Beranda / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 6 – Luka Lama, Rencana Baru

Share

Bab 6 – Luka Lama, Rencana Baru

Penulis: Mommy Sea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 00:04:53

Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, membawa aroma roti panggang dari dapur. Alya duduk di tepi ranjang, menatap jemari tangannya yang masih bergetar tipis. Semalam, ia menulis panjang di buku catatan, dan pagi ini ia tahu: catatan itu akan menjadi kompas hidup barunya.

Raka belum pulang ketika ia tertidur, dan baru dini hari tadi terdengar suara pintu berderit pelan. Kini pria itu masih terlelap di sisi ranjang, wajahnya terlihat tenang. Seandainya Alya tak tahu masa depan, ia mungkin akan percaya bahwa ini wajah suami setia. Namun, di balik ketenangan itu, Alya melihat bayangan pengkhianatan yang pernah ia alami.

Ia bangkit perlahan, melangkah keluar kamar dengan hati-hati. Sambil menyeruput segelas air putih, Alya memandangi ruang tamu mereka. Ruang sederhana dengan sofa lama dan meja kayu yang penuh goresan kecil. Tempat ini menyimpan banyak kenangan—dan juga akan menyimpan luka, bila ia membiarkan sejarah terulang.

Hari itu Alya bekerja dari rumah. Laptop terbuka, dokumen kantor terpampang di layar, tapi pikirannya melayang ke hal lain. Satu per satu, ia mencoba mengingat jalannya kehidupan di masa depan.

Empat tahun ke depan, ia akan kehilangan orang tuanya satu per satu, meninggalkan dirinya sebagai ahli waris tunggal. Raka dan Selina akan mendekat dengan alasan mendukung, padahal hanya mengincar harta. Mereka akan berpura-pura peduli, sementara perlahan menusuk dari belakang.

Alya menutup laptop. Tangannya meraih pena, mulai menulis lagi di buku catatan:

2017: Ayah jatuh sakit, biaya rumah sakit besar.

2018: Ibu menyusul, meninggalkan surat warisan.

2019–2020: Selina semakin sering datang, alasan menemani Alya yang kesepian.

2021: Saat itulah perangkap mulai mengunci.

Mata Alya menajam. Semua detail itu bukan lagi kenangan pahit, melainkan petunjuk untuk langkah berikutnya.

Siang hari, Raka akhirnya bangun. Ia menguap panjang, lalu tersenyum hangat.

“Sayang, kenapa nggak bangunin aku? Aku jadi kesiangan.”

Alya menoleh. Senyum itu, suara itu—begitu manis, begitu meyakinkan. Tapi Alya hanya tersenyum tipis.

“Kamu capek, kan? Aku nggak tega ganggu.”

Raka tertawa kecil, lalu meraih tangan istrinya. “Istri terbaik, memang kamu.”

Ucapan itu dulu bisa membuat Alya meleleh. Sekarang, kalimat itu hanya terdengar seperti topeng. Ia mengamati Raka dengan seksama—cara matanya bergerak, bagaimana intonasi suaranya naik turun. Alya mulai mencatat dalam hati: Raka terlalu pandai memainkan peran.

Malamnya, Selina datang. Ia membawa sebungkus kue, tertawa lepas seperti biasa. “Aku kangen kalian berdua. Boleh mampir, kan?”

Alya tersenyum ramah, meski hatinya bergejolak. Ia memperhatikan detail yang dulu ia abaikan: bagaimana tatapan Selina pada Raka bertahan sepersekian detik lebih lama, bagaimana Raka dengan santai meraih gelas yang Selina sodorkan tanpa perlu basa-basi.

Dulu ia melihat ini sebagai kedekatan wajar sahabat dengan keluarga. Sekarang, Alya melihatnya sebagai isyarat yang jelas. Ada bahasa tubuh di antara mereka yang hanya bisa dibaca oleh orang yang sudah tahu kebenaran.

Setelah Selina pulang, Alya duduk sendirian di ruang tamu. Lampu redup, jam menunjukkan hampir tengah malam. Ia menuliskan satu kalimat tebal di catatannya:

“Musuh terbesarku ada di dalam lingkaran terdekatku.”

Ia menutup buku itu, lalu menatap ke arah kamar di mana Raka sudah tertidur lagi. Wajah itu masih tampak sama—hangat, menenangkan. Tapi bagi Alya, semua itu hanyalah kebohongan yang sudah ia bongkar.

Hari-hari berikutnya, Alya mengubah rutinitasnya tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia tetap memasak sarapan, tetap menyapa Raka dengan lembut, tetap mendengarkan curhat Selina dengan wajah tulus. Namun di balik itu, ia merekam setiap detail: jam pulang Raka, cara Selina menelpon di malam hari, kata-kata kecil yang seolah tak penting tapi menyimpan tanda.

