Share

Bab 3

Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Hanna yang saat itu tengah sibuk dengan HP tidak mendengar ketukan tersebut. Dia sibuk mengirimkan lamaran-lamaran kerja yang dia dapat diinternet dan media sosial. Seperti rencananya dari awal, dia akan mencari kerja setelah menikah di tempat kelahirannya.

Karena tidak ada yang membuka pintu akhirnya pintu langsung dibuka dari luar. Ternyata itu Bi Rahmi yang kemudian langsung mencari keberadaan Hanna.

“Han, kamu lagi apa, Han?”

“Loh, Bi Rahmi. Kapan datangnya, Bi. Aku kok gak dengar?”

“Tadi Bibi ketuk pintu berkali-kali tapi gak ada yang bukain jadi langsung masuk aja. Ternyata pintunya juga gak dikunci.”

“Iya Bi, emang Hanna gak pernah kunci pintu kalau gak lagi tidur.”

“Emangnya kamu lagi ngapain, Han. Sampai gak dengar Bibi datang?”

“Aku lagi sibuk sama HP ini, Bi. Lagi kirim lamaran kerja. Tapi dari kapan hari belum juga ada panggilan.”

“Sabar Han. Emang cari kerja itu gak gampang. Oh iya Han, Bibi kesini mau numpang nonton TV. Di rumah jenuh gak ada TV.”

“Ya udah sini Bi, biar Hanna temenin. Kebetulan Hanna juga gak ada temen ngobrol.”

Tidak lama kemudian terdengar suara motor yang datang. Suara yang tidak terdengar asing bagi Hanna. Ferdi datang untuk mengambil bekal makan siangnya. Biasanya kalau toko rame, Hanna yang mengantar bekal untuk Ferdi.

“Dek, kamu lagi apa? Mas mau ambil bekal.”

“Aku lagi nonton TV sama Bi Rahmi, Mas. Tapi kayaknya Bibi ketiduran. Padahal baru aja kami berbincang sebentar.”

“Ya udah biarin, mungkin Bibi capek.”

“Aku ambilin dulu bekalnya di meja makan ya. Tadi udah aku siapain.”

Bergegas Hanna mengambil bekal suaminya, karena dia tau kalau suaminya itu tidak bisa meninggalkan toko terlalu lama.

“Ini Mas bekalnya. Aku juga udah bikinin kopi buat Mas. Masih hangat. Jadi Mas gak perlu beli.”

“Makasih ya, Dek. Oh iya Dek, sebenarnya ada yang mau mas bicarakan sama kamu.”

“Mau biacara apa, Mas.”

“Mas rasa kamu harus segera tau hal ini, Dek. Tapi janji jangan marah ya.”

“Ada masalah apa, Mas? Serius ya? Sampai Mas nyuruh aku janji buat gak marah.”

“Ada masalah di toko, Dek. Kayaknya nanti Mas pulang agak malam. Takut kamu udah tidur jadi gak bisa ngobrol masalah ini.”

“Ya udah kalau gitu kita bicara di dapur aja ya, Mas. Takut Bi Rahmi nanti keganggu.”

Hanna segera berjalan ke dapur diikuti Ferdi dibelakangnya. Hatinya tampak gelisah tak karuan. Sepertinya suaminya itu memiliki masalah serius yang akan disampaikan. Namun dia berusaha untuk tetap tenang.

“Di sini aja, Mas. Ada masalah apa memangnya di toko.”

“Jadi gini, Dek. Tadi waktu Mas sampai toko, Ibu udah ada di depan toko nungguin Mas. Ibu kira selama ini Mas selalu buka siang dan tutup masih sore. Padahal Mas tutup lebih awal itu cuma kemarin aja karena warung lagi sepi banget. Ditambah lagi Ibu lihat beberapa barang yang kosong karena belum Mas stok lagi”

“Terus Mas udah coba jelasin ke Ibu?”

“Udah, Dek. Tapi ibu anggap kalau itu cuma alasan aja. Ibu tetap gak percaya sama semua penjelasan dari Mas.”

“Berarti ada kesalahpahaman antara Ibu sama Mas. Dan ini harus diluruskan.”

“Percuma Dek. Ibu bukan tipe orang yang mudah percaya gitu aja. Apalagi mulai sekarang Ibu yang akan pegang semua uang toko. Tiap sore Ibu akan datang ngecek ke toko dan Mas harus setorkan hasil penjualan hari itu ke Ibu.”

“Loh kok jadi gini Mas. Tapi uang buat jatah belanja harian aku tetap ada kan, Mas?”

“Mas gak yakin bisa ambil uang tiap hari buat kamu, Dek. Soalnya Mas takut kalau nanti Ibu mengira kita boros.”

