MasukMerasa kesehatannya lebih baik, Aditya memutuskan untuk kembali bekerja setelah cuti panjang. Hidup harus terus berjalan, selama ini hanya Dya yang bekerja dan menghidupi rumah tangga mereka. Padahal, Dya aslinya masih punya tanggungan. Yaitu orang tua juga adiknya yang sula berjudi. Jika hanya Dya yang banting tulang bekerja, mereka pasti tak akan bisa menabung.
Adit ini seorang pria pekerja keras. Dia tidak bisa duduk manis di rumah, dia harus memegang kendali rumah tangga. Dya pun tak masalah, asalkan Adit kuat, dia boleh kembali bekerja. Setelah 8 bulan vakum karena sakit, Adit kembali bekerja di perusahaan alat medis. Pegawai yang lain menyambut Adit dengan suka cita. Untung saja kepala perusahaan ini berhati malaikat dan mengerti kondisi Adit yang sakit-sakitan. Ia tak mau melepas Adit karena memiliki kinerja mengesankan. Setelah pulang bekerja, Adit pergi ke kedai kopi. Sebuah kebiasaan yang memang rutin dilakukannya semenjak dulu. Setelah hari berganti malam, dia baru pulang ke rumah. Baru memesan kopi, Adit berdecak. Istrinya mengirim pesan, bertanya Adit pulang jam berapa? Apa bekal makan siangnya habis dimakan? Nah, Adit menggeser pesan itu. Ia tak berniat membalas. Adit menyesap kopinya perlahan sembari berselancar di sosial media sampai tak sadar ada yang mengetuk meja tempat duduknya. Adit mendongak dan terkesiap. "Adit, kan?" Wanita ini memastikan. "Betul. Kayra?" Adit menatap lekat. Kayra tersenyum dan duduk di kursi hadapan Adit. "Ternyata benar dirimu. Aku sempat ragu tadi." "Sedang apa kamu disini?" "Bukannya lebih baik bertanya mengenai kabar?" Kayra tersenyum manis. "Apa kabarmu? Ku dengar kamu sakit." "Ya begitulah. Tapi sekarang lebih baik. Kamu bagaimana?" "Begitulah juga." Kayra terkekeh. "Sebenarnya aku sedang mencari pekerjaan." "Bukannya kamu bekerja di rumah sakit?" Seingat Adit, Kayra langsung diterima bekerja ketika lulus waktu itu. Kebetulan, Kayra, Adit dan Dyandra satu kelas saat kuliah. "Iya. Tapi aku sudah diputus kontrak. Kamu tahu rumah sakit itu mengalami pemorosotan pasien, jadi beberapa pegawai diberhentikan. Dan aku termasuk dari bagiannya." "Kasihan sekali. Jadi, sekarang apa rencanamu?" Kayra mengedikkan bahu. "Aku sedang mencari pekerjaan lain." "Sudah mengirim lamaran kerja kemana saja?" "Macam-macam perusahaan. Bahkan aku juga melamar di Bank." Jawab Kayra sambil terkekeh. "Kamu bisa bergabung dengan Dyandra di rumah sakit internasional. Dia sudah naik pangkat menjadi ketua tim." "Oh.. dengan istrimu?" Kayra terkekeh lagi. "Aku nggak minat kerja di rumah sakit. Capek!" "Betul juga." Adit meminum kopinya lagi. "Apa kabar istrimu?" "Baik. Suamimu apa kabar?" "Kami sudah berpisah." "Apa?" Adit terkejut. Kayra berdeham. "Sudah tiga bulan ini kami resmi berpisah. Mantan suamiku itu berselingkuh dengan wanita lain." Adit menatap Kayra dengan iba. "Ironi kan, ya? Dulu aku lebih memilih pria itu dibandingmu karena pekerjaannya. Rupanya, itu tidak menjamin." "Yang lalu biarlah berlalu." Adit menghela nafas panjang. Ia lalu mengangkat telpon karena ponselnya bergetar. "Sebentar lagi aku pulang." Ucap Adit sambil mematikan sambungan. "Istrimu yang menelpon?" "Ya begitulah.." Jawab Adit mendesah pelan. Baru saja ingin santai, istrinya sudah mencari. "Mungkin dia baru pulang." "Kalau begitu pulanglah, pasti dia mencemaskanmu." Adit jadi terkekeh. "Aku duluan. Jika butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku." "Apa boleh?" Adit memandang Kayra. "Boleh saja. Nomorku masih yang lama." Mendengar itu Kayra tersenyum. "Terima kasih. Hati-hati di jalan Adit." Adit hanya mengangguk dan meninggalkan Kayra sendirian. Oh, sesungguhnya kepergian dirinya ini sekaligus untuk menutupi kegugupan hatinya. