로그인Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.
Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya. Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke ruang tamu. TV masih menyala keras, menayangkan sinetron dengan suara tangisan yang dramatis. Namun yang lebih dramatis justru kenyataan di hadapan Khalisa sendiri. Nayla masih selonjoran, sesekali mengelus perut besarnya dengan gaya penuh kemenangan. Laila duduk santai sambil menggenggam jeruk setengah kupas. Meja dipenuhi sampah plastik, kulit kacang, bungkus keripik, botol kosong, semua berserakan tanpa peduli siapa yang harus membersihkannya. Khalisa berdiri tegak di depan mereka. Suaranya mantap, tak bergetar sedikit pun. “Maaf ya, aku mau nonton. Ini TV-ku. Silakan bergeser dan bersihkan sampah kalian.” Sekejap ruangan sunyi. Volume TV tetap berisik, tapi yang mereka dengar hanya suara Khalisa yang tegas barusan. Laila spontan menoleh, wajahnya memerah. “Apa kamu bilang, Lis?!” serunya sambil menepuk paha. “Astaga, dasar nggak tahu diri! Kami ini keluarga Fahri, kamu cuma numpang hidup di nama suami!” Khalisa tetap berdiri tegak, menatap lurus. “Saya bukan numpang, Bu. Ini rumah saya bukan rumah anak ini. Jadi tolong hormati.” Nayla menahan senyum, pura-pura sibuk merapikan rambutnya. Ia jelas menikmati adegan ini. Laila semakin geram, tangannya menunjuk tepat ke arah Khalisa. “Kamu itu perempuan mandul! Coba lihat Nayla—sebentar lagi kasih cucu buat saya. Fahri juga pasti lebih bahagia sama dia. Jadi jangan banyak gaya di depan saya!” Kata mandul itu menampar hati Khalisa. Dadanya sesak, tapi kali ini ia tak ingin menangis. Ia hanya mendengus pelan. “Mandul atau tidak, itu urusan saya dengan Allah. Bukan alasan buat kalian semena-mena di rumah ini.” Arman yang dari tadi hanya diam, bangkit perlahan. Ia tidak membela siapa pun, hanya mengambil bungkus rokok dari saku celana. “Saya keluar dulu,” gumamnya, lalu melangkah santai ke teras. Seperti biasa, ia memilih jalan aman: pura-pura buta, pura-pura tuli. Kini hanya tersisa Nayla dan Laila yang masih menatap penuh amarah. Khalisa berjalan ke meja, lalu menunjuk sampah berserakan. “Kalau mau makan, makanlah. Tapi habis itu buang sampah kalian sendiri. Kalau tidak, saya akan masukkan semua sampah ini ke kamar kalian.” Laila melotot. “Kurang ajar!” Namun Khalisa tidak mundur. Ia lipat tangannya di dada, tatapannya menantang. “Silakan coba kalau mau teriak lagi. Saya nggak takut.” Untuk pertama kalinya, Laila kehilangan kata-kata. Nafasnya memburu, wajahnya merah padam. Sementara Nayla tersenyum tipis, jelas puas melihat pertengkaran ini. Ia sengaja tidak ikut campur, karena semakin keras Laila memaki, semakin Khalisa terlihat terpojok di mata Fahri nanti. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Khalisa sama sekali tidak bergeming. Akhirnya, dengan gerakan kasar, Laila berdiri dan mulai memungut bungkus keripik dari meja. “Dasar perempuan nggak tahu diri… disuruh ngalah aja nggak bisa…” gerutunya sambil menendang kantong plastik. Khalisa menatap dengan dingin. “Terima kasih sudah mengerti.” Nada datarnya justru makin menyulut api. Laila hampir saja melempar kantong plastik itu ke wajah Khalisa, tapi Nayla buru-buru menahan lengannya. “Sudahlah, Bu… jangan terlalu keras. Nanti Kak Lis bilangnya kita yang jahat. Lagian aku kan di sini cuma sebentar. Kalau Kak Lis bisa sabar sedikit, toh semuanya bisa damai,” ucap Nayla dengan nada manis yang penuh racun. Khalisa melirik sekilas ke arahnya. Sebentar? Atau selamanya? batinnya getir. Laila akhirnya masuk ke kamar dengan muka masam, membawa sampah seadanya. Pintu kamar dibanting keras hingga membuat vas di meja bergoyang. Hanya tersisa Khalisa dan Nayla di ruang tamu. TV masih menyala, menampilkan adegan tokoh wanita yang ditampar mertua dalam sinetron. Khalisa tersenyum miris—seperti cermin kehidupannya sendiri. “Bagus ya, Kak, berani juga lawan mertua,” Nayla akhirnya bicara, suaranya tenang, tapi matanya penuh tantangan. “Cuma aku takut Kak Lis capek sendiri. Soalnya, di rumah ini… Kakak sendirian. Fahri kan selalu sama aku.”Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes
Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara
Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek
Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke
keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal
Fahri terdiam beberapa detik, seolah kata “talak aku sekarang juga” baru saja menghantam dadanya dengan keras. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bu Laila hendak bersuara lagi, namun Fahri mengangkat tangan, memberi isyarat agar ibunya diam. “Lis… cukup,” katanya lirih namun memaksa. Tanpa menunggu persetujuan, Fahri menarik pergelangan tangan Khalisa dan menyeretnya menuju tangga. “Mas! Lepasin aku!” Khalisa memberontak, kukunya mencengkeram lengan Fahri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. “Bicara sama aku di kamar. Jangan bikin malu di depan semua orang,” bisik Fahri dengan nada menekan. Khalisa tertawa getir. “Malu? Kamu masih punya rasa malu setelah bawa selingkuhanmu ke rumah istrimu sendiri?!” Namun Fahri tak menggubris. Pintu kamar utama dibuka kasar, lalu ditutup keras hingga suaranya menggema di seluruh rumah. Begitu pintu tertutup, Fahri melepas tangannya. Khalisa mundur beberapa langkah, dadanya naik turun, napasnya terengah. Matanya merah, tapi sorotnya dingin—b