Alya belajar bersikap dingin tanpa terlihat dingin. Ia menutup rapat luka lamanya, menjadikannya sumber kekuatan.

Saat menulis catatan sebelum tidur, ia menatap halaman terakhir dengan sorot mata tajam.

“Kali ini,” bisiknya dalam hati, “aku bukan korban.”

Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa dirinya bukan lagi wanita lemah yang menunggu nasib, melainkan seorang pemain baru yang siap mengubah papan permainan.

Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal. Saat Raka masih tertidur, ia melangkah perlahan ke lemari tempat dokumen disimpan. Kotak kayu itu kembali berada di genggamannya. Kali ini, ia membuka isinya satu per satu dengan mata penuh perhitungan.

Ada sertifikat tanah peninggalan orang tuanya, tabungan dalam bentuk buku rekening lama, dan beberapa surat penting lain. Dulu ia menyimpan semuanya dengan polos, percaya bahwa suami dan sahabat akan menjaganya. Kini ia sadar, benda-benda inilah akar dari pengkhianatan mereka.

Alya mengambil plastik bening, memasukkan sebagian dokumen ke dalamnya. Ia tidak bisa membuang, tapi ia juga tidak boleh menaruh semua di tempat yang sama. Mereka tidak boleh tahu kalau aku sudah bersiap.

Hari itu Alya sengaja izin pulang lebih awal dari kantor. Dengan alasan belanja bulanan, ia membawa tas belanja besar. Di dalamnya, terselip dokumen yang sudah ia bungkus rapi. Langkah kakinya mantap menuju bank lama yang dulu jarang ia gunakan.

Petugas mengenalnya, meski hanya samar. Ia membuka safe deposit box kecil, menyimpan dokumen-dokumen itu di sana. Saat pintu box ditutup, Alya merasa lega—seolah satu lapisan pelindung telah melingkupi dirinya.

“Setidaknya kalau mereka mencoba, mereka tidak akan menemukannya di rumah,” batinnya.

Malamnya, Selina kembali mampir. Kali ini dengan alasan mengembalikan buku. Alya tersenyum hangat seperti biasa, tapi matanya mengamati setiap gerakan. Selina duduk terlalu nyaman di sofa, bercanda terlalu leluasa dengan Raka.

“Rak, minggu depan jangan lupa ya, janji kita makan bareng di restoran itu,” kata Selina sambil menyodorkan tatapan penuh arti.

Raka hanya terkekeh. “Iya, tenang aja. Aku nggak lupa, kok.”

Alya menahan napas, pura-pura sibuk menuang teh. Ia mencatat dalam hatinya: ada “janji rahasia” yang dulu mungkin ia abaikan, tapi kini jelas terasa seperti kode.

Ketika Selina sudah pulang, Alya mendekati Raka.

“Kamu kelihatan dekat sekali sama dia akhir-akhir ini,” ucapnya pelan.

Raka menoleh cepat, lalu tertawa kecil. “Ah, jangan mikir aneh-aneh. Dia kan sahabatmu juga.”

Jawaban klasik. Dulu Alya akan langsung luluh. Kali ini ia hanya tersenyum samar, tanpa menyanggah. Dalam hatinya, ia menulis satu catatan lagi: Raka pandai memutar kata, tapi ekspresinya sedikit tegang setiap kali aku menyinggung Selina.

Beberapa hari berikutnya, Alya mulai membuat kebiasaan baru. Ia selalu membawa buku catatan kecil kemana pun, berpura-pura itu agenda kerja. Padahal isinya penuh observasi: jam pulang Raka, topik obrolan Selina, bahkan nada suara mereka saat berbicara.

Catatan itu baginya bukan sekadar tulisan, tapi peta menuju masa depan yang berbeda.

Suatu malam, setelah menuliskan semuanya, ia menutup buku itu erat-erat.

“Kalau dulu aku berjalan buta, kali ini aku berjalan dengan mata terbuka,” bisiknya.

Beberapa minggu berjalan, Alya mulai merasa lebih tenang. Ia tahu belum aman, tapi ia tidak lagi sama seperti wanita bodoh yang menunggu dihancurkan. Ia sudah menyiapkan diri, sudah punya strategi.

Di depan semua orang, ia tetap Alya yang lembut dan perhatian. Tapi di dalam dirinya, perlahan tumbuh seorang wanita baru—seorang yang tidak takut pada pengkhianatan.

Dan setiap malam sebelum tidur, ia selalu mengulang kata-kata yang kini menjadi mantranya:

“Kali ini, aku bukan korban.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 84– Cahaya yang Dipilih

    Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 83– Ujian Terakhir

    Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 82– Kehidupan yang Tumbuh

    Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 81 – Jejak Masa Lalu

    Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 80– Langkah Pertama

    Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 79– Babak Baru Dimulai

    Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status