Share

Bab 5

Author: Raka Anggara
Akash menatap Evan dengan wajah terkejut. 'Di usia semuda ini, dia ternyata memiliki kemampuan sastra yang begitu mendalam,' batin Akash.

"Sepertinya dalam waktu dekat, Dinasti Sinas akan melahirkan seorang tokoh yang akan mengguncang dunia sastra."

Akash tidak segan memuji.

Bahkan pria feminin yang selalu meremehkan Evan, kali ini memilih untuk diam.

Meskipun dia tidak terlalu memahami puisi, orang bodoh pun bisa merasakan betapa tinggi nilai estetika dalam sajak yang dibuat Evan.

Begitu sajak ini tersebar, seluruh ibu kota akan terguncang dalam sekejap.

Evan tersenyum polos. "Aku nggak ingin menjadi terkenal, aku hanya ingin punya cukup makanan dan pakaian hangat."

Tepat pada saat itu, terdengar suara ketukan pintu.

Pria feminin berjalan untuk membuka pintu.

Beberapa pelayan dari Paviliun Juara masuk satu per satu. Tangan mereka membawa nampan berisi hidangan yang lezat.

Ketika Evan melihat mereka menata makanan di atas meja, dia tidak kuasa menahan air liurnya.

Akash meliriknya, lalu berkata sambil tersenyum, "Bintang, duduklah."

Evan bertanya ragu-ragu, "Apa kamu ingin mengundangku makan?"

Akash mengangguk.

Evan sudah sangat lapar. Dia baru saja sembuh dari sakit parah. Dari kemarin hingga sekarang, dia belum makan sesuap nasi pun.

Ketika melihat Evan sudah duduk, Akash berkata, "Makanlah, nggak perlu sungkan!"

"Terima kasih, Paman. Kalau begitu, aku nggak akan sungkan!" ujar Evan.

Evan terlalu lapar hingga mengabaikan tata krama. Dia langsung melahap makanan dengan rakus.

Akash memperhatikannya makan dalam diam, tanpa menyentuh sumpitnya.

"Kasar sekali!"

Melihat Evan yang makan dengan rakus, pria feminin itu menunjukkan ekspresi merendahkan.

Sayangnya, dia dan pria berjanggut itu bahkan tidak mendapat kesempatan untuk duduk. Keduanya berdiri dengan hormat di belakang Akash.

Akhirnya, Evan merasa kenyang hingga bersendawa.

Dia mengangkat kepala, baru menyadari bahwa Akash tidak makan sesuap pun. Dia merasa malu ketika bertanya, "Paman, kenapa kamu nggak makan?"

"Aku nggak lapar!" jawab Akash.

"Kalau begitu, bolehkah aku membawa pulang setengah ayam panggang ini?" tanya Evan.

Akash menatapnya, lalu bertanya, "Apakah kamu sering nggak punya cukup makanan?"

Evan mengangguk.

Akash berujar, "Kalau begitu, biar aku menyuruh orang membungkuskan satu ayam utuh untukmu."

"Nggak perlu, setengah ekor ini saja sudah cukup," balas Evan.

Akash tidak memaksa, hanya mengangguk pelan, lalu mengubah topik pembicaraan, "Berapa kamu ingin menjual sajak ini?"

Evan berpikir sejenak, "Terserah Paman saja. Kamu sudah mentraktirku makan, jadi aku bisa memberimu harga yang murah."

Akash berpikir sebentar. "Bagaimana dengan seratus tahil perak?"

Evan ternganga lebar.

Kaya! Dia menjadi kaya!

Seratus tahil perak setara dengan gaji tahunan seorang pejabat tingkat tiga.

Deon adalah pejabat tingkat dua dengan gaji tahunan seratus lima puluh tahil.

Tentu saja, itu hanya gaji pokok. Jika ditambah berbagai macam tunjangan lain, serta pendapatan yang tidak terlihat, penghasilannya dalam setahun bisa mencapai puluhan ribu tahil perak.

Dengan uang seratus tahil perak, seseorang bisa membeli sebuah rumah kecil dengan dua halaman di pinggiran ibu kota.

Sepuluh menit kemudian, Evan membawa selembar uang kertas senilai seratus tahil, serta satu tahil perak .... Oh ya, juga setengah ekor ayam panggang.

Saat berpisah, Akash memberitahu Evan bahwa dia akan datang ke Paviliun Juara setiap beberapa hari sekali. Jika Evan memiliki puisi yang bagus, dia bisa menemuinya.

Setelah Evan pergi, Akash masih memikirkan sajak itu, tidak bisa menahan kekagumannya. "Sajak yang bagus, sungguh sajak yang luar biasa!"

