LOGIN
"Aku mencintaimu." Ucap Dyandra tersenyum tulus.
Aditya hanya berdeham tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. Dia baru saja selesai makan dengan disuapi oleh istri yang mencintainya. 8 bulan ini tepatnya, kesehatan Aditya direnggut drastis oleh tumor paru yang dideritanya. Gaya hidup tak sehat membuat penyakit berkembang biak di salah satu paru-paru miliknya. Operasi pengangkatan tumor sudah dilakukan, untunglah hasilnya sesuai harapan. Tidak ada kanker sehingga Aditya tinggal menjalani pengobatan untuk kesembuhan. Namun karena penyakit ini tubuh Adit menjadi lebih kurus. Wajahnya yang tampan berubah tirus, tak ada lagi otot-otot kekar yang menyembul, kini berubah menjadi tulang belapis daging. Namun, selama itulah Dya, sapaan Dyandra setia merawat suaminya. Menjaga dan melindungi selama Adit jatuh sakit. Satu tahun menikah, Dya merasa menang lotre mendapatkan suaminya yang tampan. Walau ia merasa Adit terpaksa menikahinya karena tak memiliki pilihan lain tapi Dya tetap bersyukur. Dya jatuh cinta pada pandangan pertama pada pria ini. Tepatnya ketika mereka masih berkuliah di satu fakultas, walau Adit saat itu memiliki kekasih lain. Tapi, Dya tetap jatuh hati dan tetap mendekatkan dirinya. Sampai akhirnya mereka sama-sama lulus dari fakultas keperawatan. Dya menjadi perawat di sebuah rumah sakit internasional sementara Adit bekerja di perusahaan alat medis. Adit yang patah hati ditinggal menikah oleh kekasihnya, akhirnya melamar Dya yang memang sejak dulu selalu ada untuknya. Bak gayung bersambut, Dya menerima itu dengan suka cita. Pernikahan yang terjadi tanpa rencana, membuat Dya sadar bahwa sebenarnya dirinya hanya pelarian semata. Tapi, Dya tak gentar. Ia yakin suatu saat Adit akan membalas cintanya. "Besok pagi aku libur, nanti kita jalan-jalan menghirup udara segar." Sambung Dya sambil membereskan sisa makanan. "Mau kemana?" "Jalan-jalan di luar aja. Setelah subuh." Besok pagi, Dya mengajak Adit untuk menikmati matahari terbit sambil berkeliling komplek. Keduanya tampak istirahat beberapa kali karena Adit yang tak kuat berjalan jauh. "Aku capek!" Keluh Adit. "Minum aja dulu." Dya memberikan satu botol minuman untuk suaminya. "Kita pulang saja." Dya setuju setelah melihat bulir keringat di wajah suaminya. Sesampainya di rumah, Dya juga membantu Aditya membersihkan diri. "Aku bisa sendiri, Dya." Tegur Adit yang melihat istrinya ikut masuk ke kamar mandi. "Kamu yakin?" "Berhenti menganggapku sebagai pasienmu." "Jangan tersinggung, sayang." Ucap Dya lembut. "Aku cuma berniat membantu.. kamu kan suamiku." "Aku sudah bisa sendiri!" Jawab Adit ketus. Dya mengalah dan memilih keluar kamar mandi. Semenjak menikah, Adit memang bersikap dingin padanya. Namun ketika penyakit ini datang, Adit lebih sering marah dan mudah tersinggung. Dya mengerti mungkin ini karena bawaan penyakit suaminya saja. Oleh karena tak bisa membantu sang suami di kamar mandi, Dya menyiapkan baju ganti untuk suaminya. Pokoknya, untuk urusan suaminya, Dya ini begitu telaten. Sebelum Adit meminta, Dya sudah menyiapkannya terlebih dahulu. "Kamu jangan terlalu dekat denganku." Ucap Adit ketika malam itu Dya memepet tubuhnya di tempat tidur. "Aku mau tidur sambil meluk kamu." "Aku sesak, Dya!" Dya menghela nafas panjang. Setiap Dya