Share

Bab 2

Beberapa bulan kemudian

“Dek, kamu gak pengen apa-apa gitu?” tanya Ferdi yang tengah bersiap untuk berangkat ke toko.

“Pengen apa Mas? Aku gak pengen apa-apa. Tumben Mas tanya,” jawab Hanna yang penasaran.

“Ya gak apa sih, barangkali mau dibawakan sesuatu nanti dari toko. Apa pengen camilan gitu daripada beli di toko lain.”

“Gak usah lah mas.”

“Ya udah kalau gitu Mas berangkat dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Setelah Ferdi berangkat kerja,Hanna kemudian pergi ke rumah bibinya. Rumahnya berjarak sekitar 300 meter dari rumah Hanna. Setiap kali dia merasa bosan, dia selalu berkunjung ke sana.

“loohh, ada tamu berkunjung pagi-pagi,” sapa seorang wanita yang tengah duduk di kursi depan sebuah rumah dengan teras yang cukup luas.

Dia lah Bibi Hanna yang sangat dekat dengannya. Namanya Rahmi, sejak kecil Hanna lebih banyak menghabiskan waktu dengannya karena sering ditinggal kerja ke luar kota oleh ibunya. Hanna sudah dianggap seperti anak sendiri olehnya. Sebab Bi Rahmi tidak memiliki anak dan suaminya meninggal saat usianya masih terbilang muda. Setelah itu Bi Rahmi tidak pernah menikah lagi.

“Iya, Bi rahmi. Aku bosan di rumah gak ada teman. Bi Rahmi kok gak main ke sana sih.”

“Bi Rahmi lagi kurang enak badan, Han. Kan kamu bisa main ke sini.”

“Bi, Rahmi di rumah sendirian? Yang lain mana kok gak ada?”

“Ada di dalam itu. Kamu masuk aja. Kayaknya Bi Rumi lagi masak.”

Hanna bergegas masuk ke dalam rumah dan melihat bibinya yang satu lagi sedang memasak di dapur. Bibi yang terkenal sangat sabar dan tidak pernah terlihat marah, dia Bibi Rumi. Bi Rumi tinggal dengan suami dan satu orang cucunya. Selain itu Bi Rahmi juga tinggal dengannya, sebab Bi Rahmi sering sakit-sakitan.

“Masak apa Bi Rumi?”

“ehh copot, kamu Han. Kaget bibi. Kirain siapa tiba-tiba nongol. Ini masak pecel lele. Kamu sudah makan, Han? Ayo makan bareng.”

“Hanna udah makan, Bi. Udah kenyang sekarang.”

“Ya udah kalau gitu. Ferdi udah berangkat, Han?”

“Iya, Bi. Baru aja berangkat. “

“Ya udah kalau gitu kamu di sini aja daripada sendiri di rumah. Ayo ngobrol di ruang tamu aja, Han. Bibi udah selesai semua ini.”

Hampir setiap hari Hanna menghabiskan waktunya bersama kedua Bibinya itu. Sampai jam 12 siang dia baru pulang untuk menyiapkan makanan untuk Ferdi kalau saja dia pulang.

*****

“Dek, ini uang belanja untu besok ya,” sambil memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan, Ferdi menatap istrinya dalam.

“Iya, Mas. Terima Kasih.”

“Kalau kamu butuh apa-apa bilang ya.”

“Iya, Mas.”

“Dek, Mas boleh tanya sesuatu?”

“Tanya apa Mas?”

“Kamu Hamil apa gak Dek?” tanya Ferdi penuh harap.

“Belum Mas, kenapa?” jawab Hanna yang sedikit cemas.

“Ya gak apa-apa, tapi Mas pengen cepet aja punya anak. Kalau ada anak nanti kita akan jauh lebih bahagia. Kamu juga ada temennya kalau di rumah sendiri.”

“Nanti kalau udah waktunya juga dikasih.”

Dalam hati Hanna merasa sangat bersalah karena telah menyembunyikan bahwa dia diam-diam memakai kontrasepsi tanpa seijin suaminya. Dia lebih memilih mengikuti kata-kata ibunya daripada suaminya. Dia sadar akan dosa yang dia terima tapi karena keadaan membuatnya melakukan itu. Menurutnya, kata-kata ibunya juga ada benarnya. Saat ini kondisi keuangan mereka belum bisa dibilang siap untuk membiayai seorang anak.

“oh iya Dek, ada masalah di Toko.”

“Ada masalah apa, Mas?”

“Kamu tau gak Minimarket yang baru buka beberapa hari lalu?”

“Iya aku tau, Mas. Malah kemarin aku sempat beli sabun di sana karena lagi ada promo beli 1 gratis 1.”

“Loohh, kok malah kamu beli di sana juga?” gumam Ferdi yang sedikit kesal pada istrinya.

