Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 5 – Antara Syok & Harapan

Share

Bab 5 – Antara Syok & Harapan

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-26 00:04:47

Alya menatap wajahnya di cermin untuk kesekian kalinya. Jemarinya bergetar saat menyentuh kulit pipinya sendiri. Begitu halus, begitu kencang, tanpa kerutan tipis yang seharusnya sudah muncul. Rambutnya jatuh berantakan di bahu, masih hitam pekat, tidak ada helaian putih yang dulu sering ia keluhkan di depan kaca.

Ia menelan ludah. “Aku benar-benar… muda lagi?”

Di dadanya, jantung berdebar tak terkendali. Semuanya terasa mustahil. Baru semalam ia meregang nyawa, tubuhnya penuh darah, telinganya menangkap bisikan Selina yang dingin. Dan sekarang—seolah Tuhan sendiri membalikkan waktu—ia kembali ke titik yang sama sekali berbeda.

“Tidak… tidak mungkin,” gumamnya, hampir tak bersuara. Ia memukul pipinya pelan, berharap rasa sakit bisa membangunkannya dari mimpi aneh ini. Tetapi yang datang hanyalah perih nyata.

“Sayang?” Suara Raka memecah keheningan. Lembut, penuh perhatian—nada yang dulu ia kenal baik.

Alya refleks menoleh. Tubuhnya seketika menegang. Raka berdiri di ambang pintu kamar, tersenyum dengan tatapan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta. Senyum itu, tujuh tahun kemudian, akan hilang. Senyum itu pula yang pada akhirnya akan berubah menjadi dingin dan penuh pengkhianatan.

“Kenapa bengong? Lagi mikirin apa?” Raka melangkah masuk, mendekatinya.

Tubuh Alya kaku, dadanya sesak. Bulu kuduknya berdiri. Bagaimana mungkin… aku masih bisa menatap wajahnya, setelah malam itu?

Ia berusaha mengatur napas. “Aku… aku cuma capek.”

Raka mengangguk, tak menaruh curiga. Ia duduk di tepi ranjang, meletakkan koran pagi yang baru ia beli. “Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Aku ada di sini, kan?”

Kata-kata itu menusuk telinga Alya. Kalimat yang manis, penuh janji, tapi di masa depan tak lebih dari kebohongan. Ia ingin menjerit, ingin menampar lelaki itu, namun tubuhnya terpaku.

Saat Raka mandi, Alya meraih koran di meja. Tangannya gemetar ketika membuka halaman depan.

Tanggal tercetak jelas: 14 Juni 2016.

Matanya membesar. Tujuh tahun sebelum kematiannya. Nafasnya tercekat, seakan ada yang menekan dadanya.

Ia beralih ke berita utama, tentang kebijakan pemerintah yang sudah lama lewat. Detail-detailnya benar, sesuai dengan ingatan masa lalunya.

Bibir Alya bergetar. “Jadi… ini nyata. Aku benar-benar kembali.”

Tangannya menutup wajah, tubuhnya gemetar hebat. Tangis meledak tanpa bisa ia tahan.

“Sayang, kenapa?” Raka keluar dari kamar mandi dengan handuk di leher, wajahnya penuh kekhawatiran.

Alya buru-buru mengusap air mata, mencoba tersenyum. “T-tidak… aku cuma… terharu.”

“Terharu?” Raka mengerutkan kening.

Alya mengangguk cepat. “Hari ini anniversary kita. Aku cuma… merasa bersyukur.”

Raka tersenyum lega, lalu mendekat, merangkul pundaknya. “Aku juga bersyukur punya kamu. Kamu segalanya buat aku.”

Alya mematung di dalam pelukan itu. Jantungnya sakit, bukan karena cinta, tapi karena luka yang menganga di hatinya. Pelukan ini dulu adalah rumah, sekarang terasa seperti jerat.

Sepeninggal Raka ke kantor, Alya duduk sendiri di ruang tamu. Sunyi menyelimuti rumah, hanya detik jam yang terdengar.

