Share

Korban Perceraian
Korban Perceraian
Author: Rias Ardani

Mama Pergi

Korban Perceraian

Part1

"Mama mau kemana?" tanya Ganesa, gadis manis berkulit putih, serta berlesung pipi itu pun terheran, menatap koper yang Mama nya bawa.

Andin, yang merupakan Ibu dari dua anak kembar, yang kini berumur 16 tahun itu pun menghentikan langkahnya.

Andin menatap lekat wajah Ganesa, wanita yang masih mengenakan seragam sekolah itu pun masih diam terpaku di tempat dia berdiri semula.

"Mama, mau kemana?" Pertanyaan itu kembali Andin dapatkan, dari kembaran Ganesa, yang bernama Gaby.

Andin menatap anaknya bergantian.

"Mama akan pergi, kalian hiduplah bersama Papa, dia akan pulang seminggu lagi."

"Ma, ini ada apa? Maksud Mama apa?" Ganesa kembali bertanya. Dalam hati, dia mulai merasakan, sesuatu telah terjadi di rumah tangga kedua orang tuanya.

"Ganesa, kamu jaga adikmu, ya sayang." Andin berusaha memegang pipi anak sulungnya itu, namun Ganesa mundur dan menghindari sentuhan tangan Mamanya.

"Jelaskan pada kami, apa yang terjadi? Mengapa Mama berniat pergi?" tanya Ganesa, tanpa mau menoleh ke arah wajah Mamanya.

"Ma, Mama tidak mencintai kami lagi?" tanya Gaby dengan tangan bergetar memegang tangan Mamanya, sembari isak tangis mulai terdengar.

Berbeda dengan Ganesa, dia memang sedikit tomboy dan jarang menangis. Sedangkan Gaby, dia memang termasuk anak yang manja, dan selalu banyak maunya, dia juga termasuk anak yang suka berbuat sesuka hatinya.

Andin melepaskan tangan Gaby dari lengannya dengan perlahan.

"Mama sayang kalian selamanya, tapi keadaan memang sudah tidak berpihak kepada kita. Mama dan Papa, sudah sepakat untuk bercerai, maafkan kami, kelak, kalian akan mengerti."

Gaby dan Ganesa sangat terkejut, mendengar penuturan Ibu mereka, Gaby menangis.

Sedangkan Ganesa, dia terduduk di lantai, tanpa berkata sepatah kata pun.

"Ganesa, Mama mengandalkan kamu, sayang! Jaga dan sayangi adik kamu! Mama pamit."

Tanpa menunggu jawaban Ganesa, Andin melajukan langkahnya menuju pintu.

"Mama jangan pergi, Gaby tidak bisa tanpa Mama."

Gaby meraih tangan wanita yang mereka panggil Mama itu, namun Andin dengan kasar melepaskan pegangan tangan Gaby dari lengannya.

"Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Gaby. Kamu sudah dewasa! Sebentar lagi kamu lulus SMA, kalau kamu secengeng ini, bagaimana kamu mampu, menghadapi dunia nyata diluar sana?" teriak Andin dengan emosi, ada perasaan sakit dalam hatinya.

"Tapi Gaby sayang Mama, tidak bisa kah Mama bersama kami? Setidaknya, hingga Gaby dan Kakak siap! Siap menghadapi dunia nyata, kami masih butuh kasih sayang, dan bimbingan Mama."

"Apa? Itu artinya kamu mau Mama masih di sini? Itu tidak akan terjadi, berhentilah bersikap cengeng! Mama muak ya. Sudah cukup derita ini, Mama juga ingin bahagia," teriak Andin.

Andin kembali membentak Gaby, hingga bunyi klakson mobil menghentikan keributan mereka. Andin menoleh ke arah pagar rumah. 

Terlihat seseorang yang mengendarai mobil CRV Hitam menunggunya, sambil melambaikan tangan.

Ganesa berdiri, tepat di samping Gaby. 

"Mama akan pergi bersama siapa?" tanya Gaby, sambil menyeka air matanya.

"Kalian tidak perlu tahu, urus diri kalian dengan baik, jangan pernah berusaha mencari Mama."

Andin berkata dengan dingin, membuat Gaby kembali menangis dan berusaha menahan langkah Ibunya.

"Lepaskan Gaby, jangan sampai Mama berbuat kasar, teman Mama sudah menunggu," hardik Andin dengan segala emosi di dalam dadanya.