“Kan cuma iseng aja, Mas,” goda Hanna yang sambil senyum-senyum kecil.

“Minimarket itu yang jadi penyebab masalahnya Dek. Di sana banyak promo jadi sekarang orang-orang lebih suka belanja di sana. Semenjak Minimarket itu buka, toko mulai sepi. Mas waktunya belanja barang aja sekarang uang belum terkumpul.”

“Waduw, terus gimana dong Mas?”

“Biar nanti Mas cari solusi. Masalahnya ini kan karena harga yang lebih murah. Gak mungkin kalau Mas juga turunin harga. Bisa-bisa gak balik modal nanti.”

“Ya jangan Mas. Mereka punya supplier yang beda Mas. Bisa jadi mereka dapat harga lebih murah. Atau langsung ambil dari tangan pertama. Kalau kita ikut-ikutan juga bisa kayak yang Mas bilang tadi.”

“Ya udah lah Dek. Namanya rejeki udah ada yang atur. Kita tidur aja yuk. Mas besok mau buka lebih awal.”

*****

Pagi-pagi Ferdi sudah sampai di toko nya. Namun, dia begitu heran melihat ibunya yang sudah duduk di kursi yang ada di depan toko. Dia tidak tahu apa tujuan ibunya datang pagi-pagi ke tokonya, padahal toko belum buka tetap ibunya menunggu. Bergegas Ferdi menghampiri Ibunya yang tengah sibuk dengan ponsel yang ada ditangannya.

“Lohh, Ibu kok sudah di sini pagi-pagi? Ada apa, Bu?”

“Jam berapa ini, Fer. Kamu belum buka jam segini. Masih baru datang. Ngapain aja di rumah.” Hardik Ningrum pada Ferdi yang tengah berdiri di depannya.

“Sekarang masih jam setengah enam, Bu. Ini aja aku berangkat lebih pagi. Ibu kan tau kalau biasanya jam enam baru buka.”

“Harusnya bisa buka lebih awal dong. Kamu pengen banyak yang laku apa gak? Jangan cuma tidur aja yang digedein.”

“Sudah lah, Bu. masih pagi jangan ribut di sini. Lagian gak baik baru buka sudah ribu-ribut.”

“sudah cepat buka aja tokonya. Ibu mau cek jualan kamu kayak gimana.”

Segera Ferdi membuka tokonya karena tidak ingin lebih lama lagi berdebat dengan Ibunya. Dia cukup menghindari pertengkaran dengan siapapun karena baginya pertengkaran akan hanya menambah beban dan waktu yang sia-sia.

“ Kamu biasanya tutup jam berapa? Ibu lihat kamu kadang jam 7 aja sudah tutup kemarin. Kayak orang gak butuh uang aja kamu itu, Fer.”

“Bukannya gitu, Bu. Kemarin itu sepi banget jadi Ferdi tutup lebih awal. Biasanya jam 9 baru tutup.”

“Itu alasan kamu aja.”

“Bukan alasan, Bu. Kalau Ibu gak percaya terserah.’

Di hari itu Ferdi berharap akan dapat pelanggan lebih banyak tapi justru pertengkaran dengan Ibunya yang didapat. Ferdi hanya bisa mengalah dan sesekali membela diri. Tapi pada dasarnya dia tidak pernah membantah kepada sang Ibu. Apalagi mengingat kalau toko yang dikelolanya itu milik keluarganya dan diberikan padanya setelah menikah. Sebab dia tidak lagi bekerja dengan Ayahnya di luar kota.

“Kamu sapu dulu, biar Ibu lihat barang-barang kamu.”

“Iya, Bu.”

“Lohh, ini barang kok banyak yang kosong. Uang buat belanja barang kemana, Fer? Kamu habisin pasti ya?”

“Enggak, Bu. Uangnya ada. Memang Ferdi belum belanja soalnya nunggu ngumpul dulu. Lagian belum ada sales yang datang.”

“Kamu itu bisanya cuma alasan aja, Fer. Kalau ada uangnya sini tunjukin.”

“Ini Bu uangnya masih ada. Kenapa Ibu gak pernah percaya sih.” Sambil mengeluarkan semua uang dalam tas kecil, wajah Ferdi mulai terlihat kesal.

“Kalau gini terus, bisa-bisa toko ini gak jalan lagi. Jadi mulai hari ini uang toko semuanya Ibu yang pegang. Tiap hari perolehan pendapatan kamu setorkan ke Ibu. Setiap sore Ibu datang buat kontrol kamu tutup jam berapa, sekalian ambil uang setoran kamu tiap hari.”

Ferdi kaget mendengar perkataan Ningrum. Dia bingung harus menjelaskan pada istrinya saat pulang nanti. Apalagi hanya dari toko itu sumber penghasilannya. Baginya akan sulit mengambil uang untuk diberikan pada istrinya karena semua uang toko ibunya yang pegang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status