Ia kembali menyentuh wajahnya. Air mata masih mengalir, kali ini bercampur antara syukur dan trauma. Syukur, karena ia diberi kesempatan kedua. Trauma, karena ia tahu betapa kelam akhir dari rumah tangga ini.

“Kenapa aku? Kenapa aku bisa kembali?” gumamnya.

Ia menatap langit-langit, lalu menunduk. Bibirnya bergetar. “Apakah… ini hadiah dari Tuhan? Atau kutukan?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, tak ada jawaban. Namun, jauh di dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik: Kamu masih punya waktu. Gunakanlah.

Alya menarik napas panjang, menghapus sisa air mata. Ia bangkit, melangkah ke arah jendela. Di luar, matahari siang bersinar terang, seolah ikut memberi harapan.

“Kalau benar ini kesempatan kedua…” bisiknya lirih, “aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama.”

Ia mengepalkan tangan di dada, dadanya bergetar hebat.

“Mungkin aku tidak bisa menghapus semuanya. Tapi aku bisa memperbaiki takdirku.”

Alya duduk di ruang tamu, memeluk bantal seolah mencari pegangan. Jam dinding berdetak teratur, tapi bagi Alya setiap detik terasa asing. Setiap suara, setiap cahaya, setiap aroma rumah itu menegaskan satu hal: ia benar-benar kembali.

Tangannya terulur ke meja, meraih ponsel yang tergeletak di sana. Bukan smartphone canggih yang ia gunakan di masa depan, melainkan ponsel layar kecil dengan tombol fisik. Ia menyalakan layar. Tanggal di sana sama dengan yang ada di koran: 14 Juni 2016.

Pandangannya berkabut. Ia ingat jelas bagaimana di tahun itu ia baru tiga tahun menikah dengan Raka. Masa yang terlihat indah dari luar, tapi sebenarnya penuh tanda-tanda kecil yang dulu ia abaikan.

Dan karena kebodohanku, tanda-tanda itu akhirnya menuntunku ke kematian, batinnya getir.

Ia menelusuri kontak-kontak lama di ponsel. Nama-nama teman yang kini entah di mana, sebagian sudah lama hilang dari kehidupannya. Ia membuka pesan-pesan lama, kebanyakan ucapan ringan atau obrolan sepele. Semuanya membawa rasa rindu yang aneh.

“Seandainya waktu benar-benar bisa diulang… mungkin inilah rasanya,” gumamnya.

Air mata kembali mengalir. Bukan hanya karena luka, tapi juga rasa hangat yang muncul tiba-tiba. Tuhan memberinya anugerah yang tak semua orang bisa dapatkan. Kesempatan untuk memperbaiki, kesempatan untuk menebus kesalahan.

Namun bayangan malam tragis itu terus menghantuinya. Kilatan kaca yang pecah, darah yang mengalir dari tubuhnya, suara dingin Selina berbisik. Alya memejamkan mata erat-erat, menutup telinga seakan bisa mengusir ingatan itu.

Tidak berhasil.

Tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya tercekat.

“Tidak… tidak boleh aku lemah seperti ini,” bisiknya, menggenggam bantal lebih kuat.

Alya bangkit, berjalan menuju dapur. Ia menuang segelas air putih, meneguknya perlahan. Dingin cairan itu membantu menenangkan pikirannya.

Ia menatap pantulan wajahnya di kaca lemari dapur. Wajah muda itu memandang balik dengan tatapan bingung sekaligus takut.

“Dengar, Alya,” katanya pada dirinya sendiri, “kamu sudah tahu akhir dari cerita. Kamu sudah tahu siapa Raka dan Selina sebenarnya. Kalau kamu hanya duduk diam, semuanya akan terulang. Dan kamu akan mati lagi.”

Kata-kata itu menampar kesadarannya. Dadanya berdegup kencang, kali ini bukan karena ketakutan, tapi karena keberanian yang mulai tumbuh.

Ia melangkah kembali ke kamar. Di sana, sebuah kotak kayu kecil tersimpan di lemari. Alya ingat, di tahun ini ia masih menyimpan beberapa dokumen penting dari orang tuanya: surat tanah, sertifikat rumah, dan tabungan warisan.

