Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 9 – Bayangan Selina

Share

Bab 9 – Bayangan Selina

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-29 09:24:51

Ketukan pintu terdengar sore itu, tepat ketika Alya sedang menyusun agenda belanja bulanan. Ia menoleh sebentar, mendapati Raka yang dengan langkah tergesa menuju pintu. Ekspresi wajahnya agak berbeda—ada antusiasme yang sulit disembunyikan.

Begitu pintu terbuka, suara perempuan terdengar manis.

“Permisi… semoga aku tidak mengganggu.”

Alya berdiri perlahan, jantungnya berdegup lebih cepat ketika melihat sosok yang masuk. Selina. Wanita itu melangkah anggun dengan setelan kerja berwarna krem, rambutnya digelung rapi, senyum sopan terpasang di wajahnya.

“Oh, Selina. Pas sekali, kita baru saja selesai makan siang,” ujar Raka, suaranya terdengar terlalu ramah, bahkan sedikit hangat.

Alya menahan senyum. Ia berjalan mendekat, lalu menyambut dengan tangan terbuka.

“Selina, kejutan sekali. Sudah lama tak berkunjung. Ada urusan apa ke sini?”

“Ah… ini hanya kunjungan singkat,” jawab Selina, menaruh map cokelat di meja. “Aku dan Raka sedang ada proyek kerja sama. Jadi sekalian saja mampir untuk diskusi singkat.”

Nada suaranya terdengar profesional, tapi mata Selina melirik Alya sekilas, seolah ingin memastikan responnya.

Alya menampilkan senyum manis, bahkan lebih manis dari biasanya. “Baguslah. Suami saya memang sangat bisa diandalkan soal kerja. Silakan duduk, aku akan buatkan teh.”

Di dapur, Alya menyalakan kompor sambil menahan napas panjang. Aroma teh melati memenuhi udara, menenangkan sekaligus menyulut emosi tersembunyi. Tangannya menggenggam cangkir lebih erat dari yang seharusnya.

Jadi benar, Selina masih berputar di sekitar Raka. Dengan alasan kerja sama pula. Kali ini, aku tidak boleh gegabah. Aku harus masuk ke dalam permainannya.

Ia membawa nampan berisi teh dan kue kecil, meletakkannya di meja ruang tamu dengan senyum ramah. “Silakan dinikmati. Semoga pembicaraan bisnisnya lancar.”

“Terima kasih, Alya. Kamu selalu perhatian,” jawab Selina dengan senyum yang dibuat-buat.

Selama hampir setengah jam, Raka dan Selina membicarakan dokumen di map cokelat itu. Alya pura-pura sibuk merapikan vas bunga, tetapi telinganya tajam menangkap nada suara mereka. Ada keakraban samar di antara kalimat formal. Sesekali, tawa kecil Selina terdengar, lalu cepat ditepis dengan batuk sopan.

Ketika diskusi mulai mereda, Alya kembali duduk. Ia menatap Selina dengan ekspresi tenang, lalu berkata pelan, “Selina, kamu memang selalu sibuk ya. Tapi aku senang sekali kamu masih sempat mampir. Rasanya seperti… ada bagian lain dari keluarga yang datang.”

Selina tersenyum tipis, tapi matanya menegang. “Oh, tentu saja. Raka sudah seperti… partner kerja yang baik.”

Alya mencondongkan tubuh, mengaduk tehnya perlahan. “Iya, Raka memang pria yang luar biasa. Semua orang bilang begitu. Sampai kadang aku sendiri bertanya-tanya… bagaimana bisa aku seberuntung ini, mendapatkannya sebagai suami.”

Kalimat itu terdengar manis, tapi ada ujung tajam tersembunyi. Selina menatapnya, lalu cepat mengalihkan pandangan.

Raka tampak lega ketika akhirnya percakapan kembali ke topik bisnis. Namun bagi Alya, momen itu justru penting: ia sudah menanamkan kegelisahan kecil di hati Selina.

Setelah Selina berpamitan, Alya mengantarnya sampai depan pintu. Udara sore terasa berat, seperti menyimpan rahasia.

“Selina,” ucap Alya tiba-tiba sebelum wanita itu melangkah pergi. “Kapan-kapan mampir lagi, ya. Rumah ini selalu terbuka untukmu.”

Sekilas, Selina menoleh. Senyum samar di bibirnya tidak bisa menutupi rasa waspada di matanya. “Tentu, Alya. Terima kasih.”

Begitu pintu tertutup, Alya menarik napas panjang. Ia berdiri beberapa detik, merasakan adrenalin berdenyut di dadanya. Senyum perlahan terbentuk di wajahnya.

