Share

Bab 10

Author: Raka Anggara
Ketika Evan terbangun, dia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing.

Tempat tidur yang empuk, dengan perabotan mewah.

Kamar ini jauh lebih baik dibandingkan gubuk kecilnya yang kumuh.

Apakah dia mengalami perjalanan lintas dimensi untuk kedua kalinya?

"Kamu sudah bangun?"

Evan menoleh ke arah suara. Namun, gerakan itu membuat luka di tubuhnya tertarik, membuatnya merintih kesakitan.

Namun, yang lebih mengejutkannya adalah orang yang berdiri di samping tempat tidur, yang ternyata adalah Deon.

"Pak Rama, Evan sudah bangun. Bawakan obat yang sudah direbus dan sup ayam ke sini."

Deon berteriak ke arah pintu.

Evan tampak kebingungan. Apakah dia sudah menjadi bodoh karena kepalanya dipukul? Apakah ini hanyalah mimpi?

Terlebih lagi, panggilan penuh kasih dari Deon membuat Evan merinding.

"Evan, bagaimana keadaanmu? Apa kamu sudah merasa lebih baik?"

Evan mengulurkan tangannya, ingin mencubit pipinya sendiri untuk memastikan apakah dia sedang bermimpi.

Namun, dia ragu sejenak, lalu melambaikan tangannya pada Deon.

Deon tertegun sejenak. Dia mengira Evan ingin mengatakan sesuatu, jadi dia mendekat tanpa sadar.

Pada akhirnya, Evan langsung menyambar janggutnya, menariknya dengan keras. Ini membuat beberapa helai janggut Deon tercabut.

Deon tersentak kesakitan, tanpa sadar mengangkat tangannya untuk menampar Evan. Namun, setelah tangannya terangkat, dia menurunkannya kembali.

Dia tetap tidak bisa menahan amarahnya, lalu berkata dengan kesal, "Anak durhaka, apa yang kamu lakukan?"

"Ternyata bukan mimpi!" bisik Evan. Kemudian, dia memandang Deon, lalu balik bertanya, "Apa yang sedang kamu lakukan?"

Deon berusaha keras menekan amarahnya, lalu berkata.

"Evan, kita semua adalah keluarga. Kedua kakakmu juga nggak sengaja melukaimu. Aku sudah menghukum mereka. Seperti kata pepatah, aib keluarga nggak boleh sampai tersebar keluar, jadi biarlah masalah ini berakhir sampai di sini."

Kepala Evan seakan dipenuhi tanda tanya.

Apakah otak Deon rusak karena terjepit paha Intan? Apakah otak Evan sendiri yang sedang rusak?

Ada yang tidak beres di sini.

Evan menatap Deon dengan penuh kewaspadaan. "Pak Deon, sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan?"

"Anak durhaka! Aku ini adalah ayahmu, tapi kamu bahkan nggak memanggilku Ayah," ucap Deon.

Evan tersenyum dingin. "Ayah? Jangan .... Aku nggak sanggup memiliki Ayah seperti Pak Deon. Bisa-bisa aku kehilangan nyawa."

"Pak Deon, katakan saja terus terang. Apa sebenarnya yang kamu inginkan?"

Deon merasa sangat marah, tetapi dia terpaksa menekan amarahnya.

"Evan, pertengkaran antara saudara dalam keluarga adalah hal biasa. Ayah merasa aib keluarga nggak boleh sampai tersebar keluar, jadi biarlah masalah ini berakhir sampai di sini!"

Evan menatap Deon dengan mata berkilat. Kenapa Deon berulang kali menekankan bahwa aib keluarga tidak boleh sampai tersebar keluar? Sepertinya dia sangat takut orang lain mengetahui tentang hal ini.

Meskipun Evan tidak mengerti alasannya untuk saat ini, dia bisa memanfaatkan hal ini.

"Pak Deon, lebih baik kamu memanggilku seperti biasa, itu terdengar lebih baik. Jangan panggil aku dengan nada lembut seperti itu lagi, itu terdengar memuakkan. Orang yang nggak tahu mungkin akan mengira hubungan kita sangat baik," ujar Evan.

Teknik pengendalian emosi Deon cukup baik, tetapi saat ini wajahnya sudah berubah karena amarah.

Evan melanjutkan, "Pak Deon, aku tahu kalau kamu nggak menyukaiku. Kebetulan, aku juga nggak terlalu menyukaimu."

"Anak durhaka! Aku ini adalah ayahmu, berani-beraninya kamu berbicara seperti itu padaku. Durhaka, benar-benar durhaka," bentak Deon.

