Ketukan pintu terdengar sore itu, tepat ketika Alya sedang menyusun agenda belanja bulanan. Ia menoleh sebentar, mendapati Raka yang dengan langkah tergesa menuju pintu. Ekspresi wajahnya agak berbeda—ada antusiasme yang sulit disembunyikan.
Begitu pintu terbuka, suara perempuan terdengar manis. “Permisi… semoga aku tidak mengganggu.” Alya berdiri perlahan, jantungnya berdegup lebih cepat ketika melihat sosok yang masuk. Selina. Wanita itu melangkah anggun dengan setelan kerja berwarna krem, rambutnya digelung rapi, senyum sopan terpasang di wajahnya. “Oh, Selina. Pas sekali, kita baru saja selesai makan siang,” ujar Raka, suaranya terdengar terlalu ramah, bahkan sedikit hangat. Alya menahan senyum. Ia berjalan mendekat, lalu menyambut dengan tangan terbuka. “Selina, kejutan sekali. Sudah lama tak berkunjung. Ada urusan apa ke sini?” “Ah… ini hanya kunjungan singkat,” jawab Selina, menaruh map cokelat di meja. “Aku dan Raka sedang ada proyek kerja sama. Jadi sekalian saja mampir untuk diskusi singkat.” Nada suaranya terdengar profesional, tapi mata Selina melirik Alya sekilas, seolah ingin memastikan responnya. Alya menampilkan senyum manis, bahkan lebih manis dari biasanya. “Baguslah. Suami saya memang sangat bisa diandalkan soal kerja. Silakan duduk, aku akan buatkan teh.” Di dapur, Alya menyalakan kompor sambil menahan napas panjang. Aroma teh melati memenuhi udara, menenangkan sekaligus menyulut emosi tersembunyi. Tangannya menggenggam cangkir lebih erat dari yang seharusnya. Jadi benar, Selina masih berputar di sekitar Raka. Dengan alasan kerja sama pula. Kali ini, aku tidak boleh gegabah. Aku harus masuk ke dalam permainannya. Ia membawa nampan berisi teh dan kue kecil, meletakkannya di meja ruang tamu dengan senyum ramah. “Silakan dinikmati. Semoga pembicaraan bisnisnya lancar.” “Terima kasih, Alya. Kamu selalu perhatian,” jawab Selina dengan senyum yang dibuat-buat. Selama hampir setengah jam, Raka dan Selina membicarakan dokumen di map cokelat itu. Alya pura-pura sibuk merapikan vas bunga, tetapi telinganya tajam menangkap nada suara mereka. Ada keakraban samar di antara kalimat formal. Sesekali, tawa kecil Selina terdengar, lalu cepat ditepis dengan batuk sopan. Ketika diskusi mulai mereda, Alya kembali duduk. Ia menatap Selina dengan ekspresi tenang, lalu berkata pelan, “Selina, kamu memang selalu sibuk ya. Tapi aku senang sekali kamu masih sempat mampir. Rasanya seperti… ada bagian lain dari keluarga yang datang.” Selina tersenyum tipis, tapi matanya menegang. “Oh, tentu saja. Raka sudah seperti… partner kerja yang baik.” Alya mencondongkan tubuh, mengaduk tehnya perlahan. “Iya, Raka memang pria yang luar biasa. Semua orang bilang begitu. Sampai kadang aku sendiri bertanya-tanya… bagaimana bisa aku seberuntung ini, mendapatkannya sebagai suami.” Kalimat itu terdengar manis, tapi ada ujung tajam tersembunyi. Selina menatapnya, lalu cepat mengalihkan pandangan. Raka tampak lega ketika akhirnya percakapan kembali ke topik bisnis. Namun bagi Alya, momen itu justru penting: ia sudah menanamkan kegelisahan kecil di hati Selina. Setelah Selina berpamitan, Alya mengantarnya sampai depan pintu. Udara sore terasa berat, seperti menyimpan rahasia. “Selina,” ucap Alya tiba-tiba sebelum wanita itu melangkah pergi. “Kapan-kapan mampir lagi, ya. Rumah ini selalu terbuka untukmu.” Sekilas, Selina menoleh. Senyum samar di bibirnya tidak bisa menutupi rasa waspada di matanya. “Tentu, Alya. Terima kasih.” Begitu pintu tertutup, Alya menarik napas panjang. Ia berdiri beberapa detik, merasakan adrenalin berdenyut di dadanya. Senyum perlahan terbentuk di wajahnya. Mulai sekarang, permainan sudah dimulai. Dan aku akan pastikan Selina tahu, aku bukan Alya yang dulu. Setelah pintu menutup di belakang Selina, keheningan menyelimuti rumah. Raka kembali ke ruang kerja, pura-pura memeriksa dokumen yang baru saja ditinggalkan. Alya hanya menatap punggungnya sebentar, lalu memilih duduk di sofa. Tangannya meraih cangkir teh yang sudah dingin, menyesap sedikit, sambil menahan perasaan campur aduk. Senyum ramah yang tadi ia tunjukkan perlahan memudar, berganti dengan sorot mata