Share

Bab 4

Hanna bangun pagi-pagi sekali untuk mulai menyiapkan ayam geprek pesanan para pelanggan barunya. Dia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang membeli ayam geprek bikinannya itu. Sebelumnya dia sudah membeli keperluan untuk berjualan. Dia bertekad akan bekerja keras demi mendapat penghasilan karena kemarin Ferdi sudah tidak bisa membawa uang untuk belanja harian. Ferdi hanya bisa memberi tiga hari sekali itupun dengan nilai yang sama seperti biasa.

“Dek, kamu ngapain pagi-pagi udah di dapur. Ini masih subuh loh.” Ferdi yang hendak menunaikan ibadah melihat Hanna yang sudah sibuk di dapur. Biasanya istrinya itu masih harus dia bangunkan dulu. Setelah sholat pun Hanna biasanya kembali tidur dan bangun lagi saat ibunya mampir.

“Aku lagi ada pesanan buat besok, Mas.”

“Pesanan apa, Dek?” Ferdi tidak mengetahui Hanna berjualan ayam geprek bingung, sebab saat Ferdi pulang malamnya, Hanna sudah ketiduran.

“Aku belum sempat bilang, Mas. Jadi aku mulai hari ini jualan ayam geprek. Doain laris manis ya.”

“Ya ampun, Dek. Gara-gara Mas kamu harus jualan gini. Maafin Mas yang belum bisa kasih lebih ya Dek.”

“Gak usah minta maaf, Mas. Kita berjuang sama-sama. Ya udah ayo sholat dulu. Nanti aku mau lanjut lagi. Tadi masih selesai motong-motong ayam.”

“Ya udah ayo.”

Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Ferdi dan Firman juga sudah berangkat, Hanna mulai mengemas ayam geprek pesanan para pelanggannya. Dia sangat berhati-hati agar terlihat rapi. Sambil mengemas, Hanna sempat ingat pujian dari Firman saat sarapan tadi.

“Kak, pagi-pagi udah bikin ayam geprek.”

“Iya Dek, kakak jualan ayam geprek mulai hari ini. Kamu makan sambalnya jangan terlalu banyak. Ini masih pagi nanti sakit perut.”

“Enggak kok. Aku ambil dikit aja sambelnya. Rasanya emang enak bikinan kakak daripada yang ada dikantin sekolah.” 

“Masa sih dek. Jadi dikantin SMP kamu ada yang jual ayam geprek?”

“ada kak, tapi gak enak. Cuma tepungnya yang ada rasa. Kalau ayamnya anyep.”

Hanna tersenyum sendiri saat mengingat pujian Firman tadi. Dia yakin ayam gepreknya akan laris manis. Hanya menunggu waktu sampai orang-orang tau. Segera setelah semuanya sudah siap, Hanna mulai mengantarkan ayam gepreknya satu persatu pada pelanggan. Jadi Hanna yang memasak dan Hanna juga kurirnya. Namun sebelum ayam-ayam itu diantar, dia tak lupa untuk memotretnya dan meng-upload ke F*.

Kebetulan hari itu dia juga memberikan bekal ayam geprek untuk Kania, keponakan Hanna yang duduk dibangku kelas satu SMP. Dia cucu dari Bi Rumi. Karena Kania ahli promosi, jadi Hanna meminta bantuan Kania untuk mempromosikan pada teman-temannya di sekolah.

*****

“Han, kamu udah selesai bikin pesanannya?”

Bi Rahmi datang dengan niat membantu. Hanna yang saat itu kambali sibuk di dapur sesampai mengantar pesanan merasa lega melihat Bi Rahmi datang.

“Wah, untung Bibi datang. Aku gak ada yang bantu. Kebetulan ada yang nambah lagi, Bi. Tapi kan aku goreng ayam kalau ada pesanan aja. Jadi ini masih bikin dadakan. Niatnya nanti kalau gak laku bisa dijual lagi besok, Bi. Kalau udah digoreng, besok udah beda rasa. Orangnya udah telpon terus.”

“Ya udah sini biar bibi yang siapkan nasi dan sayurnya. Sambalnya udah dikemas belum?”

“Belum, Bi. Masih ada dimangkok.”

“Sini biar bibi yang kemas ke plastik. Buat berapa biji, Han?”

“Lima Biji, Bi?”

Kerjasama antara Hanna dan Bi Rahmi sangat kompak. Saat Hanna mengantar pesanan, Bi Rahmi di rumah melihat pesanan masuk lainnya. Saat Hanna tiba, dia tinggal bersiap untuk membuat ayam saja karena yang lain sudah disiapkan Bi Rahmi.

*****

Kania yang baru pulang dari sekolah langsung pergi ke rumah Hanna. Saat ini Hanna dan Bi Rahmi baru beristirahat setelah menyelesaikan beberapa pesanan. Meskipun masih baru, tapi ayam geprek Hanna lumayan banyak peminat.

“Kak, aku ada kabar bagus,” teriak Kania dengan tergesa-gesa berlari ke arah Hanna.