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama, ia bertemu lagi dengan cinta lamanya. Selama 4 tahun kuliah, Kayra dan Aditya berpacaran. Namun ketika sama-sama lulus dan meraih mimpi, Kayra memutuskan hubungan dan menikah dengan pria lain yang lebih mapan. Padahal jika Kayra bisa bersabar, Adit memang ingin melamarnya. Tapi yang nama pilihan hidup, Adit tak bisa mengelak. Ia pun lalu melanjutkan hidupnya dengan menerima cinta Dyandra. Yang tak lain dan tak bukan sekarang menjadi istrinya. Sesampainya di rumah, Dya menyambut dengan senyuman manis. Mengambil tas kerja, membantu menaruh sepatu di tempatnya dan tak lupa segelas air dingin diberikan. "Bagaimana hari pertama kerja?" Tanya Dya lembut sambil mengusap punggung suaminya. "Begitulah. Masih butuh adaptasi karena beberapa kebijakan berubah." "Begitu rupanya." "Sudah. Aku mau mandi dulu." Adit menurunkan tangan istrinya dan pergi ke kamar mandi. Sementara, Dya menyiapkan makan malam. Menurut Adit, hidup keduanya terkesan biasa saja. Begitu hambar. Mungkin karena belum terbitnya cinta di hati Adit untuk istrinya. Jika dilihat sebenarnya Dyandra ini tak terlalu jelek. Ia memiliki tubuh yang kecil mungil, berbanding terbalik dengan Adit yang berotot. Wajahnya memang tak secantik model tapi lumayan juga untuk meneduhkan pandangan. Begitu juga dengan sikap lembutnya. Bagi pria yang tepat, Dya memang istri yang sempurna. Tak pernah mengeluh, tak pernah menuntut. Tetap bersabar meski Adit belum membalas cintanya. "Sayang.. nanti hari minggu kita jalan yuk!" "Bukannya kemarin baru keluar?" Tanya Adit heran. "Ada danau buatan yang baru dibuka di selatan kota ini. Katanya bagus sekali, loh!" "Ya. Lihat saja nanti." Dya hanya mengulum senyum. Bekerja sebagai perawat, dia hanya libur satu hari dalam seminggu yaitu di hari minggu saja. Makanya dipakainya sebagai waktu untuk bersenang-senang. Hari minggu tiba, keduanya berjalan di sekitar taman dekat danau. Banyak pengunjung karena tempat ini baru dibuka. Pasangan muda-mudi, yang baru menikah hingga memiliki anak terlihat bersenang-senang disana. Termasuk Dya dan Adit ini. Bedanya hanya Dya yang bersemangat sementara Adit tidak. "Indah pemandangannya.." "Terlalu ramai. Aku nggak suka." Ucap Adit. Dya langsung memandang wajah suaminya. "Aku senang kamu lebih segar sekarang. Syukurlah kamu sudah sehat." Adit hanya berdeham. "Nggak terasa juga sudah satu tahun kita bersama, susah senang semuanya sudah kita lalui.." sambung Dya lagi walau tak ada jawaban dari Adit. "Sayang, jawab aku!" Dya mencebik. "Soal apa?" "Apa kamu mencintaiku?" Dya menatap lekat suaminya. "Kenapa kamu bertanya begitu?" "Cuma penasaran karena kamu nggak pernah membalas ucapan cintaku." "Apakah perlu? Kita sudah sah menjadi suami istri." "Tapi kan wanita juga butuh kepastian." "Apa sih kamu?" Adit menatap tak suka. Dya mana perduli. Dia tetap memeluk lengan suaminya