Share

Papa Datang

Korban Perceraian

Part2

Andin begitu menikmati kebersamaannya bersama kekasih barunya.

Rasid memeluk tubuh ramping itu dari belakang, wanita yang sedari tadi menikmati keindahan sejuknya pegunungan itu pun terkejut dengan pelukan Rasid yang tiba-tiba.

Andin tersenyum, dan merasakan detak jantung kekasihnya dengan perasaan yang sulit dia artikan.

"Apakah anak-anakmu tidak marah?" bisik Rasid, di telinga Andin.

Andin mengulas senyum, namun hatinya teramat nyeri. Mengingat, betapa pilunya wajah kedua putri kembarnya itu.

Namun perasaan sakit itu segera dia tepis, Andin yakin, pilihannya sudah sangat tepat.

"Mereka akan baik-baik saja! Papanya akan pulang besok, aku tidak perlu khawatir. Lagi pula, mereka bukan anak bayi lagi, mereka sudah tumbuh dewasa."

Rasid tersenyum, dan mengeratkan pelukannya.

"Terimakasih, sayang! Aku mencintaimu," bisiknya lagi.

"Aku juga," sahut Andin.

Rasid membawanya ketempat tidur, dan mereguk indahnya malam panas penuh dosa bersama. Andin begitu terbuai dengan permainan Rasid yang begitu liar, hal itu, membuatnya semakin tidak mampu menolak nikmatnya kebersamaan dengan lelaki yang berstatus suami orang itu.

Sementara nasib si kembar. Mereka berdua terus berpelukan, hingga Gaby kini tertidur, wanita malang itu, dia telah lelah terus menangis. Sedangkan Ganesa, pikirannya terus menggali kebencian dan rasa marah pada Andin.

Kekecewaan mendalam, kini tengah memupuk perasaan Ganesa yang terluka.

Hingga semalam suntuk, dia tidak bisa tertidur, bayangan kekhawatiran terus menghantui benaknya.

******

Pagi yang indah kini menyapa, namun tidak seindah bagi kedua gadis itu. Mereka berdua bangkit dari tempat tidur. Mata Gaby sembab, seharian semalaman suntuk dia meratapi nasib, serta kepergian Ibu yang dia kasihi.

Ganesa pergi ke kamar mandi. Sedangkan Gaby, masih termenung di tempat tidur, dengan menyandarkan diri didipan.

Melihat Ganesa yang sudah kembali masuk ke dalam kamar, Gaby pun mulai mengungkapkan keinginannya.

"Kak, aku tidak ingin ke sekolah hari ini," ungkap Gaby, masih dengan wajah sendunya.

"Kenapa?" tanya Ganesa, sembari memasang seragam sekolah, putih abu-abunya.

Wanita itu masih tampak tenang dan tetap memiliki semangat untuk bersekolah, tidak perduli dengan apapun, Ganesa tidak memiliki rasa takut sama sekali. Karena bagi Ganesa, ini semua bukan kesalahan mereka.

Sementara Gaby, dia menghela napas berat, gadis itu nampak terlihat semakin lesu dan tidak bersemangat lagi.

"Gaby ragu, takut juga. Rasanya, masih tidak berani menampakkan wajah ke sekolah! Teman-teman, pasti membenci kita," jawabnya.

Ganesa memandangi Gaby. "Mau sejauh apa kita berlari? Mau sehebat apa kita menghindar? Semua tetap harus di hadapi."

"Gaby belum siap!" jawabnya. Gadis itu kemudian tercenung, menatap ke arah luar jendela kamar. Pagi itu, udara memang begitu sejuk, namun tidak dengan hati mereka.

"Jangan sampai, gara-gara masalah ini, kamu takut bersekolah! Apakah kamu mau, mengorbankan cita-cita kamu, hanya karena rasa takut."

Gaby menggeleng.

"Kita tidak punya banyak pilihan, semua sudah terjadi, satu-satunya yang kita bisa lakukan, adalah menghadapi kenyataan."

Gaby menatap kakaknya dengan mata berembun.

"Kak, mengapa Mama tega, meninggalkan kita, juga meninggalkan masalah untuk kita."

Ganesa yang sedari tadi mempersiapkan diri untuk ke sekolah pun berhenti sejenak dari aktivitasnya.

"Itu pilihan Mama, kita tidak bisa mengukur dalamnya hati seseorang, meskipun dia Ibu kita sendiri. Seperti yang pernah Mama katakan, kita jangan cengeng. Kaka akan buktikan pada Mama, bahwa kita berdua, bukan anak yang lemah."

"Tapi kenyataannya, Gaby anak yang lemah." Gaby berkata dengan terisak.