“Kabar baik apa, Nia?”

“Jadi tadi pas aku makan ayam geprek dari Kak Hanna, banyak teman yang lihat dan mereka besok pesan. Ada dua puluh lima anak yang pesan untuk besok. Tapi jangan siang-siang ya, Kak. Soalnya dimakan pas jam istirahat setengah sepuluh.”

“Alhamdulillah, makasih ya Nia. Kamu memang jago promosi. Besok Kak Hanna gak bakalan telat. Kamu juga ada jatah sendiri, jadi jangan kuatir.

Hanna sangat senang mendengar kabar dari Kania. Itu berarti besok dia sudah mendapat pesanan dua puluh lima kotak dari anak SMP. Belum lagi dari pesanan orang-orang yang minta dikirim.

“Ternyata usaha kamu gak sia-sia ya, Han. Tenang aja besok Bibi bantu buat pesanan untuk anak SMP.”

“Iya, Bi. Ini juga berkat Bibi yang selalu dukung Hanna.”

“Oh iya Han, coba lihat HP kamu ada yang pesan lagi apa gak sekarang? Kalau gak ada yang pesan, Bibi mau pulang dulu.”

“Gak ada, Bi. Kalau Bibi mau pulang gak apa. Nanti kalau ada yang pesan Hanna bisa kok. Kalau terlalu capek gak baik juga buat kesehatan Bibi.”

“Kalau gitu aku juga mau pulang ya, Kak. Nanti kalau ada yang nambah aku W*,” timpal Kania.

“Oke, Nia. Makasih ya.”

*****

Malam yang cukup melelahkan bagi Hanna karena tadi seharian dia sudah melakukan banyak hal. Mulai dari memasak sendiri lalu mengantar pesanan ke masing-masing pelanggan. Tapi semua itu terbayar dengan hasil kerjanya hari itu. Untuk hari pertama Hanna mendapat uang sebesar seratus dua puluh ribu. Walaupun tidak seberapa tapi bagi Hanna merupakan awal yang bagus. Dan besok dia sudah bisa menghitung berapa penjualan yang diperoleh. Tentu jauh lebih banyak dari hari ini.

Sambil menghitung laba bersih, Hanna mengecek HP. Dia lihat ada beberapa W* pesanan untuk besok totalnya sepuluh kotak. Belum lagi kalau ada yang pesan langsung kirim. Hanya dengan membayangkan saja sudah membuat Hanna makin bersemangat.

Terdengar suara motor Ferdi datang. Hanna yang awalnya asyik menghitung pesanan, segera bergegas menyambut suaminya itu.

“Mas, udah pulang?”

“Iya, Dek. Kamu lagi ngapain? Kok gak nonton TV?”

“Aku lagi hitung pesanan buat besok, Mas. Tadi juga udah belanja banyak buat jualan besok.”

“Wahh, kayaknya dapat banyak pesanan ini,” goda Ferdi.

“Tau aja, coba tebak berapa yang pesan?”

“Emmm, berapa ya? Lima belas? Bener gak?”

“Salah. Yang benar aku dapat tiga puluh lima pesanan buat besok. Dua puluh lima teman sekolah Kania. Yang sepuluh delivery order.”

“Banyak itu, Dek. Kamu bisa buat sendirian? Nanti kalau bangun Mas ikut ya, biar Mas bantu.”

“Mas mau bantuin apa? Kayaknya Mas gak bisa deh?”

“Ya barangkali bagian nyuci sayur, ngupas timun atau apalah gitu. Biar kamu gak sibuk sendiri.”

“Iya deh, nanti aku bangunin.”

“Oh iya Dek, tadi Ibu nanyain kamu. Katanya kamu uda lama gak ke rumah Ibu. Sampai tetangga aja bilang kalau kamu gak pernah kelihatan jenguk Ibu.”

“Duuhh, gimana ya Mas. Sekarang aku juga udah ada jualan. Kayaknya kalau siang gak bisa ke rumah Ibu. Malamnya aku gak berani kalau ke sana. Takut pas lewat gang sepi di perempatan jalan sana. Lagian kok tumben Ibu nanyain aku.”

“Mungkin kangen, Dek.”

“Kayak gak biasanya aja sih Mas. Terus Mas bilang gak kalau aku mulai hari ini jualan?”

“Mas tadi udah bilang, tapi katanya kalau sempat suruh ke sana lah bentar.”

“Ya udah kalau pas selesai antar pesanan ya aku kesana. Tapi kalau besok aku gak janji.”

“Iya, sesempat kamu aja Dek.”

Hanna merasa lega karena dia mendapat jalan keluar dari masalah yang menjeratnya yaitu keuangan. Meski harus bekerja keras, Dia sanggup asal terpenuhinya kebutuhan keluarga. Tapi dia juga gelisah karena tidak seperti biasanya Ibu mertuanya itu menanyakannya. Beberapa bulan menika, dia hanya beberapa kali kesana. Tapi tidak pernah sekalipun Ibu mertuanya itu ingin dikunjungi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status