Share

Bab 11

Author: Raka Anggara
"Pak Rama, masuklah!"

Setelah Evan melepaskan tekanan di kandung kemihnya yang hampir meledak, dia pun memanggil Rama untuk masuk.

Rama masuk dengan kepala tertunduk. Dia diikuti oleh seorang pelayan wanita muda cantik yang membawa obat.

"Tuan Evan, obatnya sudah siap. Apakah ada perintah lainnya?"

Evan menahan rasa sakitnya, setengah bersandar di kepala tempat tidur, lalu berkata, "Pergilah, kosongkan pispotnya untukku."

Rama mengangkat kepala menatapnya, otot wajahnya tampak berkedut.

"Kenapa? Apakah aku harus mengosongkannya sendiri?" tanya Evan.

Rama buru-buru menjawab, "Bukan begitu, aku akan segera pergi untuk mengosongkannya."

Rama berjalan mendekat. Dia berjalan keluar sambil membawa pispot dengan wajah muak serta tatapan yang sinis.

Deon tiba-tiba mengubah sikapnya terhadap Evan, sehingga Rama juga tidak berani memperlakukan Evan secara sembarangan seperti dulu.

Jangan sampai anak haram ini mendapatkan kasih sayang. Kalau nggak, aku mungkin nggak akan bisa hidup dengan nyaman lagi ...' pikir Rama dengan kejam dalam hatinya.

Pelayan wanita muda itu berusaha keras menahan senyuman di sudut bibirnya, takut kalau dia tak sengaja tertawa.

Rama ini sering menindas para pelayan, mengambil keuntungan dari pelayan wanita, serta memotong upah mereka. Namun, semua orang hanya bisa marah tanpa berani berbicara. Hari ini akhirnya ada yang memberinya pelajaran. Sungguh menyenangkan!

Pelayan wanita muda itu baru saja selesai membantu Evan meminum obat ketika Rama melangkah masuk sambil membawa nampan.

Di atas nampan ada sarapan. Sepiring bubur, beberapa buah roti, sepiring acar, serta dua butir telur rebus.

Rama meletakkan nampan di atas bangku bundar di samping tempat tidur, lalu berkata, "Tuan Evan, biarkan aku melayanimu untuk makan."

Evan menatapnya.

Rama langsung tersenyum penuh sanjungan.

Evan juga tersenyum. Dia mengambil dua butir telur, lalu berkata, "Aku nggak punya nafsu makan, dua telur ini saja sudah cukup. Pak Rama bisa membantuku menghabiskan sisanya."

Wajah Rama tampak membeku.

Untuk membalas dendam pada Evan yang menyuruhnya mengosongkan pispot, dia diam-diam meludah ke dalam bubur. Dia menggunakan tangan yang sama yang dipakai untuk mengosongkan pispot untuk meremas beberapa roti, serta mengaduk-aduk bubur.

Pada piring acar, dia bahkan menambahkan tanah dari alas sepatunya.

Hanya dua butir telur itu saja yang tidak bisa dia rusak. Namun, Evan justru memilih dua butir telur tersebut.

Apakah Evan mengetahui apa yang sudah aku lakukan?' pikir Rama.

Rama pun makin merasa gelisah.

Evan menyipitkan matanya sedikit, menatap Rama untuk mengamati reaksinya.

Melihat tatapannya yang tidak fokus, Evan tahu bahwa tebakannya benar. Sarapan ini pasti ditambahkan dengan sesuatu yang lain.

Alasan Evan hanya mengambil dua butir telur adalah karena telur perlu dikupas. Jadi, Rama tidak bisa melakukan apa-apa pada kedua telur ini.

"Ini adalah sarapan Tuan Evan, aku nggak pantas untuk menikmatinya .... Meskipun Tuan Evan nggak memiliki nafsu makan, kamu harus makan lebih banyak agar lukamu bisa cepat sembuh!" ujar Rama.

Evan memeriksa telur di tangannya untuk mencari retakan. Jika ada, dia tidak akan memakannya. Evan pun berkata dengan santai.

"Pak Rama, ini hadiah dariku untukmu. Habiskan semua yang ada di piring, jangan sisakan sesuap pun."

Rama menggelengkan kepalanya berulang kali, lalu berkata, "Aku berterima kasih kepada Tuan Evan. Tapi aku sudah sarapan, benar-benar nggak bisa makan lagi."

Evan mengupas telur sambil tersenyum, lalu bertanya, "Pak Rama, menurutmu siapa di antara kita yang adalah tuannya? Siapa juga yang adalah pelayannya?"

"Tentu saja Tuan Evan adalah tuannya, sementara aku adalah pelayannya," kata Ram dengan cepat.