ingin memeluk suaminya ada saja alasannya untuk ditolak. Begitu juga saat di meja makan, Adit merasa tubuhnya sekarang lebih segar. Tak butuh lagi disuapi oleh istrinya. "Kamu fokus makan aja. Pagi ini kamu kerja, kan?" Ucap Adit sembari menepis tangan Dya. "Ya sudah kalau begitu." Sekali lagi perhatian Dyandra ditolak. Selesai sarapan, ia membersihkan bekas makan. Karena ingin bekerja, ia telah memasak untuk makan siang. "Sayang.. makan siang udah ku masak. Nanti jangan lupa makan, ya. Aku pamit dulu." Dya mengulurkan tangan dan menyalimi suaminya. Tak lupa kecupan di pipi juga diberikan hingga Adit memalingkan wajah. Setelah kepergian Dya, barulah Adit merasa nyaman. Bukan karena ia tak nyaman di sisi istrinya sendiri, cuma ia merasa perhatian yang Dyandra berikan begitu berlebihan. Masalahnya, rasa cinta ini belum terbit. Mau serajin, setia hingga berbakti sebagaimanapun, Dya belum bisa menggantikan posisi wanita itu di hatinya. Adit lalu mengambil ponsel yang berada di nakas. Menatap sebuah foto yang masih terpajang di galerinya. "Rasa sakit itu masih terasa, tapi kenapa aku masih memikirkanmu?" Gumam Adit sedih. Ia lalu mematikan ponselnya karena tahu sebentar lagi Dya akan menghubunginya. Bulan demi bulan berlalu.. Sudah empat bulan dari terapi kesembuhan Adit, keadaan pria ini mulai berangsur membaik. Tubuhnya mulai berisi, wajah ini tak sayu dan pucat lagi. Adit pun sudah bisa melakukan aktivitas mandiri. "Sayang.. apa kamu ingat ini hari apa?" Tanya Dya dengan senyuman manis. "Hari kamis." "Betul. Tapi kamu ingat ada apa lagi di hari ini?" "Apa?" Adit sampai menatap tajam istrinya. Ia sungguh tak suka main teka teki seperti ini. "Ini hari perayaan satu tahun pernikahan kita, sayang. Kamu lupa, ya?" Dya sampai tertawa. "Oh.." "Kita pergi makan malam bagaimana?" "Aku malas, Dya." "Ayolah, sayang. Kita udah lama nggak jalan keluar. Tepatnya kita memang nggak pernah pergi berdua untuk menghabiskan waktu bersama." Ucap Dya sambil cemberut. Adit tampak berpikir. Selama ini, mereka berdua lebih sering pergi ke rumah sakit dibanding berjalan berdua. "Ya sudah. Bersiaplah." Dya bersorak sambil memeluk suaminya. "Makasih, sayang." Adit hanya berdeham sambil melepas tautan tangan istrinya. Malam tiba, keduanya tiba di sebuah restoran. Bagi Adit tak ada yang istimewa dari malam ini. Namun, ia terkesiap ketika Dya memberikan satu kotak kecil untuknya. "Apa ini?" Dahi Adit sampai mengernyit. "Hadiah ulang tahun pernikahan." Dya tersenyum manis. Terpaksa Adit menerima hadiah tersebut dan pura-pura tersenyum. Jam tangan vintage di hadiahkan oleh istrinya. "Kamu suka?" "Suka sekali." Jawab Adit datar. "Tapi, aku nggak punya hadiah untukmu." "Kamu udah sehat saja, itu cukup untukku." Dya tersenyum tulus. Adit hanya mengangguk. Malam ini yang paling semangat hanya Dya. Setelah makan malam, Dya mengajak suaminya berkeliling kota menikmati keindahan pemandangan kota di malam hari. "Ayo kita pulang. Dingin sekali!" Protes Adit. Dya tersenyum dan mengajak suaminya pulang. Benar juga, hari sudah larut dan angin malam tak bagus untuk suaminya. Yang penting malam ini sudah membuatnya bahagia. Sampai di rumah, Dya langsung memeluk suaminya dengan erat sampai Adit merasa gerah. "Kamu ini!" Adit sampai berdecak. Baru saja merebahkan diri, Dya masuk ke pelukan. "Kapan kamu mau menyentuhku? Sudah satu tahun tapi kita belum melakukan tugas suami istri." Adit terperangah. "Kamu genit sekali!" "Genit sama suami sendiri nggak ada yang larang, kan?" "Aku lelah, Dya." Ucap Adit meloloskan diri. "Kita tadi menghabiskan banyak waktu diluar." Adit lalu berbalik dan memunggungi istrinya. