Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 7 – Kehangatan Palsu

Share

Bab 7 – Kehangatan Palsu

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-27 23:09:21

Suasana rumah keluarga Baskara malam itu terasa begitu hangat. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan, membuat ruang makan tampak mewah sekaligus nyaman. Meja panjang di tengah ruangan telah penuh dengan hidangan: ayam panggang bumbu madu, sup asparagus, tumis sayuran segar, dan kue tart buatan tangan ibu Raka.

Alya duduk di samping Raka, mencoba menata senyumnya agar tampak wajar. Sejujurnya, jantungnya berdetak terlalu kencang sejak mereka tiba. Ia tahu pertemuan keluarga ini hanyalah rutinitas, tapi baginya terasa seperti panggung besar—tempat Raka memainkan perannya dengan sempurna.

“Raka, coba dong ceritakan pada Papa soal proyek terbarumu,” ujar Pak Baskara, ayah Raka, sambil menyendok sup ke mangkuknya. Wajahnya penuh kebanggaan, seolah anak lelakinya adalah bintang terang keluarga.

Raka tersenyum kalem, menoleh sebentar ke arah Alya lalu kembali menatap ayahnya. “Ah, itu hanya proyek kecil, Pa. Tidak sehebat yang Papa bayangkan.”

“Ah, jangan merendah. Papa dengar dari rekan bisnis, kamu yang paling banyak menyumbang ide. Hebat sekali, Nak,” sahut Pak Baskara sambil menepuk bahu putranya.

Ibu Raka ikut menambahkan, “Aku selalu bilang, Alya beruntung sekali menikah denganmu. Kamu bukan hanya pekerja keras, tapi juga suami yang penuh perhatian. Lihat saja, bagaimana setiap kali kalian datang ke sini, wajah Alya selalu terlihat berseri.”

Alya tercekat. Bibirnya mencoba membentuk senyum, tapi hatinya perih. Wajah berseri itu hanya topeng yang ia pakai, sedangkan kenyataan… hanya dia sendiri yang tahu.

Raka, seperti sudah hafal skenarionya, mengangkat tangan lalu menyentuh pipi Alya lembut. “Itu karena aku selalu berusaha membuat Alya bahagia, Bu. Dia segalanya buatku.”

Cahaya lampu terasa lebih menyilaukan saat itu. Alya ingin sekali menepis tangan Raka, berteriak bahwa semua ini hanya sandiwara. Tapi ia tahu, jika ia bicara sekarang, ia hanya akan terlihat seperti istri paranoid yang tak tahu bersyukur.

Tawa kecil terdengar dari ujung meja, dari adik perempuan Raka, Sinta. “Kak Raka itu memang suami idaman. Kalau nanti aku menikah, aku juga mau suami kayak Kak Raka. Kak Alya, Kakak pasti tenang banget ya, punya suami sebaik dia.”

Pertanyaan itu menusuk. Alya memaksa bibirnya melengkung. “Iya, Sinta. Aku… beruntung.”

Malam semakin larut, hidangan utama diganti dengan pencuci mulut. Raka mengambil sepotong kue tart lalu meletakkannya di piring Alya. “Sayang, kamu kan suka kue ini. Coba, aku sengaja potongkan bagian favoritmu.”

Raka menyuapkan sepotong kue ke mulut Alya, membuat seisi meja tersenyum melihat kemesraan itu.

“Romantis sekali! Kalian benar-benar pasangan teladan,” komentar Ibu Raka sambil menepuk tangannya pelan.

Alya mengunyah pelan, menahan getir di tenggorokannya. Kue itu terasa manis di lidah, tapi pahit di hati.

Di sela-sela percakapan, Alya memperhatikan tatapan semua orang. Tidak ada yang sedikit pun meragukan Raka. Tidak ada celah untuk membongkar sisi gelapnya. Semua sudah dibungkus rapih oleh citra sempurna yang ia bangun: anak berbakti, kakak penyayang, suami idaman.