sampai Adit merasa jengah. "Aku masih nggak menyangka saat kamu memutuskan untuk melamarku." Dya tersenyum ketika membayangkan hari bahagia itu. "Ya.. aku juga tidak menyangka berakhir denganmu." "Kalau misalkan saat itu aku menolak lamaranmu, bagaimana?" "Aku bisa mencari gadis lain." Dyandra tergelak. "Tenang saja. Aku nggak membiarkanmu memilih wanita lain." "Percaya diri banget kamu!" "Gampang, kan? Kalau kamu nggak melamarku, maka aku yang melamarmu!" "Kalau aku menolak bagaimana?" Tanya Adit menatap dingin. "Maksudnya?" Tanya Dya yang terkesiap. "Aku menolak lamaranmu!" Ucap Adit tegas dan meninggalkan Dya yang tertegun."Dyandra.."Semua orang menoleh melihat siapa yang baru datang, reuni hampir selesai tapi rupanya alumni yang paling cerdas baru tiba."Apa kabar kalian?" Sapa Dya hangat."Bukannya kamu sakit?" Tanya Baim.Dya hanya tersenyum tipis. "Sayang kalau melewatkan reuni, belum tentu juga satu tahun sekali.""Wah.. syukurlah.. berarti angkatan kita formasinya lengkap reuni kali ini." Baim sampai terkekeh."Eh.." Nina sampai menengok sekitar. "Kayra mana, ya? Bukannya tadi dia ada disini?""Adit juga mana lagi?" Gumam Baim. Namun dia langsung tak enak hati setelah melihat wajah Dya."Ku dengar kamu sudah menjadi ketua tim ya.. di ruangan apa?" Tanya Nina lagi."Ruang perina, khusus anak-anak yang mengalami kelainan darah.""Wah begitu rupanya. Kamu memang luar biasa. Kerja di rumah sakit bergengsi, udah dapet jabatan.. pasti gajinya besar." Baim terkekeh lagi.Sementara Dyandra hanya tersenyum sembari menatap sekeliling. Ternyata Adit dan Kayra memang sudah tak ada di tempat ini lagi.***"Ki
"Dyandra!" Tegur Adit pagi itu ketika Dya keluar dari kamar langsung pergi ke pintu luar."Iya?" Terpaksa Dya menemui suaminya yang sedang duduk di singgahsana. "Ada yang bisa kubantu?""Kamu mengejekku?""Maksudmu, apa?""Kamu menyiapkan air hangat untukku lalu juga inhaler. Kenapa? Kamu merasa dirimu berguna seperti itu? Kamu berpikir aku nggak bisa hidup tanpamu?""Astaga, sayang.. kenapa pikiranmu jauh sekali. Aku mendengarmu batuk semalam. Makanya kusiapkan air hangat juga obat untuk meredakannya. Bagaimana? Sekarang sudah agak enakan?""Kamu nggak usah sok perhatian.""Jelas, aku perhatian karena kamu suamiku." Jelas Dyandra. Lelah rasanya pagi-pagi sudah bertengkar. Merusak mood sebelum bekerja saja.Adit langsung bangkit dan melewati Dyandra hingga akhirnya wanita ini menegur."Apa lagi?""Aku tahu kamu nggak mau melihat wajahku. Tapi aku mohon.. turunkan intonasi suaramu, jangan terlalu kasar padaku."Adit tersentak akan ucapan istrinya. Benar juga. Kenapa dia harus marah-mar
"Baru satu minggu yang lalu aku kirim uang untuk Ari, kenapa dia minta lagi?""Kamu tahu adikmu lagi penelitian, wajar kalau habis banyak uang.""Memang judul skripsinya sudah acc?" Dahi Dya sampai mengkerut. Kemarin padahal Ari, adiknya menggerutu karena dosen pembimbingnya menolak semua judul yang diberikan."Sudah! Kamu jangan banyak tawar dong, Dya. Kalau nggak mau ngirimin uang ya sudah. Mama bisa minjam ke tetangga.""Jangan! Nanti aku transfer 1 juta lagi.""Sekarang!""Iya."Dyandra lalu memutus sambungan telepon. Ayah Dya sudah meninggal 10 tahun yang lalu, tepat ketika Dya baru saja masuk ke perguruan tinggi. Sebagai anak sulung, dia membantu perekonomian keluarga. Ikut berjualan apa saja yang penting bisa menyambung hidup juga kuliahnya.Setelah kuliah dan diterima bekerja di rumah sakit internasional, Dya tak lagi berjualan dan fokus menjadi perawat. Gajinya pun separuh dikirim ke ibu dan adik laki-lakinya yang ada di kota sebelah.Kebetulan Ari, kini tengah duduk di semes