Evan menghela napas, tatapan matanya kosong, lalu dia berkata, "Pak Deon, di sini nggak ada orang lain, kamu nggak perlu berpura-pura. Alasan kamu membawaku kembali ke Keluarga Nigrat sudah sangat jelas."

"Kalau kamu benar-benar memiliki sedikit hati nurani, harap pertimbangkan hubungan darah kita yang menyedihkan. Biarkan aku meninggalkan kediaman Keluarga Nigrat."

Ekspresi Deon langsung berubah. "Kamu ingin meninggalkan kediaman Keluarga Nigrat?"

"Ya, aku harap Pak Deon akan berbaik hati membebaskanku," balas Evan.

"Evan, kamu nggak bisa mengangkat beban di pundakmu, nggak punya kemampuan apa pun. Kamu juga nggak bisa membaca atau pun bertarung. Kalau meninggalkan kediaman Keluarga Nigrat, kamu hanya akan mati kelaparan di luar sana," ujar Deon.

Evan menatap Deon dalam-dalam, lalu membalas, "Pak Deon, kamu nggak perlu mengkhawatirkan tentang hal itu! Meskipun aku mati kelaparan, aku nggak akan mengotori tempat mulia Keluarga Nigrat ini."

Wajah Deon berubah pucat.

Evan sama sekali tidak boleh meninggalkan kediaman Keluarga Nigrat. Jika Kaisar Sinas mengetahuinya, dia akan sangat murka. Meski Deon memiliki sepuluh nyawa sekali pun, dia pasti akan mati.

Tepat pada saat itu, terdengar suara ketukan di pintu.

"Masuk!"

Rama melangkah masuk sambil membawa nampan berisi obat dan sup.

Deon menekan amarahnya ketika berkata.

"Evan, kamu baru saja tersadar, pikiranmu belum jernih. Hal lain bisa kita bicarakan lagi nanti. Minumlah obatmu dulu agar lukamu cepat sembuh."

"Oh ya, aku sudah menyuruh orang untuk merebuskan sup ayam untukmu, agar tubuhmu pulih kembali."

Rama berjalan mendekati tempat tidur.

"Tuan Evan, biar aku membantumu meminum obat."

Evan menoleh sekilas. "Ada racun di dalamnya, 'kan?"

Rama buru-buru berkata, "Tuan Evan sungguh suka bercanda. Sebenarnya, Tuan Deon sangat peduli pada Tuan Evan. Hanya saja, beliau nggak pandai mengungkapkannya. Selama kamu nggak sadarkan diri, Tuan Deon terus berjaga di samping tempat tidur, nggak beranjak sedikit pun."

Evan tersenyum dingin, tanpa setitik pun rasa haru.

Dia terlalu memahami Deon, orang yang tidak punya hati dan tidak setia ini. Tentang menjaga di samping tempat tidur tanpa beranjak, pasti itu bukan karena mengkhawatirkannya. Pasti dia memiliki tujuan lain.

"Bagaimana keadaan Paman Dimas?"

Rama buru-buru menjawab, "Paman Dimas baik-baik saja. Tuan Evan nggak perlu khawatir!"

Evan tersenyum dingin. Paman Dimas sudah berusia lanjut, bagaimana mungkin dia akan baik-baik saja setelah dipukuli oleh Ahmad?

"Tuan Evan, biarkan aku membantumu meminum obatnya," ujar Rama sekali lagi.

Evan tetap diam.

Melihat Evan masih enggan meminum obatnya, Rama terpaksa meminumnya seteguk terlebih dahulu.

"Apakah sekarang Tuan Evan sudah merasa yakin?" tanya Rama.

Evan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia hanya bergumam, lalu lanjut berkata, "Ganti sendoknya."

Sendok itu sudah dipakai oleh Rama, membuat Evan merasa muak.

Lagi pula, Rama ini juga bukan orang baik.

Wajah Rama menjadi muram, tetapi dia dengan cepat menunjukkan wajah tersenyum. "Baik, aku akan segera menggantinya!"

Setelah Rama mengganti sendok dan membantu Evan meminum obatnya, dia juga membantu Evan memakan sup ayam.

Deon berkata, "Ayo, kita keluar. Jangan mengganggu istirahat Evan!"

"Evan, beristirahatlah dengan baik. Besok pagi Ayah akan datang menemuimu lagi. Pak Rama akan berjaga di luar pintu, kamu bisa memanggilnya kalau membutuhkan sesuatu."

Evan tidak mengatakan apa-apa, hanya menutup matanya.

Dia benar-benar tidak ingin melihat wajah Deon yang munafik dan memuakkan itu.

Deon mendengus dingin, lalu segera berjalan pergi.