Alya menunduk, jemarinya menggenggam sendok terlalu erat. Dalam hati, ia berbisik lirih: “Kalau begini, bagaimana aku bisa melawanmu, Raka? Bukan cuma aku yang harus kau tipu, tapi seluruh dunia ini sudah kau buat percaya.”

Raka tiba-tiba menoleh, menatap Alya dengan senyum hangat, seolah merasakan isi hatinya. Tatapan itu membuat bulu kuduk Alya berdiri. Ia tahu, di balik senyum itu ada ambisi, ada pengkhianatan yang siap menelannya lagi.

Dan malam itu, di tengah gelak tawa keluarga, Alya menyadari satu hal penting: musuhnya bukan hanya Raka dan Selina. Musuh terbesarnya adalah citra sempurna yang sudah Raka ciptakan di mata semua orang.

Makan malam akhirnya usai. Hidangan manis habis perlahan, tawa pun mulai mereda. Para pelayan rumah membereskan piring, sementara keluarga Baskara masih larut dalam percakapan ringan. Raka tetap menjadi pusat perhatian—mendominasi setiap topik dengan cara yang elegan, tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat semua orang terkesan.

Alya hanya duduk mendengarkan, sesekali ikut menanggapi agar tidak tampak canggung. Tapi kepalanya penuh dengan pikiran lain. Dari semua obrolan itu, ia semakin sadar betapa sempurnanya citra yang sudah dibangun Raka.

“Raka itu memang luar biasa, ya.” Suara ibu mertuanya kembali terdengar. “Papa dan Mama bangga sekali. Seandainya almarhum Kakekmu masih ada, dia pasti juga akan sangat bangga melihatmu jadi pria sukses sekaligus suami yang bertanggung jawab.”

Kalimat itu menusuk hati Alya. Ia teringat kedua orang tuanya sendiri—yang di kehidupan sebelumnya meninggal tanpa sempat tahu siapa sebenarnya menantu mereka. Kedua orang tuanya begitu percaya bahwa Raka adalah pilihan terbaik. Dan Alya, yang dulu masih naif, ikut percaya pada kepercayaan itu.

Sinta berdiri, mengangkat gelas. “Kalau begitu, kita toast dong. Untuk Kak Raka dan Kak Alya—pasangan yang selalu romantis.”

Gelas-gelas diangkat, bunyi beradu kristal menggema. Alya ikut mengangkat gelasnya, meski dalam hati ia ingin menjatuhkannya saja ke lantai.

Pasangan romantis? Kalau mereka tahu kebenarannya, apakah masih bisa menyebut kami begitu?

Setelah semua orang bubar ke ruang keluarga, Alya mencari alasan untuk keluar sebentar. “Aku ingin udara segar,” katanya pada Raka. Lelaki itu hanya mengangguk dengan senyum tipis, seolah penuh pengertian. Padahal Alya tahu, di balik senyum itu ada tatapan penuh kewaspadaan—seperti predator yang tak mau buruannya lepas dari genggaman.

Alya melangkah ke teras rumah. Malam begitu tenang. Lampu taman berkelip lembut, dedaunan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana ini, bagi orang lain, mungkin menenangkan. Tapi bagi Alya, justru terasa menyesakkan.

Ia duduk di kursi rotan, menatap langit gelap. Tangannya gemetar, mengusap lengan seakan mencoba menenangkan diri. “Aku tidak gila,” gumamnya pelan. “Semua yang kulihat sebelumnya nyata. Aku mati karena mereka. Dan kini… aku kembali.”

Air mata menetes, tapi cepat ia hapus dengan punggung tangan. Tidak boleh lemah. Tidak sekarang.

Ia memejamkan mata, mengingat lagi semua potongan masa lalu: percakapan rahasia Raka dan Selina, rencana busuk mereka, luka dari pecahan kaca, dan bisikan terakhir Selina. Semua itu masih jelas terpatri, tak akan pernah hilang.

Tapi kini, ia punya sesuatu yang dulu tidak ia miliki: kesempatan kedua.