"Dyandra.."Adit memandang lagi wanita yang berada di sebrang sana. Rambut yang diikat setengah dan memakai baju putih. Dia hapal betul jika itu istrinya.Namun kenapa wanita itu melengos saja. Seperti cuek dengan keadaan Adit yang tengah dirangkul Kayra. Lalu.. wanita itu pergi begitu saja.Jika itu memang Dya, harusnya dia datang dan marah-marah. Mengomel kenapa suaminya mau digandeng orang lain sementara dengan istrinya tidak mau."Kenapa, Adit?" Tanya Kayra setelah sadar tak menanggapi ucapannya."Oh, tidak apa-apa."Adit kembali menatap sekeliling. Wanita yang melihatnya tadi rupanya tak ada lagi. Nah, mungkin saja itu hanya halusinasi Adit.Setelah mengantar Kayra pulang ke rumah, Adit membeli beberapa potong ubi cilembu hangat."Untukmu." Adit menyerahkan bungkusan tersebut kepada istrinya."Terima kasih."Dyandra menerima bungkusan itu dan mengambil piring di ruang makan. Sementara Adit langsung mandi. Namun, ketika selesai mandi, Adit keheranan melihat ubi itu sudah ditaruh c
Menunggu Adit kembali ke kamar seperti menunggu bulan jatuh ke bumi. Tadinya, Dya sudah berpikiran positif mungkin suaminya tengah merangkai sebuah kejutan ulang tahun untuknya.Namun, sampai pagi.. batang hidung suaminya tak muncul juga. Sampai Dya sadari bahwa Adit lebih memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya, ia benar-benar kesal karena Dya yang bergelayut manja semalam.Meninggalkan rasa kecewa, Dya bersikap biasa saja. Tak menunjukkan perasaan apapun kecuali sikap manis kepada suaminya."Tidak perlu bawa bekal." Tegur Adit ketika Dya menyiapkan dua kotak bekal. Satu untuknya dan satu untuk suaminya."Baiklah kalau begitu."Dya tak mau membantah. Kalau kata suaminya tidak perlu, ya tidak usah disiapkan.Hari ini Adit pun pulang terlambat. Ketika bertanya, Adit lansung mencak-mencak."Aku cuma bertanya, sayang." Ucap Dya sabar. "Aku takut terjadi sesuatu padamu di luar.""Aku bukan anak kecil, Dya!" Bentak Adit yang membuat Dya terdiam.Dya lalu mengambil baju kotor yang baru dile
"Sayang, minum dulu vitaminnya."Dya menyerahkan satu butir vitamin kepada suaminya sebelum tidur malam. Sebuah rutinitas yang bahkan hal sekecil ini saja istrinya Adit ini memperhatikan.Adit menerima vitamin tersebut dan meminumnya."Terima kasih." Adit menyerahkan gelas yang dia pakai."Kamu istirahat duluan aja. Nggak usah tunggu aku." Ucap Dya seraya mengelus pucuk kepala suaminya. Bahasa cintanya memang luar biasa."Iya." Adit juga mana mau menunggu Dya. Lebih baik memang tidur tanpa istrinya, dengan begitu dia bebas dari gangguan."Aku mau buat laporan pasien mingguan." Sambung Dya. Padahal suaminya ini tak bertanya.Sejujurnya, Adit risih karena Dya yang selalu menempel padanya. Dia gerah karena tak bisa membalas cintanya Dya yang bertubi-tubi.Wanita itu bertingkah seperti haus kasih sayang, membuat Adit malas meladeninya.Sebuah pesan masuk ke ponsel, ternyata dari Kayra. Rupanya mantan kekasih ini minta dicarikan pekerjaan. Adit pun tak bisa mengiyakan, dia akan bertanya du