Ganesa merasa perih di hatinya, melihat adik kesayangannya itu terus meratapi kepergian Mamanya, seorang Ibu yang tega, tega meninggalkan buah hatinya. Demi kesenangan, yang belum tentu kekal.

Ganesa membelai rambut hitam panjang, milik adiknya itu.

"Kakak berangkat sekolah dulu! Kamu istirahat di rumah saja hari ini dan jangan lupa sarapan. Tadi, Kakak sudah masak, nanti siang, Bu Rohma akan kemari, untuk memasak makan siang."

Gaby tak bergeming, pikirannya terus melayang pada Mama nya.

Ganesa melangkahkan kaki menuju keluar rumah, dengan menggunakan sepedanya, dia melaju menuju sekolahnya.

Sesampainya di gerbang sekolah, beberapa kawan satu sekolahnya menatap marah, benci, juga jijik.

Namun Ganesa berusaha bersikap tenang, dan terus melajukan sepedanya, menuju parkiran, khusus sepeda.

"Ganesa," teriak seseorang, yang sangat Ganesa kenali. 

Nuna, dia sahabat baik Ganesa, gadis periang itu pun menghambur ke pelukan Ganesa.

"Ada apa?" tanya Ganesa, seraya melepaskan pelukan Nuna.

Nuna menatap Ganesa dengan pilu, membuat Ganesa tidak nyaman.

"Aku sudah tahu, kamu yang kuat," ucap Nuna, sembari menggenggam telapak tangan Ganesa, seakan berusaha menyalurkan kekuatan.

Ganesa mengulas senyum, lalu mereka berdua melangkah, menuju koridor sekolah. 

"Liat tuh, siapa yang datang! Anak pela---" ucapan gadis itu terhenti, kala menatap sosok yang berada di belakang Ganesa.

Wanita berpakaian nyentrik itu menarik tangan Ganesa dengan kasar. Membuat gadis itu sangat terkejut dan menoleh ke arah perempuan yang tidak dia kenali itu, namun dengan kasarnya menarik lengannya.

"Mama," lirih Naura, gadis yang tadinya menyeru ketika melihat sosok Ganesa. 

"Ini Ganesa, anak perempuan itu?" tanya wanita yang di sebut Naura mama itu.

Naura mengangguk.

Ambar, yang merupakan Ibu dari Naura, serta istri sah dari Rasid itu pun menampar dengan keras pipi Ganesa.

"Tante, apa yang Tante lakukan?" teriak Nuna, membuat seluruh murid-murid yang berada di sekolahan riuh berlarian ke arah mereka. 

"Apa kamu? Anak kecil jangan coba-coba ikut campur! Saya muak dengan Ibu mereka, berani sekali kabur bersama suami orang."

"Apa hubungannya dengan saya?" tanya Ganesa, dengan bahu bergetar. Kalau bukan karena wanita di depannya ini orang tua, mungkin Ganesa sudah membalas menghajarnya.

Wanita berpakaian nyentrik itu pun mencibir.

"Tidak bisa menyakiti Ibunya, setidaknya aku bisa melukai anaknya." 

"Tante, ini itu sekolahan, bukan tempat adu kekuatan. Lawan Tante pun tidak seimbang, lebih baik Tante pergi dari sekolahan ini," kata Nuna, mata gadis itu berkilat penuh emosi. 

Ganesa meraih lengan Nuna, Nuna menatap Ganesa dengan perasaan terluka, apalagi, saat dia memandangi pipi kawannya itu yang terluka.

"Apa hak kamu mengusir saya?" Ambar membuka kacamata hitamnya, menatap angkuh wajah Nuna.

"Ada apa ini?" Laki-laki berpakaian rapi itu pun mendekati mereka. 

"Wanita ini menampar wajah Ganesa." Nuna berkata, sembari menunjuk wajah Ambar, hilang rasa hormatnya pada wanita yang berstatus lebih tua itu.

Naura hanya terdiam, melihat Ibunya membuat kekacauan di sekolahnya.

Laki-laki yang merupakan penjaga sekolah itu pun menatap ke arah wanita itu.

"Ada masalah apa? Jadi Anda memukul murid di sini?" tanya Kusma, penjaga sekolah.

"Saya marah pada Ibu anak ini, Ibunya membawa kabur suami saya! Saya tidak dapat memukul Ibunya, memukul anaknya pun jadi."

"Ibu tidak bisa melakukan itu, kami bisa membawa masalah ini ke ranah hukum. Anda melakukan tindak kekerasan, pada anak yang tidak bersalah sama sekali."

Wajah Ambar memucat, namun keangkuhannya lebih mendominasi.

"Sekarang Ibu minta maaf pada Ganesa, atau Ibu mau kami perpanjang masalah ini."

Ambar mendengkus, dia tetap diam dan bersikap acuh tak acuh.