"Tidak, Gaby mohon! Mama jangan pergi," jawab Gaby dengan terisak. "Kalau Gaby nakal, Mama bisa pukul Gaby, Gaby janji tidak akan banyak maunya lagi. Tapi tolong! Jangan pergi," lanjutnya.

Andin mendorong kasar tubuh Gaby, hingga wanita itu hampir jatuh tersungkur. Ganesa menahan tubuh Gaby. Tatapan marah, serta kebencian kini mendominasi di mata Ganesa, dan itu di rasakan oleh Andin.

"Gaby, jangan tangisi Mama, biarkan Mama pergi," kata Ganesa dengan dingin. Tatapan marah begitu terpancar di mata hitamnya.

"Biarkan Mama bahagia, biarkan Mama mengejar dunianya. Lupakan Mama, anggaplah kita tidak pernah lahir dari rahimnya." 

Andin terpaku dalam sesaat, mendengar  ucapan Ganesa yang menusuk kalbunya.

"Kakak." Gaby menatap kakaknya dengan tidak percaya.

"Bagaimana mungkin, ada seorang Ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya, demi mencari kebahagiaannya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Selain mengikhlaskannya."

Andin terhenyak mendengar setiap bait-bait perkataan anak sulungnya. Ada rasa nyeri, yang terpatri di relung hatinya kini.

"Ketika begitu banyak wanita di luaran sana mendamba seorang keturunan, Mama malah meninggalkan keturunannya. Kita tidak akan rugi Mama tinggalkan, tapi Mama lah yang akan rugi, meninggalkan buah hatinya, demi kepuasan hati."

Andin tidak menyangka, anaknya bisa berkata setajam itu. Namun, lagi-lagi bunyi klakson mobil mengalihkan perhatian mereka. Dengan langkah cepat, Andin pergi meninggalkan kediamannya.

Rumah yang sudah berpuluh tahun menemaninya, kini dia tinggalkan. Tangisan serta teriakkan Gaby mengiringi kepergian Andin.

Gaby meronta-ronta di depan pintu, dengan Ganesa yang menahan tubuh adiknya itu, agar tidak mengejar langkah Mamanya.

Kedua gadis kembar itu pun berpelukan, sambil terisak pilu. 

Rumah dengan type 70 itu pun kini menjadi sunyi.

Dengan langkah gontai, mereka masuk ke dalam kamarnya masing-masing.

Kedua gadis itu, mengurung diri di dalam kamarnya.

"Mengapa Mama tega, apa salah Gaby? Padahal Gaby pulang dengan membawa kabar baik. Gaby kini juara kelas, Ma. Bukankah itu, yang selama ini Mama banggakan, tapi kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi." 

Gaby terisak, dia terus berbicara sendiri di dalam kamarnya. 

Sedangkan Ganesa, hatinya memupuk kemarahan. Yang terpatri di benaknya, Mama pergi, demi mencari kebahagiaan lain.

"Mama tidak pantas menjadi seorang Ibu, aku benci Mama," ucapnya, sambil memandangi potret mereka berempat. Papa yang tersenyum kocak, Mama yang tersenyum manis, sedangkan Ganesa? Dia bergaya layaknya anak tomboy. 

Dan, Gaby, anak manis itu pun sama seperti gaya Andin, Mama yang kini tega, tega menyakiti hati mereka.

Hingga sebuah pesan singkat masuk ke gawai mereka berdua.

Ganesa meraih gawainya, dan membuka pesan dari group w******p yang berjudul. Kawan Sekolah.

Ganesa dan Gaby terkejut. Foto Mama nya menyebar di dalam pesan itu.

"Pelakor, Mama G2. Ganesa dan Gaby, wanita perusak rumah tangga Ibuku." 

Pesan yang berasal dari Naura, teman satu sekolah mereka.

Gaby semakin menangis, ditambah berbagai cacian dan hinaan yang mereka terima.

Pose mesra Andin dan Ayah Naura pun menyebar di berbagai media.

Naura murka, dan hal itu pun membuat Gaby berlari ke kamar kakaknya.

"Kak, Gaby takut ke sekolah! Mereka bahkan berniat menghajar kita. Mama yang bersalah, mengapa kita yang jadi korbannya."

Ganesa memeluk adiknya.

"Kakak akan melindungi kamu," ucapnya datar. Hati Ganesa semakin murka pada sosok, yang bergelar Ibu itu.

Sementara Andin, dia tengah menikmati kebahagiaannya bersama Rasid, yang merupakan ayah Naura itu, tanpa tahu nasib anak-anaknya.

