Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 10 – Luka dalam Senyum

Share

Bab 10 – Luka dalam Senyum

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-30 21:41:14

Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.

Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”

Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.

Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.

“Papa…” Alya menghampiri, meraih tangan kasar itu. “Kenapa nggak bilang kalau kesehatan Papa menurun?”

Ayahnya terkekeh pelan, meski wajahnya pucat. “Ah, kamu ini terlalu khawatir. Papa cuma agak capek, mungkin karena cuaca belakangan sering hujan. Jangan besar-besarkan, ya.”

Alya tersenyum, tapi matanya basah. Capek? Ini bukan sekadar capek. Aku tahu persis apa yang akan terjadi empat tahun lagi. Papa… aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu cepat.

Mereka makan malam bersama. Ibu sibuk menyajikan hidangan, sementara ayah berusaha ikut bercanda meski suaranya lemah. Alya berusaha menutupi keresahannya dengan senyum, bahkan ikut tertawa ketika ibunya menggoda ayah soal kebiasaan ngorok di malam hari.

Namun di balik tawa itu, Alya merasakan luka yang dalam. Ia tahu senyum mereka hanya menutupi kenyataan bahwa tubuh ayahnya semakin rapuh.

Saat sedang menikmati makan, Raka akhirnya datang. Ia terlambat, dengan wajah penuh kesibukan. “Maaf, macet di jalan. Ada meeting dadakan tadi,” katanya singkat, lalu langsung duduk.

Ibunya Alya menyajikan nasi hangat, berkata ramah, “Nggak apa-apa, Rak. Kamu pasti capek. Makan dulu biar segar.”

Raka tersenyum sopan, seolah suami idaman di depan mertua. “Terima kasih, Ma.” Ia lalu menoleh sekilas pada Alya, tapi tidak benar-benar peduli.

Alya hanya menunduk, menahan rasa getir. Kamu bisa bersandiwara di depan keluargaku, Rak, tapi aku tahu wajah aslimu. Kamu tidak pernah benar-benar peduli dengan siapa pun selain dirimu sendiri.

Setelah makan malam, ayah meminta Alya menemaninya duduk di teras. Lampu kuning remang menerangi halaman, suara jangkrik bersahut-sahutan.

“Alya,” suara ayahnya pelan namun penuh makna, “Papa tahu kamu sudah berumah tangga, ada banyak hal yang mungkin nggak bisa kamu ceritakan. Tapi satu hal yang Papa ingin kamu ingat… Jangan pernah kehilangan dirimu sendiri hanya untuk menyenangkan orang lain.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya. Papa… kalau saja Papa tahu apa yang sudah aku alami di kehidupan sebelumnya. Aku bahkan sudah kehilangan nyawa karena terlalu percaya.

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia cepat-cepat menyeka, tersenyum sambil mengangguk. “Iya, Pa. Aku janji.”

Ayahnya membalas senyum itu, meski batuk kecil kemudian menyela percakapan. Batuk yang terdengar kering, dalam, dan membuat Alya kembali panik.

“Apa Papa sudah periksa ke dokter?” tanyanya cemas.

“Ah, cuma batuk biasa,” jawab sang ayah, berusaha menenangkan. Tapi Alya bisa melihat jelas ketidakjujuran itu.

Dalam hati, ia bersumpah, Aku tidak akan diam saja. Kalau waktu memberiku kesempatan kedua, aku akan gunakan semuanya untuk melindungi Papa dan Mama. Kali ini, aku tidak akan terlambat.

Malam semakin larut. Sebelum pulang, Alya memeluk erat kedua orang tuanya. Ibunya mengusap rambutnya lembut, sementara ayahnya berusaha tersenyum meski tubuhnya terlihat lemah.

Di perjalanan pulang bersama Raka, hening menyelimuti mobil. Alya menatap keluar jendela, sementara Raka sibuk dengan ponselnya, entah membalas pesan siapa.

Dua dunia yang berbeda, pikir Alya. Di satu sisi, keluargaku masih memberikan cinta yang tulus. Di sisi lain, suamiku dan sahabatku merencanakan kehancuranku. Aku harus pintar memainkan peran. Aku harus kuat.

Dan malam itu, Alya tahu: senyumnya mungkin terlihat sama seperti dulu, tapi di baliknya ada luka yang ia sembunyikan rapat-rapat.

Mobil melaju pelan menembus jalanan malam. Lampu-lampu kota berkelebat di balik kaca, tapi Alya hanya menatap kosong ke luar. Hatinya masih tertinggal di rumah orang tuanya, bersama senyum lembut Mama dan tubuh Papa yang mulai rapuh.