"Ganesa, apakah kamu mau menyelesaikan masalah ini dengan baik? Atau mau ke jalur hukum?" tanya Nuna. "Kamu jangan takut, aku akan minta Papa, untuk bantu kamu," lanjut Nuna.

"Ma, minta maaflah pada Ganesa, Naura mohon. Naura cuma punya Mama," kata Naura dengan terisak.

Ganesa merasa serba salah. Di lain sisi, dia marah. Namun, semua ini adalah salah Mama mereka. Melihat tangisan Naura, dia pun merasakan kehancuran yang sama.

Kedua orang yang tengah berbahagia di luaran sana, sukses menghancurkan hati mereka, yang tidak tahu apa-apa.

Ambarita menatap tajam wajah Ganesa, ada semburat kebencian di matanya, namun demi anaknya, Ambarita berusaha mengakui kesalahannya.

"Maafkan saya, saya tidak tahu harus seperti apalagi. Gara-gara Ibu kamu, keluarga kami yang harmonis, menjadi hancur seketika."

"Itu bukan cuma keluarga Tante, keluarga Ganesa juga. Mereka juga korban, Tan." 

Nuna berusaha membela Ganesa, Ambar tidak menggubrisnya. Kebencian dan kemarahan, mendominasi hatinya.

Wanita itu pergi begitu saja, Ganesa bahkan tidak berkata apapun. Gadis itu bahkan tidak mengucapkan kata iya, di saat Ambarita berkata maaf.

"Kenapa kamu diam saja? Kalau aku jadi kamu, kuhajar anaknya. Adil bukan?" ucap Nuna berapi-api.

Naura menatap Ganesa dari kejauhan, hatinya pun sama seperti Ibunya. Benci dan dendam.

Nuna dengan telaten mengompres luka disisi bibir mungil Ganesa.

"Ganesa, Bapak minta maaf, begitu terlambat datang." Pak Kusma duduk, dan bergabung bersama Ganesa dan Nuna di depan pintu UKS.

"Tidak apa-apa, Pak."

"Apapun yang terjadi, Bapak harap, kamu kuat." 

Ganesa tersenyum, menanggapi ucapan penjaga sekolah.

Hatinya terus merasakan sakit, mengingat kejadian tadi. Tiba-tiba, di benaknya timbul kekhawatiran. Bagaimana jika Gaby masuk sekolah nanti, dia takut, adiknya menjadi korban bully juga.

"Ganesa, kenapa kamu terus diam? Lama-lama kamu gila kalau begini," celetuk Nuna. Wanita berambut sebahu itu pun mulai kesal.

"Sakit, jika aku banyak bicara."

"Makanya, seharusnya kamu hajar tadi anaknya! Biar Ibunya tahu diri, dan nggak seenaknya memukul orang."

"Kamu kok bawel sih, aku susah ngomong ini."

Nuna berdecak kesal. Ganesa tersenyum dalam hati, melihat raut wajah Nuna.

Dalam hati dia bersukur, memiliki sahabat sebaik Nuna.

Kemudian sebuah pesan singkat masuk ke gawainya.

"Tunggulah, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, sampai aku ketemu Ibumu."

Ganesa menatap gawainya dengan perasaan marah. 

"Ada apa?" tanya Nuna, yang curiga dengan perubahan raut wajah Ganesa.

Ganesa memperlihatkan pesan singkat itu, dari nomor tanpa nama.

"Kurang ajar, kan, seharusnya kamu bikin jera orang itu tadi." 

Nuna mengepalkan tinju, semburat kemarahan, terbit di wajah wanita cantik itu.

"Kamu tenang saja, aku akan meminta Papaku, untuk membantu kamu, jika mereka macam-macam."

Ganesa sebenarnya tidak takut dengan ancaman itu, hanya saja, dia takut adiknya yang mereka sakiti.

Bagi Ganesa, Gaby adalah segalanya.

Gadis itu, tidak akan mampu menahan diri, jika adiknya yang mereka sakiti.

Sepulang dari sekolah, Ganesa menyipitkan mata, menatap sebuah mobil sedan berwarna hitam. Mobil itu, terparkir di depan halaman rumah mereka.

Ganesa melajukan sepedanya, dan memarkirnya di tempat biasa. Dia melepas sepatunya, dan meletakkannya di tempat khusus sepatu.

Ganesa masuk ke dalam rumah, di sambut dengan senyuman manis dari Papa mereka.

Gadis itu merasa bahagia, sudah lima bulan tidak bertemu dengan Papa, kini sosok lelaki yang selalu dia rindukan itu pun datang.

Namun dia terheran, melihat Gaby diam mematung duduk di sofa.

Saat Papa mereka berniat memeluk Ganesa, dia di kejutkan dengan kehadiran sosok perempuan, yang baru keluar dari kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status