"Benar sekali! Lalu, apakah seorang pelayan harus mendengarkan tuannya?" tanya Evan.

Rama buru-buru menjawab, "Tentu saja pelayan harus mendengarkan tuannya."

"Bagus, sekarang aku memerintahkanmu untuk menghabiskan semua yang ada di piring ini. Kalau kamu nggak memakannya, berarti kamu sudah melanggar perintah tuanmu. Menurut aturan keluarga, hukumannya adalah dua puluh kali pukulan dengan tongkat," ucap Evan.

Wajah Rama langsung berubah masam.

Sementara itu, wajah Evan menjadi muram. Dia berkata dengan suara keras, "Kenapa masih belum dimakan?"

Rama yang terkejut, langsung buru-buru berkata, "Aku akan memakannya. Aku akan segera memakannya ...."

Dia mengambil sebuah roti dengan wajah penuh kesulitan.

Seandainya tahu akan begini, dia tidak akan menambahkan bahan-bahan itu. Ini sungguh seperti mengangkat batu untuk menghantam kaki sendiri.

Tepat saat Rama berada dalam dilema, Deon melangkah masuk.

Sepertinya dia baru saja kembali dari pertemuan pagi, tampak masih mengenakan pakaian resminya.

"Evan, apakah kamu merasa lebih baik hari ini?"

Deon tampak penuh dengan senyuman, bagaikan seorang Ayah yang penuh kasih.

Evan tiba-tiba merasa mual. Telur di tangannya seketika tidak terasa lezat lagi.

"Tuan Deon sudah kembali? Tuan Evan baru saja selesai meminum obat. Kondisinya juga sudah jauh lebih baik. Silakan kalian lanjutkan obrolannya, aku akan undur diri dulu," ujar Rama.

"Pak Rama, makanannya belum dimakan."

Evan mengatakan ini sambil menunjuk ke arah nampan. 'Dasar orang tua licik, kamu masih ingin kabur? Mustahil!' pikir Evan.

Rama mulai mengadu, "Tuan Deon, aku sudah selesai sarapan, tapi Tuan Evan bilang dia nggak nafsu makan, memaksaku untuk menghabiskan semuanya. Aku benar-benar nggak sanggup makan lagi."

Deon memandang Evan dengan wajah penuh perhatian. "Evan, kamu sedang terluka, makanlah lebih banyak agar kamu cepat sembuh!"

"Porsi makanku memang kecil, dua butir telur saja sudah cukup. Biarkan Pak Rama yang memakan sisanya, jangan disia-siakan," ucap Evan.

Deon mengangguk, lalu berujar, "Porsi makan Evan memang kecil. Kalau begitu, Pak Rama bisa menghabiskan sisanya."

Rama tampak terkejut.

Dia menjawab dengan wajah muram, "Baik!"

Rama tidak berani membantah perintah Deon.

"Kalau begitu, aku akan membawanya untuk dimakan!" kata Rama.

Evan segera menyela, "Nggak perlu, makan saja di sini. Melihat orang lain makan adalah sebuah kenikmatan."

Rama tahu dia tidak akan bisa melarikan diri.

Dia hanya bisa menahan rasa mualnya, lalu mulai makan. Ekspresinya bahkan lebih menderita daripada saat Evan meminum obatnya.

Sudut bibir Evan sedikit terangkat, lalu dia menoleh ke arah Deon untuk bertanya, "Pak Deon baru saja kembali dari pertemuan pagi. Kamu pasti belum makan, 'kan? Apakah kamu ingin makan sesuatu?"

Deon tertegun sejenak. Dia melirik Rama dengan mata yang berkilat, lalu menggelengkan kepalanya.

Rama menahan rasa mual, menghabiskan semua makanan yang ada di piring.

"Tuan Deon, Tuan Evan, aku permisi dulu!" kata Rama.

Deon melambaikan tangannya.

"Tunggu!" Evan tiba-tiba menghentikannya. "Pak Rama, ucapkan terima kasih!"

Rama yang penuh amarah, menggertakkan gigi hingga hampir menghancurkan gigi gerahamnya. Namun, dia masih harus memasang wajah penuh senyuman sembari berkata, "Terima kasih atas pemberian Tuan Evan!"

"Sama-sama! Pak Rama sudah bersusah payah merawatku. Kalau ada makanan enak lagi, aku akan menyisakannya untukmu," balas Evan.

Wajah Rama berkedut. "Terima kasih, Tuan Evan. Aku permisi dulu!"

Begitu melangkah keluar, Rama langsung berlari ke taman bunga terdekat, memuntahkan semua isi perutnya.

Evan menatap Deon, lalu berujar, "Pak Deon langsung datang ke sini segera setelah selesai pertemuan pagi, apakah ada kabar baik untukku? Misalnya ... mengizinkanku meninggalkan kediaman Keluarga Nigrat?"