Suara langkah mendekat membuatnya tersentak. Ia menoleh, menemukan Ibu Raka berjalan ke arahnya dengan senyum hangat. “Sayang, kamu tidak apa-apa? Dari tadi diam sekali. Makanannya tidak cocok ya?”

Alya buru-buru tersenyum. “Tidak, Bu. Aku hanya… sedikit lelah.”

Wanita paruh baya itu duduk di sampingnya. “Aku senang sekali kamu ada di keluarga kami, Alya. Kamu gadis baik, penuh pengertian. Raka beruntung mendapatimu.”

Sekali lagi, perih menyambar hati Alya. Kalau saja Ibu tahu siapa Raka sebenarnya. Tapi ia menahan lidahnya. Belum waktunya.

“Terima kasih, Bu,” jawabnya lirih. “Aku juga merasa beruntung.”

Ibu Raka menepuk tangannya lembut, lalu pamit masuk kembali. Tinggallah Alya seorang diri di teras. Malam semakin larut, tapi pikirannya justru semakin terang.

Alya sadar, selama ini ia hanya melihat Raka sebagai pengkhianat pribadi. Padahal, kekuatan sejatinya ada pada dukungan orang-orang di sekitarnya. Semua percaya pada topeng yang ia kenakan. Dan itu berarti, untuk menghancurkannya, Alya harus lebih cerdik.

Ia tidak bisa hanya mengandalkan emosi. Ia butuh rencana.

Alya berdiri, menatap bayangan dirinya di kaca jendela. Wajah itu masih muda, cantik, dan tampak rapuh. Tapi matanya kini berbeda—ada api kecil yang mulai menyala.

“Aku tidak akan jadi korban lagi,” bisiknya. “Kalau Raka pandai bermain peran, aku juga bisa. Aku akan ikut main di panggungmu. Dan suatu saat… aku yang akan menjatuhkanmu di depan semua orang yang kini memujamu.”

Angin malam bertiup, membawa aroma bunga melati dari taman. Anehnya, kali ini Alya merasa lebih kuat.

Ketika ia kembali masuk, ia mendapati Raka sedang duduk santai bersama ayahnya, berbicara soal bisnis. Tatapan Raka sempat singgah padanya, senyum tipis itu lagi—senyum yang penuh rahasia.

Alya balas tersenyum, manis sekali, hingga matanya ikut berbinar. Dan untuk pertama kalinya, Raka terlihat sedikit terkejut.

Di balik senyum itu, Alya berjanji pada dirinya sendiri: permainan sudah dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 15 – Keluarga sebagai Medan Pertarungan

    Hari itu rumah besar keluarga Alya dipenuhi riuh rendah suara. Hari Minggu selalu menjadi momen keluarga besar berkumpul, dan seperti biasa, suasana terasa hangat. Di ruang tamu yang luas, para paman, bibi, dan sepupu berkumpul, saling bertukar cerita. Aroma masakan khas Ibunya Alya menyeruak dari dapur, menambah kesan akrab yang sulit ditandingi. Namun di tengah semua kehangatan itu, Alya duduk dengan hati yang bergejolak. Ia tahu, hari ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ini adalah panggung di mana Raka akan berusaha kembali memainkan perannya sebagai menantu ideal, dan ia—Alya—akan memanfaatkan kesempatan untuk menabur benih keraguan. Raka masuk dengan penuh percaya diri, senyumnya ramah, suaranya tenang, sikapnya persis seperti yang selalu dikagumi keluarganya. “Selamat siang semuanya!” sapanya sambil menyalami satu per satu dengan penuh hormat. “Terima kasih sudah mengundang kami.” Beberapa sepupu Alya berbisik kagum, mengomentari betapa beruntungnya Alya memiliki suami sepe

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 14 – Kedok Raka Mulai Retak