tajam. Dia datang dengan wajah manis, tapi aku bisa melihat kilatan lain di balik matanya. Itu bukan sekadar urusan bisnis. Dia waspada… seperti orang yang tahu rahasianya bisa terbongkar kapan saja. Alya menatap meja di hadapannya. Di sana masih ada sisa aroma parfum Selina yang menempel samar, berbeda dari bau rumah biasanya. Parfum yang asing, yang dulu sempat ia cium di kemeja Raka saat masih di kehidupan pertama. Detail kecil itu membuat tubuhnya merinding. Raka muncul kembali, tersenyum tipis. “Alya, aku harus segera ke kantor untuk urusan lanjutan. Kamu nggak apa-apa di rumah sendiri, kan?” Nada suaranya terdengar normal, tapi bagi Alya, itu hanya topeng. Ia tersenyum lembut, meski dalam hati menahan getir. “Tentu, Rak. Hati-hati di jalan.” Begitu Raka pergi, suasana rumah terasa lapang namun menyesakkan. Alya berjalan pelan ke kamar, membuka buku catatan kecil yang baru ia mulai sejak bangun di kehidupan kedua. Di sana, ia menulis dengan huruf rapi: Hari ini: Selina datang. Alasan: bisnis dengan Raka. Bahasa tubuh: waspada, tidak santai. Kemungkinan besar hubungan mereka sudah lebih dari sekadar kerja. Ia menutup catatan itu perlahan, menatap kosong ke arah jendela. Cahaya senja menembus tirai, membentuk bayangan di dinding. Bayangan itu mengingatkannya pada kata-kata terakhir yang ia dengar sebelum kematiannya dulu—suara Selina yang berbisik bahwa kematian Alya akan mempermudah segalanya. Tubuhnya bergetar. Alya menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha menenangkan diri. Tidak lagi. Kali ini aku yang akan lebih dulu membaca setiap langkah kalian. Malam menjelang, tapi Alya masih terjaga. Ia duduk di depan meja kerja kecil, membuka laptop lamanya. Jari-jarinya mengetik cepat, mencari informasi tentang proyek yang tadi dibicarakan Raka dan Selina. Hasil pencarian menampilkan nama perusahaan, beberapa artikel bisnis, dan foto acara resmi yang memuat wajah Selina tersenyum bersama eksekutif lain. Alya menatap layar, menimbang. Kalau aku bisa tahu pola kerja sama mereka, aku bisa menemukan celah. Selina mungkin pandai menyembunyikan niatnya, tapi tidak mungkin semua jejak bisa ia hapus. Ia lalu mengambil ponsel, membuka galeri lama. Di sana masih ada foto-foto sederhana: dirinya bersama Raka saat awal menikah, senyum tulus yang kini terasa asing. Alya menatap lama foto itu. “Lucu sekali,” gumamnya lirih. “Aku dulu benar-benar percaya padamu. Padahal bayangan Selina sudah ada di antara kita sejak lama.” Jam dinding berdentang sepuluh kali. Alya menutup laptop, lalu berjalan ke depan cermin. Ia menatap wajah mudanya—kulit masih segar, garis mata belum menua. Namun sorot matanya kini jauh berbeda: bukan lagi perempuan polos yang rela ditipu, melainkan seseorang yang menyimpan tekad. “Selina,” bisiknya pelan. “Kamu pikir aku tetap sama seperti dulu? Kau salah besar. Aku akan membuatmu tersandung dengan permainanku sendiri.” Ia menyentuh permukaan cermin, seperti menyentuh dirinya yang baru. Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum penuh strategi. Bayangan Selina mungkin masih bersembunyi di sekitar Raka, tapi Alya sudah bersiap. Ia tak lagi sekadar bertahan; kini ia yang akan mengatur langkah.Hari itu rumah besar keluarga Alya dipenuhi riuh rendah suara. Hari Minggu selalu menjadi momen keluarga besar berkumpul, dan seperti biasa, suasana terasa hangat. Di ruang tamu yang luas, para paman, bibi, dan sepupu berkumpul, saling bertukar cerita. Aroma masakan khas Ibunya Alya menyeruak dari dapur, menambah kesan akrab yang sulit ditandingi. Namun di tengah semua kehangatan itu, Alya duduk dengan hati yang bergejolak. Ia tahu, hari ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ini adalah panggung di mana Raka akan berusaha kembali memainkan perannya sebagai menantu ideal, dan ia—Alya—akan memanfaatkan kesempatan untuk menabur benih keraguan. Raka masuk dengan penuh percaya diri, senyumnya ramah, suaranya tenang, sikapnya persis seperti yang selalu dikagumi keluarganya. “Selamat siang semuanya!” sapanya sambil menyalami satu per satu dengan penuh hormat. “Terima kasih sudah mengundang kami.” Beberapa sepupu Alya berbisik kagum, mengomentari betapa beruntungnya Alya memiliki suami sepe