“Besok aku ada rapat pagi, jadi tolong jangan bikin acara apa-apa,” suara Raka memecah hening. Tangannya tetap sibuk mengetik di layar ponsel.

Alya menoleh sekilas, bibirnya bergerak namun tak ada kata keluar. Ia hanya mengangguk kecil. Bahkan ketika Papa terlihat sakit, kau masih bisa sibuk dengan dunia bisnismu sendiri, Rak.

Keheningan kembali menelan mereka, menyisakan suara mesin mobil yang monoton.

Sesampainya di rumah, Alya langsung masuk kamar. Ia menyalakan lampu meja, duduk di tepi ranjang dengan tubuh lemas. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya.

Ia mengambil catatan kecil yang sudah mulai penuh dengan tulisan. Tangannya gemetar saat menulis:

Hari ini, Papa terlihat lebih lemah. Batuknya bukan batuk biasa. Raka tidak peduli. Aku harus mencari cara untuk melindungi Papa sebelum semuanya terlambat.

Ia menutup buku itu dengan tegas, lalu menghela napas panjang. Bayangan masa depan terlintas di kepalanya—empat tahun mendatang, ayahnya akan meninggal karena sakit yang tidak tertangani. Setelah itu, ibunya pun menyusul, meninggalkan dirinya sendirian bersama Raka yang semakin serakah.

“No…” bisiknya. “Kali ini tidak akan begitu. Aku tidak akan membiarkan Papa pergi tanpa usaha. Aku akan lakukan apa pun.”

Keesokan harinya, Alya kembali mengunjungi rumah orang tuanya tanpa memberitahu Raka. Ia membawa buah segar dan beberapa obat herbal yang dulu sering dipakai Mama.

Ayah menyambutnya di teras, tersenyum meski wajahnya pucat. “Kamu repot-repot datang lagi, Alya. Papa sudah bilang, nggak usah khawatir.”

Alya berlutut di hadapan kursi rotan itu, menggenggam tangan ayahnya erat. “Papa jangan sembunyikan apa pun dari aku, ya. Aku nggak mau terlambat.”

Ayahnya terdiam, lalu mengusap kepala putrinya perlahan. “Kamu memang selalu jadi anak yang penuh perhatian. Papa janji, kalau benar-benar butuh bantuan, Papa akan bilang.”

Namun Alya tahu, itu hanya janji untuk menenangkannya.

Saat hendak pulang, ibunya menyelipkan sebuah kotak kecil ke tas Alya. “Ini simpanan Mama untukmu. Nggak seberapa, tapi Mama ingin kamu punya sesuatu kalau sewaktu-waktu butuh.”

Alya tertegun, menatap wajah ibunya. Ada kehangatan sekaligus ketakutan yang terselip dalam tatapan itu, seakan sang ibu pun menyadari ada hal-hal yang tak bisa mereka kendalikan.

“Ma…” Alya memeluknya erat. Air matanya kembali jatuh, tapi ia segera menyembunyikannya dengan senyum. “Aku janji akan jaga kalian. Apa pun yang terjadi.”

Malam itu, Alya kembali ke rumah dengan hati yang penuh tekad. Ia berdiri lama di depan cermin, menatap wajah mudanya yang dipantulkan.

“Aku sudah diberi kesempatan kedua,” gumamnya. “Dan kesempatan itu bukan hanya untuk diriku sendiri. Aku akan gunakan ini untuk menjaga Papa dan Mama, meski harus melawan dunia sekalipun.”

Senyum tipis terbentuk di bibirnya. Luka dalam hatinya memang dalam, tapi justru dari sanalah lahir tekad baru.

Dan di balik senyum yang ia tunjukkan pada dunia, Alya menyembunyikan niat yang tidak pernah ia miliki sebelumnya: membalikkan takdir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 15 – Keluarga sebagai Medan Pertarungan

    Hari itu rumah besar keluarga Alya dipenuhi riuh rendah suara. Hari Minggu selalu menjadi momen keluarga besar berkumpul, dan seperti biasa, suasana terasa hangat. Di ruang tamu yang luas, para paman, bibi, dan sepupu berkumpul, saling bertukar cerita. Aroma masakan khas Ibunya Alya menyeruak dari dapur, menambah kesan akrab yang sulit ditandingi. Namun di tengah semua kehangatan itu, Alya duduk dengan hati yang bergejolak. Ia tahu, hari ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ini adalah panggung di mana Raka akan berusaha kembali memainkan perannya sebagai menantu ideal, dan ia—Alya—akan memanfaatkan kesempatan untuk menabur benih keraguan. Raka masuk dengan penuh percaya diri, senyumnya ramah, suaranya tenang, sikapnya persis seperti yang selalu dikagumi keluarganya. “Selamat siang semuanya!” sapanya sambil menyalami satu per satu dengan penuh hormat. “Terima kasih sudah mengundang kami.” Beberapa sepupu Alya berbisik kagum, mengomentari betapa beruntungnya Alya memiliki suami sepe