Pria feminin buru-buru berkata, "Selamat Yang Mulia. Begitu sajak ini tersebar, reputasi Yang Mulia pasti akan makin meningkat!"

Ternyata Akash bukanlah orang biasa. Dia adalah Kaisar Dinasti Sinas saat ini!

Kaisar Sinas melirik pria feminin, lalu berujar, "Apa kamu ingin aku mengakui karya orang lain sebagai milikku? Meskipun aku menyukai puisi, aku nggak akan melakukan hal memalukan seperti mencuri ketenaran."

Pria feminin yang melihat ketidaksenangan Kaisar, langsung ketakutan hingga berlutut dengan cepat.

"Yang Mulia, mohon ampun! Aku hanya berpikir, karena sajak ini sudah dibeli oleh Yang Mulia, sajak ini sudah menjadi milik Yang Mulia."

Kaisar Sinas mendengus dingin. "Apa kamu benar-benar berpikir sajak ini hanya bernilai seratus tahil? Sajak ini bahkan pantas mendapatkan seribu tahil emas!"

"Alasan aku menyebutkan seratus tahil adalah demi kebaikan pemuda itu .... Dia masih muda dan lemah, kalau memiliki terlalu banyak uang, pasti akan mengundang malapetaka."

Pria feminin itu buru-buru berkata, "Yang Mulia sungguh bijaksana!"

Kaisar Sinas melambaikan tangannya. "Pergilah, ambilkan aku kertas dan alat tulis. Aku ingin menulis sajak ini, lalu menempelkannya di luar agar semua orang bisa melihatnya. Begitu banyak cendekiawan dan sastrawan, tapi nggak ada yang bisa mengalahkan pemuda ini. Sungguh menyia-nyiakan Paviliun Juara yang aku bangun ini."

"Baik!"

Pria feminin itu segera bangkit, pergi mengambil alat tulis.

Kaisar Sinas berpikir sejenak, lalu memanggil, "Barda."

"Ya!"

Pria berjenggot lebat dengan wajah garang tampak berlutut dengan satu kaki di hadapan Akash.

Akash berkata, "Ikuti Bintang, selidiki latar belakangnya."

"Baik!"

Begitu Evan meninggalkan Paviliun Juara, dia pergi ke sebuah toko pakaian. Dia menghabiskan lima koin perak untuk membeli pakaian yang tebal, serta satu koin perak untuk sepasang sepatu.

Di Dinasti Sinas ada uang tembaga, seribu uang tembaga sama dengan satu gulung uang. Uang ini terlalu berat, jadi kebanyakan orang lebih suka menggunakan uang perak, kecuali rakyat biasa.

Oleh karena itu, di tempat-tempat bisnis, selalu ada timbangan kecil yang diawasi kerajaan, dilengkapi dengan gunting yang besar.

Ingin menggunakan perak? Mereka hanya perlu memotong sesuai timbangan.

Evan mengenakan pakaian barunya, membawa setengah ayam panggang kembali ke kediaman Keluarga Nigrat, lalu memanjat masuk dengan menginjak batu di sudut tembok.

Begitu masuk, dia melihat Ahmad bersama beberapa pelayan sedang menunggunya.

"Evan, kamu ini benar-benar bajingan yang nggak tahu aturan. Kamu memanjat tembok untuk masuk, apa kamu nggak punya sopan santun?"

"Ayah menyuruhmu mengurung diri untuk merenung, tapi kamu malah berani memanjat tembok untuk keluar. Kalau Ayah tahu, kamu pasti ...."

Ahmad menunjuk sambil memaki Evan hingga air liurnya berterbangan.

Namun, tiba-tiba makiannya terhenti.

Karena Evan mengambil sebatang tongkat sebesar lengan dari dekat tembok tanpa mengatakan apa-apa, lalu berjalan ke arah Ahmad.

Ahmad teringat Suseno, yang kepalanya pecah karena hantaman keramik, sekarang masih terbaring di tempat tidur untuk memulihkan diri. Dia juga teringat tindakan Evan semalam yang meminta ayahnya untuk membakarnya hidup-hidup. Hati Ahmad gemetaran ketakutan, membuatnya mundur beberapa langkah.

"Evan, Evan, apa yang ingin kamu lakukan?"

Evan berkata dengan nada dingin, "Jangan takut, aku hanya ingin menghancurkan kepala bajinganmu saja."

"Kamu .... Kamu masih berani berbuat kasar? Kalau Ayah tahu, menurutmu apa akibatnya?" ucap Ahmad.

Evan kembali membalas dengan nada dingin, "Begitu dia tahu, kamu pasti sudah mati! Paling buruk, dia hanya akan membunuhku untuk membalaskan dendammu. Tapi dengan nyawamu yang sudah melayang, aku juga nggak rugi."