Wajah Deon menjadi muram. "Evan, meskipun selama bertahun-tahun ini Ayah kurang memperhatikanmu, tapi bagaimanapun juga, Ayah tetaplah ayahmu. Darah lebih kental daripada air. Bagaimana mungkin Ayah tega melihatmu berkeliaran di jalanan? Jadi, jangan membahas masalah ini lagi."

"Lalu, untuk apa Pak Deon datang ke sini? Apakah kamu di sini untuk melihat apakah aku sudah mati atau belum?" balas Evan.

Deon merasa sangat marah, "Anak durhaka, apa kamu nggak bisa bicara dengan baik? Kenapa harus berbicara dengan penuh sarkasme seperti itu? Aku ini adalah ayahmu, apa kamu nggak bisa berbakti pada orang tua?"

Evan tertawa mencemooh.

"Pak Deon sungguh lucu. Dulu aku sangat berhati-hati, berusaha menyenangkan kalian dengan berbagai cara. Bahkan ketika anjing di halaman menggigitku, aku masih harus meminta maaf pada anjing itu. Biar aku tanya, siapa di antara kalian yang pernah benar-benar memperhatikanku?"

"Bukankah sudah terlambat bagi Pak Deon untuk menginginkan seorang anak yang berbakti sekarang? Evan yang selalu menerima perlakuan buruk itu sudah mati."

Wajah Deon menjadi pucat.

"Evan, sebagai pejabat tinggi tingkat dua di istana, Ayah memiliki banyak tugas. Aku memang kurang memperhatikanmu. Ayah pasti akan menebusnya di masa depan."

"Ayah tahu kalau kamu menyimpan dendam di hatimu, tapi kamu juga harus memahami kesulitan Ayah."

Dalam hati, Evan tertawa dingin. 'Memahami apanya? Memahami kamu yang meninggalkan istri dan anakmu? Memahami kamu yang nggak setia? Apakah aku harus memahamimu yang gagal menjadi seorang Ayah, yang nggak peduli pada anakmu sendiri?' pikir Evan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 50

    Di ruang kerja kekaisaran di Istana.Wahyu berdiri di bawah meja dan melaporkan percakapannya dengan Evan kepada Kaisar Sinas secara detail.Setelah mendengar laporan dari Wahyu, Kaisar Sinas segera menulis di atas selembar kertas dengan kuas merahnya.Setelah selesai, dia mengangkat kertas itu dan membacanya dengan saksama."Membunuh satu orang setiap sepuluh langkah dan nggak pernah meninggalkan jejak apa pun dalam jarak seribu mil. Setelah selesai bekerja, langsung pergi dan menyembunyikan identitas.""Dari zaman dulu kala juga semua orang pasti akan mati. Yang penting tinggalkan saja hati yang bersih dalam sejarah.""Air dapat membawa perahu ke mana-mana, tapi juga bisa menenggelamkannya ...."Kaisar Sinas membacanya sekali dan menyukai puisi ini. Makin dibaca, makin dia menyukainya."Bocah itu memang sangat berbakat .... Sayangnya, dia terlalu kurang ajar dan nggak menghormati keluarga kerajaan."Kaisar Sinas melirik Wahyu, lalu bertanya, "Karena kamu sudah bicara dengannya, apa p

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 49

    "Iya. Menyandera dan memukuli Pangeran Kelima adalah kejahatan berat yang hukumannya berupa hukuman mati bagi seluruh keluarga.""Sebenarnya, aku melakukan itu atas perintah seseorang."Jantung Wahyu sontak berdebar kencang. Apa mungkin ada orang lain yang berkomplot?"Siapa yang menyuruhmu?""Menteri Ritual, Deon Nigrat," jawab Evan.Wajah Wahyu sontak berkedut. Karena dia akhir-akhir ini diperintahkan untuk menyelidiki soal Evan, tentu saja dia tahu bahwa Evan tidak diterima di Keluarga Nigrat.Bocah ini ingin menyeret Deon."Apa hubunganmu dengan Deon? Mengapa dia memerintahkanmu untuk menyandera dan memukuli Pangeran Kelima?"Wahyu tetap bertanya walaupun sudah tahu jawabannya.Evan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, lalu menjawab, "Kami nggak punya hubungan apa-apa. Aku ini seorang pembunuh bayaran, jadi aku melakukan banyak hal demi uang .... Deon membayarku untuk membunuh Pangeran Kelima.""Saat orang-orangmu menangkapku, mereka menemukan seratus tahil perak yang kubawa. Itu up

