertanyaan sekaligus pernyataan Nadi membuat Orion sempat lupa bagaimana cara bernapas. Ia bahkan tidak menyadari jika Citra dan Erian juga tersentak mendengar ucapan si polisi.

Setelah berhasil menormalkan kerja paru-parunya kembali, Orion berupaya menyetel ekspresinya agar kelihatan benar-benar tersinggung. Menaikkan sedikit dagunya guna menegaskan bahwa dirinya adalah konglomerat yang tidak selevel dengan Nadi, karena itu ia tidak akan terpengaruh dengan apapun yang didengarnya, Orion lalu menuding polisi itu dengan telunjuk yang bergetar.

“Jaga ucapan Anda, Pak Nadi. Berani sekali Anda memfitnah warga kota yang baik hanya karena bau parfum yang belum tentu juga Anda endus. Saya sungguh-sungguh merasa terhina,” ujar Orion dengan suara yang juga agak gemetar.

Tapi, Nadi bergeming. Ia sama sekali tak goyah dengan provokasi yang dilancarkan oleh Orion. Pengalamannya berurusan dengan orang kaya membuatnya sedikit banyak tahu bagaimana respons mereka kalau dihadapkan dengan sesuatu yang berpotensi membuat nama mereka buruk di masyarakat. Kebanyakan memang akan bereaksi seperti pria di hadapannya itu.

Usai sunyi beberapa saat, Nadi akhirnya berujar. “Jujur saja, saya tidak mengerti apa yang membuat Anda begitu terhina, Pak Orion. Saya hanya bertanya, dan setahu saya tidak pernah ada larangan untuk hal itu. Anda bisa menjawabnya saja dengan ‘ya’ atau ‘tidak’, tidak perlu sampai menjatuhkan kursi dan menuding-nuding seperti itu.”

Tiba-tiba tersadar kalau dirinya bertingkah agresif oleh omongan Nadi, Orion menurunkan telunjuknya dan lekas-lekas menoleh gugup pada Citra dan Erian.

Seperti yang diduganya, dua orang itu tengah menatapnya tajam. Namun, bukan kemungkinan Citra yang bakal mengamuk yang dicemaskan oleh Orion, ia justru lebih khawatir dengan anggapan Erian yang nantinya akan memengaruhi keputusannya untuk mewariskan hotel.

“Ayah, Pak Nadi salah. Saya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Ayah tahu bagaimana saya, kan? Saya hanya mencintai Citra,” kata Orion sedikit panik. Tangannya melambai-lambai cepat di depan dada.

Jawaban ayahnya yang cuma berupa lengosan membuat Orion semakin gusar. Tidak! Ia tidak akan bisa kehilangan hotel yang telah lama diincarnya. Ia harus melakukan apapun agar kepercayaan Erian padanya tidak ternoda sedikit pun.

Dengan wajah yang lebih sangar daripada sebelumnya, hingga membuat ketampanannya pudar, Orion berpaling kembali pada Nadi. Hanya didorong oleh instingnya untuk mempertahankan nama baik, ia mengulurkan tangan kanannya dan mencengkeram kerah seragam navy yang dikenakan Nadi dan menariknya maju.

“Orion, apa yang kamu lakukan? Lepaskan Pak Nadi!” Citra refleks berdiri dari kursinya dan berusaha melepaskan tangan suaminya dari leher si polisi. Di sampingnya, Erian kelihatan tercengang.

“Tidak, Citra! Sebelum polisi ini berhenti menuduhku selingkuh darimu. Kamu harus percaya padaku, Citra. Aku tidak mungkin mengkhianatimu seperti yang polisi ini bilang,” sebut Orion sambil mengguncang-guncang kerah baju Nadi dalam genggamannya. Nadi justru tidak melawan, ia hanya membiarkan kepalanya ikut bergerak mengikuti guncangan.

“Buktikan!” Nadi berbicara tenang. Matanya memandang serius muka Orion yang sudah tidak lagi rupawan akibat kemarahan. “Buktikan kalau Anda benar-benar tidak selingkuh. Itu lebih berguna daripada menarik-narik kerah seragam saya. Kalau Anda bisa membuktikannya, saya akan menganggap semua keterangan Anda tadi jujur.”

“Pak Nadi benar, Rion. Jadi, lepaskan tanganmu sekarang juga dari situ!” Erian bertitah dari kursinya. Tegas, berwibawa, dan berkarisma, seperti yang disegani oleh semua penghuni rumah keluarga Indrayana.

Mendengar perintah ayahnya, Orion segera menarik tangannya kembali. Tapi, ia masih memberi Nadi tatapan dendam dan memilih berdiri. Citra pun langsung duduk lagi di kursinya.