    Malam itu rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas di ruang tamu. Alya duduk di sofa dengan buku catatan kecil di pangkuannya. Matanya tidak benar-benar membaca catatan yang ada di dalamnya, melainkan sibuk berpura-pura. Ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selama ini ia tahu akan datang, meski ia tak bisa memastikan kapan. Raka pulang larut malam. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski ia berusaha menutupi dengan parfum yang terlalu menyengat. Alya mengangkat kepala perlahan, menatapnya tanpa banyak bicara. “Belum tidur?” tanya Raka datar sambil melepas jasnya. Alya tersenyum tipis. “Nungguin kamu. Aku masakin sup, mau?” “Besok aja, aku capek,” jawab Raka singkat, lalu berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di meja: amplop kecil berisi dokumen. Alya sengaja menaruhnya di sana, pura-pura lupa membereskan. “Ini apa?” Raka menatap curiga. “Oh, itu? Hanya catatan dari kantor Ayah. Tentang laporan keuangan,

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 13 – Strategi Awal

    Alya duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi ayah dan ibunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Senyum mereka hangat, sama seperti dulu, namun kali ini hatinya terasa berat. Ia tahu, dalam hitungan tahun, kebahagiaan sederhana itu akan direnggut oleh penyakit dan pengkhianatan. “Alya, kenapa melamun?” suara ibunya memecah lamunan. Alya tersenyum, berusaha menutupi gundah. “Nggak, Bu. Aku cuma kangen suasana rumah.” Ayahnya, Pak Surya, tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Rumah ini selalu jadi rumahmu, Nak. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Kata-kata itu menancap dalam hati Alya. Ia tahu, justru rumah dan tanah inilah yang kelak akan diperebutkan. Ia menatap ayahnya lama, lalu berkata pelan, “Ayah, pernah nggak terpikir untuk menyiapkan dokumen warisan sejak dini?” Pak Surya mengernyit, kaget mendengar putrinya tiba-tiba menyinggung hal serius. “Kenapa tiba-tiba bicara soal itu? Ayah masih sehat, kan?” Alya cepat-cepat meraih tangan ayahnya. “Bukan begitu, Yah. Aku

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 12 – Selina yang Mencurigakan

    Matahari sore menembus jendela besar ruang tamu, menyinari lantai marmer rumah dengan kilau hangat keemasan. Alya sedang beres-beres buku catatan keuangan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa was-was tentang kondisi ayah. Namun, dering ponsel bernada ceria milik Selina membuat langkah Alya terhenti di depan kamar tamu. Selina sudah seminggu ini lebih sering datang dengan alasan “kerja sama proyek” dengan Raka. Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan vas bunga di meja kecil dekat pintu, tapi telinganya menangkap jelas suara Selina. “Ya, aku sudah bicara dengan dia… tenang saja. Semua sesuai rencana.” Suara Selina terdengar pelan namun penuh keyakinan. Alya menahan napas. Dia bicara tentang siapa? Tentang Raka? “Astaga, jangan sebut nama! Kita harus hati-hati… kalau sampai bocor, semuanya berantakan.” Jantung Alya berdegup kencang. Ia beringsut sedikit lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Selina berjalan mondar-mand

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 11 – Janji pada Ayah

    Pagi itu udara masih lembab setelah semalaman hujan. Alya datang ke rumah orang tuanya lebih awal dari biasanya, membawa beberapa roti hangat dan susu segar. Ia ingin memastikan ayahnya sarapan dengan makanan bergizi, sesuatu yang dulu ia abaikan di kehidupan pertamanya. Ayah sedang duduk di teras, menatap halaman dengan pandangan jauh. Rambutnya yang mulai memutih tampak basah oleh embun, namun sorot matanya masih teduh seperti biasa. Alya berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Papa, sarapan dulu ya. Aku bawain roti keju kesukaan Papa.” Ia berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan. Ayah menoleh, bibirnya melengkung hangat. “Kamu ini selalu perhatian. Dulu waktu masih kuliah, susah sekali bangun pagi, sekarang malah bawain sarapan untuk Papa.” Alya terkekeh kecil, meski hatinya nyeri. Kalau saja Papa tahu betapa aku dulu terlambat… betapa aku menyesal karena tidak menjaga kesehatanmu lebih baik. Mereka makan bersama di teras, ditemani suara burung gereja yang hinggap di

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 10 – Luka dalam Senyum

    Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.“Papa…” Al

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status