LOGINLangkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.
Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.” Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus. Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran. “Papa…” Alya menghampiri, meraih tangan kasar itu. “Kenapa nggak bilang kalau kesehatan Papa menurun?” Ayahnya terkekeh pelan, meski wajahnya pucat. “Ah, kamu ini terlalu khawatir. Papa cuma agak capek, mungkin karena cuaca belakangan sering hujan. Jangan besar-besarkan, ya.” Alya tersenyum, tapi matanya basah. Capek? Ini bukan sekadar capek. Aku tahu persis apa yang akan terjadi empat tahun lagi. Papa… aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu cepat. Mereka makan malam bersama. Ibu sibuk menyajikan hidangan, sementara ayah berusaha ikut bercanda meski suaranya lemah. Alya berusaha menutupi keresahannya dengan senyum, bahkan ikut tertawa ketika ibunya menggoda ayah soal kebiasaan ngorok di malam hari. Namun di balik tawa itu, Alya merasakan luka yang dalam. Ia tahu senyum mereka hanya menutupi kenyataan bahwa tubuh ayahnya semakin rapuh. Saat sedang menikmati makan, Raka akhirnya datang. Ia terlambat, dengan wajah penuh kesibukan. “Maaf, macet di jalan. Ada meeting dadakan tadi,” katanya singkat, lalu langsung duduk. Ibunya Alya menyajikan nasi hangat, berkata ramah, “Nggak apa-apa, Rak. Kamu pasti capek. Makan dulu biar segar.” Raka tersenyum sopan, seolah suami idaman di depan mertua. “Terima kasih, Ma.” Ia lalu menoleh sekilas pada Alya, tapi tidak benar-benar peduli. Alya hanya menunduk, menahan rasa getir. Kamu bisa bersandiwara di depan keluargaku, Rak, tapi aku tahu wajah aslimu. Kamu tidak pernah benar-benar peduli dengan siapa pun selain dirimu sendiri. Setelah makan malam, ayah meminta Alya menemaninya duduk di teras. Lampu kuning remang menerangi halaman, suara jangkrik bersahut-sahutan. “Alya,” suara ayahnya pelan namun penuh makna, “Papa tahu kamu sudah berumah tangga, ada banyak hal yang mungkin nggak bisa kamu ceritakan. Tapi satu hal yang Papa ingin kamu ingat… Jangan pernah kehilangan dirimu sendiri hanya untuk menyenangkan orang lain.” Kata-kata itu menusuk hati Alya. Papa… kalau saja Papa tahu apa yang sudah aku alami di kehidupan sebelumnya. Aku bahkan sudah kehilangan nyawa karena terlalu percaya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia cepat-cepat menyeka, tersenyum sambil mengangguk. “Iya, Pa. Aku janji.” Ayahnya membalas senyum itu, meski batuk kecil kemudian menyela percakapan. Batuk yang terdengar kering, dalam, dan membuat Alya kembali panik. “Apa Papa sudah periksa ke dokter?” tanyanya cemas. “Ah, cuma batuk biasa,” jawab sang ayah, berusaha menenangkan. Tapi Alya bisa melihat jelas ketidakjujuran itu. Dalam hati, ia bersumpah, Aku tidak akan diam saja. Kalau waktu memberiku kesempatan kedua, aku akan gunakan semuanya untuk melindungi Papa dan Mama. Kali ini, aku tidak akan terlambat. Malam semakin larut. Sebelum pulang, Alya memeluk erat kedua orang tuanya. Ibunya mengusap rambutnya lembut, sementara ayahnya berusaha tersenyum meski tubuhnya terlihat lemah. Di perjalanan pulang bersama Raka, hening menyelimuti mobil. Alya menatap keluar jendela, sementara Raka sibuk dengan ponselnya, entah membalas pesan siapa. Dua dunia yang berbeda, pikir Alya. Di satu sisi, keluargaku masih memberikan cinta yang tulus. Di sisi lain, suamiku dan sahabatku merencanakan kehancuranku. Aku harus pintar memainkan peran. Aku harus kuat. Dan malam itu, Alya tahu: senyumnya mungkin terlihat sama seperti dulu, tapi di baliknya ada luka yang ia sembunyikan