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kita coba lain hari." Dya memberikan ciuman di pipi suaminya dan tertidur. Tidak masalah jika Adit tak mau menyentuhnya hari ini, mereka masih memiliki banyak waktu untuk selalu bersama."Dyandra.."Semua orang menoleh melihat siapa yang baru datang, reuni hampir selesai tapi rupanya alumni yang paling cerdas baru tiba."Apa kabar kalian?" Sapa Dya hangat."Bukannya kamu sakit?" Tanya Baim.Dya hanya tersenyum tipis. "Sayang kalau melewatkan reuni, belum tentu juga satu tahun sekali.""Wah.. syukurlah.. berarti angkatan kita formasinya lengkap reuni kali ini." Baim sampai terkekeh."Eh.." Nina sampai menengok sekitar. "Kayra mana, ya? Bukannya tadi dia ada disini?""Adit juga mana lagi?" Gumam Baim. Namun dia langsung tak enak hati setelah melihat wajah Dya."Ku dengar kamu sudah menjadi ketua tim ya.. di ruangan apa?" Tanya Nina lagi."Ruang perina, khusus anak-anak yang mengalami kelainan darah.""Wah begitu rupanya. Kamu memang luar biasa. Kerja di rumah sakit bergengsi, udah dapet jabatan.. pasti gajinya besar." Baim terkekeh lagi.Sementara Dyandra hanya tersenyum sembari menatap sekeliling. Ternyata Adit dan Kayra memang sudah tak ada di tempat ini lagi.***"Ki
"Dyandra!" Tegur Adit pagi itu ketika Dya keluar dari kamar langsung pergi ke pintu luar."Iya?" Terpaksa Dya menemui suaminya yang sedang duduk di singgahsana. "Ada yang bisa kubantu?""Kamu mengejekku?""Maksudmu, apa?""Kamu menyiapkan air hangat untukku lalu juga inhaler. Kenapa? Kamu merasa dirimu berguna seperti itu? Kamu berpikir aku nggak bisa hidup tanpamu?""Astaga, sayang.. kenapa pikiranmu jauh sekali. Aku mendengarmu batuk semalam. Makanya kusiapkan air hangat juga obat untuk meredakannya. Bagaimana? Sekarang sudah agak enakan?""Kamu nggak usah sok perhatian.""Jelas, aku perhatian karena kamu suamiku." Jelas Dyandra. Lelah rasanya pagi-pagi sudah bertengkar. Merusak mood sebelum bekerja saja.Adit langsung bangkit dan melewati Dyandra hingga akhirnya wanita ini menegur."Apa lagi?""Aku tahu kamu nggak mau melihat wajahku. Tapi aku mohon.. turunkan intonasi suaramu, jangan terlalu kasar padaku."Adit tersentak akan ucapan istrinya. Benar juga. Kenapa dia harus marah-mar
"Baru satu minggu yang lalu aku kirim uang untuk Ari, kenapa dia minta lagi?""Kamu tahu adikmu lagi penelitian, wajar kalau habis banyak uang.""Memang judul skripsinya sudah acc?" Dahi Dya sampai mengkerut. Kemarin padahal Ari, adiknya menggerutu karena dosen pembimbingnya menolak semua judul yang diberikan."Sudah! Kamu jangan banyak tawar dong, Dya. Kalau nggak mau ngirimin uang ya sudah. Mama bisa minjam ke tetangga.""Jangan! Nanti aku transfer 1 juta lagi.""Sekarang!""Iya."Dyandra lalu memutus sambungan telepon. Ayah Dya sudah meninggal 10 tahun yang lalu, tepat ketika Dya baru saja masuk ke perguruan tinggi. Sebagai anak sulung, dia membantu perekonomian keluarga. Ikut berjualan apa saja yang penting bisa menyambung hidup juga kuliahnya.Setelah kuliah dan diterima bekerja di rumah sakit internasional, Dya tak lagi berjualan dan fokus menjadi perawat. Gajinya pun separuh dikirim ke ibu dan adik laki-lakinya yang ada di kota sebelah.Kebetulan Ari, kini tengah duduk di semes