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 48

    Kaisar Sinas pun mengibaskan tangannya dan mengisyaratkan Wahyu untuk pergi.Setelah itu, Kaisar Sinas memandang sang pangeran sambil berkata, "Dalam beberapa waktu ke depan, jangan menjenguknya di penjara.""Walaupun pangeran kelima itu palsu, tetap saja dia berani menyandera dan memukulinya tanpa menyadari apa-apa. Dia tetap mengabaikan hukum dan kekuasaan kekaisaran, jadi dia tetap harus dihukum.""Sesuai perintah Yang Mulia!" jawab sang pangeran dengan segera.Jenderal Hadi yang sudah tidak dapat menahan diri lagi pun akhirnya berkata, "Yang Mulia, masih belum ada kabar tentang Bintang Biru. Tolong izinkan hamba mengutus orang untuk mencarinya."Kaisar Sinas sontak tertegun. Belum ada kabar? Jadi, tadi siapa yang habis mereka bicarakan?Namun, sesaat kemudian Kaisar Sinas menyadari bahwa Jenderal Hadi sepertinya belum mengetahui identitas asli Evan."Jenderal Hadi, Evan yang tadi kami bicarakan itu sebenarnya Evan. Bintang Biru itu Evan. Mereka adalah orang yang sama."Jenderal Had

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 47

    Si pemimpin pun berjalan menghampiri, lalu bertanya, "Bintang Biru, kejahatan apa yang telah kamu lakukan? Walaupun kamu nggak bermaksud, kenyataannya kamu sudah menyelamatkan rekanku. Aku mungkin bisa membantumu meredakan situasi dan mendapatkan hukuman yang lebih ringan."Mereka hanya diperintahkan untuk menangkap Bintang Biru, mereka tidak tahu kejahatan apa yang telah Evan lakukan."Bahkan anak tiga tahun di ibu kota saja tahu kalau nggak akan ada yang bisa keluar hidup-hidup begitu dibawa masuk ke Divisi Pengawasan," sahut Evan sambil tersenyum dengan acuh tak acuh."Semuanya tergantung pada usaha manusia. Mungkin kami dapat membantumu ... atau membuat hidupmu lebih nyaman sebelum ajal menjemput."Evan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Kalian nggak akan bisa menolongku …. Aku menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya dengan kejam. Apa kalian masih bisa menolongku?"Mereka semua sontak tertegun!Menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya adalah kejahatan berat. Hukumannya b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 46

    Evan yang sudah meluncur turun dari pohon bersiap untuk kabur.Namun, begitu berbalik badan, tiba-tiba punggungnya merasakan hawa dingin.Serigala yang menggigit kaki si pria yang tadi memeriksa abu itu tiba-tiba membuka mulutnya dan menerkam ke arah Evan.Evan refleks menoleh. Ekspresinya langsung berubah dan dia berguling di atas tanah.Serigala itu gagal menerkam.Evan pun bangkit berdiri, sementara si serigala menerkamnya lagi.Dia menatap serigala yang menerjang ke arahnya itu dengan tajam, lalu menghunus belatinya dengan secepat kilat.Wooosh!Bilah belati itu berkilat dengan dingin.Evan menusukkan belatinya pada kepala si serigala dengan mantap, akurat dan kejam."Bintang Biru!"Si pemimpin berseru memanggil.Evan mencabut belatinya, lalu balas menyeringai. "Selamat bersenang-senang! Selamat tinggal!"Setelah itu, Evan berbalik badan dan berlari pergi.Akan tetapi, ternyata masih terlalu dini untuk merasa senang!Belum sempat Evan berlari jauh, seekor serigala yang jauh lebih b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 45

    Evan hanya bisa tersenyum getir di dalam hati. Dia sudah terlalu lama membuang waktu di sini. Para anggota Divisi Pengawasan itu pasti bisa menemukan tempat ini karena mengikuti jejak tapal kuda."Bos, di sini ada abu."Salah seorang di antara mereka berkata sambil melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri abu api unggun. Dia mengulurkan tangannya untuk memeriksa. "Masih terasa hangat, jadi harusnya dia belum pergi jauh."Evan berdoa dalam hati semoga mereka tidak melihat ke atas …. Karena begitu mendongak, dia pasti akan ketahuan.Jika orang ini mendongak, mau tidak mau Evan harus menyerang dan membunuhnya …. Namun, bagaimana dengan empat orang lainnya?Semua anggota Divisi Pengawasan adalah ahli yang terkemuka. Kekuatan fisik Evan memang telah meningkat pesat berkat olahraga yang dia lakukan akhir-akhir ini, tetapi tetap saja dia tidak mungkin bisa menang melawan empat orang ahli dari Divisi Pengawasan secara bersamaan.Tiba-tiba, Evan menyadari bahwa sekawanan serigala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status