Ahmad tiba-tiba tersadar. Untuk apa dia merasa takut? Bukankah dia membawa beberapa pelayan?

"Kenapa kalian diam saja? Cepat tangkap dia!"

Beberapa pelayan yang memegang tongkat tampak berjalan mendekati Evan.

Paman Dimas berlari untuk melindungi Evan, tampak gemetaran ketakutan.

Evan berteriak dengan marah, "Aku mau lihat siapa yang berani menyentuhku! Meskipun aku nggak disukai, aku tetap putra Keluarga Nigrat. Bagaimana bisa kalian, para pelayan, berani menyentuhku?"

Beberapa pelayan tertegun, tidak berani bergerak sembarangan.

Kata-kata Evan benar. Posisi seorang tuan dan pelayan memang harus selalu diperhatikan. Meskipun Evan tidak disukai, dia tetap putra Keluarga Nigrat, bukan orang yang bisa mereka sentuh sembarangan.

Ahmad berteriak, "Dasar kalian para pelayan sialan! Dia bukan siapa-siapa di sini. Di kediaman Keluarga Nigrat, dia bahkan nggak lebih berharga dari hewan peliharaan .... Pukul dia! Kalau ada masalah, aku yang akan menanggungnya!"

Evan tersenyum dingin. "Dia adalah putra Pak Deon. Kalau aku celaka, Pak Deon nggak akan melakukan apa-apa padanya. Tapi kalian adalah para pelayan. Kalau melanggar aturan dengan menyerang atasan, paling ringan hukumannya adalah cambukan tiga puluh kali. Pikirkan saja, apakah tulang-tulang kalian yang hanya bernilai beberapa tahil itu sanggup menahannya?"

"Pergi kalian semua!"

Teriakan marah Evan membuat para pelayan ini gemetar ketakutan.

Evan mengayunkan tongkat untuk menyerang Ahmad.

Ahmad berteriak ketakutan, lalu berbalik untuk lari.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 50

    Di ruang kerja kekaisaran di Istana.Wahyu berdiri di bawah meja dan melaporkan percakapannya dengan Evan kepada Kaisar Sinas secara detail.Setelah mendengar laporan dari Wahyu, Kaisar Sinas segera menulis di atas selembar kertas dengan kuas merahnya.Setelah selesai, dia mengangkat kertas itu dan membacanya dengan saksama."Membunuh satu orang setiap sepuluh langkah dan nggak pernah meninggalkan jejak apa pun dalam jarak seribu mil. Setelah selesai bekerja, langsung pergi dan menyembunyikan identitas.""Dari zaman dulu kala juga semua orang pasti akan mati. Yang penting tinggalkan saja hati yang bersih dalam sejarah.""Air dapat membawa perahu ke mana-mana, tapi juga bisa menenggelamkannya ...."Kaisar Sinas membacanya sekali dan menyukai puisi ini. Makin dibaca, makin dia menyukainya."Bocah itu memang sangat berbakat .... Sayangnya, dia terlalu kurang ajar dan nggak menghormati keluarga kerajaan."Kaisar Sinas melirik Wahyu, lalu bertanya, "Karena kamu sudah bicara dengannya, apa p

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 49

    "Iya. Menyandera dan memukuli Pangeran Kelima adalah kejahatan berat yang hukumannya berupa hukuman mati bagi seluruh keluarga.""Sebenarnya, aku melakukan itu atas perintah seseorang."Jantung Wahyu sontak berdebar kencang. Apa mungkin ada orang lain yang berkomplot?"Siapa yang menyuruhmu?""Menteri Ritual, Deon Nigrat," jawab Evan.Wajah Wahyu sontak berkedut. Karena dia akhir-akhir ini diperintahkan untuk menyelidiki soal Evan, tentu saja dia tahu bahwa Evan tidak diterima di Keluarga Nigrat.Bocah ini ingin menyeret Deon."Apa hubunganmu dengan Deon? Mengapa dia memerintahkanmu untuk menyandera dan memukuli Pangeran Kelima?"Wahyu tetap bertanya walaupun sudah tahu jawabannya.Evan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, lalu menjawab, "Kami nggak punya hubungan apa-apa. Aku ini seorang pembunuh bayaran, jadi aku melakukan banyak hal demi uang .... Deon membayarku untuk membunuh Pangeran Kelima.""Saat orang-orangmu menangkapku, mereka menemukan seratus tahil perak yang kubawa. Itu up