Kesunyian yang menyusul segera dipecahkan oleh Nadi yang membuka mulutnya usai memperbaiki kerah seragamnya yang sempat miring. “Nah, kalau tenang begini kan lebih nyaman. Saya minta maaf sebelumnya kalau kurang sopan, tapi bisakah Bu Citra dan Pak Erian mengendus bagian depan kemeja Pak Orion? Agar Anda berdua tahu kalau saya tidak mengada-ada?”

Citra mengangguk dan berdiri untuk membaui kemeja suaminya. Orion tidak mungkin menolaknya, bisa-bisa ayahnya curiga. Orion kian tegang ketika Citra duduk di kursi dengan ekspresi yang tidak bisa diterjemahkan. Ia pun tidak berani mendekatkan hidungnya pada pakaiannya, takut menemukan parfum Ulfa di sana.

“Pak Erian, Anda tidak ingin mengetahuinya sendiri?” Nadi bertanya sekaligus mendesak ketika dilihatnya Erian tampak tidak tertarik mengikuti perbuatan menantunya.

Erian menggelengkan kepalanya yang masih berambut hitam lebat pelan-pelan, pandangannya tidak lepas dari anak lelakinya. “Tidak perlu, Pak Nadi. Saya percaya pada penilaian Anda dan Citra.”

Nadi manggut-manggut. Wajahnya sekarang dihadapkan pada Citra, rautnya menuntut. “Bagaimana, Bu Citra? Apa ada bau parfum asing yang Anda cium? Atau, mungkinkah itu salah satu parfum Anda?”

Kalut tingkat gawat, Orion tegang menunggu jawaban istrinya. Peluh semakin membanjiri badannya, tangannya membuka menutup tidak jelas, kelopak matanya lupa berkedip, dan napasnya berkejaran. Apa yang harus dikatakannya pada ayahnya jika Citra membenarkan temuan si polisi?

“Iya, Pak Nadi. Saya memang mencium bau parfum yang berbeda dengan yang saya pakai. Dan itu bukan salah satu parfum saya. Saya punya tiga macam parfum, dan itu bukan salah satunya,” tutur Citra seraya mengendikkan kepalanya ke arah suaminya. Tampangnya masih tidak bisa diterka.

Mulut Orion membuka lebar di bawah tatapan tiga orang lainnya. Kepalanya menoleh-noleh tidak tentu arah, tidak yakin siapa yang ingin benar-benar dipandangnya. Akhirnya, ia memilih untuk menghampiri ayahnya yang duduk kaku di kursi.

“Ayah, saya sungguh-sungguh. Percaya sama saya. Saya tidak akan berselingkuh dan mengkhianati Citra. Mana mungkin saya menyia-nyiakan Citra setelah harus bersusah payah agar bisa menikahinya. Ayah tahu itu, kan?” Orion nyaris merengek, mengemis-ngemis supaya Erian tidak meragukannya.

“Kalau begitu, parfum siapa yang dicium Citra di pakaian kamu? Kamu tidak mungkin memakai parfum wanita, kan?” Erian bertanya sinis. Ia merasa malu luar biasa dengan kelakuan putranya, terlebih lagi yang mengungkapnya adalah polisi.

Tidak tahu harus mengutarakan alasan apa, Orion malah gelagapan dan salah tingkah. Erian tidak tahan lagi, ia sudah berdiri dan berniat menampar pipi Orion saat anaknya itu mendadak memekik nyaring.

“Parfum itu untuk Citra, Yah. Saya membelikannya parfum dan- dan pasti saya tidak sengaja menyemprotkan parfum itu waktu- waktu saya sedang melihat-lihat. Makanya baunya tertinggal di baju saya,” jawab Orion cepat-cepat. Cuma itu dalih yang bisa ia pikirkan sekarang.

“Membelikan istri Anda parfum di hari saat ibu Anda ditemukan terbunuh? Bukankah pemilihan waktu Anda agak kurang tepat, Pak Orion?” Nadi bertanya. Suaranya kedengaran sangsi.

Orion menggeleng-geleng, menyanggah setiap huruf yang keluar dari mulut Nadi. “Tidak! Percaya sama saya, Ayah. Ini hanya bau parfum yang saya belikan untuk Citra, bukan milik wanita lain!”

“Kalau begitu, tunjukkan pada Ayah parfum yang katamu kamu beli untuk Citra itu. Ayah mau lihat! Kalau kamu belum beli, antar Ayah ke toko tempat kamu melihat-lihat parfum itu, biar Ayah yang pastikan sendiri pada penjaga toko. Kalau perlu, Ayah juga akan meminta rekaman CCTV toko itu. Ayo!”

Tanpa memedulikan Citra dan Nadi yang masing-masing memasang wajah bingung, Erian menggamit lengan anaknya meninggalkan ruang makan. Walaupun tahu bahwa kebohongannya akan terbongkar sebentar lagi, Orion tidak kuasa mencegah tubuhnya sendiri yang ikut saja saat ayahnya menyeretnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status