Setelah Deon pergi, Evan membuka matanya. Dia bertanya-tanya, mengapa sikap Deon begitu tidak biasa hari ini. Ada apa sebenarnya?

Mungkin karena efek obat, Evan tertidur tanpa sadar saat memikirkan semua yang terjadi hari ini.

Tidurnya berlanjut hingga keesokan paginya.

Evan merasa kekuatannya telah pulih banyak. Hanya saja, tulang rusuknya yang patah masih terasa sangat sakit.

Dia berjuang untuk duduk, mengulurkan tangan untuk meraih pispot di bawah tempat tidur. Mau bagaimana lagi? Kandung kemihnya hampir meledak.

Tepat pada saat itu, pintu didorong terbuka dari luar.

Rama pun melangkah masuk.

"Tuan Evan sudah bangun?"

Evan berkata dengan penuh amarah, "Pergi dari sini! Kamu sudah begitu lama mengikuti Pak Deon, tapi masih nggak tahu aturan sama sekali? Apa kamu nggak tahu cara mengetuk pintu terlebih dulu? Apa kamu sudah melupakan semua tata krama?"

Wajah Rama langsung berubah muram.

Jika ini sebelumnya, dia pasti sudah mencari cara untuk menghukum Evan. Namun, sekarang Rama tidak berani melakukannya. Deon tiba-tiba sangat memperhatikan Evan, dia tidak berani bertindak sembarangan.

Seperti kata pepatah, antek akan mengikuti tingkah tuannya.

Alasan Evan bersikap tidak ramah pada Rama adalah karena bajingan tua ini sering membantu Intan dan para putranya untuk menindas Evan.

"Tuan Evan, tolong jangan marah. Aku akan segera keluar, segera keluar ...."

Rama menundukkan kepala sambil berpura-pura tersenyum. Namun, matanya tampak penuh dengan kebencian saat dia melangkah keluar dengan tergesa-gesa.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 50

    Di ruang kerja kekaisaran di Istana.Wahyu berdiri di bawah meja dan melaporkan percakapannya dengan Evan kepada Kaisar Sinas secara detail.Setelah mendengar laporan dari Wahyu, Kaisar Sinas segera menulis di atas selembar kertas dengan kuas merahnya.Setelah selesai, dia mengangkat kertas itu dan membacanya dengan saksama."Membunuh satu orang setiap sepuluh langkah dan nggak pernah meninggalkan jejak apa pun dalam jarak seribu mil. Setelah selesai bekerja, langsung pergi dan menyembunyikan identitas.""Dari zaman dulu kala juga semua orang pasti akan mati. Yang penting tinggalkan saja hati yang bersih dalam sejarah.""Air dapat membawa perahu ke mana-mana, tapi juga bisa menenggelamkannya ...."Kaisar Sinas membacanya sekali dan menyukai puisi ini. Makin dibaca, makin dia menyukainya."Bocah itu memang sangat berbakat .... Sayangnya, dia terlalu kurang ajar dan nggak menghormati keluarga kerajaan."Kaisar Sinas melirik Wahyu, lalu bertanya, "Karena kamu sudah bicara dengannya, apa p

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 49

    "Iya. Menyandera dan memukuli Pangeran Kelima adalah kejahatan berat yang hukumannya berupa hukuman mati bagi seluruh keluarga.""Sebenarnya, aku melakukan itu atas perintah seseorang."Jantung Wahyu sontak berdebar kencang. Apa mungkin ada orang lain yang berkomplot?"Siapa yang menyuruhmu?""Menteri Ritual, Deon Nigrat," jawab Evan.Wajah Wahyu sontak berkedut. Karena dia akhir-akhir ini diperintahkan untuk menyelidiki soal Evan, tentu saja dia tahu bahwa Evan tidak diterima di Keluarga Nigrat.Bocah ini ingin menyeret Deon."Apa hubunganmu dengan Deon? Mengapa dia memerintahkanmu untuk menyandera dan memukuli Pangeran Kelima?"Wahyu tetap bertanya walaupun sudah tahu jawabannya.Evan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, lalu menjawab, "Kami nggak punya hubungan apa-apa. Aku ini seorang pembunuh bayaran, jadi aku melakukan banyak hal demi uang .... Deon membayarku untuk membunuh Pangeran Kelima.""Saat orang-orangmu menangkapku, mereka menemukan seratus tahil perak yang kubawa. Itu up