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 48

    Kaisar Sinas pun mengibaskan tangannya dan mengisyaratkan Wahyu untuk pergi.Setelah itu, Kaisar Sinas memandang sang pangeran sambil berkata, "Dalam beberapa waktu ke depan, jangan menjenguknya di penjara.""Walaupun pangeran kelima itu palsu, tetap saja dia berani menyandera dan memukulinya tanpa menyadari apa-apa. Dia tetap mengabaikan hukum dan kekuasaan kekaisaran, jadi dia tetap harus dihukum.""Sesuai perintah Yang Mulia!" jawab sang pangeran dengan segera.Jenderal Hadi yang sudah tidak dapat menahan diri lagi pun akhirnya berkata, "Yang Mulia, masih belum ada kabar tentang Bintang Biru. Tolong izinkan hamba mengutus orang untuk mencarinya."Kaisar Sinas sontak tertegun. Belum ada kabar? Jadi, tadi siapa yang habis mereka bicarakan?Namun, sesaat kemudian Kaisar Sinas menyadari bahwa Jenderal Hadi sepertinya belum mengetahui identitas asli Evan."Jenderal Hadi, Evan yang tadi kami bicarakan itu sebenarnya Evan. Bintang Biru itu Evan. Mereka adalah orang yang sama."Jenderal Had

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 47

    Si pemimpin pun berjalan menghampiri, lalu bertanya, "Bintang Biru, kejahatan apa yang telah kamu lakukan? Walaupun kamu nggak bermaksud, kenyataannya kamu sudah menyelamatkan rekanku. Aku mungkin bisa membantumu meredakan situasi dan mendapatkan hukuman yang lebih ringan."Mereka hanya diperintahkan untuk menangkap Bintang Biru, mereka tidak tahu kejahatan apa yang telah Evan lakukan."Bahkan anak tiga tahun di ibu kota saja tahu kalau nggak akan ada yang bisa keluar hidup-hidup begitu dibawa masuk ke Divisi Pengawasan," sahut Evan sambil tersenyum dengan acuh tak acuh."Semuanya tergantung pada usaha manusia. Mungkin kami dapat membantumu ... atau membuat hidupmu lebih nyaman sebelum ajal menjemput."Evan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Kalian nggak akan bisa menolongku …. Aku menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya dengan kejam. Apa kalian masih bisa menolongku?"Mereka semua sontak tertegun!Menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya adalah kejahatan berat. Hukumannya b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 46

    Evan yang sudah meluncur turun dari pohon bersiap untuk kabur.Namun, begitu berbalik badan, tiba-tiba punggungnya merasakan hawa dingin.Serigala yang menggigit kaki si pria yang tadi memeriksa abu itu tiba-tiba membuka mulutnya dan menerkam ke arah Evan.Evan refleks menoleh. Ekspresinya langsung berubah dan dia berguling di atas tanah.Serigala itu gagal menerkam.Evan pun bangkit berdiri, sementara si serigala menerkamnya lagi.Dia menatap serigala yang menerjang ke arahnya itu dengan tajam, lalu menghunus belatinya dengan secepat kilat.Wooosh!Bilah belati itu berkilat dengan dingin.Evan menusukkan belatinya pada kepala si serigala dengan mantap, akurat dan kejam."Bintang Biru!"Si pemimpin berseru memanggil.Evan mencabut belatinya, lalu balas menyeringai. "Selamat bersenang-senang! Selamat tinggal!"Setelah itu, Evan berbalik badan dan berlari pergi.Akan tetapi, ternyata masih terlalu dini untuk merasa senang!Belum sempat Evan berlari jauh, seekor serigala yang jauh lebih b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 45

    Evan hanya bisa tersenyum getir di dalam hati. Dia sudah terlalu lama membuang waktu di sini. Para anggota Divisi Pengawasan itu pasti bisa menemukan tempat ini karena mengikuti jejak tapal kuda."Bos, di sini ada abu."Salah seorang di antara mereka berkata sambil melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri abu api unggun. Dia mengulurkan tangannya untuk memeriksa. "Masih terasa hangat, jadi harusnya dia belum pergi jauh."Evan berdoa dalam hati semoga mereka tidak melihat ke atas …. Karena begitu mendongak, dia pasti akan ketahuan.Jika orang ini mendongak, mau tidak mau Evan harus menyerang dan membunuhnya …. Namun, bagaimana dengan empat orang lainnya?Semua anggota Divisi Pengawasan adalah ahli yang terkemuka. Kekuatan fisik Evan memang telah meningkat pesat berkat olahraga yang dia lakukan akhir-akhir ini, tetapi tetap saja dia tidak mungkin bisa menang melawan empat orang ahli dari Divisi Pengawasan secara bersamaan.Tiba-tiba, Evan menyadari bahwa sekawanan serigala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status