Home / Rumah Tangga / Ku Miskinkan Suamiku / 10. Keputusan khalisa

Share

10. Keputusan khalisa

last update Last Updated: 2025-12-23 13:30:13

Di dalam kamar, Khalisa menyandarkan punggungnya ke pintu yang terkunci rapat. Nafasnya masih belum sepenuhnya stabil. Pipinya terasa panas, tapi rasa perih itu kalah oleh sesuatu yang jauh lebih dalam.

Ia melangkah ke meja rias, membuka laci paling bawah. Tangannya tidak gemetar lagi. Justru tenang, seperti orang yang akhirnya sampai pada keputusan akhir.

Satu per satu map ia keluarkan.

Sertifikat rumah—nama Khalisa binti Hasan tercetak jelas. Rumah itu pemberian orang tuanya jauh sebelum ia menikah. Bukan hadiah pernikahan. Bukan atas nama Fahri. Murni miliknya.

Lalu BPKP mobil. Nama yang sama. Mobil yang dibeli dari hasil jerih payahnya sendiri.

Khalisa duduk di tepi ranjang, membuka ponsel. Folder khusus ia buka—riwayat transfer, laporan penghasilan, tangkapan layar penjualan. Semua tersimpan rapi. Ia memang tidak pernah berniat memamerkan apa pun. Tapi ia selalu bersiap.

Tak seorang pun di rumah itu tahu, penghasilannya sebagai affiliator sudah jauh melampaui gaji Fahri saat ini.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ku Miskinkan Suamiku   10. Keputusan khalisa

    Di dalam kamar, Khalisa menyandarkan punggungnya ke pintu yang terkunci rapat. Nafasnya masih belum sepenuhnya stabil. Pipinya terasa panas, tapi rasa perih itu kalah oleh sesuatu yang jauh lebih dalam.Ia melangkah ke meja rias, membuka laci paling bawah. Tangannya tidak gemetar lagi. Justru tenang, seperti orang yang akhirnya sampai pada keputusan akhir.Satu per satu map ia keluarkan.Sertifikat rumah—nama Khalisa binti Hasan tercetak jelas. Rumah itu pemberian orang tuanya jauh sebelum ia menikah. Bukan hadiah pernikahan. Bukan atas nama Fahri. Murni miliknya.Lalu BPKP mobil. Nama yang sama. Mobil yang dibeli dari hasil jerih payahnya sendiri.Khalisa duduk di tepi ranjang, membuka ponsel. Folder khusus ia buka—riwayat transfer, laporan penghasilan, tangkapan layar penjualan. Semua tersimpan rapi. Ia memang tidak pernah berniat memamerkan apa pun. Tapi ia selalu bersiap.Tak seorang pun di rumah itu tahu, penghasilannya sebagai affiliator sudah jauh melampaui gaji Fahri saat ini.

  • Ku Miskinkan Suamiku   9. Fahri datang

    Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes

  • Ku Miskinkan Suamiku   8. Nayla mengadu

    Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara

  • Ku Miskinkan Suamiku   7. keberanian khalisa

    Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek

  • Ku Miskinkan Suamiku   6. Kemarahan khalisa

    Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke

  • Ku Miskinkan Suamiku   5. Aku yang punya hak

    keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status