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 48

    Kaisar Sinas pun mengibaskan tangannya dan mengisyaratkan Wahyu untuk pergi.Setelah itu, Kaisar Sinas memandang sang pangeran sambil berkata, "Dalam beberapa waktu ke depan, jangan menjenguknya di penjara.""Walaupun pangeran kelima itu palsu, tetap saja dia berani menyandera dan memukulinya tanpa menyadari apa-apa. Dia tetap mengabaikan hukum dan kekuasaan kekaisaran, jadi dia tetap harus dihukum.""Sesuai perintah Yang Mulia!" jawab sang pangeran dengan segera.Jenderal Hadi yang sudah tidak dapat menahan diri lagi pun akhirnya berkata, "Yang Mulia, masih belum ada kabar tentang Bintang Biru. Tolong izinkan hamba mengutus orang untuk mencarinya."Kaisar Sinas sontak tertegun. Belum ada kabar? Jadi, tadi siapa yang habis mereka bicarakan?Namun, sesaat kemudian Kaisar Sinas menyadari bahwa Jenderal Hadi sepertinya belum mengetahui identitas asli Evan."Jenderal Hadi, Evan yang tadi kami bicarakan itu sebenarnya Evan. Bintang Biru itu Evan. Mereka adalah orang yang sama."Jenderal Had

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 47

    Si pemimpin pun berjalan menghampiri, lalu bertanya, "Bintang Biru, kejahatan apa yang telah kamu lakukan? Walaupun kamu nggak bermaksud, kenyataannya kamu sudah menyelamatkan rekanku. Aku mungkin bisa membantumu meredakan situasi dan mendapatkan hukuman yang lebih ringan."Mereka hanya diperintahkan untuk menangkap Bintang Biru, mereka tidak tahu kejahatan apa yang telah Evan lakukan."Bahkan anak tiga tahun di ibu kota saja tahu kalau nggak akan ada yang bisa keluar hidup-hidup begitu dibawa masuk ke Divisi Pengawasan," sahut Evan sambil tersenyum dengan acuh tak acuh."Semuanya tergantung pada usaha manusia. Mungkin kami dapat membantumu ... atau membuat hidupmu lebih nyaman sebelum ajal menjemput."Evan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Kalian nggak akan bisa menolongku …. Aku menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya dengan kejam. Apa kalian masih bisa menolongku?"Mereka semua sontak tertegun!Menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya adalah kejahatan berat. Hukumannya b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 46

    Evan yang sudah meluncur turun dari pohon bersiap untuk kabur.Namun, begitu berbalik badan, tiba-tiba punggungnya merasakan hawa dingin.Serigala yang menggigit kaki si pria yang tadi memeriksa abu itu tiba-tiba membuka mulutnya dan menerkam ke arah Evan.Evan refleks menoleh. Ekspresinya langsung berubah dan dia berguling di atas tanah.Serigala itu gagal menerkam.Evan pun bangkit berdiri, sementara si serigala menerkamnya lagi.Dia menatap serigala yang menerjang ke arahnya itu dengan tajam, lalu menghunus belatinya dengan secepat kilat.Wooosh!Bilah belati itu berkilat dengan dingin.Evan menusukkan belatinya pada kepala si serigala dengan mantap, akurat dan kejam."Bintang Biru!"Si pemimpin berseru memanggil.Evan mencabut belatinya, lalu balas menyeringai. "Selamat bersenang-senang! Selamat tinggal!"Setelah itu, Evan berbalik badan dan berlari pergi.Akan tetapi, ternyata masih terlalu dini untuk merasa senang!Belum sempat Evan berlari jauh, seekor serigala yang jauh lebih b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 45

    Evan hanya bisa tersenyum getir di dalam hati. Dia sudah terlalu lama membuang waktu di sini. Para anggota Divisi Pengawasan itu pasti bisa menemukan tempat ini karena mengikuti jejak tapal kuda."Bos, di sini ada abu."Salah seorang di antara mereka berkata sambil melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri abu api unggun. Dia mengulurkan tangannya untuk memeriksa. "Masih terasa hangat, jadi harusnya dia belum pergi jauh."Evan berdoa dalam hati semoga mereka tidak melihat ke atas …. Karena begitu mendongak, dia pasti akan ketahuan.Jika orang ini mendongak, mau tidak mau Evan harus menyerang dan membunuhnya …. Namun, bagaimana dengan empat orang lainnya?Semua anggota Divisi Pengawasan adalah ahli yang terkemuka. Kekuatan fisik Evan memang telah meningkat pesat berkat olahraga yang dia lakukan akhir-akhir ini, tetapi tetap saja dia tidak mungkin bisa menang melawan empat orang ahli dari Divisi Pengawasan secara bersamaan.Tiba-tiba, Evan menyadari bahwa sekawanan serigala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status