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 14 – Kedok Raka Mulai Retak

    Malam itu rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas di ruang tamu. Alya duduk di sofa dengan buku catatan kecil di pangkuannya. Matanya tidak benar-benar membaca catatan yang ada di dalamnya, melainkan sibuk berpura-pura. Ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selama ini ia tahu akan datang, meski ia tak bisa memastikan kapan. Raka pulang larut malam. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski ia berusaha menutupi dengan parfum yang terlalu menyengat. Alya mengangkat kepala perlahan, menatapnya tanpa banyak bicara. “Belum tidur?” tanya Raka datar sambil melepas jasnya. Alya tersenyum tipis. “Nungguin kamu. Aku masakin sup, mau?” “Besok aja, aku capek,” jawab Raka singkat, lalu berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di meja: amplop kecil berisi dokumen. Alya sengaja menaruhnya di sana, pura-pura lupa membereskan. “Ini apa?” Raka menatap curiga. “Oh, itu? Hanya catatan dari kantor Ayah. Tentang laporan keuangan,

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 13 – Strategi Awal

    Alya duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi ayah dan ibunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Senyum mereka hangat, sama seperti dulu, namun kali ini hatinya terasa berat. Ia tahu, dalam hitungan tahun, kebahagiaan sederhana itu akan direnggut oleh penyakit dan pengkhianatan. “Alya, kenapa melamun?” suara ibunya memecah lamunan. Alya tersenyum, berusaha menutupi gundah. “Nggak, Bu. Aku cuma kangen suasana rumah.” Ayahnya, Pak Surya, tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Rumah ini selalu jadi rumahmu, Nak. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Kata-kata itu menancap dalam hati Alya. Ia tahu, justru rumah dan tanah inilah yang kelak akan diperebutkan. Ia menatap ayahnya lama, lalu berkata pelan, “Ayah, pernah nggak terpikir untuk menyiapkan dokumen warisan sejak dini?” Pak Surya mengernyit, kaget mendengar putrinya tiba-tiba menyinggung hal serius. “Kenapa tiba-tiba bicara soal itu? Ayah masih sehat, kan?” Alya cepat-cepat meraih tangan ayahnya. “Bukan begitu, Yah. Aku

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 12 – Selina yang Mencurigakan

    Matahari sore menembus jendela besar ruang tamu, menyinari lantai marmer rumah dengan kilau hangat keemasan. Alya sedang beres-beres buku catatan keuangan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa was-was tentang kondisi ayah. Namun, dering ponsel bernada ceria milik Selina membuat langkah Alya terhenti di depan kamar tamu. Selina sudah seminggu ini lebih sering datang dengan alasan “kerja sama proyek” dengan Raka. Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan vas bunga di meja kecil dekat pintu, tapi telinganya menangkap jelas suara Selina. “Ya, aku sudah bicara dengan dia… tenang saja. Semua sesuai rencana.” Suara Selina terdengar pelan namun penuh keyakinan. Alya menahan napas. Dia bicara tentang siapa? Tentang Raka? “Astaga, jangan sebut nama! Kita harus hati-hati… kalau sampai bocor, semuanya berantakan.” Jantung Alya berdegup kencang. Ia beringsut sedikit lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Selina berjalan mondar-mand

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 11 – Janji pada Ayah

    Pagi itu udara masih lembab setelah semalaman hujan. Alya datang ke rumah orang tuanya lebih awal dari biasanya, membawa beberapa roti hangat dan susu segar. Ia ingin memastikan ayahnya sarapan dengan makanan bergizi, sesuatu yang dulu ia abaikan di kehidupan pertamanya. Ayah sedang duduk di teras, menatap halaman dengan pandangan jauh. Rambutnya yang mulai memutih tampak basah oleh embun, namun sorot matanya masih teduh seperti biasa. Alya berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Papa, sarapan dulu ya. Aku bawain roti keju kesukaan Papa.” Ia berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan. Ayah menoleh, bibirnya melengkung hangat. “Kamu ini selalu perhatian. Dulu waktu masih kuliah, susah sekali bangun pagi, sekarang malah bawain sarapan untuk Papa.” Alya terkekeh kecil, meski hatinya nyeri. Kalau saja Papa tahu betapa aku dulu terlambat… betapa aku menyesal karena tidak menjaga kesehatanmu lebih baik. Mereka makan bersama di teras, ditemani suara burung gereja yang hinggap di

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 10 – Luka dalam Senyum

    Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.“Papa…” Al

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status