Malam itu rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas di ruang tamu. Alya duduk di sofa dengan buku catatan kecil di pangkuannya. Matanya tidak benar-benar membaca catatan yang ada di dalamnya, melainkan sibuk berpura-pura. Ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selama ini ia tahu akan datang, meski ia tak bisa memastikan kapan. Raka pulang larut malam. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski ia berusaha menutupi dengan parfum yang terlalu menyengat. Alya mengangkat kepala perlahan, menatapnya tanpa banyak bicara. “Belum tidur?” tanya Raka datar sambil melepas jasnya. Alya tersenyum tipis. “Nungguin kamu. Aku masakin sup, mau?” “Besok aja, aku capek,” jawab Raka singkat, lalu berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di meja: amplop kecil berisi dokumen. Alya sengaja menaruhnya di sana, pura-pura lupa membereskan. “Ini apa?” Raka menatap curiga. “Oh, itu? Hanya catatan dari kantor Ayah. Tentang laporan keuangan,
Alya duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi ayah dan ibunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Senyum mereka hangat, sama seperti dulu, namun kali ini hatinya terasa berat. Ia tahu, dalam hitungan tahun, kebahagiaan sederhana itu akan direnggut oleh penyakit dan pengkhianatan. “Alya, kenapa melamun?” suara ibunya memecah lamunan. Alya tersenyum, berusaha menutupi gundah. “Nggak, Bu. Aku cuma kangen suasana rumah.” Ayahnya, Pak Surya, tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Rumah ini selalu jadi rumahmu, Nak. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Kata-kata itu menancap dalam hati Alya. Ia tahu, justru rumah dan tanah inilah yang kelak akan diperebutkan. Ia menatap ayahnya lama, lalu berkata pelan, “Ayah, pernah nggak terpikir untuk menyiapkan dokumen warisan sejak dini?” Pak Surya mengernyit, kaget mendengar putrinya tiba-tiba menyinggung hal serius. “Kenapa tiba-tiba bicara soal itu? Ayah masih sehat, kan?” Alya cepat-cepat meraih tangan ayahnya. “Bukan begitu, Yah. Aku
Matahari sore menembus jendela besar ruang tamu, menyinari lantai marmer rumah dengan kilau hangat keemasan. Alya sedang beres-beres buku catatan keuangan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa was-was tentang kondisi ayah. Namun, dering ponsel bernada ceria milik Selina membuat langkah Alya terhenti di depan kamar tamu. Selina sudah seminggu ini lebih sering datang dengan alasan “kerja sama proyek” dengan Raka. Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan vas bunga di meja kecil dekat pintu, tapi telinganya menangkap jelas suara Selina. “Ya, aku sudah bicara dengan dia… tenang saja. Semua sesuai rencana.” Suara Selina terdengar pelan namun penuh keyakinan. Alya menahan napas. Dia bicara tentang siapa? Tentang Raka? “Astaga, jangan sebut nama! Kita harus hati-hati… kalau sampai bocor, semuanya berantakan.” Jantung Alya berdegup kencang. Ia beringsut sedikit lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Selina berjalan mondar-mand
Pagi itu udara masih lembab setelah semalaman hujan. Alya datang ke rumah orang tuanya lebih awal dari biasanya, membawa beberapa roti hangat dan susu segar. Ia ingin memastikan ayahnya sarapan dengan makanan bergizi, sesuatu yang dulu ia abaikan di kehidupan pertamanya. Ayah sedang duduk di teras, menatap halaman dengan pandangan jauh. Rambutnya yang mulai memutih tampak basah oleh embun, namun sorot matanya masih teduh seperti biasa. Alya berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Papa, sarapan dulu ya. Aku bawain roti keju kesukaan Papa.” Ia berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan. Ayah menoleh, bibirnya melengkung hangat. “Kamu ini selalu perhatian. Dulu waktu masih kuliah, susah sekali bangun pagi, sekarang malah bawain sarapan untuk Papa.” Alya terkekeh kecil, meski hatinya nyeri. Kalau saja Papa tahu betapa aku dulu terlambat… betapa aku menyesal karena tidak menjaga kesehatanmu lebih baik. Mereka makan bersama di teras, ditemani suara burung gereja yang hinggap di
Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.“Papa…” Al