Hati Andin sedikit gusar, kala mengingat wajah si kembar. Terutama pada Gaby, anak manis yang begitu manja kepadanya. Kadang, mendengar petir di malam hari saja, Gaby menjerit. Hal itu, tentu saja membangunkan Andin dari tidurnya.

"Mama, ada petir," teriak Gaby. 

Meskipun Andin sangat mengantuk, dia tetap bangun dan masuk ke dalam kamar anaknya itu.

"Dasar bayi gede! Gitu aja kamu takut," celetuk Andin, sembari memeluk anaknya yang ketakutan.

"Petirnya ngeri, Ma."

Andin tersenyum, kemudian mengajak Gaby untuk tidur kembali.

"Ehem." Suara Rasid menarik Andin dari lamunannya.

"Mau makan apa sayang? Aku pandai menyulap masakan biasa menjadi luar biasa," kelakar Rasid.

"Mau makan apapun yang kamu masak, aku yakin, jika kamu sajikan dengan cinta, semua akan terasa nikmat."

Rasid tersenyum bahagia, mendengar penuturan wanita yang sangat di sukainya itu. Sudah sejak lama, Rasid memendam perasaan tertarik pada sosok Andin. 

Meskipun dia telah beristri, namun obsesinya untuk meraih hati Andin tidak pernah padam.

Andin, wanita yang dia kenal ketika ada pertemuan wali murid di sekolah putrinya itu, membuat perasaan terlarang di hatinya bermekaran.

Berbagai macam cara, Rasid lakukan, demi menggapai cinta wanita idamannya itu.

"Mas, kamu sudah gila! Kamu berniat pergi? Meninggalkan aku dan Naura, demi wanita lain."

"Sudah menjadi keputusanku, suka tidak suka! Kamu wajib menerimanya."

"Maksud kamu ini apa? Apakah kamu berniat menceraikan aku?" tanya wanita yang berstatus istri sahnya itu.

"Oh, tidak! Hanya saja, aku ingin bersama wanitaku."

Rasid mengulas senyum, tanpa perduli perasaan istri sahnya.

Lelaki itu menarik koper bajunya, dan membawanya menuju mobil CRV miliknya.

Naura menatap kepergian Ayahnya dari atas balkon. 

Sedari tadi, Naura dengan jelas mendengarkan pertengkaran Ayah dan Mamanya. 

Gadis malang itu pun, telah menyimpan bukti perselingkuhan Rasid.

Dia sangat mengenali wajah wanita yang berpelukan dengan Ayahnya itu. Naura mengumpat dalam hati, terlebih saat dia melihat Mama yang sangat dia cintai, di dorong kasar oleh Ayahnya.

"Jangan coba-coba menghalangi langkahku! Aku tidak segan-segan menyakiti kamu. Kalau bukan demi Naura, mungkin sudah lama kita berpisah."

Kata-kata yang sangat kejam. Wanita itu terdiam membeku, dia kesulitan untuk mencerna perkataan suaminya itu. 

Seakan tidak percaya, keluarga yang begitu harmonis, dan berkecukupan, harus di terpa badai perselingkuhan.

Wanita ini merasakan dunianya runtuh! Suami yang menjadi kebanggaanya, panutan dalam hidupnya, tempat dia menggantungkan hidup. 

Kini dengan tega menyakiti hatinya tanpa ragu. Bahkan dia tidak memandang wajah anaknya yang terisak pilu. Rumah tangga orang tuanya, di hancurkan Mama dari kawan sekolahnya. 

Naura murka, hal itulah yang membuat Andin dan Rasid viral di berbagai sosial media. Namun, Rasid dan Andin yang kini tengah di mabuk cinta, tidak tahu apa-apa mengenai hal ini.

"Mama jangan bersedih lagi, cepat atau lambat, kita pasti akan menemukan wanita jahat itu," ucap Naura, sembari memeluk Ibunya dari belakang. 

Wanita itu masih menangisi kepergian suaminya. Sulit baginya untuk terima kenyataan ini, dia benar-benar merasa hancur.

"Ma, jangan menangis lagi, Ayah tidak pantas untuk Mama tangisi. Ayah jahat, Naura malu punya Ayah sepertinya."

Bahu wanita itu semakin bergetar hebat. Dendam dan sakit hati kian berkobar di benaknya. Dia berjanji, akan membuat perhitungan pada wanita, yang merusak rumah tangganya dengan sengaja.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anastasiya
mahal koinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status