rapat-rapat. Mobil melaju pelan menembus jalanan malam. Lampu-lampu kota berkelebat di balik kaca, tapi Alya hanya menatap kosong ke luar. Hatinya masih tertinggal di rumah orang tuanya, bersama senyum lembut Mama dan tubuh Papa yang mulai rapuh. “Besok aku ada rapat pagi, jadi tolong jangan bikin acara apa-apa,” suara Raka memecah hening. Tangannya tetap sibuk mengetik di layar ponsel. Alya menoleh sekilas, bibirnya bergerak namun tak ada kata keluar. Ia hanya mengangguk kecil. Bahkan ketika Papa terlihat sakit, kau masih bisa sibuk dengan dunia bisnismu sendiri, Rak. Keheningan kembali menelan mereka, menyisakan suara mesin mobil yang monoton. Sesampainya di rumah, Alya langsung masuk kamar. Ia menyalakan lampu meja, duduk di tepi ranjang dengan tubuh lemas. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia mengambil catatan kecil yang sudah mulai penuh dengan tulisan. Tangannya gemetar saat menulis: Hari ini, Papa terlihat lebih lemah. Batuknya bukan batuk biasa. Raka tidak peduli. Aku harus mencari cara untuk melindungi Papa sebelum semuanya terlambat. Ia menutup buku itu dengan tegas, lalu menghela napas panjang. Bayangan masa depan terlintas di kepalanya—empat tahun mendatang, ayahnya akan meninggal karena sakit yang tidak tertangani. Setelah itu, ibunya pun menyusul, meninggalkan dirinya sendirian bersama Raka yang semakin serakah. “No…” bisiknya. “Kali ini tidak akan begitu. Aku tidak akan membiarkan Papa pergi tanpa usaha. Aku akan lakukan apa pun.” Keesokan harinya, Alya kembali mengunjungi rumah orang tuanya tanpa memberitahu Raka. Ia membawa buah segar dan beberapa obat herbal yang dulu sering dipakai Mama. Ayah menyambutnya di teras, tersenyum meski wajahnya pucat. “Kamu repot-repot datang lagi, Alya. Papa sudah bilang, nggak usah khawatir.” Alya berlutut di hadapan kursi rotan itu, menggenggam tangan ayahnya erat. “Papa jangan sembunyikan apa pun dari aku, ya. Aku nggak mau terlambat.” Ayahnya terdiam, lalu mengusap kepala putrinya perlahan. “Kamu memang selalu jadi anak yang penuh perhatian. Papa janji, kalau benar-benar butuh bantuan, Papa akan bilang.” Namun Alya tahu, itu hanya janji untuk menenangkannya. Saat hendak pulang, ibunya menyelipkan sebuah kotak kecil ke tas Alya. “Ini simpanan Mama untukmu. Nggak seberapa, tapi Mama ingin kamu punya sesuatu kalau sewaktu-waktu butuh.” Alya tertegun, menatap wajah ibunya. Ada kehangatan sekaligus ketakutan yang terselip dalam tatapan itu, seakan sang ibu pun menyadari ada hal-hal yang tak bisa mereka kendalikan. “Ma…” Alya memeluknya erat. Air matanya kembali jatuh, tapi ia segera menyembunyikannya dengan senyum. “Aku janji akan jaga kalian. Apa pun yang terjadi.” Malam itu, Alya kembali ke rumah dengan hati yang penuh tekad. Ia berdiri lama di depan cermin, menatap wajah mudanya yang dipantulkan. “Aku sudah diberi kesempatan kedua,” gumamnya. “Dan kesempatan itu bukan hanya untuk diriku sendiri. Aku akan gunakan ini untuk menjaga Papa dan Mama, meski harus melawan dunia sekalipun.” Senyum tipis terbentuk di bibirnya. Luka dalam hatinya memang dalam, tapi justru dari sanalah lahir tekad baru. Dan di balik senyum yang ia tunjukkan pada dunia, Alya menyembunyikan niat yang tidak pernah ia miliki sebelumnya: membalikkan takdir.Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m
Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu
Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma
Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r
Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga
Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan







