Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, membawa aroma roti panggang dari dapur. Alya duduk di tepi ranjang, menatap jemari tangannya yang masih bergetar tipis. Semalam, ia menulis panjang di buku catatan, dan pagi ini ia tahu: catatan itu akan menjadi kompas hidup barunya.
Raka belum pulang ketika ia tertidur, dan baru dini hari tadi terdengar suara pintu berderit pelan. Kini pria itu masih terlelap di sisi ranjang, wajahnya terlihat tenang. Seandainya Alya tak tahu masa depan, ia mungkin akan percaya bahwa ini wajah suami setia. Namun, di balik ketenangan itu, Alya melihat bayangan pengkhianatan yang pernah ia alami. Ia bangkit perlahan, melangkah keluar kamar dengan hati-hati. Sambil menyeruput segelas air putih, Alya memandangi ruang tamu mereka. Ruang sederhana dengan sofa lama dan meja kayu yang penuh goresan kecil. Tempat ini menyimpan banyak kenangan—dan juga akan menyimpan luka, bila ia membiarkan sejarah terulang. Hari itu Alya bekerja dari rumah. Laptop terbuka, dokumen kantor terpampang di layar, tapi pikirannya melayang ke hal lain. Satu per satu, ia mencoba mengingat jalannya kehidupan di masa depan. Empat tahun ke depan, ia akan kehilangan orang tuanya satu per satu, meninggalkan dirinya sebagai ahli waris tunggal. Raka dan Selina akan mendekat dengan alasan mendukung, padahal hanya mengincar harta. Mereka akan berpura-pura peduli, sementara perlahan menusuk dari belakang. Alya menutup laptop. Tangannya meraih pena, mulai menulis lagi di buku catatan: 2017: Ayah jatuh sakit, biaya rumah sakit besar. 2018: Ibu menyusul, meninggalkan surat warisan. 2019–2020: Selina semakin sering datang, alasan menemani Alya yang kesepian. 2021: Saat itulah perangkap mulai mengunci. Mata Alya menajam. Semua detail itu bukan lagi kenangan pahit, melainkan petunjuk untuk langkah berikutnya. Siang hari, Raka akhirnya bangun. Ia menguap panjang, lalu tersenyum hangat. “Sayang, kenapa nggak bangunin aku? Aku jadi kesiangan.” Alya menoleh. Senyum itu, suara itu—begitu manis, begitu meyakinkan. Tapi Alya hanya tersenyum tipis. “Kamu capek, kan? Aku nggak tega ganggu.” Raka tertawa kecil, lalu meraih tangan istrinya. “Istri terbaik, memang kamu.” Ucapan itu dulu bisa membuat Alya meleleh. Sekarang, kalimat itu hanya terdengar seperti topeng. Ia mengamati Raka dengan seksama—cara matanya bergerak, bagaimana intonasi suaranya naik turun. Alya mulai mencatat dalam hati: Raka terlalu pandai memainkan peran. Malamnya, Selina datang. Ia membawa sebungkus kue, tertawa lepas seperti biasa. “Aku kangen kalian berdua. Boleh mampir, kan?” Alya tersenyum ramah, meski hatinya bergejolak. Ia memperhatikan detail yang dulu ia abaikan: bagaimana tatapan Selina pada Raka bertahan sepersekian detik lebih lama, bagaimana Raka dengan santai meraih gelas yang Selina sodorkan tanpa perlu basa-basi. Dulu ia melihat ini sebagai kedekatan wajar sahabat dengan keluarga. Sekarang, Alya melihatnya sebagai isyarat yang jelas. Ada bahasa tubuh di antara mereka yang hanya bisa dibaca oleh orang yang sudah tahu kebenaran. Setelah Selina pulang, Alya duduk sendirian di ruang tamu. Lampu redup, jam menunjukkan hampir tengah malam. Ia menuliskan satu kalimat tebal di catatannya: “Musuh terbesarku ada di dalam lingkaran terdekatku.” Ia menutup buku itu, lalu menatap ke arah kamar di mana Raka sudah tertidur lagi. Wajah itu masih tampak sama—hangat, menenangkan. Tapi bagi Alya, semua itu hanyalah kebohongan yang sudah ia bongkar. Hari-hari berikutnya, Alya mengubah rutinitasnya tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia tetap memasak sarapan, tetap menyapa Raka dengan lembut, tetap mendengarkan curhat Selina dengan wajah tulus. Namun di balik itu, ia merekam setiap detail: jam pulang Raka, cara Selina menelpon di malam hari, kata-kata kecil yang seolah tak penting tapi menyimpan tanda. Alya belajar bersikap dingin tanpa terlihat dingin. Ia menutup rapat luka lamanya, menjadikannya sumber kekuatan. Saat menulis catatan sebelum tidur, ia menatap halaman terakhir dengan sorot mata tajam. “Kali ini,” bisiknya dalam hati, “aku bukan korban.” Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa dirinya bukan lagi wanita lemah yang menunggu nasib, melainkan seorang pemain baru yang siap mengubah papan permainan. Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal. Saat Raka masih tertidur, ia melangkah perlahan ke lemari tempat dokumen disimpan. Kotak kayu itu kembali berada di genggamannya. Kali ini, ia membuka isinya satu per satu dengan mata penuh perhitungan. Ada sertifikat tanah peninggalan orang tuanya, tabungan dalam bentuk buku rekening lama, dan beberapa surat penting lain. Dulu ia menyimpan semuanya dengan polos, percaya bahwa suami dan sahabat akan menjaganya. Kini ia sadar, benda-benda inilah akar dari pengkhianatan mereka. Alya mengambil plastik bening, memasukkan sebagian dokumen ke dalamnya. Ia tidak bisa membuang, tapi ia juga tidak boleh menaruh semua di tempat yang sama. Mereka tidak boleh tahu kalau aku sudah bersiap. Hari itu Alya sengaja izin pulang lebih awal dari kantor. Dengan alasan belanja bulanan, ia membawa tas belanja besar. Di dalamnya, terselip dokumen yang sudah ia bungkus rapi. Langkah kakinya mantap menuju bank lama yang dulu jarang ia gunakan. Petugas mengenalnya, meski hanya samar. Ia membuka safe deposit box kecil, menyimpan dokumen-dokumen itu di sana. Saat pintu box ditutup, Alya merasa lega—seolah satu lapisan pelindung telah melingkupi dirinya. “Setidaknya kalau mereka mencoba, mereka tidak akan menemukannya di rumah,” batinnya. Malamnya, Selina kembali mampir. Kali ini dengan alasan mengembalikan buku. Alya tersenyum hangat seperti biasa, tapi matanya mengamati setiap gerakan. Selina duduk terlalu nyaman di sofa, bercanda terlalu leluasa dengan Raka. “Rak, minggu depan jangan lupa ya, janji kita makan bareng di restoran itu,” kata Selina sambil menyodorkan tatapan penuh arti. Raka hanya terkekeh. “Iya, tenang aja. Aku nggak lupa, kok.” Alya menahan napas, pura-pura sibuk menuang teh. Ia mencatat dalam hatinya: ada “janji rahasia” yang dulu mungkin ia abaikan, tapi kini jelas terasa seperti kode. Ketika Selina sudah pulang, Alya mendekati Raka. “Kamu kelihatan dekat sekali sama dia akhir-akhir ini,” ucapnya pelan. Raka menoleh cepat, lalu tertawa kecil. “Ah, jangan mikir aneh-aneh. Dia kan sahabatmu juga.” Jawaban klasik. Dulu Alya akan langsung luluh. Kali ini ia hanya tersenyum samar, tanpa menyanggah. Dalam hatinya, ia menulis satu catatan lagi: Raka pandai memutar kata, tapi ekspresinya sedikit tegang setiap kali aku menyinggung Selina. Beberapa hari berikutnya, Alya mulai membuat kebiasaan baru. Ia selalu membawa buku catatan kecil kemana pun, berpura-pura itu agenda kerja. Padahal isinya penuh observasi: jam pulang Raka, topik obrolan Selina, bahkan nada suara mereka saat berbicara. Catatan itu baginya bukan sekadar tulisan, tapi peta menuju masa depan yang berbeda. Suatu malam, setelah menuliskan semuanya, ia menutup buku itu erat-erat. “Kalau dulu aku berjalan buta, kali ini aku berjalan dengan mata terbuka,” bisiknya. Beberapa minggu berjalan, Alya mulai merasa lebih tenang. Ia tahu belum aman, tapi ia tidak lagi sama seperti wanita bodoh yang menunggu dihancurkan. Ia sudah menyiapkan diri, sudah punya strategi. Di depan semua orang, ia tetap Alya yang lembut dan perhatian. Tapi di dalam dirinya, perlahan tumbuh seorang wanita baru—seorang yang tidak takut pada pengkhianatan. Dan setiap malam sebelum tidur, ia selalu mengulang kata-kata yang kini menjadi mantranya: “Kali ini, aku bukan korban.”Hari itu rumah besar keluarga Alya dipenuhi riuh rendah suara. Hari Minggu selalu menjadi momen keluarga besar berkumpul, dan seperti biasa, suasana terasa hangat. Di ruang tamu yang luas, para paman, bibi, dan sepupu berkumpul, saling bertukar cerita. Aroma masakan khas Ibunya Alya menyeruak dari dapur, menambah kesan akrab yang sulit ditandingi. Namun di tengah semua kehangatan itu, Alya duduk dengan hati yang bergejolak. Ia tahu, hari ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ini adalah panggung di mana Raka akan berusaha kembali memainkan perannya sebagai menantu ideal, dan ia—Alya—akan memanfaatkan kesempatan untuk menabur benih keraguan. Raka masuk dengan penuh percaya diri, senyumnya ramah, suaranya tenang, sikapnya persis seperti yang selalu dikagumi keluarganya. “Selamat siang semuanya!” sapanya sambil menyalami satu per satu dengan penuh hormat. “Terima kasih sudah mengundang kami.” Beberapa sepupu Alya berbisik kagum, mengomentari betapa beruntungnya Alya memiliki suami sepe
Malam itu rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas di ruang tamu. Alya duduk di sofa dengan buku catatan kecil di pangkuannya. Matanya tidak benar-benar membaca catatan yang ada di dalamnya, melainkan sibuk berpura-pura. Ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selama ini ia tahu akan datang, meski ia tak bisa memastikan kapan. Raka pulang larut malam. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski ia berusaha menutupi dengan parfum yang terlalu menyengat. Alya mengangkat kepala perlahan, menatapnya tanpa banyak bicara. “Belum tidur?” tanya Raka datar sambil melepas jasnya. Alya tersenyum tipis. “Nungguin kamu. Aku masakin sup, mau?” “Besok aja, aku capek,” jawab Raka singkat, lalu berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di meja: amplop kecil berisi dokumen. Alya sengaja menaruhnya di sana, pura-pura lupa membereskan. “Ini apa?” Raka menatap curiga. “Oh, itu? Hanya catatan dari kantor Ayah. Tentang laporan keuangan,
Alya duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi ayah dan ibunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Senyum mereka hangat, sama seperti dulu, namun kali ini hatinya terasa berat. Ia tahu, dalam hitungan tahun, kebahagiaan sederhana itu akan direnggut oleh penyakit dan pengkhianatan. “Alya, kenapa melamun?” suara ibunya memecah lamunan. Alya tersenyum, berusaha menutupi gundah. “Nggak, Bu. Aku cuma kangen suasana rumah.” Ayahnya, Pak Surya, tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Rumah ini selalu jadi rumahmu, Nak. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Kata-kata itu menancap dalam hati Alya. Ia tahu, justru rumah dan tanah inilah yang kelak akan diperebutkan. Ia menatap ayahnya lama, lalu berkata pelan, “Ayah, pernah nggak terpikir untuk menyiapkan dokumen warisan sejak dini?” Pak Surya mengernyit, kaget mendengar putrinya tiba-tiba menyinggung hal serius. “Kenapa tiba-tiba bicara soal itu? Ayah masih sehat, kan?” Alya cepat-cepat meraih tangan ayahnya. “Bukan begitu, Yah. Aku
Matahari sore menembus jendela besar ruang tamu, menyinari lantai marmer rumah dengan kilau hangat keemasan. Alya sedang beres-beres buku catatan keuangan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa was-was tentang kondisi ayah. Namun, dering ponsel bernada ceria milik Selina membuat langkah Alya terhenti di depan kamar tamu. Selina sudah seminggu ini lebih sering datang dengan alasan “kerja sama proyek” dengan Raka. Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan vas bunga di meja kecil dekat pintu, tapi telinganya menangkap jelas suara Selina. “Ya, aku sudah bicara dengan dia… tenang saja. Semua sesuai rencana.” Suara Selina terdengar pelan namun penuh keyakinan. Alya menahan napas. Dia bicara tentang siapa? Tentang Raka? “Astaga, jangan sebut nama! Kita harus hati-hati… kalau sampai bocor, semuanya berantakan.” Jantung Alya berdegup kencang. Ia beringsut sedikit lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Selina berjalan mondar-mand
Pagi itu udara masih lembab setelah semalaman hujan. Alya datang ke rumah orang tuanya lebih awal dari biasanya, membawa beberapa roti hangat dan susu segar. Ia ingin memastikan ayahnya sarapan dengan makanan bergizi, sesuatu yang dulu ia abaikan di kehidupan pertamanya. Ayah sedang duduk di teras, menatap halaman dengan pandangan jauh. Rambutnya yang mulai memutih tampak basah oleh embun, namun sorot matanya masih teduh seperti biasa. Alya berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Papa, sarapan dulu ya. Aku bawain roti keju kesukaan Papa.” Ia berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan. Ayah menoleh, bibirnya melengkung hangat. “Kamu ini selalu perhatian. Dulu waktu masih kuliah, susah sekali bangun pagi, sekarang malah bawain sarapan untuk Papa.” Alya terkekeh kecil, meski hatinya nyeri. Kalau saja Papa tahu betapa aku dulu terlambat… betapa aku menyesal karena tidak menjaga kesehatanmu lebih baik. Mereka makan bersama di teras, ditemani suara burung gereja yang hinggap di
Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.“Papa…” Al