Tangannya membuka kotak itu dengan hati-hati. Dan benar—semua dokumen itu masih ada, tersusun rapi.

Inilah yang didambakan Raka dan Selina. Inilah yang membuat mereka tega merencanakan kehancurannya.

Alya menutup kotak itu, matanya berkilat.

“Kalau ini yang mereka inginkan… aku tidak akan membiarkan mereka mendapatkannya.”

Hari mulai beranjak sore. Cahaya matahari masuk melalui jendela, membuat ruang tamu tampak hangat. Alya duduk di sofa, menatap cahaya itu sambil merenung.

Dulu aku selalu percaya pada Raka. Aku pikir dia cinta sejatiku, suami yang setia. Tapi nyatanya, dia hanya berpura-pura. Dan aku begitu buta hingga tidak melihat semua tanda.

Ia mengepalkan tangan di pangkuannya. “Tidak lagi. Aku tidak akan jadi wanita bodoh yang sama.”

Bayangan wajah Selina muncul dalam ingatannya. Senyum manis yang dulu ia anggap tulus, kini terasa seperti belati beracun. Sahabat yang ia percaya, ternyata pengkhianat paling kejam.

Alya menggertakkan gigi. “Kalau dulu aku terlalu polos untuk melawanmu, Selina… kali ini aku tidak akan diam.”

Ia berdiri, melangkah ke jendela. Dari sana ia bisa melihat halaman kecil rumahnya. Burung-burung beterbangan, anak-anak tetangga bermain bola di kejauhan. Semuanya terlihat damai, seolah dunia tidak tahu bahwa di dalam rumah ini, ia sedang membawa rahasia besar: pengetahuan tentang masa depan.

Alya menarik napas panjang, menatap langit biru yang bersih.

“Kalau ini benar-benar kesempatan kedua…” suaranya bergetar tapi mantap, “aku akan menggunakannya sebaik mungkin. Aku tidak akan membiarkan diriku hancur lagi. Aku akan mengubah jalan hidupku.”

Air mata menetes, tapi kali ini bukan air mata lemah. Ini adalah air mata tekad.

Senja mulai turun. Raka menelepon, mengatakan ia akan pulang lebih malam karena ada pekerjaan mendadak. Biasanya kabar itu akan membuat Alya kesepian. Tapi kali ini ia justru lega.

“Aku butuh waktu sendiri,” gumamnya setelah menutup telepon.

Ia mengambil buku catatan kosong dari rak. Duduk di meja, ia mulai menulis. Bukan sekadar coretan, tapi rencana.

Hal-hal yang harus ia lakukan. Orang-orang yang perlu ia waspadai. Cara menjaga warisannya. Cara perlahan menjauh dari jerat Raka dan Selina tanpa menimbulkan kecurigaan.

Tangannya menulis dengan gemetar, tapi juga penuh semangat. Setiap kata adalah janji pada dirinya sendiri.

Malam turun, langit gelap di luar jendela. Lampu ruang tamu menyala, menerangi wajah Alya yang terlihat lebih tenang.

Ia menutup buku catatan itu, mengusap sampulnya. “Ini awal yang baru. Aku tidak tahu seberapa besar aku bisa mengubah, tapi aku harus mencoba.”

Ia berdiri, menatap dirinya di cermin sekali lagi. Wajah muda itu memandang balik dengan mata yang kini berbeda: bukan hanya kebingungan, tapi juga tekad.

“Tuhan… kalau benar ini kesempatan kedua,” bisiknya pelan, “aku akan menjaganya. Aku akan melawan. Aku akan menulis ulang takdirku.”

Dan untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, Alya merasa sedikit lega.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 84– Cahaya yang Dipilih

    Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 83– Ujian Terakhir

    Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 82– Kehidupan yang Tumbuh

    Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 81 – Jejak Masa Lalu

    Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 80– Langkah Pertama

    Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 79– Babak Baru Dimulai

    Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status