"Dyandra.."Adit memandang lagi wanita yang berada di sebrang sana. Rambut yang diikat setengah dan memakai baju putih. Dia hapal betul jika itu istrinya.Namun kenapa wanita itu melengos saja. Seperti cuek dengan keadaan Adit yang tengah dirangkul Kayra. Lalu.. wanita itu pergi begitu saja.Jika itu memang Dya, harusnya dia datang dan marah-marah. Mengomel kenapa suaminya mau digandeng orang lain sementara dengan istrinya tidak mau."Kenapa, Adit?" Tanya Kayra setelah sadar tak menanggapi ucapannya."Oh, tidak apa-apa."Adit kembali menatap sekeliling. Wanita yang melihatnya tadi rupanya tak ada lagi. Nah, mungkin saja itu hanya halusinasi Adit.Setelah mengantar Kayra pulang ke rumah, Adit membeli beberapa potong ubi cilembu hangat."Untukmu." Adit menyerahkan bungkusan tersebut kepada istrinya."Terima kasih."Dyandra menerima bungkusan itu dan mengambil piring di ruang makan. Sementara Adit langsung mandi. Namun, ketika selesai mandi, Adit keheranan melihat ubi itu sudah ditaruh c
Menunggu Adit kembali ke kamar seperti menunggu bulan jatuh ke bumi. Tadinya, Dya sudah berpikiran positif mungkin suaminya tengah merangkai sebuah kejutan ulang tahun untuknya.Namun, sampai pagi.. batang hidung suaminya tak muncul juga. Sampai Dya sadari bahwa Adit lebih memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya, ia benar-benar kesal karena Dya yang bergelayut manja semalam.Meninggalkan rasa kecewa, Dya bersikap biasa saja. Tak menunjukkan perasaan apapun kecuali sikap manis kepada suaminya."Tidak perlu bawa bekal." Tegur Adit ketika Dya menyiapkan dua kotak bekal. Satu untuknya dan satu untuk suaminya."Baiklah kalau begitu."Dya tak mau membantah. Kalau kata suaminya tidak perlu, ya tidak usah disiapkan.Hari ini Adit pun pulang terlambat. Ketika bertanya, Adit lansung mencak-mencak."Aku cuma bertanya, sayang." Ucap Dya sabar. "Aku takut terjadi sesuatu padamu di luar.""Aku bukan anak kecil, Dya!" Bentak Adit yang membuat Dya terdiam.Dya lalu mengambil baju kotor yang baru dile
"Sayang, minum dulu vitaminnya."Dya menyerahkan satu butir vitamin kepada suaminya sebelum tidur malam. Sebuah rutinitas yang bahkan hal sekecil ini saja istrinya Adit ini memperhatikan.Adit menerima vitamin tersebut dan meminumnya."Terima kasih." Adit menyerahkan gelas yang dia pakai."Kamu istirahat duluan aja. Nggak usah tunggu aku." Ucap Dya seraya mengelus pucuk kepala suaminya. Bahasa cintanya memang luar biasa."Iya." Adit juga mana mau menunggu Dya. Lebih baik memang tidur tanpa istrinya, dengan begitu dia bebas dari gangguan."Aku mau buat laporan pasien mingguan." Sambung Dya. Padahal suaminya ini tak bertanya.Sejujurnya, Adit risih karena Dya yang selalu menempel padanya. Dia gerah karena tak bisa membalas cintanya Dya yang bertubi-tubi.Wanita itu bertingkah seperti haus kasih sayang, membuat Adit malas meladeninya.Sebuah pesan masuk ke ponsel, ternyata dari Kayra. Rupanya mantan kekasih ini minta dicarikan pekerjaan. Adit pun tak bisa mengiyakan, dia akan bertanya du







