LOGINKhalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.”
Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir. Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam. Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu. Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sekarang.” Nayla mendengus. “Enak aja ngomongnya. Aku bisa aduin kamu sama Fahri dan ibu,” gertaknya, suaranya sengaja dinaikkan. Khalisa menatapnya lurus tanpa berkedip. “Silakan,” katanya santai. “Aku tidak takut sama mereka.” Nayla maju selangkah. “Aku sekarang sudah menikah dengan Mas Fahri. Jadi aku punya hak juga dong tinggal di sini dan menikmati semua fasilitas yang dibeli Fahri,” ucapnya tegas, seolah itu kartu terakhirnya. Khalisa tertawa pendek. Bukan tawa lucu, tapi tawa meremehkan. “Hak?” katanya. “Denger baik-baik. Rumah ini bukan dibeli Fahri. Namaku yang tercatat di sertifikat. Jadi jangan sok punya kuasa cuma karena numpang status.” Nayla terdiam, tapi wajahnya masih keras. “Dan satu lagi,” lanjut Khalisa, nadanya meninggi sedikit. “Berisik banget kamu. Kalau kamu masih ribut dan bikin masalah, aku bisa panggil polisi sekarang juga. Biar sekalian kalian diusir dari rumah ini.” Wajah Nayla langsung berubah. Bibirnya manyun, matanya memerah menahan kesal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. “Sombong!” bentaknya sebelum berbalik dan berjalan cepat ke arah kamar. Pintu ditutup keras hingga terdengar gema di seluruh rumah. Khalisa menghembuskan napas panjang. Tangannya mengepal di atas paha, lalu perlahan mengendur. Ia kembali menatap layar TV, tapi pikirannya sudah melayang ke depan. “Tunggu momen saja kalian,” batinnya dingin. “Aku akan usir kalian dari rumah ini.” Ia melirik jam dinding. Fahri akan pulang hari Jumat. Masih dua hari lagi. Dua hari yang akan ia gunakan untuk bersiap. Kali ini, Khalisa tidak berniat kalah. Khalisa kembali memusatkan perhatian ke layar TV. Berita nasional berganti segmen ekonomi, suaranya stabil, kontras dengan isi kepalanya yang masih penuh perhitungan. Ia menyandarkan punggung, mencoba menikmati beberapa menit ketenangan yang tersisa. Belum genap lima menit, pintu kamar di ujung lorong terbuka kasar. Bu Laila keluar dengan wajah masam. Tangannya berkacak pinggang, langkahnya cepat menghampiri ruang tamu. “Khalisa!” panggilnya keras. “Kenapa AC di kamar saya nggak dingin, sih?” tanyanya dengan nada penuh tekanan, seolah itu memang kewajiban Khalisa. Khalisa tidak langsung menoleh. Ia tetap menatap TV beberapa detik, lalu menekan tombol volume hingga mengecil. Barulah ia menoleh setengah badan. “Hm,” sahutnya singkat. “Nggak ada urusan sama aku.” Bu Laila melotot. “Apa katamu?!” Khalisa berdiri perlahan dari sofa. Wajahnya tenang, tapi suaranya dingin. “AC rusak, ya panggil teknisi. Bukan teriak-teriak ke aku. Aku bukan pembantu.” “Dasar menantu durhaka!” teriak Bu Laila, suaranya menggema di ruang tamu. “Kurang ajar kamu sama orang tua!” Khalisa menatap lurus tanpa gentar. “Kalau Ibu nggak suka tinggal di rumah saya,” katanya enteng, tanpa emosi, “silakan keluar.” Kalimat itu membuat Bu Laila tersentak. Dadanya naik turun, wajahnya merah padam menahan marah. “Kamu berani ngusir aku?!” serunya nyaris histeris. “Bukan ngusir,” jawab Khalisa santai. “Ngasih pilihan. Tinggal dengan sopan, atau pergi dengan baik-baik.” Bu Laila gemetar karena emosi. “Tunggu Fahri pulang! Saya laporin semua kelakuan kamu. Biar dia tahu siapa kamu sebenarnya!” Khalisa mendengus pelan. “Silakan. Sekalian bilang ke Fahri kalau selama dia nggak ada, rumah ini tetap tanggung jawab saya. Dan saya nggak mau ribut.” Bu Laila menatap Khalisa dengan kebencian, lalu berbalik kasar. “Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar!” makinya sambil melangkah kembali ke kamar. Pintu kembali dibanting keras. Khalisa menghela napas panjang. Ia meraih remote, menaikkan volume TV kembali, lalu duduk lagi di sofa. Ia melirik jam dinding sekali lagi. Masih dua hari. “Silakan ribut sekarang,” gumamnya pelan. “Hari Jumat nanti, semuanya akan beres.” Khalisa menyandarkan tubuhnya, menatap layar TV dengan tatapan fokus. Kali ini, ia benar-benar siap menghadapi apa pun yang datang. "Akan ku pastikan kamu akan menderita mas Fahri." batin KhalisaKeesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes
Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara
Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek
Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke
keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal
Fahri terdiam beberapa detik, seolah kata “talak aku sekarang juga” baru saja menghantam dadanya dengan keras. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bu Laila hendak bersuara lagi, namun Fahri mengangkat tangan, memberi isyarat agar ibunya diam. “Lis… cukup,” katanya lirih namun memaksa. Tanpa menunggu persetujuan, Fahri menarik pergelangan tangan Khalisa dan menyeretnya menuju tangga. “Mas! Lepasin aku!” Khalisa memberontak, kukunya mencengkeram lengan Fahri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. “Bicara sama aku di kamar. Jangan bikin malu di depan semua orang,” bisik Fahri dengan nada menekan. Khalisa tertawa getir. “Malu? Kamu masih punya rasa malu setelah bawa selingkuhanmu ke rumah istrimu sendiri?!” Namun Fahri tak menggubris. Pintu kamar utama dibuka kasar, lalu ditutup keras hingga suaranya menggema di seluruh rumah. Begitu pintu tertutup, Fahri melepas tangannya. Khalisa mundur beberapa langkah, dadanya naik turun, napasnya terengah. Matanya merah, tapi sorotnya dingin—b