Mulai sekarang, permainan sudah dimulai. Dan aku akan pastikan Selina tahu, aku bukan Alya yang dulu.

Setelah pintu menutup di belakang Selina, keheningan menyelimuti rumah. Raka kembali ke ruang kerja, pura-pura memeriksa dokumen yang baru saja ditinggalkan. Alya hanya menatap punggungnya sebentar, lalu memilih duduk di sofa.

Tangannya meraih cangkir teh yang sudah dingin, menyesap sedikit, sambil menahan perasaan campur aduk. Senyum ramah yang tadi ia tunjukkan perlahan memudar, berganti dengan sorot mata tajam.

Dia datang dengan wajah manis, tapi aku bisa melihat kilatan lain di balik matanya. Itu bukan sekadar urusan bisnis. Dia waspada… seperti orang yang tahu rahasianya bisa terbongkar kapan saja.

Alya menatap meja di hadapannya. Di sana masih ada sisa aroma parfum Selina yang menempel samar, berbeda dari bau rumah biasanya. Parfum yang asing, yang dulu sempat ia cium di kemeja Raka saat masih di kehidupan pertama. Detail kecil itu membuat tubuhnya merinding.

Raka muncul kembali, tersenyum tipis. “Alya, aku harus segera ke kantor untuk urusan lanjutan. Kamu nggak apa-apa di rumah sendiri, kan?”

Nada suaranya terdengar normal, tapi bagi Alya, itu hanya topeng. Ia tersenyum lembut, meski dalam hati menahan getir.

“Tentu, Rak. Hati-hati di jalan.”

Begitu Raka pergi, suasana rumah terasa lapang namun menyesakkan. Alya berjalan pelan ke kamar, membuka buku catatan kecil yang baru ia mulai sejak bangun di kehidupan kedua. Di sana, ia menulis dengan huruf rapi:

Hari ini: Selina datang. Alasan: bisnis dengan Raka. Bahasa tubuh: waspada, tidak santai. Kemungkinan besar hubungan mereka sudah lebih dari sekadar kerja.

Ia menutup catatan itu perlahan, menatap kosong ke arah jendela. Cahaya senja menembus tirai, membentuk bayangan di dinding. Bayangan itu mengingatkannya pada kata-kata terakhir yang ia dengar sebelum kematiannya dulu—suara Selina yang berbisik bahwa kematian Alya akan mempermudah segalanya.

Tubuhnya bergetar. Alya menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha menenangkan diri. Tidak lagi. Kali ini aku yang akan lebih dulu membaca setiap langkah kalian.

Malam menjelang, tapi Alya masih terjaga. Ia duduk di depan meja kerja kecil, membuka laptop lamanya. Jari-jarinya mengetik cepat, mencari informasi tentang proyek yang tadi dibicarakan Raka dan Selina. Hasil pencarian menampilkan nama perusahaan, beberapa artikel bisnis, dan foto acara resmi yang memuat wajah Selina tersenyum bersama eksekutif lain.

Alya menatap layar, menimbang. Kalau aku bisa tahu pola kerja sama mereka, aku bisa menemukan celah. Selina mungkin pandai menyembunyikan niatnya, tapi tidak mungkin semua jejak bisa ia hapus.

Ia lalu mengambil ponsel, membuka galeri lama. Di sana masih ada foto-foto sederhana: dirinya bersama Raka saat awal menikah, senyum tulus yang kini terasa asing. Alya menatap lama foto itu.

“Lucu sekali,” gumamnya lirih. “Aku dulu benar-benar percaya padamu. Padahal bayangan Selina sudah ada di antara kita sejak lama.”

Jam dinding berdentang sepuluh kali. Alya menutup laptop, lalu berjalan ke depan cermin. Ia menatap wajah mudanya—kulit masih segar, garis mata belum menua. Namun sorot matanya kini jauh berbeda: bukan lagi perempuan polos yang rela ditipu, melainkan seseorang yang menyimpan tekad.

“Selina,” bisiknya pelan. “Kamu pikir aku tetap sama seperti dulu? Kau salah besar. Aku akan membuatmu tersandung dengan permainanku sendiri.”

Ia menyentuh permukaan cermin, seperti menyentuh dirinya yang baru. Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum penuh strategi.

Bayangan Selina mungkin masih bersembunyi di sekitar Raka, tapi Alya sudah bersiap. Ia tak lagi sekadar bertahan; kini ia yang akan mengatur langkah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 84– Cahaya yang Dipilih

    Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 83– Ujian Terakhir

    Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 82– Kehidupan yang Tumbuh

    Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 81 – Jejak Masa Lalu

    Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 80– Langkah Pertama

    Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 79– Babak Baru Dimulai

    Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status