“Terus aku belanja pake apa, Mas. Tiap hari aku udah berusaha hemat dari uang yang Mas kasih. Selama ini mas cuma kasih jatah lima puluh ribu untuk sehari dan itu juga untuk keperluan gas, listrik dan galon. Itu aja aku berusaha sisain uang untuk ditabung. Itu masih dibilang boros?”

“Bukan begitu, Dek. Kamu sabar dulu. Biar Mas yang cari jalan keluarnya.”

“Jalan keluar seperti apa, Mas. Aku tau persis kalau Mas gak akan bisa melawan sama Ibu. Bukannya aku nyuruh mas jadi anak yang pembangkang sama orangtua. Tapi harusnya Ibu paham kalau Mas cuma dapat penghasilan dari toko aja untuk ngehidupin aku. Karena gimanapun aku udah jadi istri Mas. Jadi udah selayaknya Mas bertanggungjawab atas kebutuhanku. Gak mungkin aku minta uang ke Ibu atau bapakku. Bisa malu aku,Mas.”

“Kamu jangan emosi dulu, Dek. Mas akan cari jalan keluar. Kalau memang dari toko gak bisa diandalkan, Mas akan cari kerjaan lain.”

“Iya, terserah aja.” Hanna mulai lelah dengan semua kata-katanya.

“Ya udah kalau gitu Mas berangkat dulu ya, Dek. Kamu baik-baik di rumah. Jangan dipikirin masalah ini biar Mas yang cari solusi. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Bagaimanapun semua perbincangan mereka menjadi beban pikiran bagi Hanna. Dia tidak menyangka akan terjadi masalah seperti ini. Sementara dia sendiri belum juga mendapat pekerjaan. Dia takut kalau Ibunya tahu akan menjadi masalah baru lagi. Apalagi mengingat sebelumnya, Ibunya sempat mempermasalahkan Ferdi yang hanya bekerja di toko. Malah sekarang hasil dari toko pun sudah dikuasai oleh mertuanya.

Saat itu yang Hanna ingat hanya perkataan orangtua Ferdi yang telah memberikan kepercayaan pada Ferdi toko itu karena setelah menikah, Ferdi tidak lagi ikut bekerja ayahnya ke luar kota. Namun kini dia mendapati kenyataan yang berbeda.

“Han, kamu lagi apa di dapur? Ferdi barusan sudah berangkat.”

“Loh, Bi Rahmi sudah bangun?”

“Iya tadi Bibi kebangun, Han. Kamu tadi tengkar sama Ferdi”

Sepertinya perdebatannya tadi dengan Ferdi membangunkan Bi Rahmi. Hanna yang terlalu syok dengan perkataan Ferdi tidak sadar kalau suaranya terlalu keras saat bicara.

“Enggak kok, Bi.”

“Tadi Bibi denger ribut-ribut di dapur. Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik, Han. Gak baik kalau gampang emosi.”

“Gimana gak emosi Bi. Tadi Mas Ferdi cerita kalau sekarang toko yang pegang itu Ibu mertua. Mas Ferdi tetap kerja di sana tapi kalau tutup harus setor pendapatan hari itu ke Ibu mertua.”

Hanna menceritakan semua keluh kesahnya pada Bi Rahmi. Karena bagi Hanna, Bi Rahmi teman bicara yang baik dan juga dapat dipercaya menjaga rahasia. Bukan maksud dia mau membuka aib keluarga kecilnya. Tapi dengan begitu dia banyak mendapat nasehat dari Bi Rahmi.

“Kalau begitu kamu harus bantu keuangan keluarga, Han.”

“Tapi kan belum ada satupun lamaran yang aku kirim ada hasil, Bi.”

“Kalau cari kerja susah. Kamu usaha aja, Han. Kira-kira kamu bisa bikin apa gitu. Apa mau jualan baju kayak teman SD kamu?”

“Baju itu gak tiap hari laku, Bi. Tapi mungkin aku bikin ayam geprek aja kali, Bi.”

“Boleh juga itu. Kata Firman ayam geprek buatan kamu kan enak, Han. Dicoba aja dulu.”

“Iya Bi, aku mau coba bikin ayam geprek.” Hanna bersemangat.

“Jangan kuatir nanti pasti Bibi bantu.”

“Oke Bi.”

Merasa mendapatkan harapan baru, Hanna sangat bersemangat dengan usahanya ini. Dia memasak ayam geprek dan membuat promosi yang di upload di F* dan W*. Setelah meng-upload foto ayam geprek yang lengkap dengan sayur dan nasi ke F*, Hanna melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.

Betapa senangnya Hanna ternyata dari foto ayam geprek yang dia upload ada beberapa yang memesan. Dia sangat senang walaupun hanya beberapa saja yang memesan. Baginya itu adalah awal yang bagus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status